Belenggu Positivisme Hukum dan docx

Belenggu Positivisme Hukum
Oleh : Totoh Wildan Tohari*
Keadilan adalah tujuan tertinggi dari lahirnya hukum. Para empu hukum sejak dari
zaman Yunani sampai era modern, menetapkan bahwa keadilan adalah tujuan dari
dibentuknya hukum. Kemenangan Setya Novanto adalah paradoks dari tujuan
hukum tadi. Kasus dari salah satu pembesar Negara kita tadi, memberikan
gambaran nyata tentang belenggu dari positivisme hukum yang selama ini
diterapkan di Indonesia.
Positivisme adalah salah satu aliran dalam ilmu hukum. Kajian yang lahir sejak era
Epicurus, salah satu filusuf Yunani sampai akhirnya memenangkan pertarungan
pada era modern ini dengan aliran lain seperti aliran hukum alam, historis, realis
dan aliran hukum lainnya.
Positivisme hukum memiliki 5 hal dasar yang sama di setiap Negara yang
menerapkannya, menurut H.L.A Hart, yaitu : Pertama, Hukum adalah perintah.
Kedua, tidak ada keutuhan untuk menghungkan hukum dengan moral, hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positif, harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan.
Ketiga, analisa tentang studi hukum yang penting harus dibedakan dari studi
sejarah, sosiologis, dan penilaian dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial dan
fungsi sosial. Keempat, system hukum adalah system tertutup yang logis, yang
merupakan putusan-putusan yang tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari

aturan-aturan yang sudah ada sebelumnya. Kelima, penghukuman secara moral
tidak lagi dapat ditegakan, melainkan harus dengan jalan argument yang rasional
ataupun pembuktian dengan alat bukti.
Lima pondasi dari positivism hukum diatas kemudian menjadi dasar bagi penerapan
hukum di berbagai Negara pada era “Modern” ini. Indonesia merupakan Negara
yang selama ini memegang teguh pandangan positivism ini. Dampak penjajahan
oleh Belanda pada akhirnya memberikan warisan berupa penerapan positivisme
hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada tataran konsep dan pemikiran sebagian besar para ahli, penerapan positivism
dianggap terbaik dan merupakan hukum terbaik untuk masyarakat Indonesia. Tapi
pada tataran praktek masyarakat Indonesia sendiri, positivism hukum
meninggalkan luka mendalam dan membuat masyarakat bertanya tentang keadilan
yang seharusnya hadir ?
Positivisme menjadi dasar lahirnya ketidakadilan yang selama ini didambakan
masyarakat. Padahal hukum positif seharusnya melahirkan keadilan bagi
masyarakat. Bebasnya Setia Novanto dalam jeratan hukum kasus E-KTP adalah
cerminan praktek postivisme hukum di Indonesia. “Papa “ sakti yang selama ini
menjadi “musuh” public sejak mencuatnya isu “Papa Minta Saham” , lagi-lagi lolos
dari jeratan hukum dan Postivisme adalah tersangka utama atas lolosnya SN.


Kasus E-KTP merupakan kasus yang bersentuhan langsung dengan kepentingan
public. Langkanya blanko, lamanya pembuatan kartu hingga bertahun-tahun,
skandal dengan vendor asal luar negeri adalah salah satu contoh dari
bermasalahnya proyek ini. Penetapan tersangka pada SN adalah harapan baru
masyarakat untuk mengungkap borok dari proyek ini.
Lolosnya SN menjadi salah satu dosa terbesar positivism hukum yang selama ini
kita anut. Hakim Chevi memakai semua perangkat hukum “formal” dan
mengesampingkan kepentingan public serta bukti-bukti “materil” dari kasus ini.
Atas nama kepastian hukum, SN lolos dengan alasan bahwa waktu penetapan
tersangka dilakukan pada saat penyelidikan dan barang bukti yang menjerat SN
adalah bukti lain dari tersangka lain dari kasus E-KTP. Kedua alasan tadi menjadi
argumentasi hakim Chevi dalam membatalkan penetapan tersangka E-KTP pada SN.
Positivisme hukum memiliki satu dosa besar dalam kasus ini, yaitu memberikan
jalan orang yang tidak bermoral untuk lolos. Moralitas bagi positivism bukan bagian
bagian dari hukum, dan moralitas harus dipisahkan dengan hukum.
Hukuman moral sudah datang kepada SN sejak isu “Papa Minta Saham”. Kasus yang
membuat SN jatuh dari jabatan Ketua DPR ini, pada akhirnya mental juga dengan
posivisme itu sendiri. Moralitas dikesampingak ketika MK mengabulkan gugatan SN
berkaitan dengan pemakaian alat dalam kasus pidana. MK berpendapat, barang
bukti dalam pidana sah jika diambil oleh pihak yang berwenang (Kepolisian,

Kejaksaan atau KPK), di luar itu dinyatakan tidak sah.
Atas nama positivisme hukum, SN dengan tanpa melihat moralitas yang ada
dimasyarakat, diangkat kembali sebagai Ketua DPR, bahkan menjadi Ketua Umum
Partai Golkar. Publik adalah penentu untuk membedakan orang yang bermoral dan
yang tidak bermoral.
Percakapan “jijik” dalam sidang Etik kasus “Papa Minta Saham” sudah membuat
publik memberikan cap SN sebagai orang yang tidak bermoral. Buruknya pelayanan
pembuatan E-KTP menambah pandangan masyarakat kepad SN sebagai sosok yang
amoral. Lolosnya SN untuk kedua kalinya dalam 3 tahun terakhir, adalah cerminan
dari positivism hukum yang ada di Indonesia.
Positivisme memberikan jalan bagi manusia amoral untuk berkuasa dan membuat
kebijakan kepada masyarakat yang selama ini menuntut keadilan. Penerapan
positivism hukum akan terus memberikan jalan bagi datangnya ketidakadilan bagi
masyarakat. Mengapa demikian ?
Weber, salah satu perintis yang melihat hubungan munculnya hukum modern
dalam hal ini penerapan positivism dengan kapitalisme. Weber memandang
kapitalisme adalah sebab lahirnya perubahan hukum tradisional menuju hukum
modern yang kita tahu dimenangkan oleh positivime hukum. Kapitalisme menuntut
suatu tatanan normative denga tingkat yang dapat diprhitungkan secara akurat.
Begitupun David M. Trubek, memandang bahwa legisme memberikan dukungan

kepada kapitalisme dengan memberi suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan.

Teori 2 ahli yang memandang positivism hukum sebagai alat kapitalisme
memberikan satu argumentasi kuat mengapa keadilan pada akhirnya tidak akan
tercapai dengan penerapan hukum positive. Karena pada hakekatnya keadilan tidak
tercapai dalam system yang dibangun oleh para kapitalis. Positivisme hukum pada
akhirnya membelenggu masyarakat Indonesia dan menjauhkan cita-cita keadilan
yang selama ini menjadi tujuan Indonesia bernegara dan berbangsa.

*Penulis adalah mahasiswa semester 7 di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati Bandung