Perspektif Negara Singapura Malaysia dan (2)

Perspektif Negara Singapura, Malaysia dan Indonesia serta Organisasi
Internasional tentang Hukum Teknologi Informasi (Cyberlaw)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Ujian Tengah Semester Mata
Kuliah Hukum E-Commerce
Dosen Pengampu : Bp. Munawar Kholil, SH., M.Hum

Oleh :
SARAH MEILITA INDRANI
NIM : E0013375

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2016

DAFTAR ISI
COVER
DAFTAR ISI
BAB 1 : Pendahuluan
1.

2.
3.
4.

Latar Belakang.............................................................................................................1
Rumusan Masalah........................................................................................................4
Tujuan Penulisan..........................................................................................................4
Manfaat Penulisan........................................................................................................4

BAB II : Tinjauan Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.

Negara Singapura.........................................................................................................5
Negara Malaysia...........................................................................................................6
Negara Indonesia..........................................................................................................7
Organisasi Internasional..............................................................................................8

Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw)....................................................................9

BAB III : Pembahasan
1. Pengaturan Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw) di negara Singapura,
Malaysia dan Indonesia.............................................................................................10
2. Pengaturan Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw) pada Organisasi
Internasional...............................................................................................................20
BAB IV : Penutup
1. Kesimpulan.................................................................................................................22
2. Saran............................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai penemuan di bidang teknologi, informasi dan komunikasi saat ini memungkinkan
orang menggunakan internet melalui komputer pribadi atau media elektronik lainnya. Kemajuankemajuan yang dicapai manusia tersebut telah banyak memberikan kemudahan-kemudahan dan
manfaat bagi manusia dalam upayanya untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Teknologi
informasi saat ini selain digunakan oleh manusia secara individual, juga digunakan oleh korporasi,

pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya untuk berbagai aktivitas baik dalam bidang
pendidikan, kesehatan, bisnis, pemerintahan dan lain sebagainya.
Teknologi informasi saat ini sudah bersifat global, terutama dengan digunakannya internet.
Teknologi informasi dan media elektronika telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban
manusia secara global. Perkembangan dan kemajuan dari teknologi informasi yang melanda dunia
saat ini dapat dirasakan di berbagai negara, termasuk negara kita Indonesia. Perpaduan antara media
elektronika dengan teknologi informasi telah memacu percepatan globalisasi yang mana dunia
menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara signifikan
berlangsung dengan cepat. Globalisasi yang timbul sudah menyatu dengan berbagai aspek kehidupan
manusia seperti di bidang sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, ekonomi dan nilainilai budaya lainnya. Perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang sedemikian pesatnya
telah menyebabkan perubahan pada aktivitas kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
kemudian berdampak pada lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru yang berkaitan dengan
teknologi informasi. Dalam bidang sosial dan ekonomi perkembangannya begitu pesat dengan
didorong oleh adanya perkembangan teknologi informasi ini. Bahkan dapat kita lihat bahwa
hubungan-hubungan sosial dan ekonomi di masyarakat, terutama masyarakat internasional, boleh
dikatakan dewasa ini memasuki suatu masyarakat yang berorientasi pada informasi.
Dengan adanya perkembangan teknologi informasi ini yang juga menghadirkan internet
ditengah-tengah masyarakat, membawa dampak yang begitu signifikan pada perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi saat ini. Dimana dengan adanya perkembangan teknologi ini mampu
membawa manusia untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupannya, namun selain itu,

perkembangan teknologi ini juga dibarengi dengan munculnya permasalahan-permasalahan baru yang
besar sebagai akibat dari adanya penyalahgunaan teknologi informasi yang mngancam dan
membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi umat manusia di dunia. Dampak negatif dari
adanya perkembangan teknologi ini patut untuk didiskusikan dan segera dicarikan solusi terbaik untuk
mengantisipasinya. Permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat sekarang ini tidak hanya
terjadi dalam dunia nyata namun juga memungkinkan terjadi di dunia maya yang sering disebut
dengan cybercrime. Cybercrime merupakan akibat dari penyalahgunaan teknologi, dapat berupa

pemalsuan data, penipuan online, hingga penyebarluasan informasi asusila yang biasa disebut dengan
cyber-porn.
Banyaknya permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi sebagai akibat dari perkembangan
teknologi informasi ini, menjadi salah satu hal yang menjadi pembahasan bagi pemerintah setiap
negara di dunia. Perlu dibentuk sebuah peraturan hukum yang nantinya dapat mengakomodir setiap
persoalan yang timbul akibat dari pekermbangan teknologi ini. Cybercrime tentu menuntut adanya
cyberlaw yang prinsip-prinsip utamanya adalah sebagai berikut 1 :
1. Memberi rasa aman terhadap setiap warga masyarakat, baik masyarakat dalam dunia
nyata maupun dalam dunia maya.
2. Cyberlaw harus dapat memberikan rasa keadilan untuk beraktivitas dalam masyarakat
dunia maya. Hal ini untuk melindungi kepentingan sesama anggota masyarakat dunia
maya.

3. Cyberlaw diharapkan dapat melindungi hak-hak intelektual maupun hak-hak materiil
lainnya dari setiap masyarakat dunia maya.
4. Cyberlaw diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku cybercrime
dengan sanksi-sanksi hukuman yang dibenarkan dalam masyarakat dunia maya, maupun
sanksi-sanksi hukum positif yaitu sanksi yang diberikan sesuai dengan kehidupan nyata,
terhadap pelaku kriminal dalam masyarakat dunia maya tersebut.
Hukum dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjadi senjata dalam menghadapi kejahatan yang
sedang terjadi dan berkembang dalam masyarakat. Kehadiran hukum dalam kehidupan masyarakat
sangatlah penting, karena dimensi fungsinya bukan hanya mencegah tetapi juga menindak perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat seperti tindak asusila, perilaku yang
merugikan sesama, dan yang membahayakan masa depan peradaban manusia. Kejahatan dunia maya
(cybercrime) merupakan salah satu bentuk dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat
perhatian yang sangat luas dari dunia internasional. Munculnya cybercrime ini merupakan suatu
fenomena yang memerlukan penanggulangan secara cepat dan akurat.
Penanganan dengan hukum pidana merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk
mengatasi jenis kejahatan baru ini terutama dengan kebijakan kriminalisasi yang tepat dengan
memperhatikan segala aspek mulai dari pertanggung-jawaban pidana, aspek yurisdiksi, pemidanaan
sampai dengan perbaikan terhadap ketentuan-ketentuan yang sudah ada, dan penyusunan undangundang khusus mengenai kejahatan dunia maya atau cybercrime. Namun cybercrime ini apabila
diterapkan dengan berdasarkan pada undang-undang tindak pidana konvensional tidak menjadi suatu
hal yang dapat dibenarkan, melainkan perlu diatur undang-undang yang khusus untuk menangani
1 Tim PPHN, Perancangan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi

dan Komunikasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, Jakarta, 2010

cybercrime ini sebagaimana telah disebutkan diatas yaitu undang-undang tersebut disebut dengan
cyberlaw. Peristilahan yang dipergunakan untuk hukum yang mengatur kegiatan dalam dunia maya
atau biasa disebut dengan cyberspace selain istilah cyberlaw antara lain adalah2 :
1. The law of the internet
2. The law of information and technology
3. Information technology law
4. The telecommunication law
5. Lex informatica
Berdasarkan permasalahan serta latar belakang yang telah penulis paparkan diatas, maka
penulis tertarik untuk lebih mendalami serta mempelajari tentang hukum dunia maya atau cyberlaw
yang kemudian penulis tuangkan dalam bentuk makalah dengan judul : “Perspektif Negara
Singapura, Malaysia dan Indonesia serta Organisasi Internasional tentang Hukum Teknologi
Informasi (Cyberlaw)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang yang telah penulis jabarkan diatas, dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya perkembangan teknologi informasi juga menimbulkan pada
timbulnya kejahatan-kejahatan baru yang terjadi di dunia maya atau biasa disebut dengan cybercrime,

sehingga perlu adanya pengaturan hukum terkait dengan teknologi informasi yang dipergunakan
untuk menanggulangi kejahatan dunia maya. Sehingga untuk lebih memberikan pemahaman serta
pengetahuan tersebut, maka dalam penulisan makalah ini akan membahas mengenai pengaturan
hukum teknologi informasi (cyberlaw) dengan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan hukum teknologi informasi di negara Singapura, Malaysia dan
Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan hukum teknologi informasi di Organisasi Internasional ?

C. Tujuan Penulisan

2 E. Saefullah Wiradipradja, Perspektif Hukum Internasional tentang ”cyberlaw” dalam
buku Cyberlaw : Suatu Pengantar, ELISP II, Jakarta, 2002

1. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum
mengenai teknologi informasi di Singapura dan Indonesia.
2. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Organisasi Internasional
mengatur mengenai hukum teknologi informasi.

D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat

untuk lebih memperhatikan keadaan lingkungan di sekitarnya khususnya terkait dengan adanya kasus
kejahatan dunia maya (cybercrime) serta pengaturan-pengaturan yang ada terkait dengan teknologi
informasi. Selain itu diharapkan pula bahwa penulisan makalah ini dapat bermanfaat pula bagi
lingkungan akademis yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi penulisan hukum khususnya
terkait dengan hukum teknologi informasi dan juga bermanfaat dalam mnanggulangi kejahatankejahatan dunia maya (cybercrime) yang semakin meluas di dalam masyarakat sekarang ini secara
global.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Negara Singapura
Singapura adalah negara yang terletak di Asia Tenggara dan juga sebagai anggota
ASEAN, dengan luas wilayah kurang lebih 618 km persegi, beribukota di Singapura, bentuk
pemerintahan Republik, hari kemerdekaan 9 Agustus, kepala negara Presiden, kepala
pemerintahan Perdana Menteri, lagu kebangsaan “Majulah Singapura“, bahasa yang digunakan:
Melayu, Cina, Inggris dan Tamil, Agama: Islam, Konghucu, Budha, Hindu dan Kristen, mata
uang Dolar Singapura (S$), Bandar udara internasional “Changi”, perusahaan penerbangan
“Singapura Airlines (SIA).
Singapura merupakan negara kepulauan, menjadi koloni Inggris hingga tahun 1959. Pada
tahun 1963 dibentuk negara Malaysia yang meliputi Persekutuan Tanah Melayu (di semenanjung
Malaysia), Singapura, Serawak dan Sabah. Tetapi pada tanggal 9 Agustus 1965 Singapura

memisahkan diri dari Malaysia dan membentuk negara yang berdiri sendiri. Bergabung menjadi
anggota negara persemakmuran (Common wealth) Inggris sejak 22 Desember 1965.
Singapura terletak antara Indonesia dan Malaysia. Secara astronomis terletak pada 1
derajat 15 Lintang Utara dan 104 Bujur Timur. Letaknya sangat strategis menghubungkan
pelabuhan-pelabuhan di pantai Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, dan lalu lintas udara
Eropa – Asia di bagian utara dan Australia di bagian selatan. Memiliki iklim khatulistiwa yang
hangat dan lembap, musim penghujan dan kemarau tidak banyak bedanya.
Singapura merupakan jajahan Inggris. Dengan itu dapat diketahui bahwa Singapura
mempunyai system hukum, yaitu Common Law System atau Anglo Saxon. Dalam system hukum
common law, maka Doktrin Preseden Yudisial (Judicial Precedent) menjadi inti dalam hukum
Singapura. Namun meskipun demikian detil penerapan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan
kebutuhan dan kebijakan negara. Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada
yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura. Jadi lebih
menitikberatkan situasi dan kondisi yang ada dalam negara Singapura. Konstitusi Singapura
berdasarkan sistem Westminster karana Singapura merupakan bekas jajahan Inggris. Posisi

Presiden adalah simbolis dan kekuasaan pemerintahan berada di tangan perdana menteri yang
merupakan ketua partai politik yang memiliki kedudukan mayoritas di parlemen.
2. Pengertian Negara Malaysia
Jika di Indonesia ada Pancasila yang memuat sila dasar, ternyata Malaysia juga memiliki

dasar yang disebut “Rukun Negara”. Rukun Negara Malaysia juga memuat 5 sila, yaitu sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Kepercayaan Kepada Tuhan
Kesetiaan kepada raja dan negara
Keluhuran perlembagaan
Kedaulatan Undang-undang
Kesopanan dan kesusilaan
Malaysia merupakan bekas jajahan Inggris yang memproklamasikan kemerdekaannya

pada tanggal 31 Agustus 1957. Malaysia terdiri atas 9 kesultanan (dperintah oleh Sultan) dan 4
negara bagian (diperintah oleh Yang Dipertuan Negeri atau Gubernur). Kesultanan di Malaysia
adalah : Johor, Kedah, Selangor, Kelantan, Negeri Sembilan, Pahang, Perak, Perlis dan
Trengganu. Negara bagian di Malaysia adalah : Malaka, Pulau Penang, Sabah dan Serawak.
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum kebiasaan

Inggris ( Common Law Sistem ). Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem hukum Islam (yang
dilaksanakan oleh pengadilan atau Mahkamah Syari’ah) dan hukum adat berbagai kelompok
penduduk asli. Malaysia merupakan salah satu dari sekian banyak Coomonwealth Country atau
negara-negara persemakmuran Inggris. Semua negara2 persemakmuran mengadopsi sistem
hukum Inggris yang biasa disebut dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau juga Common Law.
Prinsip aturan hukum yang dipraktekkan di Malaysia secara umum mengikuti hukum
administratif Inggris sebagaimana dikembangkan dalam pengadilan Malaysia. Keputusan yang
dibuat administrator dan pengadilan harus berada dalam lingkup kebijaksanaan atau yurisdiksi
yang diberikan. Mereka harus mengikuti prinsip ‘keadilan alami’ (natural justice). Keadilan alami
yaitu keadilan dengan berdasarkan pada nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat.
Salah satu pengecualian dalam aturan hukum di Malaysia adalah kekebalan konstitusional
yang diberikan pada penguasa sehingga tidak dapat tersentuh proses pidana ataupun perdata.
Kekebalan ini dihapuskan pada tahun 1993 dengan syarat bahwa proses pengadilan terhadap raja
atau penguasa harus diselenggarakan melalui pengadilan khusus dan hanya diperbolehkan atas
persetujuan jaksa agung. Proses pengadilan khusus atau Forum Prevelegiatum sebenarnya juga
berlaku bagi penguasa negara manapun di dunia seperti halnya Indonesia

3. Pengertian Negara Indonesia
Pancasila adalah filosofi dasar negara Indonesia. Pancasila terdiri atas lima dasar yang
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan, adalah :
1.
2.
3.
4.
5.

Ketuhanan yang Maha Esa
Kemanusiaan yang adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Indonesia merupakan negara demokrasi yang dalam pemerintahannya menganut sistem

presidensiil, dan Pancasila ini merupakan jiwa dari demokrasi. Demokrasi yang didasarkan atas
lima dasar tersebut dinamakan Demokrasi Pancasila. Dasar negara ini, dinyatakan oleh Presiden
Soekarno (Presiden Indonesia yang pertama) dalam Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang diIndonesia. Sebagai
hukum nasional, berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan
ditujukan pada subyek hukum dan objek hukum tertentu pula. Subyek hukum Indonesia adalah
warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia. Sedangkan objek
hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau tidak
berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia.
Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban dan keteraturan.
Karena hukum mengatur hubungan antar manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat
dan sebaliknya, maka ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.
Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri dari unsur-unsur
atau bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk mencapai tujuan
yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila. Sebagai satu sistem, sistem
hukum Indonesia telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan konflik diantara unsurunsurnya. Sistem hukum Indonesia juga bersifat terbuka, sehingga di samping faktor di luar
sistem seperti: ekonomi, politik, sosial dapat mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga
terbuka untuk penafsiran yang lain
4. Pengertian Organisasi Internasional
Definisi universal dari organisasi internasional sangat sulit untuk didefinisikan.Menurut
pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, organisasi internasional adalah

organisasi antar pemerintah. Definisi yang diberikan Konvensi ini adalah sempit, karena
membatasi diri hanya pada hubungan antara pemerintah. Penonjolan aspek antar pemerintah ini
kiranya dimaksudkan untuk membedakan antara organisasi-organisasi antar pemerintah (intergovernmental organizations-IGO’s) dan organisasi-organisasi non-pemerintah (nongovernmental
organizations-NGO’s). Perumusan definisi yang sempit ini mungkin didasarkan atas
keberhatihatian, karena dibuatnya definisi yang baku akan melahirkan konsekuensi hukumnya
baik di tingkat teori maupun praktis.3
Organisasi internasional atau organisasi antar pemerintah merupakan subjek hukum
internasional setelah negara. Negara-negaralah sebagai subjek asli hukum internasional yang
mendirikan organisasi-organisasi internasional. Walaupun organisasi-organisasi ini baru lahir pada
akhir abad ke-19, akan tetapi perkembangannya sangat cepat setelah berakhirnya Perang Dunia II.
Fenomena ini berkembang bukan saja pada tingkat universal tetapi juga pada tingkat regional.
Kehadiran organisasi internasional, memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum
internasional yang diterapkan di era modern saat ini. Status organisasi internasional sebagai
subjek hukum internasional yang membantu proses pembentukan hukum internasional itu sendiri,
dapat dikatakan sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati. Hukum
internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar
terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negaranegara merasa
dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan
negara satu sama lain.4
5. Pengertian Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw)
Hukum Teknologi Informasi (Cyberlaw) adalah aspek hukum yang meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi informasi yang dimulai pada saat mulai

online. Cyberlaw sendiri

merupakan istilah yang berasal dari sendiri merupakan istilah yang berasal dari cyberspace law.
Cyberlaw sangat dibutuhkan dalam kaitannya dngan upaya pencegahan tindak pidana atau untuk
menangani tindak pidana. Ruang lingkupnya berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek
hukum dari e-commerce, nama domain, pengamanan internet, hak cipta, dan lain sebagainya. 5
BAB III

3 DR. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2, PT Alumni, 2005, hal. 462
4 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hal. 1.
5 Agum Ojo, Pengertian Cyberlaw dan Cybercrime,
https://www.academia.edu/8500842/Pengertian_Cyber_Law_and_Cyber_Crime_Cyber_La
w, diakses pada minggu 3 April 2016 pukul 14:30

PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw) di negara-negara Asia Tenggara
Cyberlaw adalah aspek hukum yang istilahnya berasal dari cyberspace law, yang ruang
lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum
yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai "online" dan
memasuki dunia cyber atau maya. Cyber Law juga didefinisikan sebagai kumpulan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang berbagai aktivitas manusia di cyberspace (dengan
memanfaatkan teknologi informasi).
1. Singapura
Singapura secara aktif mendukung upaya global dalam memberantas kejahatan dunia
maya

dengan

berpartisipasi

dalam

skema

seperti

Wassenaar Arrangement

yang

mempromosikan perang melawan terorisme, dan menjadi anggota dari organisasi seperti
World Intellectual Property Organization (WIPO) yang mempromosikan tentang Hak
Kekayaan Intelektual. Singapura juga bersekutu dengan persyaratan Hukum Konvensi
Budapest meskipun tidak menandatanganinya. Singapura sebagai negara yang memiliki
budaya cukup kompleks dikarenakan disana terdapat percampuran antara budaya barat dan
timur, serta sebagai pusat perekonomian kawasan Asia-Pasifik, maka Singapura tentu perlu
memerangi kejahatan dunia maya dengan pengaturan-pengaturan yang ketat. Sikap inilah
yang dapat mendorong bagi negara-negara berkembang untuk menyelaraskan dengan upaya
hukum dan penegakan hukum internasional. Dengan demikian, berpotensi untuk memperluas
jangkauan dari hukum internet internasional, dan membantu untuk mencegah korban dari
pengguna internet yang tidak bertanggung jawab baik secara lokal maupun global.
Untuk meminimalisir perbuatan kejahatan dunia maya dalam lingkup yang lokal,
Singapura telah memberlakukan dan mengamandemen beberapa peraturan hukum untuk
dapat terus mengikuti perkembangan jaman. The Electronic Transactions Act (ETA)
merupakan peraturan perundang-undngan yang mengatur mengenai lingkungan hukum terkait
dengan transaksi komersial dan layanan pemerintahan secara online atau e-government. ETA
2010 mengalami revisi dengan kpentingan Konvensi PBB dalam kaitannya untuk
mempromosikan keamanan yang lebih baik dalam transaksi online. Undang-Undang
melegitimasi bahwa catatan elektronik dapat juga dijadikan sebagai bukti dalam proses
persidangan. The Spam Control Act yang diberlakukan pada tahun 2007 untuk meminta pihak
produsen dalam pemasarannya menggunakan pesan-pesan elektronik sperti e-mail, untuk
memisahkan pesan yang berupa promosi tersebut supaya penerima e-mail iklan tersebut dapat
mengelola setiap pesan-pesan elektronik lainnya diluar promosi.

Seperti halnya yurisdiksi-yurisdiksi di wilayah Asia-Pasifik dan seluruh dunia,
Singapura memiliki beberapa peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai
kejahatan komputer dan teknologi komputer seperti internet. 6 Salah satu peraturan di
Singapura

yang

membahas

mengenai

cybercrime

adalah

Computer

Misuse

Act.

Diperkenalkan pada tahun 1993, The Computer Misuse Act (CMA) adalah tanggapan utama
badan legislatif Singapura mengenai kejahatan dunia maya atau cybercrime, namun disana
terdapat beberapa perbedaan. Seperti contohnya pada definisi dari komputer yang digunakan
oleh Undang-Undang Singapura yang juga menarik pada The Criminal Law Amendement Act
1985 of Canada serta The Evidence Act 1929 of South Australia. Seperti halnya definisi dari
“data” yang digunakan oleh Undang-Undang Singapura adalah "data" means representations
of information or of concepts that are being prepared or have been prepared in a form
suitable for use in a computer7 yang artinya adalah data adalah representasi dari informasi
atau konsp yang sedang disiapkan atau disusun dalam bentuk yang sesuai untuk digunakan
dalam komputer. Definisi tersebut membantu untuk memperjelas penerapan dari UndangUndang untuk berbagai bentuk teknologi digital. Secara umum, definisi tersebut secara luas
disusun sedemikian rupa agar tidak usang atau ketinggalan jaman dan tetap bisa digunakan
mengikuti dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat.
Banyak pengaturan-pengaturan yang sudah dituliskan dalam CMA namun untuk
mengatasi hal-hal lain seperti perkembangan teknologi jaman sekarang yang mana sudah
terdapat perlindungan dalam mengakses situs yang tidak dibenarkan. Seperti halnya
memberikan password dimana hanya orang-orang yang sudah terdaftarlah yang dapat masuk
ke situs tersebut, namun bagi yang tidak terdaftar tidak dapat masuk, namun tetap saja banyak
orang yang menyalahgunakan hal tersebut. Sehingga dengan demikian, Undang-Undang di
Singapura selain CMA juga terdapat penal code atau biasa dikenal dengan KUHP. Perbuatanperbuatan yang demikian tersebut memungkinkan seseorang untuk menggunakan identitas
palsu guna memasuki situs tersebut dengan itikad yang tidak baik seperti mungkin brupaya
untuk mencuri dana atau lain sebagainya.
Dalam Pasal 10 ayat (2) CMA8 memperluas jangkauan teritorialnya sehingga apabila
tindakan persiapan untuk melakukan cybercrime dilakukan di luar wilayah negara Singapura,
maka hal tersebut tetap berada dibawah Undang-Undang atau dengan kata lain dapat diadili
6 Gregor Urbas, An Overview of Cybercrime Legislation and Cases in Singapore, Asian
Law Institute Faculty of Law – National University of Singapore, ASLI Working Paper No.
001, 2008
7 International Business Publication USA, Singapore Criminal Laws, Regulations, And
Procedures Handbook, Strategic Information, Regulations, Procedures, Washington DC,
USA-Singapore, www.books.google.co.id diakses pada Minggu 3 April 2016 pukul 16:21
8 Gregor Urbas, An Overview of Cybercrime Legislation and Cases in Singapore, Asian
Law Institute Faculty of Law – National University of Singapore, ASLI Working Paper No.
001, 2008

dengan CMA ini. Sehingga dengan pengaturan yang demikian, CMA telah memberikan
legislasi efek ekstra-teritorial. CMA ini terus berkembang dan mengalami revisi untuk
mengakoodasi bentuk-bentuk kejahatan dunia maya. CMAdan penal code telah digunakan
untuk menangani kasus penipuan.
Singapura telah secara konsisten memperbaharui hukum untuk menanggapi
kejahatan-kejahatan dunia maya, dan juga telah menyelaraskannya dengan komunitas
masyarakat internasional atau secara global. Singapura juga memperluas yurisdiksi teritorial
dalam hukumnya untuk membantu mengatasi kejahatan dunia maya baik itu secara lokal
maupun internasional. Singapura disebut-sebut sebagai negara dengan hukum kejahatan dunia
maya yang begitu ketat dan sangat rinci.
2. Malaysia
Perkembangan Hukum Teknologi Informasi di Malaysia dapat dikaitkan degan
ambisi nasional Malaysia untuk menjadi bangsa yang benar-benar dikembangkan pada tahun
2020. Sejalan dengan ambisi tersebut, Malaysia memulai proyek Multimedia Super Corridor
(MSC) yang merupakan inisiatif nasional yang dirancang untuk memenuhi ambisi negara
dengan asumsi bahwa status negara Malaysia akan maju pada tahun 2020.
Oleh karena itu, untuk mengembangkan Malaysia menjadi negara maju denga
masyarakat yang berbasis pada Teknologi Informasi, pembuatan hukum yang menangani
masalah-masalah teknologi menjadi penting. Sejalan dengan ini, pemerintah Malaysia
mengambil langkah dengan memberlakukan cyberlaw yang saat ini terdapat 6 peraturan
hukum di Malaysia untuk mengaktualisasikan secara nasional. Cyberlaw di Malaysia terdiri
dari beberapa yaitu9 :
1. COMPUTER CRIME ACT 1997
Pemerintah Malaysia sangat tegas ksiapannya dalam membangun masyarakat
yang berbasis pendidikan dengan difasilitasi teknologi informasi. Computer Crime
Act 1997 ini disahkan sebagai tanggapan terhadap kejahatan teknologi informasi dan
untuk memperkuat pencegahan penyalahgunaan komputer. Computer Crime Act 1997
ini modelnya sama dengan United Kingdom Computer Misuse Act 1990 dengan
beberapa modifikasi. Fokus utamanya adalah mengenai kegiatan hacking dan dampak
negatifnya pada kehidupan sosial-ekonomi dsn politik di Malaysia. Selain itu juga
mengatur mengenai pencucian uang, pemalsuan, pembajakan, narkoba, penggelapan
9 DSP Mahfuz Bin Dato’ Ab. Majid as Royal Malaysia Police, Cybercrime : Malaysia,
http://www.skmm.gov.my/skmmgovmy/media/General/pdf/DSP-Mahfuz-Majid-CybercrimeMalaysia.pdf, diakses pada Minggu 3 April 2016 pukul 19:43

pajak, perjudiann, pemerasan, pelacuran, dan lain sebagainya. Ruang lingkup
kejahatan teknologi informasi tak terbayangkan (sangat luas dan tidak dapat
diprediksi). Hacker komputer paling sering melakukan penghapusan pada informasi
atau data yang disimpan dalam sistem komputer sebagai sebuah keisengan atau untuk
melakukan penipuan. Bentuk kegiatan kriminal online merupakan ancaman serius
bagi e-commerce dan aktivitas online lainnya. Banyak perusahaan di Malaysia yang
menghabiskan

dana

begitu

besar

untuk

meningkatkan

keamanan

sistem

perusahaannya atau mengantisipasi adanya kejahatan di masa depan yang masih
dalam prediksi, yang tidak ada jaminan akan terjadi atau tidak. 10
Computer Crime Act 1997 ini seakan memberikan perlindungan kepada
transaksi online serta melindungi sistem komputer itu sendiri terhadap akses tidak sah
dan niat kriminal yang disengaja untuk merusak sistem dengan kegiatan kriminal
seperti hacker dan lain sebagainya. Bahkan baru-baru ini ada laporan mengenai
kejahatan komputer yang berusaha melibatkan beberapa bank di Malaysia. Pada 21
Agustus 2000 terdapat laporan bahwa pelanggan pada Maybank mendapati e-mail
dari seseorang yang mengatasnamakan Maybank, dimana dalam e-mail tersebut
menawarkan penggunaan “Maybank 2 u online tools” yang dapat di unduh pada
website maybank2u.rvx.net.11
2. COMMUNICATIONS AND MULTIMEDIA ACT 1998 (CMA)
Konvergensi teknologi juga mngakibatkan konvergensi industri berikut :
telekomunikasi, penyiaran, komputasi dan konten. Dimana sebelumnya masingmasing tersebut diatur dalam beberapa bagian yang berbeda dari undang-undang
seperti The Telecommunication Act 1950 and The Broadcasting Act 1988. Namun
peraturan tersebut tidak dapat mengatasi perkembangan sekarang dan menghabat
pertumbuhan industri baru sehingga dibuatlah Communication and Multimedia Act
1998. Kegiatan dan layanan yang diatur dalam Undang-Undang ini mencakup
penyiaran tradisional, telekomunikasi dan layanan online. Communication and
Multimedia Act 1998 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 1999, menyediakan
kerangka praturan untuk memenuhi konvergensi telekomunikasi, industri penyiaran
dan komputasi dengan tujuan antara lain untuk membuat Malaysia menjadi pusat
global utama.12

10 Zaiton Hamin, 2004, The Legal Response Computer Missuse in Malaysia – The
Computer Crimes Act 1997, UTM Law Review 2
11 Yusuf Ibrahim Arowosaiye, 2013, Evolution of Malaysian Cyber Laws and Mechanism
for Secured Online Transactions, Pandecta, Vol. 8, No. 2
12 Arrif and Chuan, 1998, Multimedia Super Corridor, Leeds Publications.

3. MALAYSIAN COMMUNICATIONS AND MULTIMEDIA COMMISSION
ACT 1998
Malaysian

Communication

and

Multimedia

Commission Act

1998

merupakan undang-undang pertama mengenai teknologi informasi yang disahkan
pada tahun 1998 dan berlaku juga pada tahun yang sama. Fungsi dari dibentuknya
Undang-Undang ini adalah untuk mengawasi dan mengatur komunikasi dan kegiatan
multimedia di Malaysia serta untuk menegakkan hukum yang relevan. Peran Undangundang ini sangat penting yaitu untuk menerapkan dan mempromosikan tujuan
nasional dari pemerintah Malaysia dalam sektor komunikasi dan multimedia. Sejak
pemerintah mengimplementasikan Malaysian Communication and Multimedia
Commission Act 1998, diharapkan untuk memainkan peran utama dalam mengatur
kegiatan e-commerce di Malaysia.13
4. DIGITAL SIGNATURE ACT 1997
Perkembangan hukum teknologi informasi di Malaysia tidak akan lengkap
tanpa berlakunya Digital Signature Act 1997. Alasannya adalah bahwa kemajuan
teknologi informasi dan integrasi di hampir semua aspek usaha manusia seperti
perdagangan dan e-commerce yang menggunakan media elektronik. Penggunakan
kertas secara tradisional menjadi suatu hal yang sudah banyak ditinggalkan oleh
masyarakat sekarang. Hal tersebut dikarenakan saat ini banyak masyarakat yang
memanfaatkan media elektronik dimana ketika melakukan engiriman maupun
penerimaan dokumen dapat dilakukan melalui e-mail. Penggunaan e-mail dirasa
sangat simple dimana tidak perlu biaya yang banyak, pengiriman hanya dilakukan
dalam hitungan detik saja dan dpat disimpan secara ringkas dalam satu folder di
komputer maupun alat elektronik lainnya. Kenyataan bahwa transaksi online tidak
membutuhkan lagi kertas-kertas secara tradisional, sehingga kebutuhan untuk
pengakuan hukum terkait tanda tangan digital menjadi relevan. Hal tersebut juga
didasarkan

apabila

Malaysia

benar-benar

bercita-cita

untuk

menjadikan

masyarakatnya adalah masyarakat berbasis teknologi.
Kenyataan sebagaimana dijabarkan diatas mengarahkan berlakunya Digital
Signature Act 1997

di Malaysia. Digital Signature Act 1997 diberlakukan pada

tanggal 1 Oktober 1998, ini merupakan hukum yang mengatur mengenai e-commerce
dimana dalam Digital Sigature Act 1997 ini menyediakan jalan unntuk bertransaksi
online secara aman dengan menggunakan tanda tangan digital. Undang-undang ini
13 Yusuf Ibrahim Arowosaiye, 2013, Evolution of Malaysian Cyber Laws and Mechanism
for Secured Online Transactions, Pandecta, Vol. 8, No. 2

menyediakan kerangka kerja untuk perizinan dan regulasi Otoritas Sertifikasi dan
memberikan pengakuan hukum untuk tanda tangan digital dimana tanda tangan
digital ini dapat juga dijadikan sebagai bukti ketika beracara di pengadilan. Tujuan
utama dari Undang-Undang ini adalah untuk mendorong transaksi elektronik dan
mengekang pemalsuan dan penipuan di dunia maya. Tujuan Utama dari Digital
Signature Act 1997 adalah sebagai berikut
1. Untuk meminimalkan kasus tanda tangan digital dan mengaktifkan otentikasi
terpercya informasi berbasis komputer
2. Untuk mengaktifkan dan mendorong verifikasi dari tanda tangan digital
3. Memungkinkan adanya perdagangan online
4. Dan untuk memberikan hukum guna melindungi pihak-pihak dalam bertransaksi
online.
Mengingat banyak ketakutan dalam hal ketidakamanan tanda tangan digital
di Malaysia terhadap pencurian, sabotase dan penggunaan tanda tangan digital yang
tidak sah serta yang paling penting adalah perlindungan bagi pihak, semua itu diurus
dalam Digital Signature Act 1997.14
5. COPYRIGHT ACT (AMENDMENT) 1997
Tekad Malaysia untuk membuat masyarakatnya menjadi masyarakat maju
yang berbasis teknologi membuat Pemerintahan Malaysia tidak membuang waktu
lagi dimana mereka mulai mengamandemen WIPO Copyright Treaty of 1996
kedalam hukum hak cipta setempat. Dengan demikian, barulah Communication and
Multimedia Act 1998 yang memasukkan unsur WIPO Copyright Treaty of 1996
diperkenalkan.
Sebagai perubahan dari Copyright Act 1987 dimana Copyright Act 1997 ini
mulai berlaku pada tanggal 1 April 1999. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan
perlindungan yang memadai bagi Hak Kekayaan Intelektual perusahaan. Selain itu
juga untuk melindungi ekspresi pikiran dan ide-ide kreatif seseorang dari penyalinan
yang tidak sah maupun penambahan unsur yang tidak memiliki ijin dari pembuat
orisinilnya.
6. TELEMEDICINE ACT 1997
Perkembangan teknologi informasi di Malaysia tidak hanya terbatas pada
pemerintahan dan perekonomian namun juga sampai pada sektor pendidikan dan
14 P.S SAGAL, 2001, Electronic Commerce Law in Malaysia, Journal of Law and
Information Science, Vol 11, No 1

pelayanan kesehatan. Perkembangan teknologi informasi di bidang pelayanan
kesehatan dikenal dengan nama “Telemedicine” atau “e-medicine”. Istilah tersebut
berarti penyediaan informasi dan pelayanan kesehatan melalui penggunaan
telekomunikasi atau sarana elektronik maupun digital. 15
3. Indonesia
Hukum teknologi informasi di Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyediakan alat hukum yang mengatur isu
penting terkait dengan penggunaan teknologi informasi untuk transaksi elektronik, mengelola
data elektronik dan mentransfer data elektronik. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur :
a. Definisi yang terdapat dalam Undang-Undang : Informasi elektronik, dokumen
elektronik, transaksi elektronik, sistem elektronik, dan komputer.
b. Substansi hukum : akses tidak sah, gangguan data, gangguan sistem, penyalahgunaan
perangkat, pemalsuan, dan penipuan.
Juga beberapa hukum yang berhubungan dengan kejahatan teknologi informasi antara
lain Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, memberikan ketentuan yang
berhubungan dengan pornografi anak. Ketentuan dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008
tentang Pornografi antara lain melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat,
memperbanyak, mendistribusikan, menawarkan, memperdagangkan. Kemudian selain itu
juga ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyediakan ketentuan
tentang pelanggaran hak cipta.16
Saat ini Indonesia telah memiliki cyberlaw untuk mengatur dunia maya berikut sanksi
bila terkaji cybercrime baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia
yang akibatnya dirasakan di Indonesia. Cybercrime terus berkembang seiring dengan revolusi
teknologi informasi yang membalikkan paradigma lama terhadap kejahatan konvensional ke
arah kejahatan virtual dengan memanfaatkan instrumen elektronik tetapi akibatnya dapat
dirasakan secara nyata.
Penanggulangan cybercrime oleh aparat penegak hukum sangat dipengaruhi oleh
adanya peraturan perundangundangan. Terdapat beberapa perundangundangan yang berkaitan
15 Puteri Nemei Jahn Kassim, 2008,”The Development E-Medicine in Malaysia and Ethical
Implications”. http://manis-portal.kpwkm.gov.my/docs/shared/KPWKM/Kajian%20Inventori
%20Penyelidikan%20Pembangunan%20Sosial%20di%20Malaysia%202001%202005/I0147.pdf, diakses pada Selasa 5 April 2016 pukul 20:00
16 Departemen Komunikasi dan Teknologi Informasi Republik Indonesia, Cybercrime
Legislation of Indonesia, Octopus Interface Conference – Cooperation Against
Cybercrime, Council of Europe, Stasbourg, 23-25 March 2010

dengan teknologi informasi khususnya kejahatan yang berkaitan dengan Internet sebelum
disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Penegakkan hukum cybercrime sebagaimana telah dilakukan Mabes Polri pada tahun
2007 di atas dilakukan dengan menafsirkan cybercrime ke dalam perundang-undangan KUHP
dan khususnya undang-undang yang terkait dengan perkembangan teknologi informasi
seperti:17
a. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
c. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Secara umum Undang-Undang ini mengatur tentang segala sesuatu mengenai data elektronik
dan pemanfaatannya untuk kepentingan umum. Pada awal pembentukannya undang-undang
ini menuai banyak kontroversi karena dianggap akan mematikan kebebasan untuk
mengekspresikan diri di cyberspace. Dalam undang-undang ini secara rinci dijelaskan
mengenai segala perbuatan yang digolongkan sebagai cybercrime, jenis-jenis perbuatan ini
diatur dalam Pasal 27sampai Pasal 37.18
Prinsip utama UU ITE adalah yurisdiksi karena tidak serta merta dapat diterapkannya
Yurisdiksi territorial dalam cyberspace. Artinya ruang lingkup dari UU ITE adalah
global/luas. Asas-asas dalam UU ITE antara lain :
1. Asas Kepastian Hukum
Landasan hukum bagi pemanfaatan TI dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu
yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di
luar pengadilan.
2. Asas Manfaat
Asas bagi pemanfaatan TI dan Transaksi Elektronik, diupayakan untuk mendukung
proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Asas Kehati-hatian
17 Ahmad S Daud, Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Upaya Penanggulangan Tindak
Pidana Teknologi Informasi, Lex Crimen, 2013, Vol. II, No. 1
18 Galuh Kartiko, Pengaturan Terhadap Yurisdiksi Cybercrime ditinjau dari Hukum
Internasional, Jurnal Trunojoyo, 2013, Vol. 20, No. 1

Landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang
berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam
pemanfaatan TI dan Transaksi elektronik.
4. Asas Itikad Baik
Asas yang digunakan para pihak dalam melakukan transaksi elektronik tidak
bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian
bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain.
5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi
Asas pemanfaatan TI dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan
Teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan.
Beberapa aspek penting yang terkait dengan aspek pidana yang perlu diatur secara jelas antara
lain19 :
1. Tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik, perlu dilakukan pembatasan atau
limitasi atas tanggung kawab sehingga tanggung jawab peneyelenggara tidak melampau
kewajaran;
2. Informasi elektronik dan tanda tangan yang dihasil oleh suatu sistem informaasi,
termasuk print out-nya harus dapat menjadi alat bukti dipengadilan;
3. Perlindungan hukum terhadap bank sentral dan lembaga perbankan/keungan, penerbit
kartu kredit/kartu pembayaran dan lembaga keungan lainnya dari kemungkinan adanya
gangguan dan ancaman kejahatan elektronik;
4. Ancaman pidana yang bersifat deterren terhadap tindak kejahatan elektronik (Cybercime),
sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap integritas sistem dan nilai investasi
yang telah dibangun dengan alokasi sumber daya yang cukup besar.

B. Pengaturan Hukum Teknologi Informasi (cyberlaw) pada Organisasi Internasional
Beberapa organisasi yang memberikan kontribusi dalam perkembangan hukum e-commerce di
tingkat Internasional antara lain20 :
1. UNICTRAL (United Nations Commission on International Trade Law) : Berperan utama
dalam mengembangkan model hukum untuk transaksi e-commerce.
Didirikan oleh PBB tahun 1966 untuk menyelaraskan hukum perdagangan internasional,
merupakan badan hukum inti PBB yang bekerja membuat undang-undang perdagangan. Pada
19 Nazarudin Tianotak, URGENSI CYBERLAW DI INDONESIA DALAM RANGKA PENANGAN
CYBERCRIME DISEKTOR PERBANKAN, Jurnal Sasi, 2011, Vol. 17, No. 4
20 www.itu.int diakses pada Selasa 5 April 2016 pukul 21:00

tahun 2001, UNCITRAL menciptakan Undang-Undang Tanda Tangan Elektronik yang fokus
pada kontrak elektronik, penyelesaian sengketa secara online, menghilangkan hambatan
hukum dalam pengembangn perdagangan elektronik di instrumen perdagangan internasional.
2. OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) : Mengenai
perpajakan internet, perlindungan konsumen e-commerce dan privasi.
Tumbuh dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi Eropa, yang diberikan bantuan oleh
Amerika-Kanada untuk Eropa setelah Perang Dunia II. Didirikan pada tahun 1961. Tujuannya
adalah untuk membangun ekonomi yang kuat di negara-negara anggotanya, meningkatkan
sistem pasar, memperluas perdagangan bebas.
E-commerce telah menjadi fokus area untuk OECD karena sifatnya yang lintas batas dan
berpotensi untuk semua negara di bidang pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan
meningkatkan kondisi sosial. OECD telah mengembangkan kebijakan di bidang infrastruktur
telekomunikasi dan jasa perpajakan, perlindungan konsumen, keamanan jaringan, privasi dan
perlindungan data.
OECD Action Plan for Electronic Commerce yang didukung anggotanya pada tahun 1998,
fokusnya pada pembangunan kepercayaan bagi konsumen, menetapkan aturan dasar pasar
digital, meningkatkan infrasturktur untuk informasi e-commerce dan memaksimalkan
pemanfaatan e-commerce.
3. WIPO (The World Intellectual Property Organization) : Mengenai hak cipta dan merek
dagang yang melibatkan nama domain.
WIPO merupakan organisasi internasional yang mempromosikan dan melindungi karya seni,
ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkantor pusat di Swiss, WIPO adalah salah satu dari 16
badan-badan khusus PBB. WIPO mengelola 23 perjanjian internasional yang berhubungan
dengan aspek yang berbeda dari perlindungan kekayaan intelektual.
WIPO membuat agenda digital untuk menanggapi persoalan-persoalan internet, teknologi
informasi dan sistem kekayaan intelektual. Melalui diskusi internasional dan negosiasi, WIPO
merumuskan cara baru dimana karya-karya intelektual dapat disebarluaskan, sementara pada
saat yang sama juga memastikan bahwa hak-hak pencipta tetap dilindungi.
4. WTO (The World Trade Organization) : Mengenai hambatan perdagangan e-commerce.
WTO merupakan organisasi internasional yang berhubungan dengan aturan perdagangan
antar negara. Berbasis di Swiss, WTO dibentuk tahun 1995 sebagai penerus dari General
Agreement on Traffis and Trade (GATT) yang mengatur mengenai sistem perdagangan
multilateral lama setelah Perang Dunia II.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan hukum teknologi informasi sudah menjadi hal yang seharusnya menjadi
fokus bagi dunia internasional mengingat sekarang sudah banyak aktivitas kehidupan manusia
yang memanfaatkan teknologi tersebut. Sehingga perlu ada pengaturan bagi negara untuk
meminimalisir kejahatan teknologi informasi. Berdasarkan apa yang teah penulis tulis pada
pembahasan pertama terkait dengan pengaturan cyberlaw di negara Singapuran, Malaysia dan
Indonesia. Pada pembahasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa ketiga negara tersebut telah
menerapkan dan mengaplikasikan hukum teknologi informasi di negara masing-masing. Sehingga
dengan begitu, pada setiap negara baik itu Singapura, Malaysia maupun Indonesia, telah memiliki
payung hukum dalam menindak lanjuti apabila ada cybercrime serta ini merupakan respon dar
negara Singapura, Malaysia dan Indonesia terkait dengan perkembangan teknologi informasi.
Muatan dan cakupannya yang luas dalam membahas pengaturan di dunia maya seperti perluasan
alat bukti elektronik sama dengan alat bukti yang sudah dikenal selama ini, diakuinya tanda

tangan elektronik sebagai alat verifikasi, dan autentikasi yang sah suatu dokumen elektronik, serta
pengaturan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam cyberspace sebagai suatu tindak pidana.
Tidak hnya pada negara saja, namun juga bagi organisasi internasional, pengaturan terkait
teknologi informasi ini menjadi penting untuk dilakukan. Pelopornya adalah UNCITRAL
kemudian diikuti oleh organisasi internasional lainnya. Karena cakupan materi dari cyberlaw yang
begitu luas sehingga hal tersebut menjadi penting bagi organisasi internasional untuk
merumuskannya lebih detail. Seperti kita tahu beberapa organisasi internasional seperti
pembahasan diatas telah memiliki kekhususan masing-masing sehingga dapat menjadi acuan.
B. Saran
Pengaturan terkait teknologi informasi ini adalah penting, dan tidak dapat hanya
dilakukan satu kali saja, perlu adanya pengamatan pada lingkungan sekitar terkait dengan
perkembangan teknologiinformasi ini. Sehingga dapat kemudian menyesuaikannya dengan
melakukan revisis pada undang-undang. Perkembangan teknologi informasi tidak dapat diprediksi
sehingga perlu diteliti dan ditinjau scara berkala. Selain itu, pemahaman mengenai peraturan
terkait teknologi informasi ini masih perlu disosialisasikan pada masyarakat serta penegak hukum,
karena masih banyak ditemui dalam kenyataan bahwa masyarakat minim pengetahuan dan
pemahaman terkait dengan adanya peraturan teknologi informasi ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim PPHN, Perancangan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi
Informasi dan Komunikasi, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2010
2. E. Saefullah Wiradipradja, Perspektif Hukum Internasional tentang ”cyberlaw”
dalam buku Cyberlaw : Suatu Pengantar, ELISP II, Jakarta, 2002
3. DR. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2, PT Alumni, 2005
4. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1989
5. Agum Ojo, Pengertian Cyberlaw dan Cybercrime,
https://www.academia.edu/8500842/Pengertian_Cyber_Law_and_Cyber_Crime_Cyb
er_Law
6. Gregor Urbas, An Overview of Cybercrime Legislation and Cases in Singapore, Asian
Law Institute Faculty of Law – National University of Singapore, ASLI Working
Paper No. 001, 2008
7. International Business Publication USA, Singapore Criminal Laws, Regulations, And
Procedures Handbook, Strategic Information, Regulations, Procedures, Washington
DC, USA-Singapore, www.books.google.co.id

8. Gregor Urbas, An Overview of Cybercrime Legislation and Cases in Singapore, Asian
Law Institute Faculty of Law – National University of Singapore, ASLI Working
Paper No. 001, 2008
9. DSP Mahfuz Bin Dato’ Ab. Majid as Royal Malaysia Police, Cybercrime : Malaysia,
http://www.skmm.gov.my/skmmgovmy/media/General/pdf/DSP-Mahfuz-MajidCybercrime-Malaysia.pdf
10. Zaiton Hamin, 2004, The Legal Response Computer Missuse in Malaysia – The
Computer Crimes Act 1997, UTM Law Review 2
11. Yusuf Ibrahim Arowosaiye, 2013, Evolution of Malaysian Cyber Laws and
Mechanism for Secured Online Transactions, Pandecta, Vol. 8, No. 2
12. Arrif and Chuan, 1998, Multimedia Super Corridor, Leeds Publications
13. P.S SAGAL, 2001, Electronic Commerce Law in Malaysia, Journal