Menyuling Demokrasi Rente Migas dan Reji

MENYULING DEMOKRASI : RENTE MIGAS
DAN REJIM POLITIK DI INDONESIA
Andar Nubowo

Bukan lautan hanya kolam susu,
Kail dan jala cukup menghidupimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
(Koes Plus)
Koes Plus memang musisi brilian. Ketika menamsilkan Indonesia bagai
“kolam susu”, grup musik ini jelas dalam kondisi sadar sesadarsadarnya. Tak sedang bercanda, apalagi mengigau. Selain indah dan
enak didengar, lirik lagu Koes Plus di atas menyajikan sebuah fakta:
Indonesia yang gemah ripah memiliki “harta karun” yang melimpah.
Itulah metafora Koes Plus tentang keindahan sekaligus kekayaan alam
Nusantara. Konon, daratan Indonesia dahulu kala adalah locus
peradaban Atlantis yang murca, hilang tak berbekas pada tiga belas ribu
tahun lalu---seperti yang diyakini filosof Yunani Plato dan Prof Arysio
Santos dalam bukunya berjudul Atlantis : The Lost Continent Finally
Found (Washington DC : Library of Congres, 1997). Terlepas benar
tidaknya tesis tersebut, Indonesia adalah salah satu negara kaya energi
fosil. Para ahli menyebut, di balik lempengan tektonik yang

mengelilingi Nusantara tersimpan kandungan “emas hitam” yang
melimpah.
Lalu, mengapa kekayaan energi fosil yang melimpah ruah itu tidak
dapat dinikmati secara merata oleh rakyat? Padahal, di dalam Pasal 33
UUD 1945 ditegaskan bahwa perekonomian Indonesia diatur
berdasarkan asas kebersamaan, di mana rakyat memiliki hak untuk ikut
berproduksi dan menikmati hasil pengelolaan sumber daya alam.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan keadaan rakyat yang tersingkir
dari pusat produksi ekonomi, sehingga mimpi Koes Plus tentang
“surga” masih jauh dari realita.
MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

139

Sebagai upaya memahami ketersingkiran rakyat dari proses industri
minyak dan gas bumi Indonesia, tulisan ini mencoba memaparkan
secara singkat intervensi yang dilakukan rejim politik Orde Lama, Orde
Baru dan Orde Reformasi pada industri migas tanah air dan
memaparkan alasan dibalik kuptasi, monopoli dan liberalisasi migas
tanah air. Untuk memangkas berbagai anomali, tulisan ini

mengetengahkan perlunya “demokratisasi migas” di Indonesia, yakni
mengembalikan pusat produksi ekonomi migas di tangan rakyat secara
berkeadilan dan transparan. Pemaparan singkat ini diharapkan dapat
membuka perpektif lain tentang hubungan antara rente migas,
konsolidasi politik, transformasi demokrasi, dan kemakmuran di
Indonesia.
Kuptasi Industri Migas : Berkah atau Musibah ?

Sejak pertengahan tahun 1980-an, kajian ekonomi-politik mengungkap
adanya dampak positif sekaligus negatif kekayaan migas bagi
konsolidasi politik, transformasi demokrasi dan kesejateraan. Pendapat
pertama (Lipset, 1959; Putnam,1993; Dahl, 1971; dan Huntington,
1991) menegaskan bahwa kekayaan minyak bumi merupakan berkah
bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang mendorong
tumbuhnya institusi-institusi sosial dan politik yang demokratis.
Sebaliknya, pendapat kedua (Ross, 2001; Stiglitz, 2007; Martinez, 2009)
menyatakan bahwa kekayaan minyak bumi merupakan “musibah”,
ketika negara menyimpangkan rente migas untuk kepentingan politik,
militer dan konflik sehingga gagal menyejahterakan rakyat.
Energi hidrokarbon memicu perang saudara dan membunuh ekonomi

di Kongo, Angola, Sudan, Nigeria, dan sekarang di Libya. Ia juga
memperlemah struktur negara, akibat kejahilan elit politik dalam
mengelola birokrasi dan organisasi sosial yang solid (Désiré, 2007: 2).
Di Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, dan Uni Emirat Arab, meski
minyak bumi memicu ledakan ekonomi, pendapatan migas tidak
mendukung tumbuhnya institusi sosial dan politik serta hak-hak
demokrasi bagi rakyat. Di negara Teluk Persia ini, rente minyak
digunakan untuk melemahkan demokrasi supaya monarki absolut tetap
langgeng (Tsui, 2005 : 4).

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

140

Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Apakah migas menjadi berkah atau
musibah bagi rakyat? Bagaimana rejim politik Indonesia menggunakan
energi ekstraksi alam ini?
Sejak ditemukan ladang migas di Sumatera Utara pada tahun 1885,
Indonesia adalah negara penghasil migas yang memiliki peran
signifikan di dunia internasional. Nilai ekspor energi fosil ini bagi

performa ekonomi Indonesia cukup signifikan. Pada masa 1951-1965,
sektor migas menyumbang 14% hingga 38.5% total ekspor Indonesia
(Woo dan Nasution, 1989: 44). Pada periode 1972-1985, sektor ini
adalah penyumbang pendapatan negara yang cukup besar ; 28% (1970),
58% (1975), 69% (1980), dan 58% (1985). Kemudian, sumbangan
sektor migas mengalami penurunan dari tahun ke tahun: 34% (1990),
10,64% (2002), 8,31% (2005), dan 7,77% (2006). Pemerintah
Indonesia masih memperkirakan adanya cadangan minyak bumi
sebesar 4.37 milyar barel dengan potensi sebesar 4.558 milyar barrel,
sedangkan cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 94 trilyun kaki
kubik dengan potensi sebesar 93.1 trilyun kaki kubik (Steele, 2007: 9091).
Meski Indonesia bukan negara petrodolar sebagaimana negara di Teluk
Persia, industri migas tanah air merupakan sektor strategis bagi rejim
Orde Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998) dan Orde Reformasi
(1998-). Mengapa ? Migas adalah komoditas yang memiliki nilai
ekonomi dan politik tinggi. Dibanding sumber daya alam lainnya,
migas menyediakan suplai ekonomi secara berlimpah (laba dihitung per
baril) bagi kelompok kepentingan di sekitarnya melalui pembentukan
klientelisme politik dan ekonomi. Faktor ini diperparah dengan
pengelolaan migas yang bersifat oligarkis, di mana segelintir

orang/kelompok sajalah yang menguasai sistem produksi dan
redistribusi migas tanah air.
Pada level inilah, praktek korupsi melalui kuptasi dan monopoli
industri migas tanah air menjadi menemukan alasannya. Misalnya, jika
harga minyak bumi 50 USD/baril dan produksi minyak bumi sebesar 1
juta baril/hari, maka akan terkumpul dana korupsi sebesar 500 ribu
USD per hari dengan mengkorup 1% saja per hari. Dapat dibayangkan
berapa juta USD laba yang dikorupsi dalam seminggu, sebulan dan
setahun. Tentu, ini sebuah korupsi maha dahsyat ! Dengan dana

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

141

sebesar itu, rejim apapun dapat menjalankan agenda dan manuver
politik, ekonomi dan militernya.
Orde Lama: Ambisi Revolusi

Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, sumber migas menjadi tumpuan
utama pemulihan ekonomi. Pada tahun 1951, pendapatan perkapita

penduduk hanya sebesar 28,3 gulden, sedangkan pada masa
imperialisme Belanda mencapai 30 gulden pada 1930. Kemudian, pada
tahun 1950-57, defisit anggaran mendongkrak inflasi sebesar 17%,
sedangkan rasio GDP hanya sebesar 8,7%. Hal ini diperparah dengan
kualitas SDM yang rendah dan dominasi modal asing di sektor ekspor
dan impor (Syahrir, 1986: 73; Ginting, 2007: 102).
Parahnya lagi, Soekarno-Hatta dihadapkan pada huru-hara politik
dalam dan luar negeri: bongkar pasang kabinet, separatisme, agresi
militer Belanda dan konfrontasi vis à vis imperialisme dan kolonialisme
asing. Untuk menghadapi persoalan ekonomi dan politik tersebut, Dwi
Tunggal lalu melakukan nasionalisasi semua perusahaan asing yang
diatur dalam UU No.86/1958. Selain sebagai daya tawar ekonomi,
nasionalisasi di tangan Soekarno menjadi alat politik melawan
kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisasi korporasi migas Belanda
De Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM), misalnya, merupakan bagian
dari perjuangan pembebasan Papua Barat pada 1957-1958. Rejim
Soekarno pun akhirnya menangguk kemenangan ganda, yakni
nasionalisasi migas dan tanah Papua (Ginting, 2007: 106-108).
Melalui UU No. 44 tahun 1960, Soekarno lalu mengundang investor
asing untuk berinvestasi di sektor migas mengingat lemahnya kualitas

SDM Indonesia. Meski demikian, UU mengatur profit sharing agreement
(PSA) 60:40 untuk Indonesia dan investor asing. Selain itu, UU ini juga
mengatur kewajiban bagi korporasi migas asing untuk menyerahkan
50% area industrinya kepada Indonesia setelah beroperasi selama lima
dan sepuluh tahun (Kanumoyoso, 2001: 39; Ginting, 2007:108).
Secara ekonomi, proyek nasionalisasi mendongkrak pendapatan ekspor
dari sebesar 23 % pada 1955 menjadi 26 % pada 1960 (Woo dan
Nasution, 1989: 43). Karena itulah, Indonesia bisa mengklaim sebagai
pengekspor migas dan layak bergabung dengan OPEC pada tahun
1962. Sayang, keberhasilan ini tidak lantas menjadikan Indonesia
MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

142

berangsur keluar dari krisis dan mendulang kemakmuran. Alih-alih
memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi rakyat, Soekarno justru
menggunakan rente migas untuk proyek militer dan birokrasi (Wee,
2003: 8).
Pada kurun 1958-1965, Soekarno tercatat menggelontorkan bujet
negara sebesar 31% hingga 40% untuk proyek militer, sedangkan bujet

ekonomi pelayanan sosial selalu dibawah 10% dari total anggaran
belanja negara (Woo dan Nasution, 1989: 40). Merasa proyek dan
ambisi revolusinya didukung oleh militer dan birokrasi, setahun setelah
nasionalisasi perusahaan asing termasuk migas, Soekarno melakukan
pelbagai manuver politik antara lain pembubaran Konstituante melalui
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, penghapusan Demokrasi Liberal (19451959), instalasi Demokrasi Terpimpin, dan penabalan diri sebagai
presiden seumur hidup (Baca Lev, 1966). Selanjutnya, Soekarno
membubarkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi
karena menentang gagasan NASAKOM (nasionalisme, agama, dan
komunisme) pada tahun 1960 (Ward, 1970: 25).
Selain itu, program ekonomi dan kesejahteraan rejim Soekarno
diganggu oleh proyek penumpasan gerakan separatisme yang
membutuhkan dana besar. Dengan mengkuptasi anggaran belanja yang
besar, Soekarno pun berhasil menumpas gerakan separatisme yang
bergolak diberbagai daerah seperti Republik Maluku Selatan (RMS),
Republik Pasundan, Gerakan DI/TII di Jawa, Kalimantan dan
Sulawesi. Soekarno juga dihadapkan pada proyek antiimperialisme yang
mendorongnya berkonfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara
imperialis Inggris, Australia, dan Amerika pada tahun 1962-1966.
Pemborosan belanja negara ini (sebagian besar dari rente migas)

berakibat pada ambruknya pondasi ekonomi. Pada tahun 1960,
pendapatan GDP Indonesia tinggal 5% dan -5% pada 1962 (World
Bank, 1998; Wee, 2003: 18). Kondisi ekonomi yang parah
menciptakan huru-hara politik di mana kehidupan demokrasi berada di
titik nadir. Kondisi ini mengakibatkan Soekarno jatuh pada tahun
1966, menyusul kudeta G30S/PKI. Kekuatan militer, politik dan sosial
yang terbelah tampaknya makin menenggelamkan ambisi revolusioner
rejim Orde Lama yang berapi-api.

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

143

Orde Baru: Klientelisme Politik

Soeharto mewarisi kondisi Indonesia yang porak-poranda dari
Soekarno. Dalam bidang politik, Soeharto dihadapkan pada
pemberontakan PKI 30 September yang memaksanya untuk melakukan
penumpasan hingga akar-akarnya. Selain itu, Soeharto dituntut untuk
menstabilkan kekisruhan politik, akibat sistem multipartai yang berlaku

pada era Demokrasi Terpimpin. Di bidang ekonomi, Indonesia pada
pertengahan tahun 1960-an adalah salah satu negara termiskin di
dunia. Pendapatan perkapita penduduk 60% lebih rendah dari negaranegara di kawasan Asia Timur lainnya, lebih rendah dari negara-negara
Afrika Sub-Sahara dan jauh lebih rendah dari negara-negara Amerika
Latin (Temple, 2001: 5).
Mengetahui migas dapat menyuplai dana melimpah, Soeharto
mempertahankan politik nasionalisasi industri migas—dengan
memberikan konsesi pada Pertamina untuk memonopoli industri
migas tanah air di tingkat hulu (upstream) dan hilir (downstream).
Investor asing tetap diijinkan dalam sektor ini, tetapi tetap berada
dalam kontrol negara. Selanjutnya, dengan dalih dwi fungsi ABRI,
Soeharto menempatkan Jenderal Ibnu Sutowo yang telah menjadi
direktur Pertamina sejak 1963 untuk mengontrol ketat perusahaan
negara ini. Pertamina akhirnya menjadi sumber keuangan terbesar
rejim Orde Baru (Bruce Glassburner, 1976: 1100).
Booming minyak bumi pada tahun 1970-an menyokong proyek
developmentalisme Soeharto. Pada periode ini, sektor migas
menyumbang 80% ekspor tahunan negara dan 70% pendapatan negara
pertahun. Meski sempat mengalami penurunan pada 1985-1986 akibat
anjloknya harga minyak bumi dunia, tingkat pertumbuhan Indonesia

masih cukup kuat dan meningkat kembali pada awal 1990 sehingga
Indonesia dikenal sebagai “Macan Asia” atau “Mukjizat Ekonomi Asia”.
Berkah minyak bumi sebagian digunakan untuk membangun sarana
dan prasarana pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan dan
transportasi udara, air, dan darat (Booth, 1992)
Namun, rente minyak bumi yang melimpah juga modal besar bagi rejim
Orde Baru untuk membangun klientelisme politik yang kokoh, melalui
penguatan Dwi Fungsi ABRI dan Golkar atas nama “stabilitas”
(Muhaimin, 1991; Kuncoro, 2009: 23). Tujuan Soeharto cukup jelas,

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

144

yakni mempertahankan politik developmentalisme dengan menumpas
lawan-lawan politiknya dari kubu komunis dan Islam politik radikal
yang dinilai mengganggu pembangunan (Rosser, 2007: 39). Untuk itu,
pertama-tama, Soeharto melakukan fusi partai-partai warisan Orde
Lama menjadi hanya tiga partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan
(kelompok Islam), Golkar (kelompok kekaryaan, PNS, ABRI) dan
Partai Demokrasi Indonesia (kelompok nasionalis, pengikut Soekarno)
(Feillard dan Madinier, 2006: 34).
Atas nama stabilitas politik, Soeharto kemudian mengeluarkan TAP
MPR/25/1966 tentang larangan PKI dan penyebaran ideologi
Marxisme-Leninisme serta depolitisasi politik Islam (Adam, 2008:15; ).
Kedua proyek politik ini memakan banyak korban jiwa. Politik
“ganyang komunisme” menelan 500 ribu jiwa, sedangkan depolitisasi
politik Islam memicu peristiwa Komando Jihad tahun 70-an, peristiwa
Tanjung Priok pada 1984 dan pengucilan tokoh Masyumi seperti
Mohammad Natsir dan Mohammad Roem.
Dengan kata lain, berkat booming minyak, ideologi developmentalisme
rejim Orde Baru melakukan pembungkaman terhadap kelompok pro
demokrasi, nasionalis, sekuler, dan islam politik melalui represi,
penculikan dan bahkan pembunuhan (kerusuhan Malari 1974 dan Mei
1998). Karena terus-menerus direpresi dan dibungkam hak-haknya,
kelompok kritis ini terus melakukan gerakan bawah tanah hingga
berhasil menumbangkan Soeharto pada Mei 1998.
Orde Reformasi: Liberalisasi Migas

Reformasi 1998 membuka perubahan politik dan demokrasi di
Indonesia. Namun, pada saat yang sama, produksi migas menurun
sebesar 35% dan konsumsi domestik meningkat hingga 1.2 juta
barel/hari. Indonesia lalu menjadi net importer dan keluar dari OPEC
tahun 2008. Dengan harga minyak bumi 100 USD/barel pada 2000-an,
anggaran subsidi BBM pun membengkak. Untuk mengurangi
tanggungan ekonomi yang tinggi, rejim Abdurahman Wahid (19992001) dan Megawati Soekarno Putri (2001-2004) dan SBY-JK (20042009) berkali-kali menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Pada
masa SBY-JK, subsidi BBM dialihrupakan untuk program pendidikan
dan pemberantasan kemiskinan.
MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

145

Guna mendongkrak produksi migas, Presiden Megawati mengeksekusi
UU Migas No. 22 tahun 2001. UU ini mencabut hak monopoli
industri hulu dan hilir yang dipegang Pertamina pada masa Orde Baru.
Selanjutnya, dibentuklah Badan Pelaksana Minyak dan Gas
(BPMIGAS) yang berfungsi sebagai regulator hulu migas di Indonesia
menggantikan fungsi Pertamina. Jika sebelumnya, Pertamina bertindak
sebagai regulator sekaligus pelaksana di tingkat hulu dan hilir, maka
sejak diundangkan UU tersebut, BUMN ini sejajar dengan korporasi
migas nasional dan asing dalam kompetisi industri migas.
Kelompok nasionalis, sosialis dan anti neolib menilai UU Migas
tersebut tidak lepas dari pengaruh dan tekanan negara-negara liberalkapitalis, terutama Amerika Serikat (baca lebih lengkap dalam Syeirazi,
2009). Pihak pemerintah dituduh sengaja menjual aset sumber daya
migas dan sengaja membiarkan „perampokan‟ sumberdaya alam di
rumahnya sendiri. Oleh karena itu, kelompok ini menuntut
pemasgulan UU Migas tahun 2001 dan menuntut nasionalisasi
perusahaan migas asing ala Bolivia, yakni peninjauan dan penghentian
kontrak migas yang tengah berjalan (Siaran Pers LMND, 2008).
UU Migas ini juga dinilai memicu inefisiensi akibat birokrasi yang
ruwet dan tidak sesuai dengan logika umum bisnis migas. Dampak dari
inefisiensi ini adalah kerugian negara sebesar ratusan trilyun rupiah
yang harus ditanggung karena anjloknya iklim investasi dan produksi
migas di Indonesia. Pertamina juga diprediksi bakal kalah bersaing
dengan korporasi migas asing seperti seperti Total (Perancis), Chevron
(USA), Exxon Mobil (USA), ConocoPhilips (USA), British Petroleum
(UK), Petronas (Malaysia), PetroChina dan China National Offshore Oil
Corporation
(CNOOC).
Sebagai
solusinya,
pemerintah
direkomendasikan segera mengganti/merubah UU Migas 22/2001
secara radikal (Kurtubi, 2010).
Sebaliknya, pemerintah berargumen bahwa liberalisasi sektor migas
dapat mengintensifkan kompetisi dan memudahkan pemberantasan
korupsi dan rejim mafioso di dalam industri migas tanah air. Dalam
konteks inilah, BPMigas sesungguhnya diharapkan dapat
mengintensifkan kompetisi industri migas dan membantu memangkas
berbagai ketidakberesan/asimetri dalam industri migas akibat kuptasi
politik, korupsi, dan rejim mafioso. Badan ini juga diharapkan dapat

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

146

mengatur iklim investasi yang sehat, bersih dan transparan dan
memastikan keuntungan negara dari sektor migas.
Namun, tampaknya, kebijakan migas pasca Reformasi belum berhasil
meningkatkan produksi dan pendapatan migas. Selain dituduh berbau
neoliberalisme, industri migas masih sarat klientelisme politik dan
ekonomi. Elit-elit politik dan ekonomi pusat ataupun daerah (penghasil
migas) tetap berusaha memeras rente migas untuk kepentingan jangka
pendek untuk memperkuat status politik dan ekonomi mereka,
terutama berkat booming minyak pada tahun 2008 (kurang 10
USD/baril pada Februari 1999 menjadi lebih dari 100 USD/baril pada
Maret 2008).
Sebagai badan regulator, BPMigas tentu mempunyai tugas berat. Selain
mencapai target produksi yang masih terseok-seok akibat inkonsistensi
perundangan-undangan seperti asas cabotage (kewajiban penggunaan
berbendera Republik Indonesia bagi kapal-kapal laut yang melintas di
perairan Indonesia) yang menganggu lifting migas, badan ini juga
dituntut untuk menggalakkan transparansi, pemberantasan korupsi dan
suap, serta penegakkan hukum (law enforcement) dan tentu saja
menyederhanakan jalur birokrasi. Di sinilah peran pemerintah, NGOMigas dan publik untuk terus mengawasi dan menjamin kelangsungan
industri migas tanah air sesuai dengan UU 1945 Pasal 33 yang
menegaskan proses produksi sumberdaya alam, termasuk migas,
dilakukan sesuai asas kebersamaan dan untuk kepentingan umum.
Demokratisasi Migas

Kekayaan energi fosil di Indonesia pada rejim Orde Lama dan Orde
Baru tampaknya tidak mendorong proses demokratisasi dan menjadi
sumber kemakmuran rakyat. Tetapi sebaliknya, ia mengundang
“kutukan sumber daya alam“, yang mana kedua rejim gagal
mengalihrupakan rente minyak bumi bagi redistribusi pembangunan
politik, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Alih-alih membangun,
negara malah sibuk mengeruk sumber energi tersebut demi ambisi
revolusi dan klientelisme politik dan ekonomi.
Kutukan makin mengganas manakala negara berlomba memanipulasi
informasi, membangun klientelisme politik dan ekonomi, sehingga
negara kehilangan daya tawarnya (bargaining position) untuk mengolah
MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

147

sumber daya minyak bumi (Soros, 2007:xiii-xviii). Dari ketiga kenajisan
itu, klientelisme politik dan ekonomi yang menjangkit di tubuh rejim
adalah faktor penjelas mengapa kekayaan migas Indonesia tidak
mendukung konsolidasi dan transformasi menuju demokrasi, dan
malah jatuh pada tangan besi otoritarianisme Orde Lama dan Orde
Baru.
Era reformasi menjadi harapan baru bagi industri migas yang dapat
menyejahterakan rakyat. Namun, upaya reformasi migas melalui UU
No. 22 tahun 2001 justru mengarah pada liberalisasi migas yang
mempermudah „perampokan‟ emas hitam akibat industri migas
domestik dan pengambil kebijakan tidak mempunyai kapasitas dan
daya tawar yang memadai. Selain itu, kendala birokrasi dan yurisdiksi
yang tidak sinergis menghambat iklim investasi pada industri migas di
tingkat hulu dan hilir. Untuk itulah, demokratisasi industri migas yang
menjamin proses check and balance yang dilakukan institusi-institusi
publik (parpol, LSM, pers) atas sektor migas sangat dibutuhkan bagi
kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Terakhir, kekayaan migas yang melimpah seharusnya dapat mendukung
peningkatan kualitas hidup masyarakat dan pembangunan institusiinstitusi sosial dan politik yang kokoh dan demokratis. Kekayaan
minyak juga dapat menjadi berkah bagi tumbuhnya kelas menengah
yang kuat dan pendidikan murah, sebab dua sarat itulah yang
memudahkan tumbuhnya kebebasan sipil dan pemerintahan yang baik
(Lipset, 1959: 69-105: Barro, 159). Dengan demikian, gambaran Koes
Plus tentang “tanah surga Indonesia” yang berkemakmuran dan
demokratis tidak sebatas angan-angan kosong tanpa fakta. Semoga.



Daftar Pustaka

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

148

Asvi Warman, The History of Violence and the State in Indonesia, Crise
Working Paper No. 54, Juni 2008.
Barro, Robert J, “Determinant of Democracy”, Journal of Political
Economy 107 (S6)
Booth, Anne (ed.), The Oil Boom and After: Indonesian Economic Policy
and Performance in The Era of Suharto, New York: Oxford
University, 1992.
Désiré, Omgba Luc, « Stabilité du pouvoir politique et rente pétrolière
dans les Etats africains », Juillet 2007
Feillard, Andrée et Rémy Madinier, La fin de l’innocence ? L’islam
indonésien face à la tentation radicale de 1967 à nos jours, Paris : Irasec
(Les indes savantes), 2006.
Ginting, Budiman, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing di
Indonesia: Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum atas
Kegiatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2
Agustus 2007
Glassburner, Bruce, “In the Wake of General Ibnu: Crisis in the
Indonesian Oil Industry”, Asian Survey, Vol. 16, No. 12, Decembre
1976
Kanumoyoso, Bondan, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001
Kuncoro, Mudrajat (ed.), Transformasi Pertamina: Dilema antara Orientasi
Bisnis dan Pelayanan Publik, Yogyakarta: Galang Press, 2009
Kurtubi, “Minyak dan Sistem kelola”, Kompas, 22/12/2010
Lev, Daniel S, Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 19571959, Cornel University, 1966
Lipset, Seimour Martin, “Some Social Requisites of Democracy :
Economic Developpement and Political Legitimacy”, American
Political Science Review 53 (March 1959)
Mahdavi, Hossein, “The Patterns and Problems of Economic
Development in Rentier States : The case of Iran”, dans M.A.
COOK (ed.), Studies in the Economic History of the Middle East,

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

149

Londres, Oxford University Press, 1970, p. 428; Michael A. Ross,
op. cit., p.329-332.
Martinez, Luiz , Violence de la rente pétrolière, Science Po Paris, 2009.
Muhaimin, Yahya, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia
1950-1980, Jakarta : LP3ES, 1991.
Ross, L Michael, “Does Oil Hinder Democracy ?”, World Politics 53
(April 2001), p. 325-361.
----------, “The Political Economy of the Resource Curse,” World Politics 51
( January 1999)
Rosser, Andrew, “Escaping the Resource Curse: The Case of
Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 37, No. 1, February
2007, p. 39.
Syahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, sebuah Tinjauan Prospektif?
Jakarta: LP3ES.1986
Schacs, Jeffrey D and Susan M Collines (ed.), Developping Country Debt
and Economic Performance: Country Studies-- Indonesia, Korea,
Philippines, Turkey, Chicago and London: The University of
Chicago Press, 1989.
Soros, George, “Kata Pengantar”, dalam Macartan Humphreys, Jeffery
D. Scachs et Joseph Stiglitz, Escaping the Ressource Curse, New
York : Columbia University Press, 2007
Steele, Andrew, “Refining the Future: Oil and Gas in Indonesia”,
Global Asia, Vol 3. No. 2
Syeirazi, Muhammad Kholid, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi
Industri Migas di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2009.
Stiglitz, Joseph, “Peranan Negara”, Macartan Humphreys, Jeffery D.
Scachs et Joseph Stiglitz, Escaping the Ressource Curse, New York :
Columbia University Press, 2007
Temple, Jonathan, Growing into Trouble:Indonesia after 1966, le 15 Août
2001
Wee, The Kian, “The Indonesian Economy Since IndependenceRecollections of Policymakers, Senior Officials and Businessmen:
An Introduction”, en Recollections: The Indonesian economy, 1950s –
MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

150

1990s, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore et The
Indonesia Project, The Australian National University, Canberra,
2003
Woo, Wing Thye dan Anwar Nasution, “Indonesian Economic Policies
and Their Relation to External Debt Management”, dalam Jeffrey
D. Sachs dan Susan M. Collins (ed.), Developing Countrv Debt and
Economic Performance : Country Studies- Indonesia, Korea, Philippines,
Turkey, Vol. 3, Chicago-London : The University of Chicago Press,
1989

MAARIF Vol. 6, No. 1 — April 2011

151