PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan) Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

PLURALISME PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM (Relevansi Gagasan Abdurrahman Wahid Dalam Konteks Keindonesiaan)

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: dulhalim2528@yahoo.com

Abstrak

Dalam sejarah perkembangan agama Islam, diketahui bahwa hijrahnya Nabi ke Madinah dengan tujuan menjamin keamanan masyarakat agamanya serta demi kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi penyiaran agama Islam. Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah Piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas, dengan menekankan kerjasama seerat mungkin antara muslim dengan non muslim untuk bekerjasama demi keamanan mereka bersama.

Kecenderungan sekelompok kecil umat Islam yang sering bersikap keras terhadap penganut agama lain menurut Abdurrahman Wahid merupakan proses pendangkalan agama. Proses pendidikan dan dakwah Islam yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain merupakan faktor lain yang memperburuk hubungan antarumat beragama di Indonesia. Hal ini dilakukan baik oleh mubalig maupun guru-guru di sekolah. Padahal tidak ada ayat atau hadis nabi yang memerintahkan kaum Muslim bersikap keras demikian, apalagi terhadap agama-agama samawi.

Kata Kunci: Pluralisme, Pendidikan Islam, Abdurrahman Wahid

Pendahuluan

Menurut para ahli, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk atau plural society, 1 dari segi etnis, misalnya ada suku melayu

dan ada suku Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku besar dan 1.072 suku-suku derivative besar dan kecil. Dari segi bahasa, terdapat ratusan bahasa yang digunakan di seluruh wilayah Nusantara.

1 Setelah Indonesia merdeka, kemajemukan masyarakat Indonesia disebabkan oleh keadaan intern

tanah air dan bangsa Indonesia sendiri. Golongan Eropa yang sebelum itu mempunyai kedudukan sangat penting di dalam masyarakat Indonesia kemudian terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Lihat Dr. Ichtijanto, “Masyarakat Majemuk dan Kerukunan Hidup Beragama”, dalam Prof. Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat

Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural , (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 47

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Dari segi pulau yang dihuni, terdapat sekitar 13.000 lingkungan kehidupan kepulauan. Dari segi sejarah politik lokal, terdapat puluhan bahkan ratusan sistem kerajaan kesukuan lama yang berpengaruh terhadap sistem stratifikasi sosial dan adat istiadat setempat sekarang. Dari segi mata pencaharian, terdapat keragaman antara kehidupan pedesaan dan perkotaan. Dari segi agama, terdapat sejumlah agama besar dunia dan sejumlah sistem kepercayaan lokal yang tersebar

diseluruh wilayah Nusantara. 2

Sering kali perbenturan dalam pluralisme yang mendapat sorotan tajam adalah mengenai pluralisme agama. Karena secara historis, di negara ini agama-agama besar berkembang dengan suburnya. Dan secara sosiologis, hubungan masing-masing agama erat dengan berbagai dinamika, terkadang akomodatif dan terkadang konfrontatif. Pola hubungan akomodatif terjadi karena masing-masing umat dapat mengaktualisasikan ajaran agamanya dengan benar sekaligus para pemeluk agama menaati dan mengakomodir nilai-nilai budaya

hubungan konfrontatif disebabkan oleh sifat dan watak umat beragama, termasuk pemahaman agama yang sempit serta adanya pengaruh provokasi dari luar. Yang selanjutnya menyebabkan kerusuhan yang bernuansa agama.

Menurut Yenni Wahid 3 , kekerasan berbau SARA terjadi karena ada pihak-pihak yang ingin memecah belah bangsa Indonesia yang

majemuk. Mereka membenturkan hal-hal yang berbeda, juga ada keinginan untuk memimpin ruang-ruang tertentu namun rela

2 Atho Mudzhar, Pengembangan Masyarakat Multikultural Indonesia dan Tantangan ke Depan (Tinjauan dari Aspek Keagamaan) dalam Atho Mudzhar, Meretas Wawasan dan Praksis

Kerukunan Umat Beragama di Indonesia dalam Bingkai Masyarakat Multikultural , (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2005), Cet. I, hlm. 1-2

3 Yenni Wahid bernama asli Zannuba Arrifah Chafsoh, putri ke-2 KH. Abdurrahman Wahid (Gus

Dur) adalah Direktur The Wahid Institut 2004-sekarang.

Pluralisme Perspektif Pendidikan

mengacaukan hubungan yang telah harmonis. Serta ada pula penyebab lain, terutama faktor ekonomi yang bisa menyebabkan seseorang menjadi frustasi lalu mudah ditawari untuk menjadi mujahid

dengan mengikuti kelompok yang menjanjikan surga dan kemuliaan. 4 Agama dewasa ini ditantang dan diuji oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesatnya, 5 agama-agama besar dunia, Yahudi, Kristen, dan Islam disadari ataupun tidak telah

memasuki periode krisis yang ikut dan berlangsung secara kontinyu. Krisis tersebut karena agama-agama sudah tidak mampu memberikan solusi-solusi alternatif bagi manusia modern dalam ragam masalah kehidupan mereka.

Pendidikan Pluralisme

Istilah Konsep dalam Kamus Ilmiah Populer diartikan sebagai ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan, serta rencana dasar. 6 Pluralisme berasal

dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti terdapat keanekaragaman dalam masyarakat. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Pluralisme diartikan sebagai keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultural dalam suatu masyarakat atau negara serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan,

dan sebagainya. 7 Pluralisme yang dalam bahasa arabnya diterjemahkan

4 Zannuba Arrifah Chafsoh, “Perangi Ahmadiyah Dengan Dakwah”, Suara Merdeka, (Semarang:

20 Februari 2011), hlm. 2

5 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari munculnya revolusi industri yang berlangsung di beberapa masyarakat Barat terutama pada abad ke- 19 dan awal abad ke- 20.

Revolusi industri bukanlah peristiwa tunggal, melainkan terdiri dari beberapa perkembangan yang saling terkait dan berpuncak pada transformasi dunia Barat dari sistem pertanian menuju sistem industri besar-besaran. Dengan munculnya pabrik-pabrik sebagai buah dari kemajuan teknologi. Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), cet. II, hlm. 7

6 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola,1994), hlm.

7 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm.

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

alta’addudiyyah 8 , secara lughawi berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain

di luar kelompok kita yang harus diakui. Pluralisme adalah sebuah “ism” atau aliran tentang pluralitas. 9

Pluralisme yang berarti jamak atau lebih dari satu, dalam kamus bahasa Inggris mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (a) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, (b) memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun nonkegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, berarti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspekaspek perbedaan yang sangat karakteristik diantara kelompokkelompok tersebut. Ketiga pengertian tersebut sebenarnya bisa disederhanakan dalam satu makna, yaitu koeksistensinya berbagai kelompok atau keyakinan di satu waktu dengan tetap terpeliharanya perbedaan-perbedaan dan karakteristik

masing-masing. 10 Nurcholis Madjid menyatakan bahwa pluralisme tidak dapat dipahami

hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme.

Menurut Alwi Shihab, pengertian konsep pluralisme dapat disimpulkan sebagai berikut:

8 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), Cet.

III, hlm. 11

9 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), hlm.

11 10 Anis Malik Thoha. hlm. 12

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme, kosmopolitanisme menunjuk suatu realitas di mana aneka ragam, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa

agama tersebut. 11 Sementara definisi tentang pendidikan pluralisme menurut Frans Magnez

Suseno adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk

perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas. 12 Pendidikan Pluralisme sering dikenal orang dengan sebutan “Pendidikan

Multikultural ”. Ainurrofiq Dawam menjelaskan definisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman

budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). 13 Muhammad Ali menyebut pendidikan multikultural sebagai pendidikan

yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan “Pendidikan Pluralis Multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menanggulangi konflik etnis agama, radikalisme agama, separatisme, dan

11 Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 41-42 12 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia. hlm. 92

13 Ainurrofiq Dawam, Emoh Sekolah; Menolak Komersialisasi Pendidikan dan Kanibalisme Intelektual, Menuju Pendidikan Multikultural , (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003),

hlm. 100

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar dari konsep pendidikan ini adalah toleransi. 14

Memperhatikan beberapa definisi tentang pendidikan pluralisme tersebut di atas, secara sederhana pendidikan pluralisme dapatlah di definisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan di sini, dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.

Melalui sistem pendidikannya, sebuah pendidikan yang berbasis pluralisme akan berusaha memelihara dan berupaya menumbuhkan pemahaman yang inklusif pada peserta didik. Dengan suatu orientasi untuk memberikan penyadaran terhadap para peserta didiknya akan pentingnya saling menghargai, menghormati dan bekerja sama dengan agama-agama

lain. 15

Dasar Pendidikan Pluralisme

a. Dasar Historis Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad SAW. Sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam dalam al Sirah al-Nabawiyyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad ibnu Ja’far ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju masjid. Saat itu Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para sahabatnya. Ketika waktu Kebaktian tiba, mereka pun tak harus

14 Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia.

15 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, (Semarang:

Nedd’s Press, 2008), hlm. 100

Pluralisme Perspektif Pendidikan

mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di masjid. 16

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh Kafir-Quraisy Mekkah, yang memberikan perlindungan adalah Najasy, raja Abesinia yang Kristen. Ia berpendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi hak-haknya, termasuk hak memeluk agama. Begitu pula ketika Nabi hijrah ke Madinah, Beliau mengadakan pertemuan secara besar-besaran bersama sahabat Anshar dan beberapa keluarga (Naqib) dari Mekkah. Dalam pertemuan itu, 23 artikel dari Piagam Madinah telah ditetapkan. Juga tercantum dalam piagam itu, untuk membentuk masyarakat dan hubungan-hubungan legal bagi kelompok Muslim yang baru. Selanjutnya Beliau berkonsultasi dengan perwakilan dari non-Muslim. Akhirnya seluruh dari mereka menyepakati dasar- dasar pembentukan sebuah “citystate” yang baru. Inilah yang kemud 17 ian diabadikan dengan sebutan “Piagam Madinah”.

Seperti yang telah dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal bahwa: Antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan masyarakat Yahudi, Muhammad membuat perjanjian tertulis yang berisi pengakuan atas agama mereka dan harta benda mereka, dengan syarat-syarat timbal balik. Sehingga setiap warga Madinah tanpa membedakan agama maupun suku, mereka berkewajiban mempertahankan kota itu. Mereka harus bekerja sama antar

sesama. 18 Piagam Madinah adalah piagam pertama dalam sejarah peradaban

Islam yang menyepakati soal-soal hubungan atau interaksi sosial antara kelompok-kelompok yang memiliki perbedaan agama dan budaya, yakni antara kelompok Yahudi, Nasrani dan Muslim. Di sini, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai pencetus dan mediator dalam gerakan ishlah ini. Hal hal

16 Moh. Shofan, Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh

Muhammadiyah , (Jogjakarta: LSAF, 2008), hlm. 54-55

17 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit., hlm. 67

18 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta: Litera Antar

Nusa, 2008), cet. Ke-30, hlm. 202

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

penting yang dapat dijadikan sebagai dasar interaksi sosial di tengah komunitas yang plural antara lain : 19

1. Seluruh suku yang ada di Madinah disebut dalam pasal pasal piagam dengan maksud menghormati identitas kolektivitas keagamaan dan etnik yang ada dalam masyarakat tersebut.

2. Tiap-tiap kelompok etnik dan keagamaan dijamin otonomi hukum dan budayanya secara total.

3. Secara garis besar Piagam Madinah memuat kesepakatan antara Muhammad, kaum Musyrik, dan Yahudi. Dari 47 pasal yang termuat dalam piagam itu meliputi masalah monoteisme, persatuan-kesatuan, persamaan hak, keadilan, kebebasan beragama, bela negara, pelestarian adat, perdamaian dan proteksi.

4. Masing-masing berkewajiban menjaga keamanan dan stabilitas Madinah.

5. Piagam Madinah menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian tinggi terhadap kesetaraan antaretnis dan ras. Dari sudut tinjauan modern, ia diterima sebagai sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang majemuk.

6. Piagam Madinah menjadi bukti bagi kerja sama kaum Muslimin dengan kelompok beragama lain, sekaligus menunjukkan bahwa Muhammad telah melembagakan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al- Qur’an (Q.S al-Baqarah: 156, al-Maidah: 48, dan al-Kafirun: 6).

7. Piagam Madinah menjadi piagam pertama yang mengakui kebebasan hati nurani yang ditemui dalam sejarah umat manusia.

b. Dasar Normatif Al- Qur’an secara jelas menyatakan bahwa pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau sunnah Allah, dan bahwa hanya Allah yang tahu dan dapat menjelaskan di hari akhir

19 Mukhsin Abdurrahman, Pendidikan Pluralisme-Multikultural http://mukhsinblog.blogspot.com/ 2015/ 05 pendidikan-pluralisme-multikultural.html

Pluralisme Perspektif Pendidikan

nanti, mengapa manusia berbeda satu dari yang lain. Hal tersebut tercantum dalam QS. al-Hujurat: 13.

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. 20

Asbabun nuzul ayat tersebut menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari yang lain, bukan saja antar satu bangsa, suku atau warna kulit dengan selainnya, tetapi juga antara jenis kelamin mereka.

Islam juga memerintahkan umatnya untuk berinteraksi terutama dengan agama Kristen dan Yahudi, dan dapat menggali nilai-nilai keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual dan teologis secara bersama-sama dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal tersebut terdapat pada QS. al-Ankabut:

20 Departemen Agama RI, Al- Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema

Insani,2005), hlm. 518

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri"

Menurut Moh. Shofan, setidaknya ada empat tema pokok yang menjadi kategori utama al- 21 Qur’an tentang pluralisme agama:

a) Tidak ada paksaan dalam beragama, yang terdapat pada QS. al-Baqarah: 256

           Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar daripada jalan yang sesat. 22

Tidak boleh ada paksaan dan tindakan kekerasan untuk masuk ke dalam agama. Iman itu tunduk dan khudhu’ (patuh). Untuk mencapai hal itu tidak bisa dilakukan dengan paksaan dan tekanan, tetapi harus dengan alasan dan penjelasan yang menguatkan. Iman adalah urusan hati. Tidak seorang pun bisa menguasai hati manusia.

Ayat ini cukup untuk membuktikan tentang kekeliruan musuh-musuh agama Islam yang mengatakan: “agama Islam ditegakkan dengan pedang, dan orang yang tidak mau memeluk agama Islam dipancung lehernya”. Sejarah telah membuktikan kebohongan dari pernyataan itu. Peperangan yang terjadi pada masa Nabi bertujuan membela diri, supaya kaum Musyrik berhenti mengganggu dan memfitnah para Muslim. Inilah sebabnya, para Muslim tidak lagi memerangi para Musyrik ketika mereka telah memeluk Islam atau tetap

21 Moh. Shofan, hlm. 74-75 22 Departemen Agama, Mushaf Al-Qur ’ an Terjemah , (Jakarta: Al Huda Kelompok Gema Insani,

2002), hlm. 43

Pluralisme Perspektif Pendidikan

pada agama semula dengan membayar jizyah (pajak) sebagai jaminan keamanan. 23

Allah Maha Kuasa, sehingga dengan kekuasaan-Nya, Dia bisa jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat menjadi alasan bagi Allah untuk memaksa makhluk mematuhi agama Nya. Namun yang terjadi tidak demikian, yang dimaksud dengan tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka dia terikat dengan tuntunan -tuntunannya, dia berkewajiban melaksanakan perintahperintahnya. Dia terancam sanksi jika melanggar ketetapannya.

Di sini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki. Anda juga tahu bahwa telah jelas yang ini membawa manfaat dan itu mengakibatkan mudharat, jika demikian tidak perlu ada paksaan karena yang dipaksa adalah yang enggan tunduk akibat ketidaktahuan. Di sini telah jelas jalan itu sehingga tidak perlu ada paksaan. Anda memaksa anak untuk minum obat yang pahit, karena Anda tahu bahwa obat itu adalah mutlak untuk

kesembuhan penyakit yang dideritanya. 24

b) Pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam QS. al- Baqarah: 62

23 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shieddieqy, Tafsir al-Qur ’ anul Majid an Nuur , (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), Jilid II, hlm. 450-451

24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishb āh, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur ’ an , (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Vol. 1, hlm. 551-552.

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar- benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka,

dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 25

Pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok: al- ladzina Amanu (menunjuk pada umat Islam), alladzina Hadu (ummat Yahudi), al-Nashara (umat Kristen), dan al- Shabi’in. Al-Thabari berpendapat bahwa jaminan Allah atas keselamatan tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman, percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk beriman kepada Allah dan Muhammad saw. Atau dengan kata lain, yang

dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. 26

c) Kesatuan Kenabian, yang bertumpu pada QS. Asy Syura: 13            

     Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-

Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya

orang yang kembali (kepada-Nya). 27

25 Departemen Agama. hlm. 11 26 Alwi Shihab, op, hlm. 79 27 Departemen Agama. hlm. 485

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Penyebutan Nabi-Nabi sebagaimana terbaca di atas, sejalan dengan masa kehadiran mereka di pentas bumi ini terkecuali Nabi Muhammad saw. Itu untuk mengisyaratkan kedudukan terhormat yang diperoleh Nabi Muhammad saw. Di kalangan para Nabi. Ini serupa dengan firman-Nya dalam QS. al- Ahzab:7

d) Kesatuan Pesan Ketuhanan yang berpijak pada QS. an-Nisa’: 131             

Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. tetapi jika kamu kafir Maka (ketahuilah), Sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah

kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. 28 Apa saja yang ada di langit dan bumi adalah kepunyaan Allah. Dialah yang menciptakan dan Dialah yang mengurus. Dalam mengurus makhluk- makhuk-Nya, Allah menciptakan hukum secara mutlak, dan semuanya tunduk di bawah hukum itu.

Orang yang benar-benar memahami hukum-hukum Allah yang berlaku umum terhadap bumi, langit dan semua isinya serta memahami pula hukum yang mengatur kehidupan makhluk-Nya, akan mengetahui betapa besar limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada semua makhluk-Nya. Oleh sebab itulah kepada setiap hamba diperintahkan agar bertakwa kepada-Nya, seperti telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu, yang telah diberi al-Kitab seperti orang-orang Yahudi dan Nashrani. Serta kepada orang-orang yang melaksanakan ketakwaan dengan tunduk dan patuh kepada- Nya dan dengan

28 Departemen Agama. hlm. 100

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

menegakkan syari’at-Nya. Dengan tunduk dan patuh kepada-Nya dan dengan menegakkan syari’at-Nya manusia akan berjiwa bersih dan dapat mewujudkan kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. 29

Pendidikan Islam

Dalam proses pendidikan sangatlah perlu komponen-komponen pendidikan. Komponen itu sendiri berarti bagian dari suatu sistem yang memiliki peran dalam keseluruhan berlangsungnya suatu proses untuk mencapai sebuah tujuan.

Pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term: tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad, dan tadris. Masing-masing memiliki keunikan makna tersendiri, namun memiliki makna yang sama. Akan tetapi term yang populer digunakan dalam praktek Pendidikan Islam adalah term al-

tarbiyah. 30 Istilah kunci yang seakar dengan kata tarbiyah adalah al-rabb, rabbayani,

nurabbi, yurbi, dan rabbani. Istilah tarbiyah yang diambil dari madhi-nya (rabbayani) memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari tiga ayat dalam al- Qur’an :

a. QS. al-Isra’: 24 “kamâ rabbayânî shaghîrâ” (sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil).

b. QS. al-Syu’ara: 18 “alâ nurabbika fînâ walîdâ” (bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak).

c. QS. al-Baqarah: 276 “yamhu Allah al-riba wa yurbi shadaqah”.(Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah).

29 Kementerian Agama RI, al-Qur ’ an dan Tafsirnya , (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), Jilid II, hlm. 29

30 Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy dalam kitabnya Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta ’ lim , seperti dikutip oleh Abdul Mujib, Pendidikan Islam dalam khazanah keislaman populer dengan Istilah

Tarbiyah , Lihat. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 10

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Secara terminologi Pengertian Pendidikan Islam ini sebetulnya sudah cukup banyak dikemukakan oleh para ahli. Meskipun demikian, perlu dicermati dalam rangka melihat relevansi rumusan baik dalam hubungan makna, tujuan, fungsi, maupun proses kependidikan Islam yang dikembangkan dalam rangka menjawab permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan umat manusia sekarang ini.

Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju

terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. 31 Memang dalam pendidikan Islam terdapat sebuah karakteristik yang

khusus, rekomendasi Konferensi Internasional Pendidikan Islam di Universitas King Abdul Aziz Jeddah tahun 1997 mendefinisikan pendidikan Islam sebagai keseluruhan pengertian yang terkandung dalam istilah ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Berdasarkan pemaknaan ini, Abdurrahman al-Nahlawy menyimpulkan bahwa pendidikan Islam terdiri dari empat unsur, yaitu: pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh; kedua, mengembangkan seluruh potensi; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju

kesempurnaan; dan keempat, dilaksanakan secara bertahap. 32 Dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam akan dipertanyakan dan

menjadi sorotan tajam tatkala anak didiknya terbawa arus modernitas; menjadi robot-robot yang tidak mempunyai daya kreativitas kecuali hanya terseret arus. Domain ini yang sejatinya mampu membawa perubahan tak lebih hanya teranggap sebagai sesuatu yang konservatif dan sia-sia. Ini tak lebih karena pengajaran agama selama ini bersifat normatif, dogmatis, dan hanya memikirkan kebenaran yang masih di angan-angan (akhirat). Sedangkan pemahaman tentang Tuhan beserta ritual pengabdiannya (baca: teologi) cenderung eksklusif dan ada klaim-klaim apologis seperti klaim kebenaran

31 Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al- Ma’arif, 1989), hlm. 23 32 Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, op. hlm. 31-32

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

(truth claim) dan klaim keselamatan (salvation claim). Hal ini menyebabkan fragmentasi dan permusuhan antar agama hingga menyebabkan konflik berkepanjangan dan berdarah-darah. Nilai keagamaan menjadi luntur dan hanya memunculkan simbolsimbol agama saja.

Dalam lingkup yang lebih luas, gerakan ini merupakan bentuk perlawanan terhadap westernisasi. Walaupun dalam bentuk kaku, formalistik, dan ritualistik semacam berjenggot, berpakaian putih dan berjilbab, angkatan muda yang masih tergolong puritan dan steril dari idiologi sekuler meyakini Islam sebagai satu-satunya juru selamat. Karenanya identitas Islam harus

dikembalikan dari pengaruh luar (westernisasi). 33 Pendidikan Islam sebagai penyedia segala fasilitas yang dapat

memungkinkan tugas-tugasnya tersebut tercapai dan berjalan lancar dengan melihat realitas keanekaragaman ras dan agama di Indonesia, maka pendidikan Islam harus memperhatikan beberapa hal berikut :

Pertama, Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari.

Kedua; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga pemahaman tentang realitas keberagamaan.

Ketiga; Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem

33 Hassan Hanafi, Agama, Kekerasan dan Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2001), hlm. 14 – 15.

Pluralisme Perspektif Pendidikan

pendidikan yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab. 34

Pemikiran Abdurrahman Wahid Mengenai Konsep Pendidikan Pluralisme

Mengamati pemikiran Gus Dur memang menarik sekaligus menyulitkan. Menarik karena ide-idenya sangat sederhana, tetapi mampu memberikan wawasan tersendiri dalam menganalisis persoalan, baik di Indonesia maupun di dunia. Menyulitkan karena pemikirannya terkadang

keluar dari kultur yang membesarkannya (NU dan Pesantren). 35

1. Dasar Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Tulisan Gus Dur berjudul ’Pengembangan Fiqih Secara Kontekstual’, dipaparkan bahwa Ideologi pluralisme yang dibawa Beliau dan penghormatannya terhadap pluralitas sepenuhnya berdasarkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam dan juga tradisi keilmuan NU sendiri.

Pertama, prinsip pluralisme secara tegas diakui di dalam kitab suci. Al- Qur’an secara tegas mendeklarasikan bahwa pluralitas masyarakat dari segi agama, etnis, warna kulit, bangsa, dan sebagainya, merupakan keharusan sejarah yang menjadi kehendak Allah (sunnatullah). Karena itu, upaya penyeragaman dan berbagai bentuk hegemonisasi yang lain, termasuk dalam hal pemahaman dan implementasi ajaran agama, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat dasar al- Qur’an.

Pluralitas agama dan masyarakat menjadi alat uji parameter kualitas keberagamaan umat, apakah dengan pluralitas itu setiap kelompok atau umat beragama bisa hidup berdampingan secara damai dengan pemeluk agama lain dengan semangat saling belajar dan saling menghormati. Atau

34 Syamsul Ma’arif, The Beauty of Islam dalam Cinta dan Pendidikan Pluralisme, op. cit.,hlm. 120 35 Munawar Ahmad. hlm. 55

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

sebaliknya, pluralitas itu justru menjadi alasan untuk membangun klaim- klaim kebenaran yang bersifat sektarian. 36

Kedua, nalar keragaman NU sepenuhnya dibangun di atas spirit pluralisme. NU mengikuti tradisi pemikiran madzhab yang menjadi pilar tegaknya peradaban fiqih. Ajaran Islam digali secara langsung dari sumbernya, tetapi melalui pemikiran, NU terhindar dari pendekatan tekstual dan interpretasi tunggal terhadap al- Qur’an dan al-Hadis. Fiqih dirumuskan sebagai hukum atau kumpulan hukum yang ditarik dari dalildalil syar’i, yaitu al-Qur’an dan al-Hadis (al-ahkam al-mustanbathah min adillatiha al- syar’iyyah). Definisi ini menurut Gus Dur, secara jelas menampakkan adanya proses untuk memahami situasi yang di situ ayat al- Qur’an dan al-Hadis memperoleh pengolahan untuk disimpulkan berdasarkan kebutuhan manusia. Di sini nyata terlihat bahwa pluralisme yang dikembangkan Gus Dur adalah revitalisasi dari ajaran Islam dan tradisi berpikir pesantren yang telah berkembang selama-berabad-abad.

Toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur tidak sekedar menghormati dan menghargai keyakinan atau pendirian orang lain dari agama yang berbeda, tetapi juga disertai kesediaan untuk menerima ajaran-ajaran yang baik dari agama lain, dalam sebuah tulisannya yang berjudul Intelektual di Tengah Eksklusivisme, Gus Dur pernah mengatakan:

Saya membaca, menguasai, menerapkan al- Qur’an, al-Hadis, dan kitab- kitab Kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dan sesuai hati nurani. Saya tidak mempedulikan apakah kutipan dari Injil, Bhagawad Gita, kalau bernas kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat al- Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi adalah soal penafsiran. Berbicara

36 M. Hanif Dhakiri. hlm. 63-64

Pluralisme Perspektif Pendidikan

masalah penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, melainkan sudah menjadi masalah pemikiran. 37

2. Pandangan Pluralisme Abdurrahman Wahid Dalam QS. Ali Imran: 85 yang artinya: ”Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi ”, Gus Dur memberikan penjelasan bahwa ayat tersebut jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan

tidak menolak kerjasama antara Islam dengan berbagai agama lainnya. 38

Dalam pidato perayaan Natal pada tanggal 27 Desember 1999 di Balai Sidang Senayan Jakarta, misalnya, Abdurrahman Wahid menyampaikan :

Saya adalah seorang yang menyakini kebenaran agama saya, tapi ini tidak menghalangi saya untuk merasa bersaudara dengan orang yang beragama lain di negeri ini, bahkan dengan sesama umat beragama. Sejak kecil itu saya rasakan. Walaupun saya tinggal di lingkungan pasantren, hidup dikalangan keluarga kiai, tak pernah sedikitpun saya merasa berbeda

dengan yang lain. 39 Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antaragama. Dengan kata lain prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh /teori legal hukum Islam: ”sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma la yatimmu al wajibu illa bihi

37 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), cet. II, hlm. 204

38 Menurut Gus Dur, Hal inilah yang membedakan amal sholeh yang merujuk pada amal baik seorang Muslim dengan amal khoir atau amal baik non muslim. Kalau amal saleh itu akan sampai

kepada Allah dan akan diterima oleh Nya, sedangkan amal khair tidak demikian, dan hanya akan menjadi fatamorgana.

39 Rumadi, “Dinamika Agama dalam Pemerintahan Gus Dur”, dalam Khamami Zada (ed) Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta: LAKPESDAM), hlm. 144

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

fahuwa wajibun )”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antaragama juga menjadi kewajiban. 40

Tentang pluralitas, seperti terdapat dalam QS. al-Hujurat: 13, menurut Gus Dur, ayat tersebut menunjuk kepada perbedaan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan.

Tentu saja adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan atau aqidah yang dianggap benar. Demikian pula kedudukan penafsiran-penafsiran aqidah itu. Umat Katholik sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohannes XXIII dari tahun 1962- 1965, menyebutkan bahwa para Uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. jadi keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.

Di sinilah nantinya tebentuk persamaan antaragama, bukannya dalam ajaran atau aqidah yang dianut, namun hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian materi menggunakan bukti-bukti kuantitatif seperti tingkat penghasilan rata-rata masyarakat.

3. Cara Menyikapi pluralisme Menurut Gus Dur, pluralisme di tanah air disimbolisasi dengan banyak hal, utamanya agama, suku, dan bahasa. Tetapi ada hal yang banyak dilupakan oleh banyak kalangan, yaitu pluralisme makanan. Ekspresi dan manifestasi pluralisme dalam makanan semakin memperkukuh entitas kebhinekaan yang mewujud dalam bangsa ini.

40 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2002), hlm. 133-134

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Ketika berkunjung ke tempat manapun, yang paling menarik dan menjadi salah satu kekuatan adalah aneka macam menu makanan dengan variannya. Bahkan, belakangan soal pluralisme makanan tersebut dijadikan sebagai salah satu acara di stasiun televisi, yang dikenal dengan wisata

kuliner. 41 Gus Dur memandang bahwa siapapun yang memahami realitas

keragaman masakan yang hampir dimiliki oleh setiap daerah di seluruh pelosok negeri ini, maka pemahamannya terhadap pluralisme justru akan semakin kokoh. Keragaman masakan yang kita miliki sebenarnya merupakan unsur kekuatan, bukan unsur ancaman. Ia semakin menjadikan kita sehat secara jasadi dan sehat secara ruhani. Makanan yang begitu banyak aneka ragamnya telah menjadi fakta bahwa pluralisme atau kebhinekaan merupakan rahmat Tuhan yang harus didayagunakan untuk kemajuan bangsa. Belajar dari pluralisme makanan, maka kita sebenarnya dapat merayakan manfaat dari pluralisme.

Pluralisme bukanlah ide yang menyatakan semua agama sama. Kita semua mengakui dan menyadari bahwa setiap agama mempunyai ajaran yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk menebarkan konflik dan perpecahan. Perbedaan justru dapat dijadikan sebagai katalisator untuk memahami anugerah Tuhan yang begitu nyata untuk senantiasa merajut keharmonisan dan toleransi. Oleh sebab itu, perbedaan dan keragaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Apalagi dalam perbedaan dan keragaman tersebut tersimpan keistimewaan, yang mana antara kelompok yang satu dengan kelompok lain bisa saling mengisi dan menyempurnakan.

Restoran merupakan ruang publik yang sebenarnya dapat memperkokoh pluralisme, karena di situlah perbedaan dirayakan dalam konteks menentukan eksistensi setiap kelompok dengan basis saling

41 Maman Imanulhaq Faqih, Fatwa dan Canda Gus Dur, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.148

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

menghargai dan menghormati. Sebab itu kebiasaan Gus Dur dalam menyantap aneka ragam menu masakan di negeri ini merupakan salah satu apresiasi terhadap pluralisme dan bagaimana menyikapinya dengan positif dan konstruktif.

Menurut Gus Dur, Setidaknya ada tiga hal mendasar yang bisa dilakukan sebagai ikhtiar mengurangi berbagai bentuk ancaman terhadap kemajemukan bangsa, Pertama, penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku

kehendak yang mengatasnamakan agama. Kedua, ormas-ormas keagamaan harus didorong untuk mengedepankan dialog dan kerjasama dalam berbagai bidang sosial dan kebudayaan sehingga toleransi dapat ditumbuhkan secara menyeluruh. Ketiga, nilai-nilai toleransi perlu ditanamkan dan diajarkan sejak dini dan berkelanjutan kepada anak-anak mulai dari Sekolah

tindak

kekerasan

dan pemaksaan

Dasar sampai Perguruan Tinggi. 42

4. Pluralisme dalam Konteks Keindonesiaan Wajah budaya Indonesia yang bhineka menuntut sikap toleran yang tinggi dari setiap anggota masyarakat. Sikap toleransi tersebut harus dapat diwujudkan oleh semua anggota dan lapisan masyarakat sehingga terbentuklah suatu masyarakat yang kompak tapi beragam sehingga kaya

akan ide-ide baru. 43 Serta hubungan antaragama di Indonesia selama kurun waktu 30 tahun

terakhir ini telah berkembang dalam berbagai dimensinya, yang secara kualitatif telah merubah, dan pada saat yang sama dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran keagamaan di kalangan umat beragama itu sendiri. Hal ini minimal dapat ditelusuri pada pemikiran keagamaan kaum muslimin, dalam sosoknya yang tampak balau pada saat ini. Sebagaimana

42 A. Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, (Yogyakarta, LKiS, 2010), hlm. 19-20

43 HAR. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002), cet. III hlm. 180

Pluralisme Perspektif Pendidikan

telah diketahui sejarah bangsa kita, Islam datang di kawasan ini dalam bentuk dan corak yang heterogen. Dalam garis besarnya, Islam datang

dalam bentuk utusan-utusan politik, para pedagang dan para sufi. 44 Heterogenitas asal usul Islam di Indonesia menunjukkan variasi sangat

tinggi dalam pengalaman menjalani hubungan antaragama yang dibawa oleh kaum Muslimin ke negeri ini. Dalam pola sinkretik kehidupan beragama orang Islam di keraton Mataram hingga puritanisme Islam yang kemudian meletus dalam perang Paderi di Sumatera Barat pada paruh pertama abad yang lalu, terbentang spektrum luas dengan manifestasi hubungan antar beragama yang sangat beragam. Muslimin masyarakat Jawa menerima ”kekeramatan” bertemunya hari penting Arab Jum’at dan Hari Jawa Kliwon atau Legi, dengan melakukan ibadah ekstra pada hari tersebut.

Begitu juga mereka menyebut hari Ahad dengan hari Minggu, 45 serta mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari tutup kantor dan tutup

sekolah dengan mengganti kesibukan seperti majlis ta’lim serta pengajian umum. Perubahan ”Hari Kristen” menjadi ”Hari Islam”, tanpa merubah penyebutan nama harinya itu menunjukkan keindahan mozaik kerukunan hidup antara umat beragama yang menyejukkan hati dan menentramkan jiwa. Namun, tantangan modernisasi yang datang dari Barat ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru di kalangan kaum muslimin, yang memerlukan pengamatan teliti.

Pluralitas masyarakat Indonesia sendiri sekurang-kurangnya bisa dilihat sebagai fakta dalam dua sisi. Sisi pertama: pluralitas suku, agama, dan budaya serta berbagai turunannya. Sisi kedua: pluralitas di internal suku, agama, dan budaya itu sendiri. Dalam Islam misalnya, terdapat berbagai

44 Abdurrahman Wahid, “Hubungan antar-Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia” dalam Adurrahman Wahid, dkk., Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1993), hlm. 3

45 Minggu berasal dari kata domingo yang berarti hari Tuhan bagi orang-orang Katolik Portugal, dan kemudian diikuti orang-orang Eropa lain untuk pergi ke gereja

Muhammad Abdul Halim Sidiq; Rohman

aliran yang secara formal sering kali berseberangan. Demikian juga di dalam agama, budaya dan suku yang lain.

Toleransi yang diajarkan Gus Dur merupakan ajaran semua agama dan budaya, apalagi dalam masyarakat majemuk dan multikultur seperti Indonesia. Namun, toleransi yang diajarkan dan dipraktekkan Gus Dur berbeda dari tokoh-tokoh agama lain. Gus Dur mengajarkan toleransi plus, yaitu kalau kebanyakan orang membudayakan toleransi sebatas pada hidup berdampingan secara damai, yaitu hidup bersama dalam suasana saling menghormati dan menghargai. Tidak demikian dengan Gus Dur. Dalam menyikapi pluralitas tersebut, Gus Dur menegaskan bahwa tegaknya pluralisme masyarakat bukan hanya terletak pada pola hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence), karena hal demikian masih sangat rentan terhadap munculnya kesalah-pahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain bisa saling memberi dan

menerima. 46 Selama tahun 2008, masih ada beberapa elemen bangsa yang

mempermasalahkan pluralisme. Padahal pluralisme adalah keniscayaan bangsa Indonesia. Menurut Gus Dur, kelompok yang menolak pluralisme itu akibat ketidaktahuan terhadap sejarah lahirnya Bangsa Indonesia. Salah satu cara mengatasinya, kata Gus Dur, Bangsa Indonesia harus membangun batasan bersama. Batasan itu adalah penghargaan terhadap pluralisme tidak akan diutak-atik. Batasan ini juga berlaku saat membahas

Undang-Undang Dasar Negara. 47

46 Tulisan ini diambil dari makalah Gus Dur berjudul “Pluralisme Agama dan Masa Depan Indonesia

47 Catatan Akhir Tahun 2008 Gus Dur, Pluralisme di Indonesia Mengalami Krisis, ”, disampaikan pada seminar di UKSW, th. 1992. lihat M. Hanif Dhakiri, op.cit.hlm. 120 http://wahidinstitute.org

Pluralisme Perspektif Pendidikan

Konsep toleransi yang dikembangkan Gus Dur meniscayakan adanya kebenaran yang datang dari agama atau peradaban lain. Namun, jika kerendahan hati seperti itu bisa dikembangkan secara terus menerus, maka toleransi di tengah masyarakat, akan semakin menemukan polanya yang dengan sendirinya kerukunan antaragama akan menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika masyarakat dan suasana saling belajar, melengkapi dan mengisi akan menciptakan kultur keberagamaan yang matang dan dewasa. Jika sudah demikian, maka dengan sendirinya perbedaan agama dan keyakinan akan menjadi sumber kekuatan yang sangat dahsyat bagi perubahan dalam persaudaraan.

5. Aktualisasi Pemikiran Pluralisme Abdurrahman Wahid Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memimpin upacara pemakaman Gus Dur di lingkungan Ponpes. Tebu Ireng Jombang, 31 Desember 2009, secara terbuka mengakui Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 24 Agustus 2005 sejumlah tokoh Lintas Agama, Jaringan Doa Nasional Tionghoa Indonesia dan warga Ahmadiyah menganugerahi Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Penganugerahan ini disampaikan di gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat.