ekonomi rakyat dan pemberdayaan kegiatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Negara Indonesia adalah negara agraris yang seharusnya memiliki
kelebihan dalam segi pertaniannya, akan tetapi hal ini berlainan dengan kondisi
nyata yang terjadi dimana terjadi krisis pangan di Indonesia. Krisis sektor pangan
dimana Indonesia tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari produksi
dalam negeri mencuat beberapa tahun belakangan. Pada masa krisis pangan
tersebut Indonesia harus memenuhi kebutuhan pangannya melalui impor berbagai
bahan pangan, termasuk beras yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa Indonesia pada beberapa tahun
belakangan ini sedang mengalami krisis dalam produksi pangan. Hal tersebut
tercermin pada hasil produksi pangan nasional yang belum mampu untuk
memenuhi kebutuhan pangan didalam negri. Secara umum ketahanan pangan
Indonesia masih kurang, terlihat dari kemampuan Indonesia yang sampai saat ini
baru bisa mencapai swasembada pangan dalam sektor beras. Fenomena faktual
yang menarik untuk disoroti saat ini adalah hadirnya beras plastik, yang
membuktikan bahwa produksi pemenuhan pangan Indonesia tidak berjalan baik.
Kebutuhan pangan nasional sendiri berbanding lurus dengan pertumbuhan

penduduk. Melihat pertumbuhan penduduk Indonesia, menurut sensus penduduk
terakhir yang dilakukan pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia mencapai 23

1

2

juta jiwa dengan prediksi pertumbuhan penduduk sekitar 3% per tahun
(www.bps.go.id, diakses pada 11/05/2014). Dengan adanya pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat tersebut, tentunya harus diiringi oleh
pemenuhan kebutuhan pangan yang juga memadai.
Pembangunan pada sektor pangan terutama pertanian padi sawah menjadi
penting, bila melihat kebiasaan masyarakat Indonesia yang sebagian besar
menjadikan nasi sebagai kebutuhan pokok. Dalam poduksi pangan, terutama hasil
produksi beras nasional, menurut Mentri Pertanian Suswono, memang dianggap
sudah mampu terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Akan tetapi bertentangan
dengan pengumuman yang dikeluarkan pemerintah tersebut, di Indonesia masih
adanya impor beras yang cukup besar dari beberapa negara di Asia Tenggara
terutama Vietnam hingga tahun 2012. Produksi beras nasional Indonesia pada
tahun 2013 mencapai 38,84 juta ton, dengan konsumsi beras nasional yang hanya

mencapai 34,42 juta ton, akan tetapi masih saja terdapat impor beras dari Vietnam
(httpwww.tribunnews.combisnis20140204tidak-logis-surplus-beras-tapi-impornaik, diakses pada 11/05/2014).
Surplus produksi beras dalam negeri, tentunya tidak perlu lagi disertai
dengan impor beras, karena memang kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan
juga hal tersebut dapat menjatuhkan para petani. Melalui produksi nasional yang
surplus, semestinya meningkatkan pendapatan para petani melalui peningkatan
harga beras atau gabah. Realitas yang terjadi ternyata berlainan, karena terdapat
impor beras ilegal yang memang marak terjadi, yang menjadikan petani tidak

3

memiliki daya tawar yang lebih karena harus bersaing dengan harga beras impor
ilegal tersebut.
Swasembada

beras

yang

telah


terpenuhi,

tidak

mampu

untuk

mempertahankan keberlangsungan kegiatan pertanian padi sawah indonesia.
Ketidak mampuan petani dalam mempertahankan kegiatannya juga terlihat dari
tingginya alih fungsi lahan pertanian diindonesia. Alih fungsi lahan pertanian
yang memang marak terjadi diakui oleh mentan, dimana terjadi pengurangan
lahan pertanian sekitar 100.000 hektar pada setiap tahunnya yang menjadi lahan
perumahan atau menjadi lahan pabrik (httpwww.indonesia.go.id inkementerian
kementerian kementerian- pertanian974- pertanian13454- konsumsi -berasmasyarakat –indonesia –tertinggi -di-dunia, diakses pada 11/05/2014).
Hasil Sensus Pertanian tahun 2003 mengungkapkan bahwa selama tahun
2000-2002 luas lahan sawah di pulau Jawa yang dialihfungsikan ke penggunaan
non pertanian (perumahan, kawasan industri, sarana publik, dan lain-lain) rata-rata
187,7 ribu hektar per tahun (http://lppm.uns.ac.id/kinerja/files/pemakalah/lppmpemakalah-2013-12122013201117.pdf, diakses pada 11/05/2014).

Berkurangnya lahan pertanian yang berlih fungsi menjadi pemukiman atau
pun dipergunakan untuk hal lainnya juga terjadi di daerah Jawa Barat. Dimana
telah kita ketahui bersama bahwa Jawa Barat memang merupakan salah satu
penyumbang hasil produksi beras nasional yang cukup tinggi di pulau Jawa.
Sebagai salah satu penghasil produksi beras di pulau Jawa, tingginya alih fungsi
lahan pertanian di Jawa Barat tentunya sangat berengaruh pada produksi beras di

4

pulau Jawa. Di daerah Jawa Barat alih fungsi lahan pertanian secara lengkapnya
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel Luas Panen- Produktivitas- Produksi Tanaman Padi Provinsi Jawa Barat
Provinsi

Jenis
Tahun Luas
Tanaman
Panen (Ha)
Jawa Barat Padi
2003

1664386.00
Jawa Barat Padi
2004
1880142.00
Jawa Barat Padi
2005
1894796.00
Jawa Barat Padi
2006
1798260.00
Jawa Barat Padi
2007
1829085.00
Jawa Barat Padi
2008
1803628.00
Jawa Barat Padi
2009
1950203.00
Jawa Barat Padi

2010
2037657.00
Jawa Barat Padi
2011
1964466.00
Jawa Barat Padi
2012
1918799.00
Jawa Barat Padi
2013
2029891.00
Sumber: httpwww.bps.go.id, diakses 11/05/2014.

Produktivitas
(Ku/Ha)
52.73
51.07
51.65
52.38
54.20

56.06
58.06
57.60
59.22
58.74
59.53

Produksi
(Ton)
8776889.00
9602302.00
9787217.00
9418572.00
9914019.00
10111069.00
11322681.00
11737070.00
11633891.00
11271861.00
12083162.00


Dari tabel diatas terlihat bahwa sebenarnya terjadi alih fungsi lahan
pertanian yang begitu besar pada tahun 2010 hingga 2012. Meskipun dari data
BPS diatas terlihat peningkatan luas lahan panen pada tahun 2013 akan tetapi
dalam prakteknya alih fungsi lahan pertanian semakin meluas di berbagai daerah
di Jawa Barat. Alih fungsi lahan pertanian di Jawa Barat sebagian besar berubah
menjadi pemukiman atau komplek perumahan.
Berangkat dari tingginya alih fungsi lahan di pulau Jawa, yang merupakan
salah satu penghasil beras terbesar di Indonesia, terlihat bahwa lahan yang
diperuntukan bagi pertanian tidak lagi memiliki daya tawar yang baik. Petani
tidak mampu lagi untuk mempertahankan lahan mereka sebagai lahan pertanian,
yang juga memperlihatkan bahwa kegiatan pertanian tidak lagi menghasilkan
pendapatan yang menggiurkan. Apabila dilihat dari sudut ekonomi tentunya suatu

5

lahan itu apabila mampu untuk memberikan pendapatan yang cukup bagi
pemiliknya sebagai lahan pertanian, sudah dipastikan tidak akan terjadi alah
fungsi lahan yang besar pada setiap tahunnya.
Tentunya dengan alih fungsi lahan pertanian yang tinggi, akan menjadi

masalah bila indonesia mencanangkan untuk mencapai swasembada pangan
terutama dalam produksi beras. Dimana tercapainya swasembada beras nasional
pada tahun 2014 ini, seharusnya juga dapat memiliki dampak positif bagi
pendapatan para petani, sehingga dapat menekan laju alih fungsi lahan.
Kenyataanya, dengan tercapainya swasembada beras tetap tidak mampu menekan
tingginya alih fungsi lahan di berbagai daerah di Indonesia terutama daerah yang
merupakan penghasil beras utama. Tingginya alih fungsi lahan di daerah
penghasil beras adalah karena daerah tersebut mulai berkembang menjadi
perkotaan dan lahan pertanian akhirnya berubah menjadi perumahan.
Kabupaten Bandung yang juga merupakan salah satu daerah dengan
produksi beras yang cukup baik, mengalami alih fungsi lahan pertanian yang
begitu tinggi, terutama lahan pertanian padi sawah didaerah perbatasan dan pusat
pemerintahan. Meluasnya alih fungsi lahan di beberapa daerah di Jawa Barat,
termasuk didalamnya daerah Kabupaten Bandung berjalan dengan cepat dan
mengikis banyak lahan pertanian padi sawah di daerah yang produktif dan subur.
Alih fungsi lahan yang terjadi di daerah Kabupaten Bandung menandai
kurangnya daya tawar lahan sebagai lahan pertanian, dan juga mengisyaratkan
bahwa kegiatan pertanian tidak lagi memiliki nilai ekonomi yang baik. Daerah
perbatasan, yang merupakan daerah dengan alih fungsi lahan pertanian menjadi


6

pemukiman yang begitu besar di Kabupaten Bandung, menandakan bahwa petani
tidak mampu lagi untuk mempertahankan lahannya sebagai lahan pertanian.
Maraknya alih fungsi lahan pertanian karena pertumbuhan penduduk yang begitu
cepat. Selama periode tahun 1998 sampai 2008 telah terjadi konversi luas lahan
pertanian menjadi lahan terbangun sebesar 2249,17 ha dengan laju konversi per
tahun 264 ha (http://repository.ipb.ac.id /handle/ 123456789/ 44854, diakses pada
11/05/2014). Nilai lahan yang digunakan sebagai lahan pemukiman dianggap
menghasilkan daya jual yang lebih tinggi, terlihat dari harga properti perumahan
di beberapa daerah di Kabupaten Bandung yang harganya begitu tinggi.
Pendapatan petani berpengaruh terhadap kemampuan mereka untuk
memampuan mereka dalam mempertahankan lahan mereka sebagai lahan
pertanian. Jika kita melihat alih fungsi lahan yang begitu tinggi di daerah
Kabupaten Bandung, terutama daerah perbatasan dengan daerah kota, tentunya
tidak akan terjadi begitu cepat jika memang petani memiliki pendapatan yang
cukup dan kegiatan pertanian mampu untuk menghasilkan nilai provit ekonomi
yang tinggi bagi petani. Bila petani memiliki pendapatan yang cukup dan
keuntungan yang menggiurkan tentunya mereka tidak akan dengan mudah
melepas lahan pertanian padi sawah mereka untuk dialih fungsikan atau dijual.

Peningkatan produksi pangan yang ditempuh memalui berbagai stategi
pemangunan pangan hanya mampu untuk meningkatkan hasil produksi pangan
tanpa meningkatkan pendapatan para petaninya. Terdapat berbagai program
pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan nasional,
terutama produksi beras, seperti program Peningkatan Produksi Beras Nasional

7

(P2BN). Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan hasil produksi beras
yang dihasilkan, dimana produksi beras harus mencapai standar yang diharapkan,
yakni

dapat

menghasilkan

lebih

dari

10

ton

per

hektar

(http://diperta.ponorogo.go.id/pertanian/pertanian/index.php?
option=com_content&view=article&id=1190:program-peningkatan-produksiberas-nasional-p2bn-&catid=96:sample-news, diakses pada 11/05/2014).
Hasil produksi yang meningkat tentunya akan meningkatkan pula
pendapatan petani, terlebih lagi yang dituju adalah swasembada pangan, akan
tetapi hal tersebut tidak mempu untuk membuat petani mempertahankan kegiatan
pertanian mereka. Adanya bantuan pada saat penanaman awal padi, yang menekan
pengeluaran petani dan tentunya meningkatkan hasil produksi pertanian,
seharusnya mampu untuk meningkatkan pendapatan petani. Berjalannya program
P2BN, dimana target tersebut tentunya harus memberikan daya tahan tersendiri
untuk menekan alihfungsi lahan yang salah satunya di daerah perbatasan
Kabupaten Bandung Barat.
Geliat otonomi daerah yang berjalan saat ini seharusnya menjadi dukungan
dalam pembangunan ekonomi petani padisawah bagi pemerintah daerah. Seperti
yang diungkapkan oleh Kaho (2007:66-70) bahwa terdapat 4 faktor penting yang
berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang diantaranya adalh
faktor keuangan. Pentingnya keuangan bagi penyelenggaraan otonomi daerah
dikarenakan dengan optimalisasi pendapatan daerah melalui pemanfaatan potensi
daerah secara baik tentunya akan meningkatkan pendapatan daerah. Pembangunan
daerah bila dikaitkan dengan faktor keuangan tentunya daerah harus mampu untuk

8

efektif dan efisien dalam mengatur keuangannya, yang tentunya harus mampu
untuk mengoptimalkan pendapatan daerah. Salah satu objek penerimaan daerah
adalah dari potensi pertaniannya, dengan begitu sudah seharusnya daerah yang
berpotensi dalam bidang pertanian terutama pertanian padi sawah harus mampu
untuk meningkatkan kegiatan pertanian tersebut karena akan meningkatkan
pendapatan daerahnya.
Pengaruh lain yang dapat meningkatkan daya tawar petani adalah dari
kebijakan pemerintah terkait tataruang wilayah, dengan kebijakan tersebut dapat
mempertahankan atau menekan ketingginya alih fungsi lahan di suatu daerah.
Melihat arah pembangunan daerah terutama arah pembangunan daerah kabupaten
bandung barat dalam perda rencana tatarung wilayah kabupaten bandung barat no
2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung tahun
2009-2029, terlihat bahwa sebenarnya pemerintah tidak berpihak pada pada petani
untuk mempertahankan wilayah pertanian di daerah beberapa daerah yang
potensial dalam pertanian padi sawah. Hal tersebut terlihat dari pengembangan
wilayah Kabupaten Bandung yang mengalami alih fungsi lahan adalah wilayah
pertanian yang subur seperti daerah Kecamatan Bojongsoang, Dayeuhkolot,
Cileunyi, Rancaekek, Cicalengka dan lain-lain yang mengalami perkembangan
penduduk yang tinggi.
Memandang

keberpihakan

pemerintah

dalam

keseriusannya

pada

peningkatan ketahanan pangan nasional dan juga untuk mempertahankan lahan
pertanian adalah dari segi kebijakan pertaniannya. Pemerintah yang telah
mengeluarkan beberapa peraturan perundang undangan dan juga peraturan mentri

9

yang bertujuan utnuk mempertahankan wilayah pertanian sebenarnya telah ada
dalam waktu yang lama, tapi implementasinya masih jauh dari kenyataan karena
terbukti masih banyak terjadi alih fungsi lahan diberbagai wilayah Indonesia.
Seperti UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, yang dimana intinya memberikan jaminan untuk membentuk suatu
lahan pertanian yang terjaga kelestariannya untuk dapat memenuhi kebutuhan
pangan nasional.
Inti dari UU No 41 tahun 2009 ialah adanya lahan pertanian yang tetap,
guna menjamin ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan lahan yang tetap
tentunya akan dapat menjaga kelangsungan produksi pangan yang juga tetap.
Tetapnya pemanfaatan lahan sebagai suatu lahan pertanian atau kawasan
pertanian, akan menjamin adanya kestabilan ekonomi rakyat petani karena petani
sudah jelas memiliki jaminan lahan yang tidak akan mendapatkan intervensi untuk
nantinya beralih fungsi. UU No 41 tahun 2009 selain menjamin keberlangsungan
lahan sebagai lahan pertanian juga menjamin berbagai faktor-faktor yang
mendukung keberadaan lahan pertanian tersebut, seperti irigasi dan juga fasilitas
pendukung lainnya.
Tindak lanjut dari UU No 41 tahun 2009 adalah hadirnya PP No 30 tahun
2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian pangan Berkelanjutan
bertujuan untuk dapat menjaga keberlangsungan lahan pertanian. Dengan
ditunjang dana yang memadai, lahan pertanian pangan berkelanjutan seperti yang
dimaksud UU No 41 tahun 2009 yang tempatnya berada didaerah pedesaan,
pemerintah

daerah

setempat

memiliki

kewajiban

untuk

menjaga

dan

10

mempertahankan wilayah pertanian tersebut dengan pendanaan yang cukup serta
dimanfaatkan untuk membangun daera pertanian melalui berbagai fasilitasnya.
Kebijakan pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah belum dapat
selaras, terlihat dari daerah yang belum mampu untuk menghalau tingginya alih
fungsi lahan didaerahnya, termasuk juga daerah Kabupaten Bandung. di daerah
perbatasan Kabupaten Bandung misalnya daerah Kecamatan Bojongsoang,
Dayeuhkolot, Cileunyi ataupun daerah perbatasan lainnya masih banyak terdapat
alih fungsi lahan pertanian yang begitu besar. Dari fenomena tersebut, sebenarnya
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat belum tentu bisa dijalankan
seperti didaerah Kabupaten Bandung yang belum mampu mempertahankan
keberlangsungan lahan pertaniannya.
Pembangunan ekonomi petani secara serius belum mampu diwujudkan
oleh pemerintah, hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah yang belum dapat saling mendukung. Keinginan pemerintah pusat untuk
menciptakan swasembada pangan dengan meningkatkan lahan pertanian serta
meningkatkan produksi masih belum mampu diwujudkan. Pemerintah daerah
sendiri yang masih tertekan oleh kebutuhan masyarakat terhadap perumahan yang
juga masih tergiur tingginya keuntungan perubahan sebagai lahan properti
perumahan. Wilayah kabupatenbandung misalnya yang merupakan wilayah
potensial dalam kegiatan pertaniannya, tetap saja pemerintah setempat
memberikan ijin untuk melakukan alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi
komplek perumahan, padalah wilayah perbatasan Kabupaten Bandung sudah sejak

11

lama terkenal sebagai daerah yang memiliki potensi dalam bidang pertanian dan
pangan, terutama padi.
Kegiatan petanian yang sudah tidak dapat menghasilkan daya ekonomi
yang baik untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan kegiatan pertanian
padi sawah di berbagai daerah di Indonesia. mulai bergsernya fungsi lahan dari
lahan pertanian menuju lahan property menandakan bahwa skegiatan pertanian
tidak mampu memberikan provit ekonomi yang baik bagi para petani, terutama
dalam bidang pertanian padi sawah. Petani padi sawah tidak mendapatkan
keuntungan yang cukup dengan menjalankan kegiatan pertaniannya, pada tahun
2010, petani dengan 1 hektar tanaman padi harus hidup dengan Rp 2.279.900 per
bulan

(httpekonomi.kompasiana.comagrobisnis20130716siapa-mau-jadi-petani-

padi--577213.html, diakses pada 11/05/2014). Dengan pendapatan sebesar itu
tentunya pada jaman sekarang ini petani akan berpikir ulang untuk melanjutkan
kegiatannya karena pendapatan mereka yang minim. Minimnya pendapatan petani
padisawah tersebut menjadikan pola pemikiran petani dan masyarakat yang lebih
pragmatis dan akhirnya kebanyakan masyarakat meninggalkan kegiatan pertanian
padi sawah atau tidak berkeinginan untuk menjadi petani padi sawah.
Pada umumnya petani, dalam hal ini petani padi ketika menjual hasil
usahataninya tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh produksi yang bersifat musiman, rentan terhadap risiko alam, kemampuan
menyimpan produk rendah, desakan kebutuhan likuiditas cukup tinggi,
karaketristik petani yang mengusahakannya (Sudaryanto T, dkk., 2008). Hal
senada juga dinyatakan oleh Antara, dkk. (1994) bahwa dalam usaha

12

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, sering dihadapkan pada
permasalahan pengetahuan petani yang masih relatif rendah, keterbatasan modal,
lahan garapan yang sempit serta kurangnya ketrampilan petani yang nantinya akan
berpengaruh

pada

penerimaan

petani

(httpbali.litbang.deptan.go.idindindex.phpoption=com_content&view=article&id=
118studi-komparatif-pendapatan-usahatani-padi&catid=11bulletin&Itemid=58,
diakses pada 11/05/2014). Berdasarkan pendapat Sudarto dan Antara tersebut,
jelas terlihat pandangan yang keliru terhadap pembangunan di daerah pedesaan,
yang terutama menyangkut alih fungsi lahan dalam konteks pembangunannya.
Pemerintah terkesan sengaja memanfaatkan kekurangan dan kelemahan petani
untuk dapat melakukan alih fungsi lahan pertanian menjadi wilayah industri atau
komplek perumahan.
Penerapan konseppembangunan di daerah pedesaan yang salah kaprah
tidak dapat meningkatkan ekonomi masyarakat petani, malah akhirnya mengusir
masyarakat tani tersebut. Melalui pembangunan yang menitikberatkan pada alih
fungsi lahan, memang memberikan suatu bentuk modernisasi didaerah pedesaan,
dimana daerah pertanian berubah menjadi komplek perumahan atau kawasan
industri. Perubahan tersebut memberikan keuntungan pada pemilik lahan, akan
tetapi memberikan dampak negatif bagi masyarakat tani yang umumnya adalah
buruh tani. Para buruh tani yang tidak siap dengan alih fungsi lahan menjadi
komplek perumahan atau derah industri akhirnya akan tersingkir dari derahnya,
kerena merka tidak siap menerima perubahan yang begitu cepat, terutama dari
segi pendidikan yang tentunya akan berdapak pula pada kemampuan ekonomi

13

mereka. Pembanguanan dengan pola alih fungsi lahan jauh dari harapan
masyarakat tani yang dimana seharusnya memberikan masyarakat tani kehidupan
yang lebih baik, malah akhirnya mengusir masyarakat tani.
Pada akhir tahun 2014 hingga awal tahun 2015 masyarakat digegerkan
dengan kenaikan harga pangan sebesar 30% pada pasar-pasar yang ada di kota
besar, itu membuktikan bahwasanya pertanian tidak lagi merupakan suatu sektor
ekonomi yang patut dikembangkan bagi kalangan masyarakat tani. Kenaikan
harga tersebut memberi gambaran bahwa produksi beras nasional menurun, dan
hal itu sejalan dengan maraknya alih fungsi lahan pertanian. Peristiwa tersebut
juga menjadi suatu cerminan bahwa masyarakat tani di pedesaan sebenarnya tidak
merasakan dampak dari adanya pembanguanan meskipun telah ditetapkannya UU
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Pembangunan yang dirasakan oleh masyarakat petani tidak berjalan baik,
akan tetapi malah memberikan petaka bagi masyarakat tani tersebut. Dahulu kita
pernah mendengar istilah “bedol desa” dimana masyarakat didalam suatu desa
melakukan trasmigrasi demi melakukan pemerataan penduduk. Pada jaman
sekarang ini, konsep bedol desa dilakukan bukan dengan alasan pemerataan
penduduk, akan tetpi lebih tepat karena masyarakat tani memang terusir dari
daerhnya.
Dagaimana kebiasaan petani dalam mengembangkan kegiatan pertanian
yang mereka jalankan? Bagaimana sebenarnya harapan petani untuk dapat tetap
memberikan kontribusi bagi pembangunan di negri ini? Apakah alih fungsi lahan
merupakan hal terbaik dalam melakukan penbangunana di daerah pedesaan?

14

Apakah terdapat kelembagaan yang mendukung pembangunan ekonomi
padi sawah? Produksi padi yang terus meningkat harus didukung oleh lembaga
pemasaran yang baik untuk meningkatkan pendapatan petani. Tingginya produksi
dengan dukungan lembaga pemasaran yang baik sebagai upaya pendistribusian
hasil produksi akan meningkatkan pendapatan petani. Dukungan dari segi
kelembagaan pemasaran akan meningkatkan pendapatan ekonomi petani yang
tentunya meningkatan daya tawar lahan sebagai lahan pertanian.
Dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi petani padi sawah yang
dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Bandung, maka penulis mengambil judul
“Pengaruh Pembangunan Terhadap Perekonomian Petani Di Daerah
Perbatasan Kabupaten Bandung”. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui dan
menganalisis proses pembangunan ekonomi petani padi sawah serta mengetahui
masalah dari proses pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah
Kabupaten Bandung.
Berangkat dari keingintahuan penulis terkait pengaruh pembangunan
terhadap perekonomian petani di daerah perbatasan kabupaten bandung, penulis
ingin mengetahui apa saja yang dilakukan oleh pemerintah melalui Dinas
Pertanian Kabupaten Bandung, dalam melakukan pembangunan ekonomi bagi
masyarakat petani di Kabupaten Bandung. Pada akhirnya, dari dijalankannya
proses pembangunan ekonomi oleh pemerintah tersebut, penulis juga ingin
mengetahui dampak yang terjadi dari pembangunan ekonomi bagi masyarakat
petani yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung.

15

1.2 Identifikasi Masalah
Dari uraian diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana rencana pemerintah Kabupaten Bandung dalam melakukan
pembangunan di daerah perbatasan wilayah Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana pengaruh pembangunan terhadap perekonomian petani di
daerah perbatasan Kabupaten Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui dan menganalisis
pembangunan ekonomi petani padi sawah di Kabupaten Bandung selain itu juga
mengetahui dampak dari pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah
Kabupaten Bandung.
Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menganalisis rencana pemerintah Kabupaten
Bandung dalam melakukan pembangunan di daerah perbatasan wilayah
Kabupaten Bandung.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh pembangunan terhadap
perekonomian petani di daerah perbatasan Kabupaten Bandung.

1.4 Kegunaan Penelitian
Kegunaan akademis:

16

1. Bagi kepentingan akademis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi media
untuk mengaplikasikan teori dan konsep-konsep ilmu ekonomi dalam
bidang pembangunan ekonomi masyarakat, sehingga bisa memberikan
pengetahuan bagi peneliti dan diharapkan juga dapat mengembangkan
ilmu ekonomi itu sendiri.
2. Bagi peneliti sendiri, dapat menambah pengetahuan mengenai penerapan
teori dan konsep-konsep pembangunan ekonomi, juga memberikan
pengetahuan mengenai realitas dan dinamika dalam pembangunan
ekonomi masyarakat khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi
petani padisawah.
Kegunaan praktis:
1. Bagi Pemerintah Kabupaten Bandung sendiri, penelitian ini diharapkan
dapat memberikan pertimbangan dalam prencanaan pembangunan daerah,
khususnya dalam bidang pembangunan ekonomi pertanian padi sawah
yang berkembang didalam masyarakat.
2. Selain itu, Pemerintah Kabupaten Bandung juga dapat mengetahui hasil
dan perkembangan dari kegiatan pembangunan ekonomi petani padi sawah
yang dilakukan oleh aparatnya.

1.5 Kerangka Pemikiran
Pemberdayaan masyarakat yang berjalan saat ini dilakukan oleh
pemerintah daerah, pemerintah daerah sendiri merupakan hasil dari diterapkannya

17

asas desentralisasi. Istilah “desentralisasi” berasal dari bahasa Latin “de” yang
berarti lepas dan “centrum” yang artinya pusat (Syarifin, 2006:97).
Selanjutnya Syarifin yang mengutip pernyataan Joeniarto, mengartikan
asas desentralisasi sebagai berikut:
“asas yang bermaksud memberikan wewenang dari pemerintah negara
kepada pemerintah lokal untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu
sebagai urusan rumah tangga sendiri, yang biasanya disebut swatantra atau
otonomi” (Joeniarto dalam Syarifin, 2006:97).
Pengertian desentralisasi dikemukakan oleh Rondinelli dan Cheema,
desentralisasi diartikan sebagai berikut:
“The transfer of planning, decision-making, or administrative authority
from central government to its field organizations, local administrative
units, semi-autonomous and parastatal organizations, local governments,
or nongovernmental organizations“ (Haris, 2001:25).
Artinya:
Transfer kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan atau
administrasi dari pemerintah pusat kepada organizasi-organisasinya di
daerah, kepada unit-unit administrasi di daerah, semi-autonomous dan
organizasi-organisasi bisnis atau industri, pemerintah lokal atau organisasi
non pemerintah.
Sementara itu Parson mendefinisikan desentralisasi sebagai “sharing of
the govermental power by a central ruling group with other groups, each having
authority within a specific area of the state” (dalam Haris, 2001:24).
Artinya:
“Pembagian kekuasaan oleh pemerintah pusat kepada kelompok lainnya,
yang dimana memiliki otoritas masing-masing didalam wilayahnya”.
Sejalan dengan pernyataan Parson diatas, Smith mengemukakan definisi
desentralisasi secara politik,“the transfer power, from top level to lower level, in a
territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or office
within a large organisation” (dalam Haris, 2001:24).

18

Artinya:
“Peralihan kekuasaan, dari level yang tinggi pada level yang lebih rendah,
dalam suatu hierarki teritorial, atau bisa berupa negara bagian yang ada didalam
suatu negara, atau suatu lembaga kepada organisasi yang lebih besar”.
Desentaralisasi mencakup beberapa elemen, Smith yang dikutip oleh
Muluk, mengungkapkan bahwa elemen dari desentralisasi adalah:
1. Desentralisasi memerlukan pembatasan area.
2. Desentralisasi meliputi pula pendelegasian wewenang, baik itu wewenang
politik maupun wewenang demokratis (Muluk, 2007:8).
Sejalan dengan Smith, Muluk yang mengutip pernyataan Hoessein
mengungkapkan bahwa, “desentralisasi mencakup dua elemen pokok yakni
pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah
otonom tersebut” (Muluk, 2007:9).
Dari kedua elemen yang dikemukakan oleh Smith dan Hossein tersebut
lahirlah local government, yang didefinisikan oleh united nations sebagai berikut:
“a political subdivision of a nation or (in federal system) state which is
constituted by law and has substansial control of local affairs, including
the power to impose taxes or exact labour for prescribed purpose. The
governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected”
(dalam Muluk, 2007:9).
Artinya:
“Pembagian kewenangan dalam suatu negara (dalam sistem federal) secara
substansial dibentuk oleh hukum didalam konstitusi yang mengendalikan
pembangian kekuasaan dari pemerintah lokal, termasuk kewenangan untuk
mengatur pajak atau untuk menetukan pembagian kerja yang tepat.
Lembaga pemerintah atau suatu entitas yang terpilih secara lokal”.

19

Menurut Muluk, dari definisi local government yang dikemukakan united
nation tersebut, terdapat perbedaan atara local governtment di negara dengan
sistem federal, perbedaan tersebut dikemukakan sebagai berikut:
“Dalam negara kesatuan pemerintahan lokal tidak berbentuk “staat”
karena tidak memiliki “pouvoir constituant”” (Muluk, 2007:9).
Kewenangan pemerintah federal berasal dari negara bagian yang
dirumuskan dalam kostitusi federal. Kewenangan daerah otonom juga
berasal dari negara bagian bukan dari pemerintah federal dan dirumuskan
dalam undang-undang negara bagian. Hubungan antara negara bagian dan
pemerintah federal bersifat koordinasi dan independen (Muluk, 2007:9).
Sementara pada negara kesatuan, hubungan daerah otonom dengan
pemerintah pusat sama dengan hubungan antara daerah otonom dan negara bagian
dalam sistem federal yang bersifat sub ordinasi dan dependen (Muluk, 2007:9).
Pemerintahan lokal yang merupakan hasil dari diterapkannya asas
desentralisasi di Indonesia disebut dengan pemerintah daerah yang terdiri dari
pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Mufti mengartikan pemerintah daerah sebagai berikut:
“Pemerintah daerah merupakan pelaksana fungsi pemerintahan di daerah
yang dilakukan oleh dua lembaga pemerintahan daerah yaitu, pemerintah
daerah dan DPRD. Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD
merupakan hubungan yang kedudukan setara dan bersifat kemitraan.
Kedudukan yang setara bermakna bahwa diantarra lembaga pemerintahan
dareah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, artiya tidak salang
membawahi . Kedua lembaga ini adalah mitra kerja untuk melaksanakan
otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing. Sehingga diantara
kedua lembaga itu membangun kerjasama yang sifatnya saling mendukung
bukan merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain” (dalam Malik,
2010:118-119).

20

Dari diterapkannya desentralisasi maka pemerintah daerah memiliki
kewenangan untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Menurut Ryaas
Rasyid ada tiga fungsi hakiki pemerintahan, yaitu:
1. Pelayanan (Service)
2. Pemberdayaan (Empowerment)
3. Pembangunan (Development) (Ndraha, 2005:58).
Pelayanan menurut Kotler adalah “setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat tidak terikat pada suatu produk secara fisik” (Lijan, 2008:45).
Sampara berpendapat mengenai arti dari pelayanan, “Pelayanan adalah
suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar
seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan
pelanggan” (dalam Lijan, 2008:5).
Pelayanan yang dilakukan pemerintah adalah pelayanan publik, pelayanan
publik diartikan sebagai, “pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu dengan aturan
pokok dan tata cara yang telah ditetapkan” (Lijan, 2008:5).
Dari ketiga fungsi pemerintahan, fungsi pemberdayaan juga merupakan
fungsi yang penting. Suharto mengartikan konsep pemberdayaan sebagai berikut:
“Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide
utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan.
Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia.

21

Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial karena itu, kekuasaan dan hubungan
kekuasaan dapat berubah” (Suharto, 2005:57-58).
Sementara itu Kusnaka Adimihardja, dalam mengartikan pemberdayaan
mengutip pernyataan Simon, yaitu sebagai berikut:
“Pemberdayaan adalah suatu aktifitas reflektif, suatu proses yang mampu
diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari
kekuatan atau penentuan diri sendiri. Sementara proses lainnya hanya
dengan memberikan iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat
prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan
kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan fisik” (dalam Hikmat, 2006:X).
Sejalan dengan Adimihardja dan Simon, Parsons juga berpendapat bahwa
pemberdayaan merupakan satu proses, pemberdayaan menurut Parsons adalah
sebagai berikut:
“Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup
kuat untuk berpartisipasi dalam berbagai pengontrolan atas, dan
mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang
mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi
perhatiannya” (Suharto, 2005:59).
Tujuan pemberdayaan menurut Ife yang dikutip Suharto adalah, “untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung” (Suharto,
2005:58).
Pembangunan memiliki cakupan yang luas dan tidak mudah untuk
mengartikannya, Budiman mengartikan pembangunan sebagai berikut:
“Secara umum, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan
kehidupan masyarakat dan warganya; seringkali, kemajuan yang
dimaksudkan terutama adalah kemajuan material. Maka, pembangunan
seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh satu masyarakat
di bidang ekonomi; bahkan dalam beberapa situasi yang sangat umum

22

pembangunan diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang kurang
diharpakan bagi ‘sebagian orang tersingkir’ dan sebagai ideologi politik
yang memberikan keabsahan bagi pemerintah yang berkuasa untuk
membatasi orang-orang yang mengkritiknya” (Budiman, 1995;1-2).
Aji dan sirait mendevinisikan pembangunan sebagai berikut:
“pembagnunan adalah proses terus menerus yang dilakukan terrencana
untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek, seperti
ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pembangunan dilakukan dengan
memaksimalkan sumber daya manusia sumbern daya alam teknologi dan
modal. Akan tetapi dengan mempertimbangkan pula keseimbangan
masyarakat dan lingkungannya dalam jangka pendek maupun jangka
panjang” (Aji dan Sirait, 1984;6).
Selanjutnya Budiman menyebutkan unsur-unsur dalam pembangunan,
yaitu sebagai berikut:
“Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah
materi yang mau dihasilkan dan dibagi, dan kedua, masalah manusia yang
menjadi pengambil inisiatif, yang menjadi manusia pembangun.
Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada
pembangunan manusia; manusia yang dibangun adalah manusia yang
kreatif, dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa bahagia, aman,
dan bebas dari rasa takut. Pembangunan tidak hanya berurusan dengan
produksi dan distribusi barang-barang material; pembangunan harus
menciptakan
kondisi-kondisi
manusia
bisa
mengembangkan
kreatifitasnya” (Budiman, 1995;13-14).
Sementara itu, Bintoro dan Mustopadidjaja mengartikan bahwa,
“pembangunan harus dilihat secara dinamis dan bukan sebagai konsep yang
statis. Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir”
(Bintoro dan Mustopadidjaja, 1988:1).
Selanjutnya Bintoro dan Mustopadidjaja menyebukan mengartikan proses
pembangunan dalam pernyataan sebagai berikut:
“proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan
sosial budaya. Pembangunan supaya menjasi suatu proses yang dapat
bergerak majuatas kekuatannya sendiri (self sustaining proces) tergantung

23

pada manusia dan struktur sosialnya. Jasi bukan hanya yang dikonsepsikan
sebagai usaha pemerintah belaka.” (Bintoro dan Mustopadidjaja, 1988:1).
Ruang lingkup tindakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi
menurut Lewis adalah sebagai berikut:
“penyelenggaraan pelayanan umum, menentukan sikap, membentuk lembagalembaga ekonomi, menentukan penggunaan sumber, menentukan distribusi
pendapatan, mengendalikan jumlah uang, mengendalikan fluktuasi, menjamin
pekerjaan penuh dan menentukan laju inflasi” (Lewis dalam Jhingan 1988:544).
Menurut Jhingan yang mengartikan ekonomi pembangunan kedalam
istilah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ekonomi sebagai suatu sinonim
(Jhingan 1988:6), berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua
macam faktor yaitu faktor ekonomi dan nonekonomi yang yang didalamnya
terdiri dari:
Faktor ekonomi terdiri dari:
1. Sumber alam, yang diartikan sebagai tanah dan juga berbagai
kandungan yang berada didalamnya seperti sumber air, mineral dll,
yang tentunya harus disertai dengan pemanfaatan dan pengelolaan
yang baik.
2. Akumulasi modal, yang diartikan sebagai persediaan berbagai faktor
produksi atau dapat pula diartikan sebagai investasi dalam bentuk
barang-barang modal yang dapat meningkatkan stok modal, output
nasional dan pendapatan nasional.
3. Organisasi, yang berkaitan dengan penggunaan faktor produksi
didalam
kegiatan
ekonomi.organisasi
bersifat
melengkapi
(komplemen) modal, buruh dan membantu meningkatkan
produktifitasnya.
4. Kemajuan teknologi, kemajuan dalam teknologi merupakan faktor
penting dalam proses pertumbuhan ekonomi, yang membawa
perubahan didalam metode produksi yang merupakan hasil pembaruan
atau hasil dari teknik penelitian baru.
5. Pembagian kerja dan skala produksi, spesialisasi dan pembagian kerja
menurut Adam Smith akan kerja yang lebih efisien melalui perbaikan
kemampuan produksi buruh, akan tetapi pembagian kerja tersebut
bergantung pada skala pasar.

24

Faktor non-ekonomi adalah sebagi berikut:
1. Faktor sosial, faktor sosial dan budaya juga pendidikan membawa
pengaruh dalam pertumbuhan ekonomi yang nantinya akan membawa
ke arah penalaran, menanamkan semangat yang akan menghasilkan
penemuan baru, kelas pedagang baru yang selanjutnya akan
menghasilkan pandangan, harapan, struktur dan nilai-nilaisosial.
2. Faktor manusia, faktor manusia merupakan faktor yang penting dalam
pertumbuhan ekonomi, dimana pada faktor manusia ini lebih
menekankan efisiensi mereka.
3. Faktor politik dan administratif, faktor politik dan administratif
merupakan penunjang pertumbuhan ekonomi modern, dimana menurut
Lewis yang mengartikannya sebagai tindakan pemerintah dalam
merangsang atau mendorong kegiatan ekonomi (Jhingan 1988:85-98).
Dari pemaparan diatas, maka dapat digambarkan diagram model kerangka
pemikiran sebagai berikut:
Desentralisasi
Pemerintahan Daerah
Fungsi pemerintahan:
1. Pembangunan
2. Pelayanan
3. Pemberdayaan
(Ndraha, 2005:58)
Pembangunan
Faktor Ekonomi dan
Non-Ekonomi
Diagram 1.1 Model Kerangka Berpikir
Sumber: Olahan Peneliti.
1.6 Metode Penelitian
Pendekatan Kualitatif

25

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif
digunakan menjelaskan proses pembangunan ekonomi petani padi sawah yang
dijalankan di Kabupaten Bandung Barat. Pendekatan ini juga dipilih untuk
mengetahui

bagaimana

perubahan

yang

terjadi

setelah

dijalankannya

pembangunan ekonomi petani padi sawah di Kabupaten Bandung Barat.
Iskandar yang mengutip pernyataan dari Bongda dan Taylor menyatakan
sebagai bahwa, “penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati” (Iskandar, 2009:12). Sejalan dengan Bongda dan
Taylor, Klik dan Miller yang mendefinisikan bahwa “penelitian kualitatif adalah
tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial secara fundamental pengaturan dari
pengamatan pada manusia baik pada kawasannya maupun dalam peristilahannya”
(Iskandar, 2009:12). Pendapat Iskandar sendiri tentang penelitian kualitatif adalah
“penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik
untuk mencari dan menentukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena
dalam suatu latar konteks khusus” (Iskandar, 2009:12).
Sejalan dengan pernyataan Iskandar, Sugiyono megemukakan bahwa
penelitian kualitatif adalah sebagai berikut:
“Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data
bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna
dari pada generalisasi” (Sugiyono, 2010:1).

26

Dari definisi diatas terungkap bahwa dalam penelitian kualitatif
instrumennya adalah orang atau human istrument, yaitu peneliti itu sendiri. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Nasution, yaitu sebagai berikut:
“Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain daripada menjadikan
manusia sebagai instrumen penelitian utamanya. Alasannya ialah bahwa
segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti. Masalah, fokus
penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang digunakan, bahkan hasil
yang diharapkan. Itu semuanya tidak dapat ditentukan secara pasti dan
jelas sebelumnya. Sagala sesuatu masih perlu dikembangkan sepanjang
penelitian itu. Dalam keadaan yang serba tidak pasti dan tidak jelas itu,
tidak ada pilihan lain dan hanya peneliti itu sendiri sebagai alat satusatunya yang dapat mencapainya” (Sugiyono, 2010:60).
Sementara itu deskriptif merupakan salah satu karakteristik dari penelitian
kualitatif sebagaimana yang dikemukakan oleh Sugiyono (2010:9), bahwa
penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif. Data yang terkumpul berbentuk katakata atau gambar, sehingga tidak menekankan pada angka.
Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan. Oleh karena tujuan umum penelitian adalah untuk memecahkan masalah,
maka langkah-langkah yang akan ditempuh harus relevan dengan masalah yang
telah dirumuskan (Nawawi, 2005:61).
Adapun metode deskriptif, menurut Nawawi (2005:63), adalah suatu
prosedur pemecahan masalah diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan
keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain)
pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana
adanya.
Pendekatan kualitatif dipilih karena terkait dengan metode penelitian
deskriptif yang digunakan peneliti, karakteristik pendekatan kualitatif yang

27

menghasilkan data deskriptif sesuai dengan sifat penelitian deskriptif untuk
menggambarkan pengaruh pembangunan terhadap perekonomian petani di daerah
perbatasan Kabupaten Bandung.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang penting dalam
memperoleh data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Menurut
Sugiyono, ada beberapa macam teknik pengumpulan data dalam penelitian, yaitu
observasi (pengamatan), wawancara, dokumentasi, dan gabungan/ triangulasi
(Sugiyono, 2010:63). Senada dengan pendapat Sugiyono tersebut maka dalam
penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu
sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi

yaitu

teknik

pengumpulan

data

dengan

mengadakan

pengamatan langsung, dimana peneliti ditempatkan sebagai pengamat penuh.
Dalam observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format
pengamatan sebagai instrumen yang berisi item-item tentang kejadian atau
tingkah laku yang digambarkan akan terjadi. Format ini mencakup beberapa hal
seperti tempat, pelaku dan aktivitasnya. Hal ini senada dengan pendapat Spradley
yang dikutip Sugiyono yakni:
”Objek penelitian dalam penelitian kualitatif yang diobservasi dinamakan
situasi sosial, yang terdiri atas tiga komponen yaitu place (tempat), actor
(pelaku) dan activities (aktivitas).
1. Place, atau tempat dimana interaksi dalam situasi sosial sedang
berlangsung
2. Actor, pelaku atau orang-orang yang sedang memainkan peran tertentu.

28

3. Activity, atau kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi sosial
yang sedang berlangsung.” (Sugiyono, 2010:68).
2. Wawancara
Wawancara adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide
melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik
tertentu (Sugiyono, 2010:72). Alasan peneliti memilih teknik wawancara yaitu
untuk dapat mengetahui secara lebih mendalam mengenai permasalahan yang
ingin diteliti dari informan yang dapat dipercaya dan mempunyai kapasitas dalam
permasalahan penelitian.
Wawancara tak terstruktur yang memiliki sifat terbuka dalam arti
membiarkan responden berbicara sesuai dengan pengalaman, pandangan, dan
pengetahuan mereka sendiri. Wawancara tak terstruktur bersifat luwes, susunan
pertanyannya dan susunan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada
saat wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara.
Kendati demikian, peneliti tetap mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan penting
terkait informasi yang diharapkan dalam menjawab permasalahan penelitian.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono,
2010:82).
4. Triangulasi
Menurut Sugiyono, triangulasi diartikan sebagai berikut:

29

“teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan berbagai teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan
pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan
data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data
dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data” (Sugiyono,
2010:83).
Tujuan dari triangulasi menurut Sugiyono yang juga sependapat dengan
Susan Steinback adalah, “bukan untuk mencari kebenaran tentang fenomena,
tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah
dikemukakan” (Sugiyono, 2010:85).
Dalam penelitian kualitatif populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi
yang terdiri atas: objek/ subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik
tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2010:49).
Selanjutnya Sugiyono menambahkan:
“Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tapi oleh
Spradley dinamakan “social situation” atau situasi sosial yang terdiri atas
tiga elemen yaitu: tempat place pelaku actors dan aktivitas activity yang
berinteraksi secara sinergis” (Sugiyono, 2010:49).
Selanjutnya Sugiyono mengemukakan pengertian dari sampel dalam
penelitain kualitatif sebagai berikut, “sampel dalam penelitaian kualitatif bukan
dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan,
teman dan guru dalam penelitian” (Sugiyono, 2010:50).

30

Dalam penentuan informan pada penelitian kualitataif Sugiyono
menyatakan bahwa, “penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai
dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan tujuan tertentu” (Sugiyono,
2010:52).
Berdasarkan hal tersebut maka atau informan dalam penelitian ini
ditentukan secara purposive, diantaranya yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Informan tersebut harus memiliki pengetahuan tentang gambaran
terhadap objek penelitian.
2. Informan tersebut harus memeliki pengetahuan dan perhatian terhadap
permasalahan di lapangan.
3. Adanya kesanggupan informan untuk menerima peneliti dan
memberikan keterangan secara terbuka dan apa adanya.
(Arikunto, 2006:16)
Setelah memperoleh data di lapangan tentunya kita harus menganalisis
data tersebut. Analisis data menurut Sugiyono adalah sebagai berikut:
“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan
cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam
unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
mudah di fahami oleh diri sendiri maupun orang lain” (Sugiyono 2010:89).
Sugiyono menambahkan bahwa, “analisis data dalam penelitian kualitatif
dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan selesai
dilapangan” (Sugiyono 2010:89).
Dalam penelitian ini analisis data akan dilakukan melalui tahap-tahap
mereduksi data menyajikan data, kemudian menrik atau menyusun kesimpulan
sebagaimana proses analisis data yang dikemukakan oleh Sugiyono, yaitu: data

31

reduction (reduksi data),

data display (penyajian data), dan conclusion

drawing/verification (Sugiyono 2010:91).
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Sugiyono (2010:92) menyatakan bahwa “mereduksi data berarti
merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal
yang penting, dicari tema dan polanya”.
b. Data Display (Penyajian Data)
Menurut Sugiyono (2010:95) yang juga sejalan dengan Miles dan
Huberman menyatakan bahwa, “yang paling sering digunakan untuk menyajikan
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif”.
Selanjutnya Sugiyono sugiyono menambahkan:
“disarankan, dalam melakukan display data, selain dengan teks naratif,
juga dapat berupa, grafik, matrik, network (jejaring kerja) dan chart (Sugiyono
2010:95)
c. Conclusion Drawing/Verification
Selanjutnya langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan
kesimpulan atau verifikasi.
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono adalah sebagai berikut:
“Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan
berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal di dukung oleh bukti-bukti yang validdan
konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel”
(Sugiyono 2010:99).
Selanjutnya Sugiono menambahkan bahwa

32

“Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru
yang belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran
suatu objek yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga
setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif,
hipotesis atau teori” (Sugiyono 2010:99).
1.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi Penelitian
Tempat penelitian berada di daerah perbatasan Kabupaten Bandung,
tempat tersebut di pilih karena merupakan salah satu daer