BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan 2.1.1. Pengertian Kebijakan - Pengertian Kebijakan )Publik Teks

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan

2.1.1. Pengertian Kebijakan

   Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

  dan rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan/kepemimpinan dan cara bertindak (Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto, 2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip- prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang- peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi (Winarno,Budi,2002)

  14

  2.1.2. Pengertian Kebijakan Publik

  Menurut Chief J.O (1981) (Abdul Wahab, 2005), kebijakan publik adalah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah tertentu yang saling berkaitan yang memengaruhi sebagian besar warga masyarakat. Menurut Nugroho (2008), kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan Publik adalah strategi untuk mengantarkan masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut Easton (Agustino, 2006) sebagai “otoritas” dalam sistem politik yaitu: “para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat, para raja, dan sebagainya.” Selanjutnya Easton menyebutkan bahwa mereka-mereka yang berotoritas dalam sistem politik dalam rangka memformulasikan kebijakan publik itu adalah orang- orang yang terlibat dalam urusan sistem politik sehari-hari dan mempunyai tanggung jawab dalam suatu masalah tertentu di mana pada satu titik mereka diminta untuk mengambil keputusan di kemudian hari yang diterima serta mengikat sebagian besar anggota masyarakat selama waktu tertentu.

  2.1.3. Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

  Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut William N.Dunn, (2003) adalah sebagai berikut : a.

  Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

  Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam

  realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan.

  Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William N.Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

  b.

  Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

  c.

  Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga negara belajar untuk mendukung pemerintah.

  Implementasi Kebijakan Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia.

  e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik

   Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

  dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dalam proses kebijakan.

  Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006) adalah sebagai berikut : a.

  Bardach (Agustino, 2006:54) Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya, dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang.

  b.

  Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006:139) Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

  c.

  Mazmanian dan Sabatier (1983:61) (Agustino, 2006:139) Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah- perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

  Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh

  

Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2006), bahwa implementasi sebagai suatu

  proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu

2.1.5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan

  Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini dipaparkan beberapa teori implementasi menurut Subarsono (2009) :

a. Teori George C.Edward III (1980)

  Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009). a.1 Faktor Sumber Daya

  Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan, karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

  Menurut Winarno (2002), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari : Staf

  Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki ketrampilan yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut. a.1.2 Kewenangan

  Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan suatu kebijakan yang ditetapkan. Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan. a.1.3 Informasi Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan.

  Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.

  Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara a.1.4 Sarana dan Prasarana

  Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung. a.2

  Faktor Komunikasi Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan.

  Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

  Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.

  Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi a.2.1.1

  Sumber Pesan Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri. a.2.1.2

  Komunikator Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa. a.2.1.3

  Komunikan Adalah orang yang menerima pesan. a.2.1.4

  Pesan Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan (informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan). a.2.1.5

  Media Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa. a.2.1.6

  Efek Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah sebaliknya.

  Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan kelompok-kelompok kerja serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi.

  (Umar,2002). Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain : a.2.2.1

  Komunikasi ke bawah, yaitu dari atasan ke bawahan, yang dapat berupa pengarahan, perintah, indoktrinasi maupun evaluasi. Medianya bermacam- macam seperti memo, telephon, surat dan sebagainya. a.2.2.2 Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas- aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan- keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik secara tertulis atau nota dinas. a.2.2.3

  Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya. a.2.2.4

  Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar, misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau media iklan lain.

  Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri. Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan adalah : a.2.3.1 Memberikan perhatian penuh kepada bawahan. a.2.3.2 Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka. a.2.3.3 Mendengarkan dengan umpan balik. a.2.3.4 Memberikan waktu yang cukup. a.2.3.5 Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan. Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi berikut ini : a.2.4.1 Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi. a.2.4.2 Menyusun informasi sebelum dilaporkan. a.2.4.3 Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu. a.2.4.4 Mengajukan fakta bukan perkiraan. a.2.4.5

  Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan khusus yang dihadapi bawahan.

  Menghindari penyebaran informasi yang salah. a.2.4.7

  Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi sendiri oleh bawahan.

  Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno,B,2002) yaitu : a.2.5.1

  Transmisi adalah mereka yang melaksanakan keputusan, harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Keputusan dan perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu diikuti. Komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan mengurangi dampak dari implementasi tersebut. a.2.5.2 Kejelasan

  Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal. a.2.5.3

  Konsistensi Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah- yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya dengan baik. a.3

  Faktor Disposisi (sikap) Disposisi diartikan sebagai sikap para implementor untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut George C.Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut (Agustino,2006)

  Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini mencakup tiga hal penting yaitu : a.3.1.1 Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan. a.3.1.2 Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap a.3.1.3

  Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh setiap implementor. a.4

  Faktor Struktur Birokrasi Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementor telah mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang.

  Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik.

  Menurut George C.Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan melaksanakan fragmentasi. a.4.1

  Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. a.4.2

  Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan- kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.

b. Teori Merilee S. Grindle (1980)

   Keberhasilan implementasi menurut Merilee S.Grindle (Wibawa,1994) yang

  menjelaskan bahwa implementasi dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi, kedua hal tersebut harus didukung oleh program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai berdasarkan tujuan kebijakan, sehingga dalam pelaksanaan kegiatan akan memberikan hasil berupa dampak pada masyarakat, individu dan kelompok serta perubahan dan penerimaan oleh masyarakat terhadap kebijakan yang terlaksana. Variabel isi kebijakan menurut Grindle mencakup beberapa indikator yaitu : b.1.1

  Kepentingan kelompok sasaran atau target group yang termuat dalam isi kebijakan. b.1.2 Jenis manfaat yang diterima oleh target group. b.1.3 Derajat perubahan yang diharapkan dari sebuah kebijakan. b.1.4 Letak pengambilan keputusan. b.1.5 Pelaksana program telah disebutkan dengan rinci. b.1.6 Dukungan oleh sumber daya yang dilibatkan. b.2.1

  Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan. b.2.2 Karakteristik lembaga dan rejim yang sedang berkuasa. b.2.3 Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

  Kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan. Oleh karenanya, tinggi-rendahnya intensitas berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya ) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.

c. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn

  Menurut Meter dan Horn, ada 6 variabel yang memengaruhi kinerja implementasi yaitu : c.1 Standar dan Sasaran Kebijakan

  Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. c.2

  Sumber Daya Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non manusia (non human resources). c.3

  Hubungan Antar Organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain.

  Karakteristik Agen Pelaksana Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi kemauan untuk melaksanakan kebijakan dan intensitas disposisi implementor yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

d. Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining

  Dalam pandangan Weimer dan Vining ada tiga kelompok variabel besar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program yaitu : d.1

  Logika dari suatu Kebijakan Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis. d.2

  Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan dalam hal ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi, hankam dan fisik atau geografis. d.3

  Kemampuan Implementor Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan ketrampilan dari implementor kebijakan.

2.1.6. Analisa Kebijakan Publik

  Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan kebijakan (Dunn,2003). Menurut William N.Dunn bentuk analisa kebijakan adalah sebagai berikut : a.

  Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan yang akan dilaksanakan.

  b.

  Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang ataupun yang telah dilaksanakan.

  c.

  Analisa kebijakan terintegrasi yaitu bentuk analisa yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.

  2.1.7. Kebijakan Kesehatan

  Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).

  Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan. Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya.

  2.1.8 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

Menurut Leichter (Buse, 2009), faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan

  kesehatan adalah : a.

  Faktor Situasional Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: kekeringan) b. Faktor Struktural

  Faktor ini meliputi : b.1

  Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang kebijakan BBM bersubsidi).

  Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga). b.3

  Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan teknologi mengakibatkan pertambahan jumlah wanita hamil yang melahirkan secara caesar ). b.4

  Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan kesehatan.

  c.

  Faktor budaya yaitu faktor yang dapat berpengaruh seperti hirarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu.

  d.

  Faktor Internasional atau eksogen yaitu faktor yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan memengaruhi kemandirian dan kerja sama internasional dalam kesehatan (contoh : Program Pemberantasan Penyakit Polio).

2.1.9 Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

  Konteks Aktor/Pelaku:

  Individu Pelaku Organisasi

  Isi/ Proses

  Konten

Gambar 2.1 Segitiga Analisis KebijakanGambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan

  Sumber : Walt and Gilson (1994)

  Keuntungan analisis kebijakan adalah dapat menjelaskan mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, model kebijakan di masa depan dapat dirancang sehingga mudah dalam mengimplementasikan kebijakan secara lebih efektif. Penggunaan analisis kebijakan dapat dilihat contohnya dalam analisis kebijakan penentuan tarif untuk meningkatkan efisiensi di pelayanan kesehatan, dimana konteksnya terdiri dari kondisi ekonomi, ideologi dan budaya. Konten

  (isinya) menjabarkan apa tujuan yang ingin dicapai dan apakah ada pengecualian terhadap tarif yang diberlakukan ? Aktor (pelaku) dalam kebijakan ini adalah siapa yang mendukung dan menolak kebijakan tarif tersebut ? Analisis prosesnya yaitu bagaimana pendekatan dilakukan, apakah secara top-down atau bottom up ? Bagaimana kebijakan ini akan dikomunikasikan?

2.2. Eliminasi Filariasis

2.2.1. Program Eliminasi Filariasis

  Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, maka dipandang dari sudut :

a. Tujuan

  a.1 Tujuan Umum

  Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. a.2

  Tujuan Khusus a.2.1

  Menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap kabupaten/kota. a.2.2 Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

  b. Pengertian

  b.1 Eliminasi filariasis

  Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah - tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. b.2

  Pengobatan massal filariasis Pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC (diethylcarbamazine citrate), albendazol dan paracetamol sesuai takaran, setiap tahun minimal selama 5 tahun berturut-turut, yang rantai penularan filariasis di daerah. b.3

  Tatalaksana kasus filariasis Pengobatan dan perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan.

  Perawatan penderita lebih ditekankan pada perawatan mandiri dan seumur hidup.

  c. Kebijakan

  c.1 Eliminasi filariasis merupakan salah satu prioritas nasional program pemberantasan penyakit menular. c.2

  Melaksanakan eliminasi filariasis di Indonesia dengan menerapkan Program Eliminasi Filariasis Limfatik Global dari WHO, yaitu memutuskan rantai penularan filariasis serta mencegah dan membatasi kecacatan. c.3

  Satuan lokasi pelaksanaan (implementation unit) eliminasi filariasis adalah kabupaten/kota. c.4 Mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, provinsi dan negara.

2.2.2. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia

  a. Strategi Nasional

  Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, strategi yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mencapai a.1

  Memutuskan rantai penularan filariasis melalui pengobatan massal di daerah endemis filariasis. a.2

  Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis. a.3 Pengendalian vektor secara terpadu. a.4 Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara. a.5 Memperkuat surveilans dan mengembangkan penelitian.

  b. Kegiatan Pokok

  Untuk merealisasikan strategi eliminasi filariasis tersebut, maka dilaksanakanlah berbagai kegiatan yaitu : b.1

  Meningkatkan promosi b.1.1 Meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat, perorangan atau lembaga kemasyarakatan, agar berperan aktif dalam upaya eliminasi filariasis antara lain : b.1.1.1

  Penderita klinis filariasis bersedia memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan serta mampu merawat anggota tubuh yang sakit. b.1.1.2

  Anggota masyarakat melaksanakan pengobatan filariasis secara teratur, minimal 5 tahun berturut-turut. b.1.1.3

  Anggota masyarakat, perorangan atau berkelompok daerahnya. Masyarakat membentuk relawan filariasis di tempat tinggalnya, baik relawan dalam perawatan penderita klinis kronis filariasis, pengobatan massal filariasis, maupun dalam rangka pemantauan kinerja program filariasis di daerahnya. b.1.1

  Pengembangan pesan promosi yang mendukung peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya eliminasi filariasis yaitu : b.1.2.1 Mengidentifikasi dan menentukan sasaran promosi. b.1.2.2 Menentukan metode promosi yang tepat. b.1.2.3

  Merancang dan menggandakan bahan-bahan promosi b.2 Mengembangkan sumber daya manusia filariasis b.2.1

  Memperkuat kemampuan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan program eliminasi filariasis, baik melalui pendidikan, pelatihan, sosialisasi, distribusi informasi dan penyelenggaraan seminar eliminasi filariasis. b.2.2

  Prioritas pendidikan dan pelatihan tenaga profesional adalah tenaga pelaksana eliminasi filariasis, tenaga epidemiologi, tenaga entomologi, serta tenaga mikroskopis di pusat dan di daerah. b.3.1

  Pembentukan Task Force eliminasi filariasis atau kelompok kerja eliminasi filariasis di pusat dan di daerah. b.3.2 Pengembangan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor. b.3.3

  Penyempurnaan pedoman pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis. b.3.4

  Mendorong terbentuknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli filariasis. b.4 Meningkatkan Kemitraan b.4.1 Inventarisasi dan merumuskan kerjasama lembaga mitra. b.4.2

  Memprioritaskan kerjasama antara Program Eliminasi Filariasis dengan program pemberantasan kecacingan, kusta, pengendalian vektor dan program lain yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas Program Eliminasi Filariasis. b.4.3

  Menentukan skala prioritas kerjasama antar sektor pada program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) terutama dalam rangka penemuan kasus dan pengobatan massal serta lembaga mitra pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan, media massa dan lain sebagainya. b.4.4

  Melakukan kerjasama dengan lembaga donor nasional dan internasional serta dunia usaha. b.5.1

  Meningkatkan advokasi para penentu kebijakan untuk mendapatkan dukungan komitmen, tersusunnya peraturan perundangan, serta terlaksananya program eliminasi filariasis dengan dukungan anggaran, sumber daya manusia, dan sarana penunjang lainnya yang memadai serta penggerakan semua potensi yang ada di pusat dan di daerah. b.5.2

  Prioritas advokasi pada para menteri dan pimpinan lembaga pemerintah terkait, gubernur, bupati, walikota, DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, badan dan dinas terkait di provinsi dan di kabupaten/kota, komisi kesehatan di provinsi dan di kabupaten/kota, pimpinan lembaga sosial kemasyarakatan, dunia usaha, media massa dan lembaga donor. b.6 Pemberdayaan Masyarakat b.6.1

  Menumbuhkembangkan norma kemasyarakatan yang berdaya guna dan mandiri dalam upaya eliminasi filariasis. b.6.2

  Mengutamakan pemberdayaan masyarakat dalam penemuan dan perawatan penderita klinis filariasis serta pelaksanaan pengobatan massal filariasis dengan sasaran prioritas pemberdayaan adalah penderita dan keluarganya, tokoh dan masyarakat luas. b.7

  Memperluas Jangkauan Program b.7.1

  Melaksanakan tahapan kegiatan eliminasi filariasis agar tercapai tujuan eliminasi filariasis tahun 2020. b.7.2

  Memperluas jangkauan program eliminasi filariasis dengan pendekatan kepulauan, pendekatan lintas batas administrasi pemerintahan dan pendekatan kawasan edipemiologi filariasis. b.7.3

  Melaksanakan upaya pengendalian vektor secara terpadu terutama dengan Program Pemberantasan Malaria dan Demam Berdarah Dengue. b.8 Memperkuat Sistem Informasi Strategis b.8.1

  Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis yang mampu mendukung perencanaan, pengendalian dan evaluasi program eliminasi filariasis. b.8.2

  Mengembangkan sistem surveilans eliminasi filariasis kabupaten/kota yang terintegrasi dalam sistem surveilans eliminasi filariasis provinsi dan nasional serta sistem surveilans epidemiologi kesehatan. b.8.3

  Meningkatkan pemanfaatan teknologi komunikasi informasi

2.2.3. Langkah-langkah Eliminasi Filariasis

  Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, langkah-langkah eliminasi filariasis adalah sebagai berikut :

a. Pentahapan Kabupaten/Kota

  Program eliminasi filariasis di kabupaten/kota melalui tahapan penemuan kasus kronis filariasis, pemetaan endemisitas filariasis kabupaten/kota, penetapan data dasar sebelum pengobatan filariasis, pengobatan massal filariasis, penatalaksanaan kasus klinis filariasis, monitoring dan evaluasi, sertifikasi eliminasi filariasis.

  a.1 Penemuan Kasus Klinis Filariasis

  Setiap kabupaten/kota mengumpulkan data kasus klinis filariasis yang dilakukan pemutakhiran secara teratur setiap akhir tahun. Data ini merupakan data dasar penetapan endemisitas daerah, lokasi survei data dasar (baseline survey), penetapan prioritas daerah pelaksana kegiatan penatalaksanaan kasus klinis filariasis dan evaluasi Program Eliminasi Filariasis. Secara operasional, penemuan kasus klinis filariasis dilaksanakan oleh puskesmas dengan melaksanakan kegiatan: a.1.1 Kampanye penemuan dan penatalaksaan kasus klinis filariasis. a.1.2

  Mendorong penemuan dan pelaporan kasus oleh masyarakat, kepala desa, PKK, guru dan pusat-pusat pelayanan kesehatan. a.1.3 Pemeriksaan dan penetapan kasus klinis filariasis.

  Perekaman dan pelaporan data kasus klinis filariasis.

  a.2 Penentuan Endemisitas Filariasis di Kabupaten/Kota

  Daerah endemis filariasis menjadi prioritas penyelenggaraan eliminasi filariasis di kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Penentuan endemisitas filariasis di kabupaten/kota dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a.2.1

  Kabupaten/kota yang memiliki kasus klinis filariasis, melaksanakan survei mikrofilaria (survei darah jari) di desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Microfilaria rate 1% atau lebih merupakan indikator sebagai kabupaten/kota endemis filariasis. a.2.2

  Kabupaten/kota yang terdapat kasus klinis filariasis, berdekatan atau berada di antara dua daerah endemis filariasis dan memiliki geografi serta budaya masyarakat yang kurang lebih sama dengan daerah endemis filariasis ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis. a.2.3

  Penentuan kabupaten/kota endemis ditetapkan dengan keputusan gubernur.

  a.3 Survei Data Dasar Sebelum Pengobatan Massal Filariasis

  Kabupaten/kota yang telah ditetapkan sebagai kabupaten/kota endemis filariasis dan akan melaksanakan pengobatan massal, perlu melakukan survei data dasar di minimal 2 desa berdasarkan jumlah kasus klinis terbanyak.

  Sebelum kegiatan pelaksanaan POMP filariasis dilakukan, maka dilakukan kegiatan persiapan yaitu : a.4.1

  Advokasi/sosialisasi di kabupaten a.4.2

  Rapat koordinasi di kabupaten/kota a.4.3

  Sosialisasi di puskesmas a.4.4

  Distribusi obat sampai puskesmas a.4.5

  Pendataan sasaran a.4.6

  Training kader a.4.7

  Packing obat sesuai sasaran a.4.8

  Penyediaan bahan promosi (spanduk, kartu pengobatan, poster, flyer)

  a.5 Pelaksanaan POMP Filariasis

  Pengobatan massal dilakukan pada semua penduduk kabupaten/kota, sekali setahun selama minimal 5 tahun berturut-turut. Pengobatan massal dapat dilakukan serentak pada seluruh wilayah kabupaten/kota, atau secara bertahap per kecamatan sesuai dengan kemampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk kegiatan pengobatan massal.Pengobatan massal secara bertahap harus dapat diselesaikan di seluruh wilayah kabupaten/kota dalam waktu 5-7 tahun agar reinfeksi tidak terjadi. a.6.1

  Monitoring cakupan pengobatan massal dilaksanakan setiap tahun setelah pengobatan massal. a.6.2

  Survei cakupan pengobatan massal dilakukan setelah pelaksanaan pengobatan massal tahun pertama. a.6.3

  Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilaksanakan sebelum pengobatan tahun ketiga dan kelima.

  a.7 Sertifikasi Eliminasi Filariasis

  Sertifikasi dilakukan setelah pengobatan massal tahun kelima. Sertifikasi adalah penilaian untuk menentukan apakah kabupaten/kota telah berhasil mengeliminasi filariasis.

  a.8 Penatalaksanaan Kasus Klinis

  Penatalaksanaan kasus klinis dilakukan terhadap semua kasus klinis yang ditemukan untuk mencegah dan membatasi kecacatan. Penatalaksanaan kasus dilakukan dengan pemberian obat dan perawatan.

  a.9 Penatalaksanaan Kasus Asimptomatis

  Setiap orang sehat yang ditemukan mikrofilaria dalam darahnya mendapat pengobatan yang memadai agar tidak menderita klinis filariasis dan tidak menjadi sumber penularan terhadap masyarakat sekitarnya.

  a.10 Pengendalian Vektor

  memutus rantai penularan. Dilaksanakan secara terpadu dengan pengendalian vektor lainnya.

b. Pentahapan Provinsi

  b.1 Provinsi bertugas untuk menentukan endemitas filariasis semua kabupaten/kota yang ada di wilayahnya yang diharapkan selesai tahun 2006. b.2

  Provinsi mendorong perluasan pelaksanaan eliminasi filariasis, sehingga semua kabupaten/kota endemis filariasis melaksanakan program eliminasi.

  Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah selesai melaksanakan pengobatan massal. b.3 Melaksanakan kerjasama lintas batas kabupaten/kota.

c. Pentahapan Nasional

  c.1 Mendorong perluasan jangkauan program ke seluruh provinsi. c.2 Mendorong kerjasama lintas batas antar provinsi. c.3 Mendorong kerjasama lintas batas dengan negara lain. c.4

  Pada tahun 2014, diharapkan semua kabupaten/kota endemis filariasis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima. c.5 Pra sertifikasi eliminasi filariasis dilakukan pada tahun 2015-2020. Berikut ini ditampilkan skema proses eliminasi filariasis di kabupaten/kota :

Gambar 2.2 Skema Proses Eliminasi Filariasis di Kabupaten/Kota Agenda eliminasi filariasis Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1. Untuk melaksanakan pengobatan massal filariasis terhadap lebih dari 60 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemis filariasis, mengacu pada agenda yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI.

Tabel 2.1. Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia

  Agenda Eliminasi Filariasis Indonesia Kegiatan Tahun

  01

  02

  03

  04

  05

  06

  07

  08 09 ..

  13 14 ..

  20 Persiapan x x x x x Pemetaan Kab/Kota x x x x x Pengobatan Massal x x x x x x x x x x x Evaluasi Cakupan MDA x x x x x x x x x x x Evaluasi prevalensi Mf x x x x x x x x x Pengobatan selektif x x x x x x x x x x x x x Tatalaksana Kasus x x x x x x x x x x x x x Sertifikasi x x

d. Pendekatan Perluasan Program

  Pendekatan ini perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya reinfeksi daerah yang sudah eliminasi. d.1

  Pendekatan kepulauan Perluasan jangkauan program eliminasi filariasis dilakukan dengan mengutamakan pelaksanaan pengobatan massal secara serentak pulau- perpulau. d.2

  Pendekatan lintas batas Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan daerah yang berbatasan langsung dengan daerah yang sedang melaksanakan pengobatan massal. d.3 Pendekatan blok

  Perluasan jangkauan program dengan mengutamakan blok-perblok daerah yang mempunyai kesamaan geografis, budaya, mobilitas penduduk atau secara epidemiologis mudah terjadi penularan.

2.2.4. Sumber Dana dan Sarana Eliminasi Filariasis

  Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009, pemerintah pusat dan daerah menggalang setiap sumber pendanaan pemerintah, lembaga kemasyarakatan, kerjasama antar negara dan lembaga internasional.

1. Sumber pendanaan pelaksanaan pengobatan massal filariasis

  Biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal filariasis di kabupaten/kota, puskesmas dan penggerakan masyarakat bersumber dari alokasi anggaran di kabupaten/kota dan kerjasama di kabupaten/kota.

  b.

  Pengadaan obat-obatan dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis bersumber dari pemerintah (Departemen Kesehatan) untuk obat DEC dan paracetamol dan Badan Kesehatan Dunia WHO untuk obat albendazole.

  c.

  Alokasi anggaran dan pelaksanaan pengobatan selektif, penatalaksanaan reaksi pengobatan massal filariasis, bersumber dari anggaran pemerintah kabupaten/kota.

  d.

  Pemetaan, survei cakupan pengobatan massal dan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria bersumber dari alokasi anggaran pemerintah provinsi. b.

  Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis Biaya operasional dan logistik obat serta sarana penunjang lainnya bersumber dari alokasi anggaran pemerintah kabupaten/kota.

2.2.5. Indikator Kinerja

   Menurut buku Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2009,

  indikator kinerja eliminasi filariasis ada 2 yaitu : a.

  Persentase kabupaten endemis menjadi tidak endemis = ( Jumlah kab/kota eliminasi filariasis pada akhir tahun tertentu / Jumlah kab/kota endemis filariasis sebelum program eliminasi filariasis dilaksanakan Kab/kota endemis filariasis adalah kab/kota yang memiliki microfilaria rate >= 1 %, dan kab/kota eliminasi filariasis adalah apabila hasil evaluasi tahun ke 5 menunjukkan microfilaria rate < 1 %.

  b.

  Kasus klinis yang ditangani per tahun (> 90 %) b.1

  Persentase kasus klinis yang ditangani per tahun = (jumlah kasus klinis filariasis yang ditangani pada tahun tertentu / jumlah kasus klinis yang tercatat pada tahun yang sama) x 100 % b.2

  Jumlah limfedema yang ditangani per tahun b.3

  Jumlah hidrokel yang dioperasi per tahun Secara skematis, eliminasi filariasis, strategi dan kegiatan pokok dapat diperlihatkan sebagai berikut : Kegiatan Pokok : Strategi :

  1. Meningkatkan promosi

  1. Memutus rantai penularan

  2. Mengembangkan filariasis melalui pengobatan sumber daya manusia massal di daerah endemis filariasis filariasis

  3. Menyempurnakan tata

  2. Mencegah dan membatasi Eliminasi organisasi kecacatan

  4. Meningkatkan kemitraan melalui penatalaksanaan Filariasis

  5. Meningkatkan advokasi

kasus klinis filariasis

  6.Memberdayakan

  3. Pengendalian vektor secara masyarakat terpadu

  7. Memperluas jangkauan

  4. Memperkuat kerjasama lintas program batas daerah dan negara

  8.Memperkuat

  5. Memperkuat surveilans dan sistem informasi penelitian strategis

Gambar 2.3. Skema Eliminasi Filariasis, Strategi dan Kegiatan Pokok Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan.

  Menurut George C. Edward III (Subarsono,2009) ada 4 faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yaitu faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Keempat faktor tersebut saling berhubungan dan saling memengaruhi dalam proses implementasi. Hubungan faktor-faktor yang saling memengaruhi tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini :

  Komunikasi Sumber Daya Implementasi Disposisi Struktur Birokrasi

Gambar 2.4 Model Implementasi menurut George C. Edward III

2.4. Kerangka Berfikir

   Berdasarkan landasan teori di atas, maka faktor-faktor yang memengaruhi

Dokumen yang terkait

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - View of PERANCANGAN APLIKASI SISTEM MANAJEMEN DISTRIBUSI BARANG GUDANG PT. BANK ARTHA GRAHA INTERNASIONAL, TBK BERBASIS WEB

0 0 11

Jurusan Teknik Informatika STMIK Amik Riau e-mail: yusrohnelygmail.com: rahmiatistmik-amik-riau.ac.id Abstrak - View of SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PEMBELIAN KARET BERDASARKAN KUALITAS MENGGUNAKAN METODE SAW (SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING) PT. BANGKINANG PEKAN

0 0 11

View of PEMILIHAN SISWA PESERTA OLIMPIADE SAINS DI SMA NEGERI 2 SUNGAI PENUH MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY MAMDANI

0 0 12

Program Studi Teknik Informatika, STIKOM Dinamika Bangsa, Jambi Jl. Jendral Sudirman Thehok – Jambi Email: Mquazonixygmail.com1, Yudinoviantostikom-db.ac.id2 ABSTRAK - View of PERANCANGAN SISTEM PENGOLAHAN DATA ANGKUTAN PADA PT. ANUGRAH GUNA MUSTIKA JAMBI

0 0 10

Analisis Kebijakan Penanganan Konflik Etnis di Kota Sorong Papua Barat Analysis of Ethnic Conflict Handling Policy in Sorong City, West Papua Province

0 0 29

RESOLUSI KONFLIK BATAS WILAYAH KABUPATEN GORONTALO - KABUPATEN GORONTALO UTARA (STUDI ONE MAP POLICY) BORDERLINE CONFLICT RESOLUTION IN GORORONTALO REGENCY – NORTH GORONTALO REGENCY (ONE MAP POLICY STUDY)

0 0 22

A. Sunarto AS. - Kyai dan Prostitusi: Pendekatan Dakwah KH. Muhammad Khoiron Suaeb di Lokalisasi Kota Surabaya

0 0 18

PERBEDAAN DAYA HAMBAT OBAT ANESTESI LOKAL LIDOCAINE 2 DAN ARTICAINE 4 TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Porphyromonas gingivalis SECARA IN VITRO

0 3 9

O2 UNTUK DEGRADASI ZAT WARNA RHODAMIN B DAN ALIZARIN-S Safni, Fitrah Amelia, Oktanora Liansari, Hamzar Suyani, Yulizar Yusuf Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas, Padang ABSTRACT - PENGGUNAAN KATALIS ZnO-H2O2 UNTUK DEGRADASI ZAT WARNA RHODAMIN B DAN AL

0 1 8

Materi Kebijakan P2 Hepatitis , Kuningan 25 Juli 2017

0 0 61