CARA PENEMUAN PENDERITA KUSTA BARU DAN TINGKAT KECACATAN DI PROVINSI LAMPUNG

CARA PENEMUAN PENDERITA KUSTA BARU
DAN TINGKAT KECACATAN
DI PROVINSI LAMPUNG
Heri Purwanto1)
1)
Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Tanjungkarang
e_mail: lingkar_pesagi@yahoo.co.id
Abstract: Method of new leprosy patients and Disability Level in the province of Lampung. In
Lampung Province defect rate of new leprosy patients and leprosy patients age was > 5 % ( 6.9 % ),
patients had experienced disability level-2, and 8.3 % children aged 0 - 14 years . The data indicate
the presence of active infection sunber and delays due to delays in patient treatment were found. The
purpose of the study, 1) knowing the characteristics of new leprosy patients , 2) patients with known
relationship discovery method, and factor covariates new leprosy patients with disability, 3) disability
known determinants of new leprosy patients, and 4) knowing the potential impact of variables on the
prevention of disability case detection of new leprosy patients. Research using design cross-sectional
studies, as a sample, lepers who live in the province of Lampung to the identity and state of the data
has been recorded on a report pain P2 leprosy Lampung Provincial Health Department from 2011
until the second quarter year-2013. Data derived from P2 reports leprosy Lampung Provincial Health
Office. The results of the study, based on the characteristics of patients have 09.00 % defect rate of 12 ; 91.70 % found passively ; 89.50 % MB type ; 64.20 % were male, and 83.00 % patients aged ≥ 15
Pathe bivariate analysis, covariate variables that showed statistically significant relationships were age
(p-value = 0.02) with ROP = 7.78 ( 95 % CI : 1.05 to 57.79 ). Final multivariate model that describes

the occurrence of new leprosy patients with disability main variable manner leprosy case detection, is
an exponential function of the variable ways one variable case detection and covariates variabel of
patient age. New leprosy probability patients were found to be passive and age > 15 years, has 1-2
levels defect risk was 29.54 %. The potential impact of the contribution of the variable ways of
discovering the defect prevention leper new leprosy patients 2.12 %.
.
Keywords : How to inventions, Disability rate.
Abstrak: Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan Di Provinsi Lampung.
Di Provinsi Lampung tingkat kecacatan penderita kusta baru dan penderita kusta usia anak masih >
5%, (6,9%) penderita telah mengalami cacat tingkat-2, dan 8,3% usia anak 0-14 tahun. Data tersebut
mengindikasikan masih adanya sunber penularan aktif dan keterlambatan pengobatan yang
disebabkan terlambatnya penderita diketemukan. Tujuan penelitian, 1) diketahuinya karakteristik
penderita kusta baru, 2) diketahuinya hubungan cara penemuan penderita, dan faktor kovariat dengan
kecacatan penderita kusta baru, 3) diketahuinya determinan kecacatan penderita kusta baru, serta 4)
diketahuinya dampak potensial variabel penemuan penderita terhadap pencegahan kecacatan penderita
kusta baru. Penelitian dengan studi cross sectional, sebagai sampel, penderita kusta yang berdomisili
di wilayah Provinsi Lampung dengan identitas dan data keadaan sakitnya telah tercatat pada laporan
P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung dari tahun 2011 sampai dengan triwulan-II tahun 2013.
Data berasal dari laporan P2 kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Hasil penelitian, berdasarkan
karakteristik penderita 09,00% telah mengalami cacat tingkat 1-2; 91,70% diketemukan secara pasif;

89,50% tipe MB; 64,20% berjenis kelamin laki-laki, dan 83,00% penderita berumur ≥ 15 tahun.Hasil
analisis bivariat, variabel kovariat yang secara statistik menunjukkan hubungan bermakna adalah
umur (nilai-p = 0,02) dengan ROP = 7,78 (95% CI: 1,05-57,79). Model akhir multivariat yang
menggambarkan terjadinya kecacatan penderita kusta baru dengan variabel utama cara penemuan
penderita kusta, adalah fungsi eksponensial dari variabel cara penemuan penderita dan satu variabel
kovariat (umur) penderita. Probabilitas penderita kusta baru yang ditemukan pasif dan berumur > 15
tahun, memiliki risiko cacat tingkat 1-2 sebesar 29,54 %. Dampak potensial besarnya kontribusi
variabel cara penemuan penderita kusta terhadap pencegahan cacat penderita kusta baru 2,12 %.
Kata kunci: Cara penemuan, Tingkat kecacatan.

371

372 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380

Penyakit kusta adalah salah satu
penyakit menular yang menimbulkan masalah
sangat komplek, bukan hanya dari segi medis
tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan, dan ketahanan nasional.
Masalah yang dihadapi penderita dapat berupa

tuna sosial, tuna wisma, tuna karya, dan
gangguan lingkungan masyarakat.
Di Indonesia tahun 1996 terdapat
30.000 penderita kusta dengan kecacatan,
1.720 penderita diantaranya penderita baru.
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
memperkirakan 25% pasien kusta mengalami
kecacatan. Di Indonesia proporsi cacat
penderita kusta sebesar 10,4% (WHO, 1997).
Pemberantasan
penyakit
kusta
bertujuan mencegah kecacatan semua penderita
baru yang ditemukan melalui pengobatan dan
perawatan yang benar, menetapkan sistim
penemuan dan diagnosis penderita sehingga
proporsi penderita anak dan kecacatan tingkat

2 < 5 (Kemenkes RI, 2012). Tahun 2001-2002
di beberapa propinsi di Indonesia angka
kecacatan tingkat 2 penderita kusta baru 7,4%8,9%, di Propinsi Jambi mencapai 33,3%
(Rachmad, 2003).
Penyakit kusta ditemukan melalui 2
(dua) cara, yaitu penemuan pasif, penemuan
penderita berdasarkan adanya orang yang
datang mencari pengobatan ke puskesmas/
sarana kesehatan lain atas kemauan sendiri atau
saran orang lain, sedangkan penemuan aktif,
dilakukan melalui beberapa cara: melalui
survai kontak, pemeriksaan anak sekolah
SD/Taman Kanak-Kanak atau sederajad,
Chase Survey, dan survai khusus.
Cara penemuan penderita dapat
berdampak pada kecacatan penderita kusta saat
ditemukan, jika penemuan terlambat maka
pengobatan terlambat atau bahkan ditemukan
sudah keadaan cacat. Tahun 2012 penderita
kusta terdaftar di Provinsi Lampung 246 orang,

dengan penderita baru 145 orang (1,8/10.000
penduduk) dari penderita baru tersebut 142
penderita (97,93%) ditemukan secara pasif,
dan 3 penderita (2,07%) secara aktif melalui
survei kontak (Dinkes Provinsi Lampung).

Kasus baru yang ditemukan tahun
2012 diketahui 10 penderita (6,9%) telah
mengalami cacat tingkat-2, dan 12 penderita
(8,3%) adalah anak usia 0-14 tahun (Dinkes
Provinsi Lampung, 2012). Gambaran data
tahun 2012 ini menunjukkan masih adanya
sunber penularan aktif dan keterlambatan
penemuan penderita secara dini di Provinsi
Lampung.
Berdasarkan
data
tersebut,
menunjukkan di Provinsi Lampung tingkat
kecacatan penderita kusta baru dan penderita

kusta pada usia anak masih tinggi (> 5%).
Diantara faktor yang dapat berdampak
timbulnya kecacatan penderita kusta adalah
terlambatnya
penderita
mendapatkan
pengobatan yang disebabkan terlambatnya
penderita diketemukan.
Tujuan Umum penelitian, diketahuinya
hubungan cara penemuan penderita kusta
dengan kecacatan penderita kusta baru di
Propinsi Lampung tahun 2011-2013. Tujuan
khusus, 1) diketahuinya karakteristik penderita
kusta baru, 2) diketahuinya hubungan cara
penemuan penderita, dan faktor kovariat
(umur, jenis kelamin, tipe kusta) dengan
kecacatan penderita kusta baru, 3) diketahuinya
determinan kecacatan penderita kusta baru, 4)
diketahuinya dampak potensial variabel
penemuan penderita terhadap pencegahan

kecacatan penderita kusta baru.
METODE
Penelitian
menggunakan
desain
observasional dengan studi cross sectional,
dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi
Lampung, Bulan September 2013. Populasi
sasaran, penderita kusta yang berdomisili di
wilayah Provinsi Lampung, sedangkan
Populasi studinya adalah penderita kusta yang
berdomisili di wilayah Provinsi Lampung
dengan identitas dan data keadaan sakitnya
telah tercatat pada laporan Program
Pemberantasan (P2) kusta Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung.

Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 373

Sampel penelitian adalah

total
populasi, yaitu seluruh penderita kusta yang
berdomisili di wilayah Provinsi Lampung
dengan identitas dan data keadaan sakitnya
telah tercatat pada laporan P2 kusta Dinas
Kesehatan Provinsi Lampung dari tahun 2011
sampai triwulan-II tahun 2013.
Data penelitian adalah data sekunder
yang diambil dari laporan P2 kusta, terdiri dari
laporan 1) laporan triwulan, 2) case finding
dan case holding, serta 3) analisa situasi
program P2 kusta, menggunakan form/chek list
yang dibuat khusus untuk penelitian ini.
Pelaksana pengumpul data dilakukan peneliti
sendiri dibantu seorang pengelola program P2
kusta Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Proses pengolahan data dilakukan
secara manual, juga menggunakan program
komputer.
Tahapan

pengolahan
data
(processing), diawali dengan pemeriksaan data
(editing) terhadap laporan program P2 kusta,
untuk memastikan kelengkapan isian dan
konsistensi data
yang akan dipilih
sebagai variabel penelitian, selanjutnya
pemberian kode (coding), yaitu pengkodean
data menjadi bentuk kategori, variabel
independen ( 0 = pasif, 1 = aktif ); variabel
dependen ( 0 = cacat tingkat 1-2,
1 =
belum/tidak cacat), dan variabel kovariat ( 0 =
ekspose, 1 = non ekspose), dilanjutkan dengan
memasukkan data (entry) seluruh data yang
telah melalui proses pemeriksaan dan
pengkodean kedalam program komputer, dan
proses terakhir yaitu membersihkan data
(cleaning), pengecekkan data yang telah

dimasukkan dalam program komputer sebelum
dilakukan
analisis lanjut, sehingga
terhindar dari kesalahan, missing data, dan
ketidakkonsistensinya data, dengan demikian
hasil analisis sesuai data sebenarnya.
Tahap analisis data dilakukan analisis
univariat, analisis ini untuk mendapatkan
gambaran karakteristik penderita kusta baru
menurut variabel yang diteliti, dan disajikan
dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,
selanjutnya analisis bivariat, digunakan untuk
mengetahui hubungan faktor risiko utama

(penemuan penderita) dengan kecacatan
penderita kusta, juga untuk menampilkan
hubungan beberapa faktor risiko lain (kovariat)
dengan terjadinya kecacatan penderita kusta,
uji statistik digunakan uji Chi-Square, tahap
analisis terakhir dengan analisis multivariat,

dengan analisis Regresi Ganda Logistik.
Analisis ini digunakan untuk menilai
secara simultan hubungan kecacatan penderita
kusta dengan beberapa faktor risiko. Sebagai
penilaian beberapa faktor risiko tersebut dipilih
suatu model yang paling parsimonious, yaitu
model yang dimasukkan adalah jumlah yang
paling sedikit variabelnya dan memberikan set
data untuk tercapainya tujuan penelitian.
Pada penelitian ini juga dilakukan
analisis “dampak potensial”. Setelah didapat
model akhir dilanjutkan dengan pengukuran
terhadap besarnya kontribusi faktor “cara
penemuan penderita” terhadap pencegahan
terjadinya kecacatan penderita kusta baru.
Sebagai penilaian besarnya kontribusi
variabel “cara penemuan penderita” dalam
pencegahan kecacatan, dilakukan dengan
mengukur dampak potensial. Setelah Rasio
Odds Prevalen (ROP) dari variabel yang
berperan didapatkan dari regresi logistik ganda,
dan proporsi (p) ekspose pada kelompok
penderita kusta yang mengalami cacat
diketahui, maka dampak potensial atau
Population Atributable Risk (PAR) dihitung
dengan rumus berikut (Sastroasmoro,s 2002):
p (r – 1)
PAR = -----------------{ p (r – 1 ) } + 1
p = proporsi ekspose pada penderita kusta
cacat
r = Rasio Odds Prevalen (ROP).

374 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380

Tabel 2: Hubungan Variabel Independen
dengan Tingkat Kecacatan
Penderita Kusta Baru

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Analisis Univariat

Variabel
Independen

1. Karakteristik Penderita Kusta Baru
Tabel 1:

Distribusi Frekuensi
Karakteristik Penderita Kusta
Baru

n

n

 Pasif

33

333

 Aktif

3

30

 MB

33

323

 PB

3

40

 Laki-laki

23

233

 Perempuan

13

130

 ≥ 15 tahun

35

297

 < 15 tahun

1

66

ROP

95% CI

P-v

Cr.Penemuan
1,00 0,29-3,42 0,99

Tipe Kusta

Karakteristik
Kecacatan
 Cacat Tk 1-2
 Tdk/Belum cacat

n

%

1,36 0,40-4,65 0,62

Jenis Kelamin

36
363

09,02
90,98

Cara Penemuan
 Pasif
 Aktif

366
33

91,70
08,30

Tipe Kusta
 MB
 PB

356
43

89,20
10,80

Jenis Kelamin
 Laki-laki
 Perempuan

256
143

64,20
35,80

Umur
 ≥ 15 tahun
 < 15 tahun

332
67

83,20
16,80

Berdasarkan tabel 1, diketahui dari
399 penderita kusta di Provinsi Lampung dari
tahun 2011 sampai dengan triwulan-II 2013,
memiliki karakteristik sebagai berikut, 09,00%
penderita telah cacat tingkat 1-2; 91,70%
diketemukan secara pasif; 89,50% penderira
merupakan tipe MB; 64,20% berjenis kelamin
laki-laki, dan 83,00% penderita berumur ≥ 15
tahun.
Analisis Bivariat
2. Hubungan Variabel Independen dengan
Tingkat Kecacatan Penderita Kusta Baru

0,99

0,48-2,01 0,97

Umur
7,78 1,05-57,79 0,02

Dalam
mengidentifikasi
variabel
independen yang layak masuk dalam model
(kandidat model), digunakan analisis ChiSquare. Seleksi didasarkan pada variabel yang
mempunyai nilai-p < 0,25 (Murti, B. 1997 dan
Hastono, SP.2001).
Berdasarkan kriteria tersebut, diketahui
pada tabel 2, ternyata hanya variabel umur
yang memenuhi kriteria kandidat model (nilaip < 0,25), sehingga hanya variabel cara
penemuan dan variabel umur yang diikutkan
pada pengembangan model akhir.
Analisis Multivariat
Pengembangan model
Dalam rangka mencapai tujuan
khusus ke empat, maka sejak awal
pengembangan model diarahkan untuk
diperolehnya model utama, (variabel utama
“cara penemuan penderita”) setelah dikontrol
dengan variabel kovariat.
Tahap pengembangan model dalam
penelitian ini digunakan teknik backward

Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 375

selection, yaitu dengan memasukkan semua
variabel independen yang telah memenuhi
kriteria kandidat model ke model multivariat,
selanjutnya variabel independen (kovariat)
yang tidak memenuhi kriteria nilai-p uji ChiSquare < 0,05 dikeluarkan secara bertahap
(satu persatu) dari model, dimulai dari variabel
yang memiliki nilai-p terbesar sampai dengan
tidak ada lagi variabel dalam model yang dapat
disingkirkan oleh kriteria eliminasi (didapatkan
model utama).
Model akhir

Dampak Potensial
Diketahui rasio odds prevalens
variabel cara penemuan penderita (ROP =
0,79) dan proporsi ekspose pada kelompok
yang mengalami cacat (p = 09,02), maka
dampak potensial cara penemuan penderita
dapat dihitung dengan menggunakan rumus
PAR (halaman 26). Hasil perhitungan
menggunakan rumus tersebut, diketahui bahwa
dampak potensial besarnya kontribusi variabel
cara penemuan penderita kusta terhadap
pencegahan cacat penderita kusta baru di
Provinsi Lampung sebesar 2,12 %.

Tabel 3: Model Akhir Multivariat
PEMBAHASAN
Variabel

ß

Penemuan -0,231
Penderita
Umur

SE

nilai-P

0,644 0,720

ROP

95% CI

0,79 0,23 – 2,81

2,076 1,026 0,043 7,97 1,07 – 59,59

Konstanta 2,155

0,186 0,000

Dari tabel .3, diketahui bahwa model
akhir multivariat yang menggambarkan terjadinya kecacatan penderita kusta baru dengan
variabel utama cara penemuan penderita kusta,
adalah fungsi eksponensial dari variabel cara
penemuan penderita dan satu variabel kovariat
(umur) penderita. Dengan demikian model
persamaan regresi logistiknya:
P (pend. kusta baru cacat) = a + b1x1 + b2x2
P (pend kusta baru cacat) = 2,155 + (- 0,231)
(penemuan penderita) + 1,026 (umur)
p (pend.kusta baru cacat) = 2,155 + (- 0,231)
(0) + 1,026 (0) = 2,155
P (pend kusta baru cacat)
=
1
= 0,2954
- 2,155
( 1 +2,7 )
Keterangan, e = bilangan natural = 2,7
Jadi probabilitas penderita kusta baru berumur
> 15 tahun dan ditemukan secara pasif,
memiliki risiko cacat tingkat 1-2 29,54 %.

1.

Analisis Univariat

Cara Penemuan Penderita
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa, 09,00% penderita kusta baru telah
mengalami cacat tingkat 1-2. Hasil ini
sekaligus dapat dijadikan evaluasi belum
berhasilnya program P2 kusta di Provinsi
Lampung (salah satu target program P2 kusta
angka kecacatan tingkat-2 sebesar 5%).
Besaran angka 09,00% penderita kusta baru
dengan kecacatan tingkat 1-2 berarti hampir
dua kali lipat melebihi target toleransi
program P2 Kusta untuk mentoleransi adanya
penderita kusta baru yang cacat. Hasil
penelitian relevan dengan hasil penelitian
Srinivasan (1998), bahwa prevalensi kecacatan
tingkat-2 sebesar 12,03%.
Tingginya penderita kusta baru yang
diketemukan secara pasif sudah dalam keadaan
cacat (91,70%), juga mengindikasikan belum
maksimalnya proses sosialisasi, penyuluhan,
dan koordinasi dalam menurunkan jumlah
penderita kusta baru, sebagai akibatnya, pengetahuan penderita, keluarga, dan masyarakat
tentang penyakit kusta rendah, baik pengetahuan tentang tanda dini kusta maupun
pengetahuan tentang tersedianya obat gratis di
puskesmas, atau malu datang ke sarana

376 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380

kesehatan, hal ini berdampak diagnosis dini
dan pengobatan segera terhadap penderita
terlambat, penderita terdiagnosis dan mendapat
pengobat-an
setelah
mengalami
cacat
(Kemenkes, 2012).
Das (2006), dalam Susanto, N (2006),
bahwa pengetahuan yang rendah tentang
penyakit kusta dapat menimbulkan stigma
negatif terhadap penyakit kusta, rendahnya
pengetahuan tentang penyakit kusta mengakibatkan penderita tidak mengetahui akibat
buruk yang ditimbulkan penyakit kusta. Lyor
(2005), juga menyatakan, kejadian kecacatan
kusta lebih banyak terjadi pada penderita yang
mempunyai pengetahuan rendah tentang
penyakit kusta, dan hal ini berhubungan
dengan kecacatan penderita kusta (p=0,00).
Tipe kusta
WHO (1997), menyatakan klasifikasi dikhususkan untuk pengobatan pada
kondisi lapangan. Dalam klasifikasi ini penderita kusta hanya dibagi 2 (dua) tipe yaitu,
Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB).
Dasar dari klasifikasi ini adalah negatif atau
positifnya Basil Tahan Asam (BTA) dalam
skin smear, namun pada kondisi lapangan
klasifikasi cukup berdasarkan ganbaran klinis
yang diderita. Dalam keadaan ragu-ragu
penyakit diklasifikasikan dalam tipe MB.
Hasil
penelitian
ini
(tabel-1)
menunjukkan, penderita kusta baru lebih
banyak ditemukan tipe MB (89,20%)
dibandingkan tipe PB (10,80%). Masih
tingginya penderita kusta tipe MB yang
ditemukan secara pasif ini dapat merupakan
faktor yang menyebabkan penularan dan
penderita kusta di Provinsi Lampung tetap
tinggi demikian pula tingkat kecacatannya.
Sebagaimana diketahui bahwa sumber
penularan penyakit kusta dari satu orang ke
orang lain utamanya adalah tipe MB. Masih
tingginya penderita tipe MB diketemukan
secara pasif, berarti diagnosis dan deteksi dini
serta pengobatan akan terlambat, dengan
demikian proses penularan tetap berlangsung.

Hal ini sesuai dengan definisi
operasional indikator proporsi kusta MB, yaitu
jumlah kasus MB yang ditemukan diantara
kasus baru pada periode satu tahun, bahwa
angka ini dapat dipakai untuk memperkirakan
sumber penyebaran infeksi.
Jenis kelamin
Penderita kusta baru berdasarkan
karakteristik jenis kelamin di Provinsi
Lampung diketahui penderita laki-laki
(64,20%), lebih banyak dibandingkan penderita
perempuan (35,80%). Sebagaimana diketahui
penyakit kusta dapat mengenai laki-laki
maupun perempuan, sebagian besar negara
didunia kecuali beberapa negara afrika
menunjukkan laki-laki lebih banyak terserang
dari pada perempuan (Kemenkes, 2012).
Rendahnya kejadian kusta pada
perempuan dimungkinkan karena faktor
lingkungan dan sosial budaya, pada
kebudayaan tertentu akses perempuan ke
pelayanan kesehatan sangat terbatas, juga
perempuan lebih memiliki rasa malu jika
penyakit kusta yang dideritanya diketahui
orang lain, sehingga berkecenderungan tidak
segera ke pelayanan kesehatan.
Namun
demikian
keterkaitannya
dengan tingkat kecacatan, Peter dan Eshiet
(2002), dalam Susanto, N (2006), menyatakan
bahwa terdapat perbedaan tingkat dan variasi
kecacatan pada penderita kusta antara pria
dan wanita. Variasi kecacatan lebih sering
terjadi pada pria dibanding wanita. Cacat
tangan dan kaki sering dijumpai pada
pria daripada wanita, dengan perbandingan
kecacatan 2:1. Kecacatan pada pria berkaitan
dengan aktivitas yang dilakukan setiap
hari. Muhammed et al., 2004, juga menyatakan tingkat kecacatan cenderung lebih
tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan, hal ini berkitan dengan
pekerjaan, kebiasaan keluar rumah dan
merokok.

Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 377

Umur
Penyakit kusta diketahui dapat terjadi
pada semua usia, berkisar antara bayi sampai
dengan usia lanjut (usia 3 minggu sampai
dengan lebih dari 70 tahun), tetapi yang
terbanyak pada usia muda dan produktif
(Kemenkes, 2012). Berdasarkan karakteristik
umur penderita kusta baru, diketahui 83,20%
berumur ≥ 15 tahun, yang merupakan usia
produktif. Hasil ini relevan dengan pendapat
Bakker et al., (2005), bahwa kecacatan
penderita kusta sering terjadi pada umur 15-34
tahun, umur ini merupakan usia produktif.
Aktivitas fisik lebih meningkat pada usia 15-34
tahun, sehingga kejadian cacat lebih sering
dialami usia ini.
Penelitian Muhammed et al.,(2004),
juga memperoleh hasil, bahwa dari 500
penderita kusta, kecacatan tertinggi terjadi
pada usia > 60 tahun (50%), umur 46-60 tahun
(43,6%), dan terendah umur 0-15 tahun (8,3%).
Realita ini terjadi karena pada usia lanjut
terjadi penurunan kemampuan hormonal,
kemampuan sensorik, dan kemampuan
motorik. Penurunan kemampuan sensasi
kornea pada mata juga dapat mengakibatkan
terjadinya lagoptalmus, (Courtright at al., 2002
dalam Susanto, N, 2006).
Hasil studi di India, Malawi, Myanmar,
Papua dan Uganda juga menyebutkan peningkatan tingkat kecacatan penderita kusta dapat
disebabkan meningkatnya umur penderita,
karena peningkatan umur menyebabkan
kemampuan sistem syaraf berkurang sehingga
syaraf motorik terjadi paralisis (Sow, et
al.,1998, dalam Susanto, N, 2006).
2. Analisis bivariat
Hubungan cara penemuan penderita kusta
baru dengan kecacatan penderita kusta
Penemuan penderita kusta terdiri dari
penemuan pasif dan aktif. Penemuan secara
pasif (sukarela), adalah penemuan penderita
yang dilakukan terhadap orang yang belum

pernah berobat kusta, datang sendiri atau atas
saran orang lain ke puskesmas atau sarana
kesehatan lain. Penderita biasanya sudah dalam
stadium lanjut.
Hubungan cara penemuan penderita
kusta baru dengan kecacatan penderita dapat
dilihat pada tabel 4.2. Hasil uji statistik
didapatkan nilai p = 0,99, dengan demikian
pada  = 5% dapat disimpulkan secara statistik
tidak terdapat perbedaan yang signifikan
persentase kecacatan penderita kusta baru
antara yang ditemukan secara pasif dengan
yang diketemukan secara aktif. Analisis
keeratan hubungan dua variabel diperoleh nilai
ROP = 1,00 (95% CI: 0,29 – 3,42), berarti
variabel cara penemuan penderita bukan
merupakan faktor risiko untuk terjadinya
kecacatan penderita kusta baru.
Meskipun secara statistik tidak
menunjukkan kemaknaan, tetapi bila dilihat
besaran persentase kecacatan penderita kusta
baru, ternyata penderita yang mengalami
kecacatan tingkat 1-2 dan diketemukan secara
pasif persentasenya mencapai lebih dari 9 %.
Selain itu hasil uji statistik yang menunjukkan
cara penemuan penderita bukan merupakan
faktor risiko dapat disebabkan tidak
sebandingnya jumlah penderita kusta baru
yang ditemukan secara aktif dibandingkan
dengan yang ditemukan secara pasif, (penderita
yang ditemukan secara aktif dan digunakan
dalam analisis penelitian ini hanya 8% dari
seluruh penderita kusta baru yang ditemukan).
Ketidak sebandingan data jumlah penderita
kusta baru yang ditemukan secara pasif dan
yang ditemukan secara aktif disertakan dalam
analisis
bersama,
kemungkinan
turut
mempengaruhi hasil penelitian ini.
Dengan demikian upaya penemuan
penderita kusta baru secara aktif tetap perlu
terus didukung dan dilakukan secara rutin baik
di oleh Pemerintah Provinsi Lampung maupun
di Pemerintahan Kabupaten/Kota, misalnya
setiap kali diketemukan penderita baru secara
pasif, maka langsung ditindaklanjuti dengan
penemuan aktif (misalnya survei kontak),
sehingga adanya penderita baru lain dalam

378 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380

keluarga penderita atau di lingkungan
penderita segera dapat didiagnosa dan
diberikan pengobatan sebelum penyakitnya
berkembang atau menjadi cacat.
Selain itu melalui kegiatan penemuan
aktif juga dapat dilakukan penyuluhan tentang
tanda-tanda dini penyakit kusta, pengobatan,
dan sebagainya sehingga apabila ada penderita
baru dapat segera dideteksi dan diberi
pengobatan, mengingat selama ini diantara
faktor yang menyebabkan penderita terlambat
datang berobat ke puskemas/sarana kesehatan
lainnya, antara lain 1) tidak mengetahui tanda
dini kusta, 2) malu datang ke puskesmas/sarana
kesehatan, 3) adanya puskesmas yang belum
siap, 4) tidak tahu bahwa ada obat tersedia
Cuma-Cuma di puskesmas, dan 5) jarak
penderita ke puskesmas/sarana kesehatan
terlalu jauh (Kemenkes RI, 2012).
Hubungan tipe kusta dengan kecacatan
penderita kusta
Hubungan
tipe
kusta
dengan
kecacatan penderita juga dapat dilihat pada
tabel 4.1 dan tabel 4.2, dari hasil penelitian ini
didapatkan bahwa diantara 399 penderita kusta
baru, 356 penderita (89,22 %) merupakan
penderita kusta tipe MB, dari jumlah tipe MB
tersebut 33 penderita (09,27%) yang
mengalami cacat tingkat 1-2.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p =
statistik tidak terdapat perbedaan signifikan
persentase penderita kusta baru yang
mengalami cacat antara penderita kusta tipe
MB dan PB. Analisis keeratan hubungan dua
variabel diperoleh nilai ROP = 1,36 (95% CI:
0,40 – 4,65). Memperhatikan interval
kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1
(95% CI: 0,40 – 4,65), maka berarti pada
populasi yang diwakili oleh sampel dalam
penelitian
ini
memungkinkan
nilai
prevalensinya1= 1, sehingga belum dapat
disimpulkan bahwa faktor yang dikaji tersebut
merupakan faktor risiko atau faktor protektif.

Besarnya peluang penderita tipe MB
untuk menderita cacat dibandingkan tipe PB ini
berkaitan dengan ditemukannya BTA (Basil
Tahan Asam) pada tipe MB, sedangkan pada
tipe PB tidak diketemukan (negatif).
Sebagaimana teori juga menyebutkan bahwa
sumber penularan penyakit kusta adalah
penderita tipe MB, sehingga apabila penderita
tipe ini segera diketemukan dan diobati, maka
sumber penularan ke orang lain dapat diputus,
karena dengan pengobatan maka kuman kusta
tidak memiliki daya rusak jaringan tubuh,
bahkan kuman akan mati, tanda-tanda penyakit
menjadi kurang aktif sampai akhirnya hilang.
Sedangkan kecacatan pada penderita tipe PB
lebih dikarenakan terlambatnya pengobatan.
Hubungan jenis kelamin dengan kecacatan
penderita kusta
Hasil penelitian ini menunjukkan
sebagian besar (64,16%) penderita kusta adalah
laki-laki,
namun
bila
dibandingkan
berdasarkan kecacatan penderita, maka
ternyata besaran cacat diantara keduanya relatif
sama (8,98%) pada laki-laki, dan 9,09 % pada
perempuan.
Jenis kelamin diduga berkaitan
dengan kecacatan penderita kusta. Peter dan
Eshiet (2002), menyatakan terdapat perbedaan
tingkat dan variasi kecacatan pada penderita
kusta antara pria dan wanita. Variasi kecacatan
lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita.
Cacat tangan dan kaki sering dijumpai pada
pria daripada wanita, dengan perbandingan
kecacatan 2:1. Kecacatan pada pria berkaitan
dengan aktivitas yang dilakukan setiap hari.
Berbeda dengan hasil penelitian
sebelumnya, hasil penelitian ini ternyata
menunjukkan bahwa secara statistik tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara
penderita perempuan dan laki-laki. Hasil uji
statistik chi scuare, diperoleh ROP = 0,99, dan
nilai-p = 0,97 (95% CI: 0,48 – 2,01). Bila
memperhatikan nilai ROP dibawah angka 1,
berarti faktor jenis kelamin laki-laki justru
memiliki risiko cacat semakin rendah (faktor

Purwanto,Cara Penemuan Penderita Kusta Baru dan Tingkat Kecacatan 379

protektif) dibandingkan penderita perempuan.
Namun
interval
kepercayaan
rasio
prevalensnya mencakup angka 1 (95% CI: 0,48
– 2,01), berarti pada populasi yang diwakili
oleh sampel penelitian ini memungkinkan nilai
prevalensnya = 1, dengan demikian belum
dapat disimpulkan bahwa faktor jenis kelamin
merupakan faktor risiko atau faktor protektif.
Hasil penelitian ini juga berbeda
dengan hasil penelitian Muhammed et al.,
(2004), yang menyebutkan bahwa tingkat
kecacatan cenderung lebih tinggi terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan, hal
ini berkitan dengan pekerjaan, kebiasaan keluar
rumah dan merokok.
Rendahnya kejadian kusta pada
perempuan juga dimungkinkan karena faktor
sosial budaya, perempuan di desa lebih sering
mendatangi
atau
mengikuti
kegiatan
penyuluhan kesehatan dibandingkan laki-laki,
dengan demikian pengetahuan dan kesadaran
pentingnya ke pelayanan kesehatan dan
berobat lebih baik pada
perempuan
dibandingkan laki-laki. Selain itu perempuan
lebih memiliki rasa malu dan takut jika
penyakit yang dideritanya semakin parah,
sehingga cenderung segera ke pelayanan
kesehatanpun semakin besar.

57,79),artinya penderita kusta berumur ≥ 15
tahun mempunyai peluang untuk cacat 7,78
kali dibandingkan penderita kusta berumur <
15 tahun
Hasil penelitian ini relevan dengan
pernyataan Bakker et al., (2005), bahwa
kecacatan pada penderita kusta sering terjadi
pada umur 15-34 tahun, umur ini merupakan
usia produktif. Aktivitas fisik lebih meningkat
pada usia 15-34 tahun, sehingga kejadian cacat
lebih sering dialami pada usia ini. Selanjutnya
penelitian Muhammed et al.,(2004), dari 500
penderita kusta kecacatan tertinggi terjadi pada
usia > 60 tahun (50%), umur 46-60 tahun
(43,6%), dan terendah umur 0-15 tahun (8,3%).
Bahwa pada usia lanjut terjadi
penurunan kemampuan hormonal, kemampuan
sensorik, dan kemampuan motorik. Penurunan
kemampuan sensasi kornea pada mata dapat
mengakibatkan
terjadinya
lagoptalmus,
Courtright., (2002) dalam Susanto (2006).
Selain itu peningkatan tingkat kecacatan
penderita kusta dapat disebabkan oleh
meningkatnya umur penderita yang dapat
menyebabkan kemampuan sistem syaraf
berkurang sehingga pada syaraf motorik terjadi
paralisis (Sow, et al.,1998).
SIMPULAN

Hubungan Umur dengan kecacatan
penderita kusta
Hubungan umur penderita kusta baru
dengan kecacatan penderita juga dapat dilihat
pada tabel 4.1 dan tabel 4.2. Hasil penelitian
didapatkan bahwa diantara 332 penderita yang
berumur ≥ 15 tahun, sebanyak 35 penderita
(10,54 %) mengalami cacat tingkat 1-2,
sedangkan untuk penderita yang berumur < 15
tahun hanya 1,49% yang mengalami cacat.
Hasil uji statistik didapatkan nilai p =
0,02, berarti pada  = 5% dapat disimpulkan
bahwa secara statistik terdapat perbedaan
signifikan persentase penderita kusta baru yang
berumur < 15 tahun dengan yang berumur ≥ 15
tahun. Analisis keeratan hubungan dua variabel
diperoleh nilai ROP = 7,78 (95% CI: 1,05 –

Karakteristik penderita kusta baru di
Provinsi Lampung, 9,02 % telah mengalami
cacat tingkat 1-2; 91,70% ditemukan secara
pasif; 89,20% penderita tipe MB; 64,20% lakilaki, dan 83,20% berusia ≥ 15 tahun.
Secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara cara penemuan penderita
dengan kecacatan penderita kusta baru.
Variabel independen (kovariat) yang
menunjukkan hubungan bermakna secara
statistik adalah variabel umur penderita.
Determinan kecacatan penderita kusta
baru di Provinsi Lampung adalah cara
penemuan penderita dan umur penderita kusta.
Besarnya dampak potensial variabel
penemuan penderita terhadap pencegahan
kecacatan penderita baru adalah 2,12 %.

380 Jurnal Kesehatan, Volume IV, Nomor 2,Oktober 2013, hlm 371-380

DAFTAR RUJUKAN
Bakker M.,Hatta M., Kwenang A., Klaster PR.
2005. Epidemiology and Prevention of
Leprosy. Netherlands: Melbergdreef 39.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 20112013. Laporan Program P2 Kusta.
Dinas Kesehatan. Lampung: Laporan
tahun 2011-Triwulan II 2013.
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional
Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakarta: Direktorat Jendral PPM dan
PLP.
Lyor T.F. 2005. Knowledge and Attitude of
Nigerian Physiotherapy Student About
Leprosy. Asia Pacifik Disability
Rehabi-litation Journal. Vol 16. No.1:
85-92 pp.
Muhammed K, Nandakumar G, Thomas S.
2004. Disability Rates in Leprosy.
Indian J Dermatol Venereol Leprol. Vol
70. India: 314-316 pp.

Rahmad H. 2003. Program Pemberantasan
Penyakit Kusta di Indonesia. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
Srinivasan H.1998. The Problem and Challenge
of disability and Rehabilitation in
Leprosy: Asia Pacific Disability
Rehabilitation Journal.Volume 9.
http://www.dinf.ne.jp/docenglish/asia/r
esource/apdrj/213jo0200.htm. diakses 2
Oktober 2013.
Sastroasmoro.S, Ismail S. 2002. Dasar
Metodologi Penelitian Klinis Edisi ke2. Jakarta: CV.Sugeng Seto.
Susanto N. 2006. Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Tingkat
Kecacatan Penderita Kusta. Tesis.
Universitas Gajah Mada.Yokyakarta:
66 halaman
WHO. 1997. Action Programme For The
Elimination of Leprosy. Word Health
Organization. Geneva: 1-18 pp.