Pers dan Hambatan Presiden Terpilih

Pers dan Hambatan Presiden Terpilih*
Oleh : Dedek Hendry

Pasangan Prabowo – Hatta dan Jokowi – JK sudah memaparkan visi, misi dan
program kerja sebagai panduan untuk mewujudkan Indonesia sebagaimana termaktub
dalam Pancasila dan UUD 1945. Namun, tidak satu pasangan pun mengagendakan
pembenahan di bidang pers. Hal ini patut disesalkan karena berpotensi menjadi
hambatan serius bagi presiden dan wakil presiden terpilih untuk melakukan perubahan
seperti yang telah dijanjikan.
Sejarah telah mencatat bahwa pers memiliki peran sangat vital dalam
mendorong perubahan di Indonesia. Anderson (2001) mengungkapkan, pers (surat
kabar) ikut membidani kelahiran bangsa dan negara Indonesia. Dengan kekuatan yang
dimiliki, pers berhasil membangun ikatan solidaritas antar penduduk yang mendiami
wilayah yang terpencar secara geografis dengan keragaman budaya, suku, agama dan
bahasa untuk melepaskan belenggu penjajahan dengan memproklamasikan
kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. “Yang menciptakan nasionalisme adalah
bahasa-cetak,” kata Anderson, “bukannya bahasa ibu/daerah/tertentu per se.” Sehingga
dapat dimaklumi bila, seperti yang dituliskan Sen dalam Price dkk (2002), Presiden
Soekarno menjuluki pers sebagai alat revolusi.
Pers kembali memainkan perannya sebagai agen perubahan dengan membidani
gerakan reformasi. Secara terpisah, Sen dalam Price dkk (2002) dan Heryanto dan

Mendal (2005) mengungkapkan, gerakan melepaskan belenggu rezim otoriter Soeharto
tersebut bermula dari perlawanan kalangan pers terhadap pembredelan majalah
Tempo, Editor dan Detik yang dilakukan rezim otoriter Soeharto untuk menekan
kebebasan berpendapat, pada Juni 1994. “Sejak saat itu,” tulis Sen, “media tidak hanya
melaporkan atau merefleksikan oposisi terhadap Orde Baru, tetapi dalam banyak hal
mendorong penolakan”. Mendapat dukungan dari publik, gerakan penolakan tersebut
pun meluas hingga berhasil mengakhiri rezim yang telah dibangun Soeharto selama
tiga dekade, pada Mei 1998.
Untuk memberikan perlindungan dan jaminan kebebasan kepada pers sebagai
pilar keempat demokrasi, pemerintah mengesahkan UU No 40 tahun 1999 tentang
Pers. Namun sayangnya, kebebasan tersebut malah dimanfaatkan secara maksimal
oleh sejumlah pihak yang bermotif memperoleh keuntungan. Celakanya pula, ekspansi
agresif yang dilakukan untuk memperbesar perolehan keuntungan, baik berbentuk
monomedia ataupun cross-media, telah mengakibatkan terkonsentrasinya kepemilikan
media kepada segelintir orang. Tentunya, kondisi ini perlu dicermati karena sangat
membahayakan demokrasi. Dengan mudah dan leluasa pemilik media dapat

membatasi kebebasan jurnalis dan merampas ruang publik untuk melakukan hegemoni
wacana demi kepentingan mereka. Oleh karena itu, presiden dan wakil presiden terpilih
wajib untuk membenahi kondisi tersebut dengan bijak.

Pembenahan pers juga penting dilakukan presiden dan wakil presiden terpilih
untuk menjamin penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan masyarakat dan
manusia yang akan dilakukan dapat berjalan dengan tepat dan baik. Hasil penelitian
Besley dan Burgess di 16 wilayah India membuktikan bahwa pers yang bebas dan
independen menjadi faktor kunci untuk menjamin perlidungan bagi masyarakat yang
rentan (Coyne dan Leeson, 2009). Penelitian Guseva dkk (2008) terhadap kondisi
ratusan negara juga membuktikan korelasi yang sangat kuat antara kebebasan pers
dengan beragam dimensi pembangunan (kesehatan dan pendidikan), kemiskinan dan
pemerintahan. “Pers yang bebas,” simpul Guseva dkk, “dapat berkontribusi dalam
mencapai Millenium Development Goals dan, yang paling penting, dapat menjamin
bahwa berbagai dimensi pembangunan masyarakat dan manusia bisa dipenuhi”. Lalu,
hasil penelitian Tandoc dan Bruno (2012) yang juga dilakukan terhadap kondisi ratusan
negara membuktikan bahwa kebebasan pers merupakan salah satu indikator kepuasan
hidup dan kebahagiaan masyarakat.
Pembenahan yang harus dilakukan bukan hanya terkait kebebasan media untuk
mempublikasikan berita yang ingin dipublikasikan media, tetapi juga kebebasan
masyarakat untuk memperoleh berita yang dibutuhkan, dan kebebasan warga atau
komunitas untuk membuat media berita sendiri. Pembenahan tersebut dapat berupa
merevisi aturan-aturan yang berpotensi membatasi kebebasan pers, menguatkan
perlindungan dan jaminan bagi jurnalis agar bebas dari intervensi pemilik media,

melakukan penataan kepemilikan media agar tidak dikuasai segelintir orang, dan
mendorong tumbuhnya media lokal dan media warga (komunitas). Khusus mengenai
media warga atau komunitas, upaya mendorong pertumbuhannya diperlukan sebagai
solusi atas ketidakberpihakan atau keterbatasan media mainstream memberi ruang
bagi warga untuk bersuara, dan untuk mendorong partisipasi warga dalam pembuatan
dan pengawasan kebijakan publik dan program pembangunan yang bersentuhan
langsung. Dengan kata lain, sebagai upaya memberikan keadilan dalam pemenuhan
hak asasi warga negara dan perwujudkan kedaulatan rakyat. (**)
*Tulisan ini dipublikasikan pada 21 Juni 2014 di
https://aktaku.wordpress.com/2014/06/21/pers-dan-hambatan-presiden-terpilih/