Jenis Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hu
Jenis, Potensi dan Nilai Ekonomi Hasil Hutan yang Dimanfaatkan Masyarakat
sekitar Tahura Bukit Barisan
(Type, Potency And Economic Value of Forest Result which exploited by Society around
a Program
Faujiah Nurhasanah R.a, Ridwanti Batubarab, Oding Affandic
Studi Kehutanan, Minat Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Darma Ujung No. 1
Kampus USU Medan 20155 (e-mail penulis :[email protected])
bDosen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, USU
CDosen Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, USU
Abstract
TAHURA Bukit Barisan represent a forest bunch which is have direct interaction between people and forest. Doulu and
Jaranguda Village is around Tahura area. Therefore was conducted research to know type, potency and economic value of forest
product which exploited by society around TAHURA. The method that is used to determine the respondent is snowball sampling
method. Based on interview on responden, type of forest product which exploited by people around TAHURA area are regen
bamboo, bulak bamboo, medical plant, honey and animal . The biggest Economics value at both village is Bamboo Regen exploiting
equal to Rp.1.069.256.000,00. Forest provide a major contribution to public life.
Key words : TAHURA, type, economic value, contribution
PENDAHULUAN
Hutan memberikan manfaat yang sangat besar
bagi kehidupan manusia, mulai dari pengatur tata air, paruparu dunia sampai pada kegiatan industri. Pamulardi (1999),
dalam perkembangannya hutan telah dimanfaatkan untuk
berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam
bidang Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil
Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Menurut Hutabarat (2001) paradigma baru
pembangunan kehutanan di Indonesia sejak tahun 2000
adalah berupa pergeseran penekanan dari aspek ekonomi
(orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi
dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis,
dan ekonomi hutan. Kemudian pergeseran dari kebijakan
dan pengembangan hutan dengan penekanan pada
pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan
penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa,
selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain
seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu
lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro dan
memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan
berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk
memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan
masyarakat setempat/lokal).
Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan
merupakan salah satu kekayaan alam di Propinsi Sumatera
Utara yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang
bernaung di bawahnya. Namun hingga saat ini belum
diketahui jenis hasil hutan yang digunakan masyarakat yang
berada di kawasan Tahura. Begitu juga dengan potensi serta
nilai ekonomi yang didapatkan dari pemanfaatan hasil hutan
tersebut.
Ketergantungan masyarakat sekitar hutan
terhadap hutan dan hasil hutan di Tahura Bukit Barisan
sangat tinggi, apalagi mayoritas penduduk yang tinggal di
sekitar hutan hidup dari sektor pertanian. Sejauh mana
ketergantungan mereka terhadap sumberdaya hutan,
terutama hasil hutan baik kayu maunpun non kayu bersama
interaksi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan tersebut, alasan penting untuk melakukan penelitian
ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenisjenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat, potensi
sumber daya hutan serta nilai ekonomi hasil hutan di Desa
Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda
Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE
Adapun alat yang digunakan adalah kamera digital,
kalkulator dan alat tulis sedangkan bahan yang diperlukan
adalah kuisioner.
Metode pengumpulan data Dalam penelitian ini, digunakan
data primer dan data sekunder. Data primer yang di
kumpulkan antara lain adalah jenis dan jumlah hasil hutan
kayu maupun non kayu (manfaat tangible), data sosial
ekonomi, frekuensi pengambilan, lama dan waktu
pengambilan, biaya pengambilan dan bentuk pengolahan
atau hasil pemasaran. Data primer tersebut diperoleh
dengan metode snowball sampling yaitu metode
pengambilan sampel dengan secara berantai (multi level).
Sampel awal ditetapkan dalam kelompok anggota kecil.
Kemudian masing-masing anggota diminta mencari anggota
baru dalam jumlah tertentu dan masing-masing anggota baru
diminta mencari anggota baru lagi. Data sekunder yang
dikumpulkan antara lain adalah: kondisi umum lokasi
penelitian atau data umum yang ada pada instansi
pemerintah desa.
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan
sebagai berikut:
a. Identifikasi jenis hasil hutan kayu maupun non kayu yang
ada di desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa
Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo
Sumatera Utara.
b. Melakukan observasi dan analisis pengolahan data di
lapangan untuk mengetahui sistem pengolahan hutan.
c. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner
2
terhadap para responden penelitian dengan masingmasing banyaknya responden tiga puluh responden per
desa.
d. Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder
selanjutnya ditabulasikan sesuai dengan kebutuhkan
sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data
primer yang bersifat kualitatif selanjutnya dianalisis
secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta
dilakukan analisis para pihak yang terkait dalam
pengolahan hutan . Sedangkan data yang bersifat
kuantitatif diolah secara tabulasi.
Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari
responden dilakukan dengan wawancara. Informasi yang
diperoleh dari setiap responden meliputi:
a. Faktor sosial, ekonomi dan budaya responden yang
meliputi umur, suku, agama, pekerjaan, pendapatan,
mata pencaharian, pendidikan, jumlah tanggungan,
usaha pertanian yang di miliki.
b. Jenis dan jumlah hasil hutan kayu maupun non kayu
yang di ambil dari responden adalah frekuensi
pengambilan, lama dan waktu pengambilan, serta
metode pemasaran yang diperoleh.
Analisis Data
Nilai Ekonomi Hasil Hutan
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di
lapangan baik melalui wawancara maupun kuesioner
kemudian dianalisis secara kuantitatif. Nilai barang hasil
hutan untuk setiap jenis per tahun yang di peroleh
masyarakat di hitung dengan cara:
1. Harga barang hasil hutan (manfaat tangible) yang di
peroleh di analisis dengan pendekatan harga pasar,
harga relative dan pendekatan biaya pengadaan.
Untuk barang dan jasa hutan yang sudah di kenal
pasarnya, penilaian di lakukan dengan nilai pasar (nilai
yang berlaku di pasar). Untuk hasil hutan yang belum
di kenal harga pasarnya tetapi dapat di tukarkan atau
di bandingkan dengan nilai barang dan jasa yang telah
ada pasarnya, maka penilaian di satukan dengan
metode relatif. Sedangkan untuk barang dan jasa hasil
hutan yang belum di kenal pasarnya dan tidak
termasuk dalam sistem pertukaran, maka penilaian di
lakukan dengan metode biaya pengadaan, yaitu
banyaknya biaya yang di keluarkan untuk
mendapatkan barang dan jasa hutan tersebut.
2. Menghitung nilai rata-rata jumlah barang yang diambil
per respon per jenis.
Rata-rata jumlah barang yang diambil: =
Xi Xii .... Xn
n
Keterangan:
Xi : Jumlah Barang yang diambil Responden
n
: Jumlah Banyak Pengambil per Jenis Barang
3. Menghitung nilai potensi/ total pengambilan per unit
barang per tahun
TP = RJ x FP x JP
FP : Frekuensi Pengambilan
JP : Jumlah Pengambilan
4. Menghitung nilai ekonomi barang hasil hutan per jenis
barang per tahun
NH = TP x HH
Keterangan:
NH : Nilai Hasil Hutan per Jenis
TP : Total Pengambilan (unit/ tahun)
HH : Harga Hasil Hutan
5. Mengitung persentasi nilai ekonomi dengan cara:
% NE =
6. Menghitung pendapatan total, pendapatan dari dalam
hutan dan luar hutan
Pendapatan Total = Jumlah rata-rata pendapatan/tahun
Pendapatan dalam huta = Jumlah nilai ekonomi dari seluruh
jenis
Pendapatan Luar Hutan = Selisih antara pendapatan Total
dengan Pendapatan dalam Hutan.
Hasil perhitungan hasil hutan ini menunjukan total
pendapatan hasil hutan seluruh jenis per tahun, sehingga
dapat di hitung besar nilai kontribusi dari nilai hasil hutan ini
terhadap pendapatan masyarakat. Menghitung tingkat
kontribusi pemanfaatan hasil hutan.
Kontribusi =
Pendapatan dalam hutan
x 100%
Pendapatan total
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat
Masyarakat Desa Jaranguda dan desa Doulu
memanfaatkan hasil hutan sejak dulu. Hasil hutan tersebut
dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual.
Semua hasil hutan yang dimanfatkan masyarakat
menambah pendapatan rumah tangga. Adapun jenis hasil
hutan yang dimanfaatkan penduduk di Desa Jaranguda dan
Doulu disajikan pada Tabel 1 halaman 2.
Tabel 1. Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat
Desa Jaranguda dan Desa Doulu
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan:
TP : Total Pengambilan per Tahun
RJ : Rata-rata Jumlah yang diambil
NEi
X 100%
NE
Jenis Hasil
Hutan
Bambu Regen
Bambu Bulak
Tumbuhan
Obat
Madu
Satwa
Keranjang
(olahan)
Tepas (olahan)
Obat Karo
(olahan)
Jumlah Responden (orang)
Desa
Desa Doulu
Jaranguda
27
28
3
2
1
3
6
3
27
-
28
3
1
1
3
Hasil hutan yang umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa
Jaranguda dan Doulu antara lain :
1. Bambu Regen
Bambu Regen (nama lokal) merupakan jenis
bambu dengan nama latin Gigantochloa pruriens.
Klasifikasinya yaitu :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan
berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Gigantochloa
Spesies
: Gigantochloa pruriens Widjaja
Bambu bulak yang berada di sekitar Tahura
merupakan bambu yang ditanam oleh nenek moyang
masyarakat setempat. Bambu bulak termasuk ke dalam jenis
tanaman yang mudah diurus karena tidak memerlukan
perlakuan khusus seperti tanaman lainnya. Bambu regen
tidak memerlukan pupuk untuk menghasilkan kualitas yang
baik tetapi membutuhkan lingkungan sekitar tempat tumbuh
yang bersih dari rumput-rumputan. Maksudnya adalah agar
perkembangbiakan bambu berjalan sempurna maka rumput
di sekitarnya harus dibersihkan. Selain itu, saat melakuakn
penebangan harus dilakukan dengan cara yang benar, yaitu
dengan menebang habis batang sampai pada batas
permukaan tanah. Selain itu juga harus menyisakan batang
yang muda agar terjadi regenerasi bambu.
Agar perkembangbiakan bambu regen berjalan
dengan baik juga harus diberi jarak tanam tiga kali tiga meter
per rumpun. Sama halnya dengan pohon, bambu juga
membutuhkan jarak tanam agar ukuran diameter batang
besar. Waktu panen bambu regen sebaiknya sekali dalam
tiga tahun. Namun kondisi di lapangan tidaklah demikian.
Karena permintaan akan keranjang ataupun ajek-ajek
(bahasa Karo) yang tinggi maka pemanenan bambu regen
bisa sekali dalam tiga bulan. Panjang ajek-ajek berkisar 2,1
m dengan diameter 1-2 cm dan termasuk ke dalam batang
bambu yang masih muda. Harga per batangnya Rp. 500,hingga Rp. 1.000,-. Tergantung jauh tidaknya ladang dari
pemukiman penduduk. Semakin jauh ladang bambu dari
pemukiman maka harga ajek-ajek akan semakin mahal.
Bambu regen yang siap untuk dipanen memiliki ciri
bunyi yang nyaring saat dipukul dan adanya bintik-bintik
putih besar pada batang atau biasa disebut kapuran. Tinggi
bambu enam meter dengan diameter lima hingga enam
meter. Produk hasil hutan yang dapat dijadikan dari jenis
bambu regen antara lain keranjang, tepas , kandang ternak
dan ajek-ajek. Keranjang yang dihasilkan ada dua macam.
Yang pertama adalah keranjang untuk tomat dan yang kedua
adalah keranjang jeruk. Keranjang tomat memiliki ukuran
diameter lebih besar daripada keranjang jeruk yaitu 45 cm
sedangkan keranjang jeruk berdiameter 43 cm. Tinggi juga
berbeda, keranjang tomat memiliki tinggi 60 cm sedangkan
keranjang jeruk 45 cm.
Keranjang tomat maupun jeruk memerlukan 33
belembang, 17 kulit, 16 unung-unung, tiga pantil, satu buah
bibir dan empat buah bingkai dalam pembuatannya. Ratarata empat keranjang dapat dihasilkan dari sebatang bambu
dengan ukuran diameter empat hingga lima cm dengan
panjang enam meter. Kapasitas keranjang jeruk 70-75 kg
dan keranjang tomat 80-90 kg. Perajin tutup keranjang hanya
dijumpai pada Desa Jaranguda. Perajin merasa pembuatan
tutup keranjang tidak menguntungkan dari segi ekonomi
sehingga hanya satu orang saja yang berprofesi sebagai
pembuat tutup keranjang. Harga per tutup hanya Rp. 1.000,sementara keranjang berkisar antara Rp. 7.000,- hingga Rp.
13.000,-. Saat musim jeruk tiba, maka permintaan akan
keranjang jeruk meningkat sehingga harga keranjang akan
naik. Sebaliknya, saat jeruk tidak musim maka harga
keranjang akan turun.
Seorang perajin keranjang biasanya membayar
Rp. 1.000,- per keranjang pada pemilik ladang bambu.
Sementara perajin tutup keranjang tidak membayar apapun
pada pemilik ladang karena hanya menggunakan sisa-sisa
irisan bambu yang tidak dipergunakan oleh perajin
keranjang. Untuk membuat tutup keranjang harus
menggunakan bagian dalam bambu yang keras agar saat
keranjang ditimpa tidak terjadi kerusakan buah yang ada di
dalamnya. Dan untuk membuat keranjang tidak
dipergunakan bagian dalam bambu yang keras karena akan
mengalami kesulitan saat bambu dianyam. Gambar bambu
regen yang dibudidayakan oleh masyarakat Desa Jaranguda
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Tanaman bambu
Gambar 2. Bambu Regen di Desa Jaranguda
2. Bambu Bulak
Bambu Bulak (bahasa Karo) dengan nama latin
Schizostachyum brachycladum Kurz. Bambu jenis ini biasa
juga disebut dengan nama bambu talang. S. brachycladum
Kurz digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepas pada
Desa Doulu. Keberadaan bambu bulak ini jarang ditemui
sehingga perajin tepas biasanya mencarinya ke luar desa.
4
Selain susah ditemukan, bambu bulak yang dijadikan tepas
haruslah benar-benar tua agar tahan lama. Ciri umum
bambu ini adalah batangnya yang tebal dan warna kulitnya
hijau kekuningan. Sebenarnya untuk membuat tepas dapat
juga digunakan jenis bambu regen. Namun karena ketebalan
batangnya lebih tipis daripada bambu bulak menyebabkan
perajin memilih bambu bulak sebagai bahan baku
pembuatan tepas.
Dalam pembuatan tepas ukuran 2 x 2 m diperlukan
80 belembang dan 80 unung-unung. Dalam sehari,
responden dapat membuat 8 m2 tepas yakni 2 lembar ukuran
2 x 2 m. Untuk harga per lembar tepas itu sendiri bervariasi.
Tergantung kepada motif yang dipesan. Adapun macammacam motifnya yaitu motif biasa, wajik, dua gambar dan
banyak gambar. Harga per m2 tepas tersebut berturut-turut
yaitu Rp. 28.000,- ; Rp. 30.000,- ; Rp. 45.000,- dan Rp.
60.000,-. Adapun motif yang paling sering dipesan adalah
motif wajik (belah ketupat). Salah satu responden yang
memproduksi tepas adalah Pak Rahmat Nasution. Gambar 2
pada halaman 31 merupakan salah satu motif tepas yang
banyak diproduksi.
akar besi-besi, akar siraprap, daun lancing, sereh wangi,
kelapa hijau, sigara urat, daun paris, akar rotan, dan lain-lain.
Harga dari produk olahan tersebut bermacammacam. Untuk minyak kusuk berkisar Rp. 50.000,- per botol
sprite dan Rp. 15.000,- per botol kecil. Sedangkan obat gatal
Rp. 30.000,- per botol kratingdaeng dan harga tawar Rp.
50.000,- per botol sprite. Perlu diketahui bahwa tawar
merupakan jenis obat tradisonal Karo yang fungsinya seperti
jamu. Biasanya masyarakat menggunakan tawar untuk
mengobati pegal-pegal, masuk angin, ataupun pemulihan
sehabis melahirkan. Pada gambar 4 halaman 5 disajikan
produk obat tradisional karo yang dijual di sepanjang jalan
Desa Doulu.
Gambar 4. Obat Tradisional Karo
Gambar 3. Tepas Motif Wajik
3. Tumbuhan Obat
Setelah melakukan penelitian pada kedua desa,
ternyata nama-nama tumbuhan obat yang diambil dari hutan
masih khas dengan bahasa karo. Oleh karena tu terdapat
kesulitan dalam pencarian nama ilmiahnya. Sehingga
banyak nama tumbuhan obat pada penelitian ini merupakan
bahasa karo. Adapun jumlah tumbuhan obat yang
dimanfaatkan pada Desa Doulu adalah 130 jenis sedangkan
pada Desa Jaranguda 123 jenis. Perbedaan jumlah jenis
pada kedua desa dikarenakan oleh pengetahuan tentang
pemanfaatan tumbuhan obat yang dimiliki oleh penduduk
berbeda. Sehingga terdapat beberapa jenis tumbuhan obat
yang tidak digunakan oleh penduduk desa Jaranguda.
Dari hasil wawancara dengan para responden,
beberapa jenis tumbuhan obat tersebut yang digunakan
untuk pertolongan pertama pada luka. Misalnya untuk
menghentikan pendarahan pada luka goresan. Namun,
untuk penyakit yang lebih kompleks maka digunakan
ramuan-ramuan obat tradisional seperti parem, minyak
kusuk khas karo, ataupun tawar (jamu).
Pembuatan obat tradisional karo pada dasarnya
menggunakan campuran bermacam-macam tumbuhan obat.
Seperti contoh dalam pembuatan minyak kusuk dibutuhkan
100 macam tumbuhan obat antara lain yaitu akar pinang,
4.Buah-buahan
Buah-buahan yang dimanfaatkan masyarakat pada
Desa Jaranguda adalah terung belanda (Cyphomandra
betacea), markisa bandung (Passiflora flavicarva) dan
markisa sirup (Passiflora edulis). Ketiga jenis buah tersebut
diperoleh dari dalam hutan oleh responden Magdalena
Sitanggang. Banyaknya pengambilan rata-rata hanya dua
buah per jenis dengan frekuensi per tahun hanya lima puluh
enam kali. Untuk harga dari buah-buahan tersebut berkisar
Rp. 300,- hingga Rp. 1.000,- per buah. Dan penting untuk
diketahui bahwa buah-buahan yang diperoleh dari hutan
tidak diperjualbelikan namun hanya untuk konsumsi pribadi
responden.
5.Madu
Madu termasuk dalam salah satu hasil hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Jaranguda. Madu
yang dimaksud pada bagian ini adalah madu alam (madu
liar) yang berasal dari lebah Apis dorsata dan juga madu
budidaya yaitu lebah Apis cerana. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Pak Sarwandi Pasaribu, keberadaan
madu liar yang ada di dalam hutan sangat melimpah. Namun
karena kesulitan dalam pengambilan menyebabkan hasil
hutan tersebut kurang dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat. Pada Desa Jaranguda hanya satu responden
yang memanfaatkan hasil hutan berupa madu.
Sebagai seorang petani madu, pak Sarwandi
Pasaribu mempunyai 28 pidem. Pidem merupakan media
tempat lebah dibudidayakan. Gambar pidem dapat dilihat
pada halaman 35 gambar 4. Pemanenan madu dilakukan
sekali dalam sebulan yaitu berkisar antara tanggal 8 hingga
5
17. Untuk lebah budidaya, jumlah pidem yang dimiliki
responden sebanyak 28 dengan perbandingan empat pidem
berada di sekitar rumah responden dan sisanya berada di
hutan. Banyaknya madu yang dapat dihasilkan adalah lima
kg per pidem setiap bulan.
Biasanya, Pak Pasaribu mencari lebah liar di
kawasan gunung Sibayak. Jumlah sarang lebah yang
dijumpai tidak menentu namun rata-rata sarang lebah
dijumpai pada pohon-pohon yang tingginya mencapai 10
meter. Bila dikalkulasikan, perbandingan banyaknya madu
liar dan madu budidaya sebesar 30:140 botol dengan harga
per botol Rp. 100.000,-. Sistem pembayarannya tidak
menentu tergantung kondisi keuangan para pembeli. Namun,
sebagian besar pembeli madu membayar tidak tunai. Untuk
lapisan lilin dari madu tidak dijual ataupun dimanfaatkan
karena dinilai tidak ekonomis jika harus dijual ke pasar.
Sehingga lapisan lilin tersebut hanya dibuang saja. Pada
saat musim hujan, lebah tidak mencari nektar sehingga
madu berkurang.
Pemasaran madu dilakukan dari mulut ke mulut.
Pembeli umumnya lebih menyukai madu liar karena rasanya
lebih manis dibandingkan madu hasil budidaya. Gambar
pidem dan madu hasil budidaya disajikan pada Gambar 5
halaman 5 dan 6.
Gambar 5. Pidem Lebah
Gambar 6 . Madu Hasil Budidaya
Satwa
Secara umum ada tiga alasan manusia
memanfaatkan hewan hutan yaitu :
1. Tujuan konsumsi. Tujuan ini biasanya banyak dilakukan
oleh masyarakat di sekitar hutan. Mereka berburu dalam
rangka mencukupi kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya
juga terbatas. Kegiatan ini biasanta masih dalam tahap
wajar dan tidak membahayakan keseimbangan
ekosistem.
2. Tujuan koleksi. Tujuan ini biasanya dilakukan oleh
kolektor hewan langka. Mereka melakukan perburuan
untuk menambah koleksi semata.
6.
3. Tujuan produksi. Tujuan ini membahayakan
keseimbangan alam. Mereka berburu dalam jumlah yang
tidak terbatas untuk memanfaatkan kulit atau bagian
tubuh lain untuk barang kerajinan.
Masyarakat memanfaatkan satwa hanya saat
melakukan perburuan. Mereka melakukan perburuan
sekedar hobbi ataupun untuk mengisi waktu kosong.
Biasanya masyarakat melakukan perburuan pada bulan Juni
hingga Juli karena pada saat itu banyak burung di hutan.
Babi hutan biasanya diburu karena mengganggu ladang
masyarakat sehingga harus diburu untuk mencegah
kerusakan tanaman pertanian. Semua satwa yang diperoleh
dari hutan tidak dijual melainkan untuk dikonsumsi langsung
oleh masyarakat. Untuk menentukan harga semua satwa
tersebut digunakan metode harga pasar dan harga relative.
Seperti musang, harga relatifnya sebesar Rp. 10,000,-.
Adapun satwa yang dimanfaatkan di Desa Jaranguda adalah
musang dan babi hutan. Sedangkan di Desa Doulu berupa
burung cicet, burung tuku ketut dan burung pamal. Burungburung yang dimanfaatkan tersebut biasanya dikonsumsi
langsung ketika berada di hutan. Adapun harga dari masingmasing burung berturut-turut yaitu Rp. 50.000,-; Rp. 50.000,dan Rp. 50.000,-. Karena burung-burung tersebut tidak dijual
maka pemberian harga berdasarkan penilaian metode relatif
yaitu hasil hutan yang belum dikenal pasarnya namun dapat
ditukarkan dengan barang atau jasa yang ada pasarnya.
Masyarakat pada kedua desa umumnya berburu di
hari minggu. Namun pada bulan Juni hingga Juli banyak
masyarakat yang sengaja berburu untuk mencari burung. Hal
ini dikarenakan karena saat bulan Juni-Juli burung-burung
banyak ditemukan di hutan. Seperti bururng Pamal,
merupakan salah satu jenis burung yang hanya ditemukan
pada bulan Juni-Juli di sekitar gunung Sibayak.
Potensi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Doulu
Setelah melakukan penelitian di Desa Jaranguda
dan Desa Doulu, hasil hutan yang dimanfaatkan sangat
besar jumlahnya. Mekipun keanekaragaman jenis yang
dimanfaatkan sedikit namun potensi untuk pemanfaatan ke
depan sangat bagus. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
jenis pemanfaatan bambu selain dijadikan keranjang
ataupun tepas. Dapat diperkirakan pada Desa Doulu sekitar
400 KK memiliki ladang bambu dengan luas minimal yang
dimiliki sekitar 0,5 ha. Hal ini berarti, bahwa sekitar 200 ha
ladang bambu terdapat pada desa Doulu. Berdasarkan
keterangan beberapa responden, ladang bambu yang
mereka miliki merupakan warisan turun-temurun keluarga.
Sehingga, meskipun status ladang tersebut merupakan
hutan negara namun masyarakat menganggap ladang
tersebut milik pribadi karena merupakan warisan turuntemurun keluarga. Padahal pada dasarnya mereka tidak
memiliki sertifikat tanah yang mereka kelola.
Potensi bambu sendiri untuk Kabupaten Karo
berdasarkan Badan Pusat Statistik (2006) menyebutkan
bahwa potensi bambu sebesar 1255,25 ha. Sebenarnya,
bambu bisa dijadikan perabot rumah tangga, sumpit, hiasan
dinding dan sebagainya. Namun melihat kondisi masyarakat
pada kedua desa yang termasuk pada kategori masyarakat
6
tidak terdidik sehingga kreatifitas dalam mengolah hasil
hutan masih sangat minim. Hal ini terlihat dari jenis produk
berbahan bambu yang hanya berupa keranjang dan tepas
seperti yang terlihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 halaman
6.
Gambar 6. Pembuatan Keranjang
Gambar 7. Pembuatan Tepas
Potensi bambu sebagai tanaman konservasi DAS
juga sangat besar. Selain memiliki keunggulan untuk
memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik,
sehingga mampu meningkatkan water storage (cadangan air
bawah tanah) secara nyata, maka pertimbangan
menggunakan bambu sebagai tanaman konservasi adalah
karena bambu merupakan tanaman yang mudah ditanam
serta memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, tidak
membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh pada
semua jenis tanah, tidak membutuhkan investasi besar,
sudah dewasa pada umur 3 – 5 tahun dan dapat di panen
setiap tahun tanpa merusak rumpun serta memiliki toleransi
tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Disamping
itu, bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang
baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga dapat
ditanam di daerah pemukiman maupun dipinggir jalan raya.
Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran serabut
dengan akar rimpang yang sangat kuat, meskipun berakar
serabut pohon bambu sangat tahan terhadap terpaan angin
kencang. Perakarannya tumbuh sangat rapat dan menyebar
ke segala arah, serta memiliki struktur yang unik karena
terkait secara horizontal dan vertikal, sehingga tidak mudah
putus dan mampu berdiri kokoh untuk menahan erosi dan
tanah longsor di sekitarnya, disamping itu lahan di bawah
tegakan bambu menjadi sangat stabil dan mudah
meresapkan air. Dengan karakteristik perakaran seperti itu,
memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidrologis yang
menjaga ekosistem tanah dan air, sehingga dapat
dipergunakan sebagai tanaman konservasi.
Selain pemanfaatan bambu, di Desa Jaranguda
juga terdapat masyarakat yang memanfaatkan madu. Baik
madu alam maupun madu yang dihasilkan dari budidaya.
Diantara begitu banyak penduduk yang mendiami Desa
Jaranguda hanya terdapat satu masyarakat yang
memanfaatkan keberadaan madu alam atau biasa disebut
madu liar yang ada di hutan. Sementara bila dilakukan
taksasi sumber daya madu yang terdapat di hutan Tahura
keberadaan madu liar sangat banyak dan melimpah. Untuk
budidaya lebah madu yang sudah dilakukan, dalam setiap
bulannya mencapai 140 botol.
Pemanfaatan tumbuhan obat pada kedua desa
sangat beragam. Pada Desa Jaranguda, jenis tumbuhan
obat yang dimanfaatkan berjumlah 123 jenis. Sementara di
Desa Doulu sebanyak 130 jenis. Tumbuhan obat yang
dimanfaatkan oleh masyarakat diperoleh dari hutan di sekitar
Desa Jaranguda dan Doulu tersebut.
Masyarakat yang memanfaatkan satwa hanya
beberapa responden pada Desa Doulu. Hal ini dikarenakan
oleh pola pikir masyarakat yang sudah semakin mengerti
akan satwa yang dilindungi. Dan hal ini sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Desa
Jaranguda.
Berdasarkan hal di atas, manfaat tangible yang
dimanfaatkan masyarakat pada kedua desa sangatlah besar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmawaty (2004) yang
menyatakan bahwa hutan memberikan manfaat besar bagi
kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung dapat dilihat dari ketersediaan bambu
untuk diolah menjadi keranjang, satwa yang diburu, ataupun
hasil hutan lainnya. Sementara untuk manfaatn tidak
langsung yang didapatkan oleh masyarakat pada kesua
desa adalah manfaat rekreasi, pengaturan tata air dan
pencegahan erosi. Hal yang paling nyata pada hal ini adalah
manfaat rekreasi. Desa Doulu merupakan daerah pemandian
air panas sehingga banyak wisatawan lokal maupun
mancanegara yang memanfaatkan keindahan alam serta air
panas tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden,
potensi sumber daya hutan pada kedua desa merujuk pada
pola tujuan konsumtif, koleksi dan produktif. Dimana, pola
tujuan konsumtif berarti adanya pemakaian pribadi dan
sehari-hari seperti contohnya buah-buahan, tumbuhan obat
dan satwa. Sedangkan untuk pola tujuan koleksi sendiri tidak
ditemukan pada salah satu responden. Dan untuk pola
produksi contohnya pada pemanfaatan bambu regen, bambu
bulak, madu dan tumbuhan obat.
Menurut keterangan salah satu responden, dalam
satu ha bambu terdapat lebih kurang 300 rumpun bambu.
Setiap rumpun memiliki 40 batang bambu. Dimana sekali
dalam tiga bulan bambu tersebut dipanen sebanyak 6.000
batang bambu. Berarti, perbandingan ketersediaan dengan
pengambilan 2 : 1. Karena bambu merupakan salah satu
tumbuhan vegetatif maka tidak perlu dilakukan budidaya
khusus. Bambu akan tumbuh dengan sendirinya disamping
juga harus dibersihkan dari rumput-rumput yang akan
mengganggu proses perkembangannya.
Nilai Ekonomi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Desa
Doulu
7
Nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan
masyarakat di Desa Jaranguda lebih tinggi dari nilai ekonomi
di luar hasil hutan seperti pertanian, buruh, perkebunan,
wiraswasta dan sebagainya. Nilai ekonomi hasil hutan
diperoleh dari perkalian total pengambilan per jenis per tahun
dengan harga hasil hutan per jenis (Lampiran 3 dan 7). Hasil
penelitian di Desa Jaranguda menunjukkan bahwa nilai
ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat yaitu
sebesar Rp. 1.219.958.800,- per tahun. Nilai ini diperoleh
dari hasil penjumlahan nilai ekonomi bambu regen, tanaman
obat, madu, satwa dan buah-buahan.
Jenis hasil hutan yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap pendapatan masyarakat adalah bambu
regen yang diolah menjadi keranjang. Adapun nilai
ekonominya yaitu sebesar Rp. 540.992.000,- atau dengan
persentase jenis sebesar 44,34 % dari jumlah total
keseluruhan nilai hasil hutan yang dimanfaatkan. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang
Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda
N
o
Jenis
Hasil
Hutan
Penga
mbilan
(Unit/Ta
hun)
Satua
n
(Unit)
Harga
(Rp/Unit
)
93.416
batan
g
336
buah
1.0007.000
3001.000
10.000750.000
100.000
2
Bambu
Regen
Buahbuahan
3
4
Satwa
Madu
85
2.040
5
Tumbuh
an Obat
46.320
1
ekor
botol
gengg
am,
biji
1.000100.000
Jumlah
Nilai Hasil
Hutan
(Rp/Tahun)
Perse
ntase
Nilai
Ekono
mi (%)
540.992.000
44,34
212.800
0,02
63.010.000
204.000.000
5,16
16,72
411.744.000
1.219.958.800
33,76
100
Besarnya kontribusi bambu pada Desa Jaranguda
disebabkan oleh sistem kerja pembuatan keranjang yang
tidak terikat sepanjang hari. Sehingga, masyarakat berpikir
menjadi perajin keranjang adalah pekerjaan yang sangat
menguntungkan. Pada pukul 14.00 WIB perajin keranjang
telah selesai membuat keranjang dan dapat melanjutkan
pekerjaan yang terbengkalai di ladang hingga sore hari.
Selain itu, kebutuhan akan keranjang yang sangat banyak
untuk mencukupi keranjang jeruk dan tomat sehingga
masyarakat tidak pernah berhenti membuat keranjang setiap
hari kecuali minggu.
Jenis hasil hutan satwa dan buah-buahan hanya
memberikan persentase nilai ekonomi masing-masing 5,16
% dan 0,02 %. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat
yang sudah mulai paham akan peraturan pemerintah yang
melarang perburuan liar. Tanaman obat yang dimanfaatkan
masyarakat di Desa Jaranguda hanya sedikit. Hal ini karena
masyarakat lebih suka menggunakan obat yang praktis
daripada harus mencari ke hutan dan meramu sendiri
obatnya.
Setelah melakukan wawancara dengan seorang
ahli pengobatan Karo, ternyata responden memanfaatkan
122 jenis tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Tahura.
Adapun kontribusi tumbuhan obat sebesar Rp. 411.744.000,-
dengan persentase nilai ekonomi 33,76 %. Responden
tersebut menjelaskan bahwa tumbuhan obat tersebut ratarata diambil sekali hingga dua kali seminggu dan kemudian
diracik menjadi minyak kusuk, parem, tawar dan sebagainya.
Mengingat permintaan pasien yang berobat ke praktek
pengobatan responden sangat banyak maka hal tersebut
menjadi alasan cukup besarnya nilai ekonomi dari tumbuhan
obat tersebut.
Sedangkan nilai ekonomi hasil hutan dari madu,
diperoleh persentase sebesar 16,72 % dengan nilai ekonomi
Rp. 204.000.000,00 pertahun. Pemanfaatan madu ini masih
sebatas untuk satu responden saja. Bayangkan bila
seandainya terdapat beberapa orang lagi yang bermata
pencaharian sebagai peternak madu.
Sama halnya dengan Desa Jaranguda, Desa
Doulu juga didominasi oleh hasil hutan berupa bambu regen
dengan nilai hasil hutan Rp. 528.264.000,- dengan
persentase nilai ekonomi 48,42 %. Diikuti oleh nilai ekonomi
tumbuhan obat pada posisi kedua dengan nilai Rp.
437.232.000,- dan persentasenya sebesar 40,08 %. Lain
halnya dengan Desa Jaranguda yang hanya memanfaatkan
satu jenis bambu, Desa Doulu memanfaatkan dua jenis
bambu yaitu bambu regen dan bulak. Bambu bulak
digunakan untuk membuat tepas. Perbedaan ini disebabkan
oleh masyarakat Desa Jaranguda tidak ada yang menjadi
perajin tepas. Sementara di Desa Doulu terdapat tiga orang
yang menjadi perajin tepas. Nilai ekonomi yang diperoleh
dari tepas sebesar Rp. 119.040.000,- per tahun dengan
persentase nilai ekonominya sebesar 10,91 %. Satwa tidak
memberikan kontribusi yang banyak karena sama halnya
dengan masyarakat Desa Jaranguda, masyarakat Desa
Doulu juga paham akan perlindungan satwa sehingga
mereka jarang melakukan perburuan ke hutan sehingga
persentase nilai ekonominya hanya sebesar 0,59 %. Pada
Tabel 4 dapat dilihat persentase nilai ekonomi hasil hutan
yang dimanfaatkan masyarakat Desa Doulu.
Tabel 3. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang
Dimanfaatkan Masyarakat Desa Doulu.
N
o
Jenis
Hasil
hutan
3
Bambu
Regen
Bambu
Bulak
Tumbu
han
Obat
4
Satwa
1
2
Peng
ambil
an
(Unit/
Tahu
n)
77.90
0
3.936
51.45
6
52
Satuan
(Unit)
batang
m2
gengga
m, biji,
lembar
ekor
Harga
(Rp/Uni
t)
1.0007.000
30.00040.000
1.000100.000
750.000
3.000.0
00
Total
Nilai Hasil
Hutan
(Rp/tahun)
Persent
ase
Nilai
Ekono
mi (%)
528.264.000
48,42
119.040.000
10,91
437.232.000
40,08
6.250.000
1.090.786.000
0,59
100
Sesuai dengan pernyataan Pearce (2001), nilai
ekonomi hasil hutan tinggi jika hutan tersebut mudah diakses
dan sebaliknya nilai yang rendah atau bahkan bias mencapai
nol jika hutan tersebut susah untuk diakses sehingga biaya
aksesnya tinggi dan ditambah dengan biaya pengolahan.
Untuk desa Doulu maupun Jaranguda, karena hutan di
sekitarnya masih tergolong hutan yang mudah diakses
8
menyebabkan nilai ekonomi jenis hasil hutan masih
tergolong tinggi.
Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi
terhadap hutan semestinya disikapi serius oleh Balai Besar
Tahura Bukit Barisan. Dengan ketergantungan yang tinggi
akan menyebabkan kerusakan bila tidak diiringi oleh upaya
pelestarian. Untuk itu, Balai Besar Tahura Bukit Barisan
harusnya melakukan pembinaan dan pengarahan terhadap
masyarakat sekitar Tahura untuk sama-sama mengelola
dan memanfaatkan hutan secara lestari.
Sebenarnya HHBK dalam pemanfaatannya
memiliki keunggulan dibanding hasil kayu, sehingga HHBK
memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya.
Adapun keunggulan HHBK dibandingkan dengan hasil kayu
antara lain adalah tidak menimbulkan kerusakan yang besar
terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu.
Walaupun HHBK memiliki keunggulan dibandingkan dengan
hasil kayu, tetapi pemanfaatan HHBK belum dilaksanakan
secara optimal. Beberapa permasalahan yang terkait dengan
pemanfaatan HHBK adalahah belum ada data tentang
potensi, sebaran dan pemanfaatan HHBK baik yang sudah
diketahui maupun yang belum diketahui manfaatnya. Hal
tersebut menyebabkan perencanaan pemanfaatan HHBK
tidak dapat dilakukan. Hal inilah yang terjadi pada kawasan
Tahura Bukit Barisan. Sementara itu permasalahan yang
terkait dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk
diperhatkan secara serius di kawasan Tahura Bukit Barisan
adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya
pemanfaatan dan belum dikuasainya teknologi budidaya
yang tepat.
Kontribusi Hasil Hutan Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Desa Jaranguda dan Desa Doulu
Pendapatan utama masyarakat berasal dari
pertanian. Namun melihat kondisi pertanian di kedua desa
tersebut maka sumber pendapatan dari pertanian tidak
sebanyak dari pengolahan bambu, tumbuhan obat ataupun
madu. Sehingga tidak jarang petani juga berprofesi sebagai
perajin keranjang. Hal ini disebabkan dengan menjadi perajin
keranjang, para petani memiliki modal untuk mencukupi
kebutuhan ladang. Pendapatan dari pertanian juga tidak
dapat disamakan setiap waktu. Karena, sering terjadi gagal
panen ataupun hasil panen yang tidak dapat mengembalikan
modal ladang. Selama wawancara terhadap responden,
alasan yang menyebabkan suatu pekerjaan dijadikan
sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan adalah
besar kecilnya kontribusi pekerjaan tersebut terhadap
pendapatan rumah tangga sehari-hari. Data pendapatan
masyarakat Desa Jaranguda dan Doulu di luar Pemanfaatan
hasil hutan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 pada
halaman 8.
Tabel 4. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar
Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Jaranguda
Sumber
Persentase
No
Jumlah (Rp)
Pendapatan
(%)
1
Pertanian
283.200.000
92,60
2
Buruh Tani
7.800.000
2,55
3
Buruh Bangunan
2.400.000
0,78
4
Ahli Pengobatan
2.000.000
0,65
5
6
7
Pemandu Wisata
Dagang
Perkebunan
Jumlah
400.000
5.000.000
5.000.000
305.800.000
0,13
1,64
1,64
100
Tabel 5. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar
Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Doulu
Sumber
Persentase
No
Jumlah (Rp)
Pendapatan
(%)
1
Pertanian
123.600.000
62,80
2
Dagang
22.800.000
11,58
3
Tukang Kusuk
9.600.000
4,88
4
Buruh Tani
10.800.000
5,49
5
Tukang Ojek
30.000.000
15,24
Jumlah
196.800.000
100
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
pemanfaatan hasil hutan per KK per tahun pada Desa
Jaranguda dan Desa Doulu sebesar Rp. 40.665.293,- dan
Rp. 36.559.533,- . Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan
hasil hutan pada kedua desa memberikan kontribusi yang
nyata. Berarti, pada kedua desa tersebut keberadaan hutan
masih menjadi penopang kehidupan masyarakat dalam
bidang ekonomi.
Berdasarkan Rensis Likert dalam Usman dan
Purnomo (2009) kontribusi pendapatan bambu regen
termasuk ke dalam kontribusi pendapatan sedang yaitu 41%60%. Sementara bambu bulak masuk ke dalam kontribusi
pendapatan sangat kecil yaitu 0%-20%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 6 di halaman 8.
Tabel 6. Persentase Kontribusi Bambu Terhadap Ekonomi
Rumah Tangga
Persentase
Kontribusi
No
Keterangan
Pendapatan Hasil
Bambu
Kontribusi pendapatan
1
0%-20%
sangat kecil
2
21%-40%
Kontribusi pendapatan kecil
Kontribusi pendapatan
3
41%-60%
sedang
Kontribusi pendapatan
besar
4
61%-80%
Kontribusi pendapatan
sangat besar
5
81%-100%
Sumber : Usman dan Purnomo, 2009
Sementara pada pendapatan di luar hutan per KK
per tahun pada Desa Jaranguda dan Desa Doulu sebesar
Rp. 10,193,333,- dan Rp. 6,560,000,-. Berdasarkan nilai
tersebut terlihat dengan jelas perbandingan pendapatan dari
hutan dan juga luar hutan. Untuk lebih jelas di bawah ini
terdapat grafik persentase nilai ekonomi hasil hutan dan luar
hutan pada kedua desa tersebut.
9
Luar Hutan;
16,49%
Hasil Hutan;
83,51%
Gambar 9. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar
Hutan di Desa Jaranguda
Pada Desa Jaranguda, terlihat bahwa pendapatan
masyarakat didominasi dari pemanfaatan hasil hutan.
Meskipun dari letaknya desa ini merupakan saah atu desa
yang dekat sekali ke pusat kota. Begitu juga dengan akses
ke hutan, desa ini berbatasan langsung dengan Tahura Bukit
Barisan. Sementara Desa Doulu merupakan desa yang
dikelilingi oleh deleng-deleng yang menyebabkan
masyarakat bergantung sekali dengan hutan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Luar Hutan;
16,91%
hasil hutan tersebut. Adanya rangkulan dari pihak-pihak yang
berwenang tentunya akan membantu terciptanya hutan
lestari.
Menurut
Ramelgia (2009) dalam Linda Sri
Agustina Wati (2011) tingkat ketergantungan masyarakat
dengan persentase kontribusi 75% - 100% termasuk ke
dalam kategori tergantung sekali. Pada Desa Jaranguda
sebesar 83,51% sedangkan pada Desa Doulu 83,09%.
terlihat dari hasil tersebut bahwa Desa Doulu dan Desa
Jaranguda tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
pemanfaatan hasil hutan.
Adapun model interaksi yang paling dominan pada
kedua desa adalah model interaksi produktif yang akhirnya
menuju pada konsep komersil. Seperti pemanfaatan bambu
regen dan bambu bulak yang diolah menjadi keranjang dan
tepas untuk dijual pada konsumen. Begitu juga dengan
tumbuhan obat yang diolah menjadi minyak kusuk, parem
ataupun tawar. Namun untuk satwa dan buah-buahan pola
interaksi yang digunakan adalah konsumtif. Khusus untuk
madu, interaksi yang berlangsung adalah interaksi konsumtif
dan produksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil Hutan;
83,09%
Gambar 10. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar
Hutan di Desa Doulu
Persentase hasil hutan dan luar hutan yang ada di
kedua desa tersebut dapat dilihat pada gambar 8 dan
gambar 9. di atas. Untuk Desa Jaranguda, persentase hasil
hutan sebesar 83.58% sedangkan luar hutan sebesar
16.42%. lebih dari setengah pendapatan masyarakat berasal
dari hasi hutan. Sementara untuk Desa Doulu persentase
hasil hutan dan luar hutan adalah 83,16% dan 16,84%. dari
besarnya hasil hutan yang dimanfaatkan pada kedua desa,
tidak satupun terdapat masyarakat yang memanfaatkan hasil
hutan kayu. Semua masyarakat yang menjadi responden
hanya menggunakan hasil hutan non kayu. Berdasarkan
Adger et al (1994), pemanfaatan hasil hutan non kayu
sebenarnya memberikan kontribusi yang besar terhadap
mata pencaharian penduduk. Selain itu juga akan sangat
berkontribusi bagi masyarakat tidak mampu untuk
menyokong kehidupan mereka. Pernyataan di atas terlihat
jelas pada Desa Jaranguda dan juga Doulu, dimana
masyarakatnya mengolah hasil hutan bukan kayu untuk
mata pencaharian, makanan, dan juga obat-obatan.
Sesuai dengan pernyataan Rencana Penelitian
Integratif (2010) HHBK terbukti dapat memberikan dampak
pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan
memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa
negara. Peranan HHBK dalam menunjang kegiatan dan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tidak diragukan lagi
namun tentunya harus memperhatikan kondisi ekologisnya.
Untuk kawasan Tahura Bukit Barisan sendiri perlu dilakukan
pengarahan langsung terhadap masyarakat akan pentingnya
kondisi hutan yang tetap lestari, karena semua hasil hutan
yang dimanfaatkan masyarakat berasal dari hutan dan
nantinya anak cucu mereka juga yang akan memanfaatkan
Kesimpulan
1. Jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di
sekitar Kawasan Tahura adalah hasil hutan bukan
kayu yaitu bambu regen, bambu bulak, 130 jenis
tumbuhan obat, buah-buahan, satwa serta madu.
2. Nilai ekonomi yang paling besar adalah pemanfaatan
bambu regen sebesar Rp.1.069.256.000,00 dengan
kontribusi sedang terhadap pendapatan masyarakat.
3. Kontribusi hasil hutan
terhadap pendapatan
masyarakat sekitar Tahura Bukit Barisan tergolong
besar yaitu 83,51%.
DAFTAR PUSTAKA
Adger et al. 1994. Towards Estimating Total Economic Value
of Forests in Mexico. Centre for Social and
Economic Research on the Global Enviroment,
University of East Angelia and University College
London. London
Agustina, L.S. 2011. Kontribusi Sumber Daya Hutan
Terhadap Pendapatan Masyarakat di Sekitar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Pearce, D. 2001. The Economic Value of Forest
Ecosystems. CSERGE-Economics, University
College London. London
Rahmawaty, 2004. Hutan: Fungsi Dan Peranannya Bagi
Masyarakat. USU. Medan
Rencana Penelitian Integratif, 2010. Pengolahan Hasil Hutan
Bukan Kayu hal 595-626. Jakarta
Usman, H dan Akbar, PS. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial. Bumi Aksara. Jakarta
10
sekitar Tahura Bukit Barisan
(Type, Potency And Economic Value of Forest Result which exploited by Society around
a Program
Faujiah Nurhasanah R.a, Ridwanti Batubarab, Oding Affandic
Studi Kehutanan, Minat Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Darma Ujung No. 1
Kampus USU Medan 20155 (e-mail penulis :[email protected])
bDosen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Pertanian, USU
CDosen Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, USU
Abstract
TAHURA Bukit Barisan represent a forest bunch which is have direct interaction between people and forest. Doulu and
Jaranguda Village is around Tahura area. Therefore was conducted research to know type, potency and economic value of forest
product which exploited by society around TAHURA. The method that is used to determine the respondent is snowball sampling
method. Based on interview on responden, type of forest product which exploited by people around TAHURA area are regen
bamboo, bulak bamboo, medical plant, honey and animal . The biggest Economics value at both village is Bamboo Regen exploiting
equal to Rp.1.069.256.000,00. Forest provide a major contribution to public life.
Key words : TAHURA, type, economic value, contribution
PENDAHULUAN
Hutan memberikan manfaat yang sangat besar
bagi kehidupan manusia, mulai dari pengatur tata air, paruparu dunia sampai pada kegiatan industri. Pamulardi (1999),
dalam perkembangannya hutan telah dimanfaatkan untuk
berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam
bidang Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil
Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Menurut Hutabarat (2001) paradigma baru
pembangunan kehutanan di Indonesia sejak tahun 2000
adalah berupa pergeseran penekanan dari aspek ekonomi
(orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi
dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis,
dan ekonomi hutan. Kemudian pergeseran dari kebijakan
dan pengembangan hutan dengan penekanan pada
pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan
penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa,
selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain
seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu
lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro dan
memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan
berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk
memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan
masyarakat setempat/lokal).
Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan
merupakan salah satu kekayaan alam di Propinsi Sumatera
Utara yang menjadi sumber penghidupan masyarakat yang
bernaung di bawahnya. Namun hingga saat ini belum
diketahui jenis hasil hutan yang digunakan masyarakat yang
berada di kawasan Tahura. Begitu juga dengan potensi serta
nilai ekonomi yang didapatkan dari pemanfaatan hasil hutan
tersebut.
Ketergantungan masyarakat sekitar hutan
terhadap hutan dan hasil hutan di Tahura Bukit Barisan
sangat tinggi, apalagi mayoritas penduduk yang tinggal di
sekitar hutan hidup dari sektor pertanian. Sejauh mana
ketergantungan mereka terhadap sumberdaya hutan,
terutama hasil hutan baik kayu maunpun non kayu bersama
interaksi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan tersebut, alasan penting untuk melakukan penelitian
ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenisjenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat, potensi
sumber daya hutan serta nilai ekonomi hasil hutan di Desa
Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa Jaranguda
Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo Sumatera Utara.
BAHAN DAN METODE
Adapun alat yang digunakan adalah kamera digital,
kalkulator dan alat tulis sedangkan bahan yang diperlukan
adalah kuisioner.
Metode pengumpulan data Dalam penelitian ini, digunakan
data primer dan data sekunder. Data primer yang di
kumpulkan antara lain adalah jenis dan jumlah hasil hutan
kayu maupun non kayu (manfaat tangible), data sosial
ekonomi, frekuensi pengambilan, lama dan waktu
pengambilan, biaya pengambilan dan bentuk pengolahan
atau hasil pemasaran. Data primer tersebut diperoleh
dengan metode snowball sampling yaitu metode
pengambilan sampel dengan secara berantai (multi level).
Sampel awal ditetapkan dalam kelompok anggota kecil.
Kemudian masing-masing anggota diminta mencari anggota
baru dalam jumlah tertentu dan masing-masing anggota baru
diminta mencari anggota baru lagi. Data sekunder yang
dikumpulkan antara lain adalah: kondisi umum lokasi
penelitian atau data umum yang ada pada instansi
pemerintah desa.
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan
sebagai berikut:
a. Identifikasi jenis hasil hutan kayu maupun non kayu yang
ada di desa Doulu Kecamatan Berastagi dan Desa
Jaranguda Kecamatan Merdeka Kabupaten Karo
Sumatera Utara.
b. Melakukan observasi dan analisis pengolahan data di
lapangan untuk mengetahui sistem pengolahan hutan.
c. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner
2
terhadap para responden penelitian dengan masingmasing banyaknya responden tiga puluh responden per
desa.
d. Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder
selanjutnya ditabulasikan sesuai dengan kebutuhkan
sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data
primer yang bersifat kualitatif selanjutnya dianalisis
secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta
dilakukan analisis para pihak yang terkait dalam
pengolahan hutan . Sedangkan data yang bersifat
kuantitatif diolah secara tabulasi.
Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari
responden dilakukan dengan wawancara. Informasi yang
diperoleh dari setiap responden meliputi:
a. Faktor sosial, ekonomi dan budaya responden yang
meliputi umur, suku, agama, pekerjaan, pendapatan,
mata pencaharian, pendidikan, jumlah tanggungan,
usaha pertanian yang di miliki.
b. Jenis dan jumlah hasil hutan kayu maupun non kayu
yang di ambil dari responden adalah frekuensi
pengambilan, lama dan waktu pengambilan, serta
metode pemasaran yang diperoleh.
Analisis Data
Nilai Ekonomi Hasil Hutan
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan di
lapangan baik melalui wawancara maupun kuesioner
kemudian dianalisis secara kuantitatif. Nilai barang hasil
hutan untuk setiap jenis per tahun yang di peroleh
masyarakat di hitung dengan cara:
1. Harga barang hasil hutan (manfaat tangible) yang di
peroleh di analisis dengan pendekatan harga pasar,
harga relative dan pendekatan biaya pengadaan.
Untuk barang dan jasa hutan yang sudah di kenal
pasarnya, penilaian di lakukan dengan nilai pasar (nilai
yang berlaku di pasar). Untuk hasil hutan yang belum
di kenal harga pasarnya tetapi dapat di tukarkan atau
di bandingkan dengan nilai barang dan jasa yang telah
ada pasarnya, maka penilaian di satukan dengan
metode relatif. Sedangkan untuk barang dan jasa hasil
hutan yang belum di kenal pasarnya dan tidak
termasuk dalam sistem pertukaran, maka penilaian di
lakukan dengan metode biaya pengadaan, yaitu
banyaknya biaya yang di keluarkan untuk
mendapatkan barang dan jasa hutan tersebut.
2. Menghitung nilai rata-rata jumlah barang yang diambil
per respon per jenis.
Rata-rata jumlah barang yang diambil: =
Xi Xii .... Xn
n
Keterangan:
Xi : Jumlah Barang yang diambil Responden
n
: Jumlah Banyak Pengambil per Jenis Barang
3. Menghitung nilai potensi/ total pengambilan per unit
barang per tahun
TP = RJ x FP x JP
FP : Frekuensi Pengambilan
JP : Jumlah Pengambilan
4. Menghitung nilai ekonomi barang hasil hutan per jenis
barang per tahun
NH = TP x HH
Keterangan:
NH : Nilai Hasil Hutan per Jenis
TP : Total Pengambilan (unit/ tahun)
HH : Harga Hasil Hutan
5. Mengitung persentasi nilai ekonomi dengan cara:
% NE =
6. Menghitung pendapatan total, pendapatan dari dalam
hutan dan luar hutan
Pendapatan Total = Jumlah rata-rata pendapatan/tahun
Pendapatan dalam huta = Jumlah nilai ekonomi dari seluruh
jenis
Pendapatan Luar Hutan = Selisih antara pendapatan Total
dengan Pendapatan dalam Hutan.
Hasil perhitungan hasil hutan ini menunjukan total
pendapatan hasil hutan seluruh jenis per tahun, sehingga
dapat di hitung besar nilai kontribusi dari nilai hasil hutan ini
terhadap pendapatan masyarakat. Menghitung tingkat
kontribusi pemanfaatan hasil hutan.
Kontribusi =
Pendapatan dalam hutan
x 100%
Pendapatan total
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat
Masyarakat Desa Jaranguda dan desa Doulu
memanfaatkan hasil hutan sejak dulu. Hasil hutan tersebut
dimanfaatkan untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dijual.
Semua hasil hutan yang dimanfatkan masyarakat
menambah pendapatan rumah tangga. Adapun jenis hasil
hutan yang dimanfaatkan penduduk di Desa Jaranguda dan
Doulu disajikan pada Tabel 1 halaman 2.
Tabel 1. Jenis Hasil Hutan Yang Dimanfaatkan Masyarakat
Desa Jaranguda dan Desa Doulu
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Keterangan:
TP : Total Pengambilan per Tahun
RJ : Rata-rata Jumlah yang diambil
NEi
X 100%
NE
Jenis Hasil
Hutan
Bambu Regen
Bambu Bulak
Tumbuhan
Obat
Madu
Satwa
Keranjang
(olahan)
Tepas (olahan)
Obat Karo
(olahan)
Jumlah Responden (orang)
Desa
Desa Doulu
Jaranguda
27
28
3
2
1
3
6
3
27
-
28
3
1
1
3
Hasil hutan yang umumnya dimanfaatkan masyarakat Desa
Jaranguda dan Doulu antara lain :
1. Bambu Regen
Bambu Regen (nama lokal) merupakan jenis
bambu dengan nama latin Gigantochloa pruriens.
Klasifikasinya yaitu :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan
berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas
: Commelinidae
Ordo
: Poales
Famili
: poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus
: Gigantochloa
Spesies
: Gigantochloa pruriens Widjaja
Bambu bulak yang berada di sekitar Tahura
merupakan bambu yang ditanam oleh nenek moyang
masyarakat setempat. Bambu bulak termasuk ke dalam jenis
tanaman yang mudah diurus karena tidak memerlukan
perlakuan khusus seperti tanaman lainnya. Bambu regen
tidak memerlukan pupuk untuk menghasilkan kualitas yang
baik tetapi membutuhkan lingkungan sekitar tempat tumbuh
yang bersih dari rumput-rumputan. Maksudnya adalah agar
perkembangbiakan bambu berjalan sempurna maka rumput
di sekitarnya harus dibersihkan. Selain itu, saat melakuakn
penebangan harus dilakukan dengan cara yang benar, yaitu
dengan menebang habis batang sampai pada batas
permukaan tanah. Selain itu juga harus menyisakan batang
yang muda agar terjadi regenerasi bambu.
Agar perkembangbiakan bambu regen berjalan
dengan baik juga harus diberi jarak tanam tiga kali tiga meter
per rumpun. Sama halnya dengan pohon, bambu juga
membutuhkan jarak tanam agar ukuran diameter batang
besar. Waktu panen bambu regen sebaiknya sekali dalam
tiga tahun. Namun kondisi di lapangan tidaklah demikian.
Karena permintaan akan keranjang ataupun ajek-ajek
(bahasa Karo) yang tinggi maka pemanenan bambu regen
bisa sekali dalam tiga bulan. Panjang ajek-ajek berkisar 2,1
m dengan diameter 1-2 cm dan termasuk ke dalam batang
bambu yang masih muda. Harga per batangnya Rp. 500,hingga Rp. 1.000,-. Tergantung jauh tidaknya ladang dari
pemukiman penduduk. Semakin jauh ladang bambu dari
pemukiman maka harga ajek-ajek akan semakin mahal.
Bambu regen yang siap untuk dipanen memiliki ciri
bunyi yang nyaring saat dipukul dan adanya bintik-bintik
putih besar pada batang atau biasa disebut kapuran. Tinggi
bambu enam meter dengan diameter lima hingga enam
meter. Produk hasil hutan yang dapat dijadikan dari jenis
bambu regen antara lain keranjang, tepas , kandang ternak
dan ajek-ajek. Keranjang yang dihasilkan ada dua macam.
Yang pertama adalah keranjang untuk tomat dan yang kedua
adalah keranjang jeruk. Keranjang tomat memiliki ukuran
diameter lebih besar daripada keranjang jeruk yaitu 45 cm
sedangkan keranjang jeruk berdiameter 43 cm. Tinggi juga
berbeda, keranjang tomat memiliki tinggi 60 cm sedangkan
keranjang jeruk 45 cm.
Keranjang tomat maupun jeruk memerlukan 33
belembang, 17 kulit, 16 unung-unung, tiga pantil, satu buah
bibir dan empat buah bingkai dalam pembuatannya. Ratarata empat keranjang dapat dihasilkan dari sebatang bambu
dengan ukuran diameter empat hingga lima cm dengan
panjang enam meter. Kapasitas keranjang jeruk 70-75 kg
dan keranjang tomat 80-90 kg. Perajin tutup keranjang hanya
dijumpai pada Desa Jaranguda. Perajin merasa pembuatan
tutup keranjang tidak menguntungkan dari segi ekonomi
sehingga hanya satu orang saja yang berprofesi sebagai
pembuat tutup keranjang. Harga per tutup hanya Rp. 1.000,sementara keranjang berkisar antara Rp. 7.000,- hingga Rp.
13.000,-. Saat musim jeruk tiba, maka permintaan akan
keranjang jeruk meningkat sehingga harga keranjang akan
naik. Sebaliknya, saat jeruk tidak musim maka harga
keranjang akan turun.
Seorang perajin keranjang biasanya membayar
Rp. 1.000,- per keranjang pada pemilik ladang bambu.
Sementara perajin tutup keranjang tidak membayar apapun
pada pemilik ladang karena hanya menggunakan sisa-sisa
irisan bambu yang tidak dipergunakan oleh perajin
keranjang. Untuk membuat tutup keranjang harus
menggunakan bagian dalam bambu yang keras agar saat
keranjang ditimpa tidak terjadi kerusakan buah yang ada di
dalamnya. Dan untuk membuat keranjang tidak
dipergunakan bagian dalam bambu yang keras karena akan
mengalami kesulitan saat bambu dianyam. Gambar bambu
regen yang dibudidayakan oleh masyarakat Desa Jaranguda
disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1. Tanaman bambu
Gambar 2. Bambu Regen di Desa Jaranguda
2. Bambu Bulak
Bambu Bulak (bahasa Karo) dengan nama latin
Schizostachyum brachycladum Kurz. Bambu jenis ini biasa
juga disebut dengan nama bambu talang. S. brachycladum
Kurz digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepas pada
Desa Doulu. Keberadaan bambu bulak ini jarang ditemui
sehingga perajin tepas biasanya mencarinya ke luar desa.
4
Selain susah ditemukan, bambu bulak yang dijadikan tepas
haruslah benar-benar tua agar tahan lama. Ciri umum
bambu ini adalah batangnya yang tebal dan warna kulitnya
hijau kekuningan. Sebenarnya untuk membuat tepas dapat
juga digunakan jenis bambu regen. Namun karena ketebalan
batangnya lebih tipis daripada bambu bulak menyebabkan
perajin memilih bambu bulak sebagai bahan baku
pembuatan tepas.
Dalam pembuatan tepas ukuran 2 x 2 m diperlukan
80 belembang dan 80 unung-unung. Dalam sehari,
responden dapat membuat 8 m2 tepas yakni 2 lembar ukuran
2 x 2 m. Untuk harga per lembar tepas itu sendiri bervariasi.
Tergantung kepada motif yang dipesan. Adapun macammacam motifnya yaitu motif biasa, wajik, dua gambar dan
banyak gambar. Harga per m2 tepas tersebut berturut-turut
yaitu Rp. 28.000,- ; Rp. 30.000,- ; Rp. 45.000,- dan Rp.
60.000,-. Adapun motif yang paling sering dipesan adalah
motif wajik (belah ketupat). Salah satu responden yang
memproduksi tepas adalah Pak Rahmat Nasution. Gambar 2
pada halaman 31 merupakan salah satu motif tepas yang
banyak diproduksi.
akar besi-besi, akar siraprap, daun lancing, sereh wangi,
kelapa hijau, sigara urat, daun paris, akar rotan, dan lain-lain.
Harga dari produk olahan tersebut bermacammacam. Untuk minyak kusuk berkisar Rp. 50.000,- per botol
sprite dan Rp. 15.000,- per botol kecil. Sedangkan obat gatal
Rp. 30.000,- per botol kratingdaeng dan harga tawar Rp.
50.000,- per botol sprite. Perlu diketahui bahwa tawar
merupakan jenis obat tradisonal Karo yang fungsinya seperti
jamu. Biasanya masyarakat menggunakan tawar untuk
mengobati pegal-pegal, masuk angin, ataupun pemulihan
sehabis melahirkan. Pada gambar 4 halaman 5 disajikan
produk obat tradisional karo yang dijual di sepanjang jalan
Desa Doulu.
Gambar 4. Obat Tradisional Karo
Gambar 3. Tepas Motif Wajik
3. Tumbuhan Obat
Setelah melakukan penelitian pada kedua desa,
ternyata nama-nama tumbuhan obat yang diambil dari hutan
masih khas dengan bahasa karo. Oleh karena tu terdapat
kesulitan dalam pencarian nama ilmiahnya. Sehingga
banyak nama tumbuhan obat pada penelitian ini merupakan
bahasa karo. Adapun jumlah tumbuhan obat yang
dimanfaatkan pada Desa Doulu adalah 130 jenis sedangkan
pada Desa Jaranguda 123 jenis. Perbedaan jumlah jenis
pada kedua desa dikarenakan oleh pengetahuan tentang
pemanfaatan tumbuhan obat yang dimiliki oleh penduduk
berbeda. Sehingga terdapat beberapa jenis tumbuhan obat
yang tidak digunakan oleh penduduk desa Jaranguda.
Dari hasil wawancara dengan para responden,
beberapa jenis tumbuhan obat tersebut yang digunakan
untuk pertolongan pertama pada luka. Misalnya untuk
menghentikan pendarahan pada luka goresan. Namun,
untuk penyakit yang lebih kompleks maka digunakan
ramuan-ramuan obat tradisional seperti parem, minyak
kusuk khas karo, ataupun tawar (jamu).
Pembuatan obat tradisional karo pada dasarnya
menggunakan campuran bermacam-macam tumbuhan obat.
Seperti contoh dalam pembuatan minyak kusuk dibutuhkan
100 macam tumbuhan obat antara lain yaitu akar pinang,
4.Buah-buahan
Buah-buahan yang dimanfaatkan masyarakat pada
Desa Jaranguda adalah terung belanda (Cyphomandra
betacea), markisa bandung (Passiflora flavicarva) dan
markisa sirup (Passiflora edulis). Ketiga jenis buah tersebut
diperoleh dari dalam hutan oleh responden Magdalena
Sitanggang. Banyaknya pengambilan rata-rata hanya dua
buah per jenis dengan frekuensi per tahun hanya lima puluh
enam kali. Untuk harga dari buah-buahan tersebut berkisar
Rp. 300,- hingga Rp. 1.000,- per buah. Dan penting untuk
diketahui bahwa buah-buahan yang diperoleh dari hutan
tidak diperjualbelikan namun hanya untuk konsumsi pribadi
responden.
5.Madu
Madu termasuk dalam salah satu hasil hutan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat di Desa Jaranguda. Madu
yang dimaksud pada bagian ini adalah madu alam (madu
liar) yang berasal dari lebah Apis dorsata dan juga madu
budidaya yaitu lebah Apis cerana. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Pak Sarwandi Pasaribu, keberadaan
madu liar yang ada di dalam hutan sangat melimpah. Namun
karena kesulitan dalam pengambilan menyebabkan hasil
hutan tersebut kurang dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat. Pada Desa Jaranguda hanya satu responden
yang memanfaatkan hasil hutan berupa madu.
Sebagai seorang petani madu, pak Sarwandi
Pasaribu mempunyai 28 pidem. Pidem merupakan media
tempat lebah dibudidayakan. Gambar pidem dapat dilihat
pada halaman 35 gambar 4. Pemanenan madu dilakukan
sekali dalam sebulan yaitu berkisar antara tanggal 8 hingga
5
17. Untuk lebah budidaya, jumlah pidem yang dimiliki
responden sebanyak 28 dengan perbandingan empat pidem
berada di sekitar rumah responden dan sisanya berada di
hutan. Banyaknya madu yang dapat dihasilkan adalah lima
kg per pidem setiap bulan.
Biasanya, Pak Pasaribu mencari lebah liar di
kawasan gunung Sibayak. Jumlah sarang lebah yang
dijumpai tidak menentu namun rata-rata sarang lebah
dijumpai pada pohon-pohon yang tingginya mencapai 10
meter. Bila dikalkulasikan, perbandingan banyaknya madu
liar dan madu budidaya sebesar 30:140 botol dengan harga
per botol Rp. 100.000,-. Sistem pembayarannya tidak
menentu tergantung kondisi keuangan para pembeli. Namun,
sebagian besar pembeli madu membayar tidak tunai. Untuk
lapisan lilin dari madu tidak dijual ataupun dimanfaatkan
karena dinilai tidak ekonomis jika harus dijual ke pasar.
Sehingga lapisan lilin tersebut hanya dibuang saja. Pada
saat musim hujan, lebah tidak mencari nektar sehingga
madu berkurang.
Pemasaran madu dilakukan dari mulut ke mulut.
Pembeli umumnya lebih menyukai madu liar karena rasanya
lebih manis dibandingkan madu hasil budidaya. Gambar
pidem dan madu hasil budidaya disajikan pada Gambar 5
halaman 5 dan 6.
Gambar 5. Pidem Lebah
Gambar 6 . Madu Hasil Budidaya
Satwa
Secara umum ada tiga alasan manusia
memanfaatkan hewan hutan yaitu :
1. Tujuan konsumsi. Tujuan ini biasanya banyak dilakukan
oleh masyarakat di sekitar hutan. Mereka berburu dalam
rangka mencukupi kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya
juga terbatas. Kegiatan ini biasanta masih dalam tahap
wajar dan tidak membahayakan keseimbangan
ekosistem.
2. Tujuan koleksi. Tujuan ini biasanya dilakukan oleh
kolektor hewan langka. Mereka melakukan perburuan
untuk menambah koleksi semata.
6.
3. Tujuan produksi. Tujuan ini membahayakan
keseimbangan alam. Mereka berburu dalam jumlah yang
tidak terbatas untuk memanfaatkan kulit atau bagian
tubuh lain untuk barang kerajinan.
Masyarakat memanfaatkan satwa hanya saat
melakukan perburuan. Mereka melakukan perburuan
sekedar hobbi ataupun untuk mengisi waktu kosong.
Biasanya masyarakat melakukan perburuan pada bulan Juni
hingga Juli karena pada saat itu banyak burung di hutan.
Babi hutan biasanya diburu karena mengganggu ladang
masyarakat sehingga harus diburu untuk mencegah
kerusakan tanaman pertanian. Semua satwa yang diperoleh
dari hutan tidak dijual melainkan untuk dikonsumsi langsung
oleh masyarakat. Untuk menentukan harga semua satwa
tersebut digunakan metode harga pasar dan harga relative.
Seperti musang, harga relatifnya sebesar Rp. 10,000,-.
Adapun satwa yang dimanfaatkan di Desa Jaranguda adalah
musang dan babi hutan. Sedangkan di Desa Doulu berupa
burung cicet, burung tuku ketut dan burung pamal. Burungburung yang dimanfaatkan tersebut biasanya dikonsumsi
langsung ketika berada di hutan. Adapun harga dari masingmasing burung berturut-turut yaitu Rp. 50.000,-; Rp. 50.000,dan Rp. 50.000,-. Karena burung-burung tersebut tidak dijual
maka pemberian harga berdasarkan penilaian metode relatif
yaitu hasil hutan yang belum dikenal pasarnya namun dapat
ditukarkan dengan barang atau jasa yang ada pasarnya.
Masyarakat pada kedua desa umumnya berburu di
hari minggu. Namun pada bulan Juni hingga Juli banyak
masyarakat yang sengaja berburu untuk mencari burung. Hal
ini dikarenakan karena saat bulan Juni-Juli burung-burung
banyak ditemukan di hutan. Seperti bururng Pamal,
merupakan salah satu jenis burung yang hanya ditemukan
pada bulan Juni-Juli di sekitar gunung Sibayak.
Potensi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Doulu
Setelah melakukan penelitian di Desa Jaranguda
dan Desa Doulu, hasil hutan yang dimanfaatkan sangat
besar jumlahnya. Mekipun keanekaragaman jenis yang
dimanfaatkan sedikit namun potensi untuk pemanfaatan ke
depan sangat bagus. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
jenis pemanfaatan bambu selain dijadikan keranjang
ataupun tepas. Dapat diperkirakan pada Desa Doulu sekitar
400 KK memiliki ladang bambu dengan luas minimal yang
dimiliki sekitar 0,5 ha. Hal ini berarti, bahwa sekitar 200 ha
ladang bambu terdapat pada desa Doulu. Berdasarkan
keterangan beberapa responden, ladang bambu yang
mereka miliki merupakan warisan turun-temurun keluarga.
Sehingga, meskipun status ladang tersebut merupakan
hutan negara namun masyarakat menganggap ladang
tersebut milik pribadi karena merupakan warisan turuntemurun keluarga. Padahal pada dasarnya mereka tidak
memiliki sertifikat tanah yang mereka kelola.
Potensi bambu sendiri untuk Kabupaten Karo
berdasarkan Badan Pusat Statistik (2006) menyebutkan
bahwa potensi bambu sebesar 1255,25 ha. Sebenarnya,
bambu bisa dijadikan perabot rumah tangga, sumpit, hiasan
dinding dan sebagainya. Namun melihat kondisi masyarakat
pada kedua desa yang termasuk pada kategori masyarakat
6
tidak terdidik sehingga kreatifitas dalam mengolah hasil
hutan masih sangat minim. Hal ini terlihat dari jenis produk
berbahan bambu yang hanya berupa keranjang dan tepas
seperti yang terlihat pada Gambar 7 dan Gambar 8 halaman
6.
Gambar 6. Pembuatan Keranjang
Gambar 7. Pembuatan Tepas
Potensi bambu sebagai tanaman konservasi DAS
juga sangat besar. Selain memiliki keunggulan untuk
memperbaiki sumber tangkapan air yang sangat baik,
sehingga mampu meningkatkan water storage (cadangan air
bawah tanah) secara nyata, maka pertimbangan
menggunakan bambu sebagai tanaman konservasi adalah
karena bambu merupakan tanaman yang mudah ditanam
serta memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, tidak
membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh pada
semua jenis tanah, tidak membutuhkan investasi besar,
sudah dewasa pada umur 3 – 5 tahun dan dapat di panen
setiap tahun tanpa merusak rumpun serta memiliki toleransi
tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Disamping
itu, bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang
baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga dapat
ditanam di daerah pemukiman maupun dipinggir jalan raya.
Tanaman bambu mempunyai sistem perakaran serabut
dengan akar rimpang yang sangat kuat, meskipun berakar
serabut pohon bambu sangat tahan terhadap terpaan angin
kencang. Perakarannya tumbuh sangat rapat dan menyebar
ke segala arah, serta memiliki struktur yang unik karena
terkait secara horizontal dan vertikal, sehingga tidak mudah
putus dan mampu berdiri kokoh untuk menahan erosi dan
tanah longsor di sekitarnya, disamping itu lahan di bawah
tegakan bambu menjadi sangat stabil dan mudah
meresapkan air. Dengan karakteristik perakaran seperti itu,
memungkinkan tanaman ini menjaga sistem hidrologis yang
menjaga ekosistem tanah dan air, sehingga dapat
dipergunakan sebagai tanaman konservasi.
Selain pemanfaatan bambu, di Desa Jaranguda
juga terdapat masyarakat yang memanfaatkan madu. Baik
madu alam maupun madu yang dihasilkan dari budidaya.
Diantara begitu banyak penduduk yang mendiami Desa
Jaranguda hanya terdapat satu masyarakat yang
memanfaatkan keberadaan madu alam atau biasa disebut
madu liar yang ada di hutan. Sementara bila dilakukan
taksasi sumber daya madu yang terdapat di hutan Tahura
keberadaan madu liar sangat banyak dan melimpah. Untuk
budidaya lebah madu yang sudah dilakukan, dalam setiap
bulannya mencapai 140 botol.
Pemanfaatan tumbuhan obat pada kedua desa
sangat beragam. Pada Desa Jaranguda, jenis tumbuhan
obat yang dimanfaatkan berjumlah 123 jenis. Sementara di
Desa Doulu sebanyak 130 jenis. Tumbuhan obat yang
dimanfaatkan oleh masyarakat diperoleh dari hutan di sekitar
Desa Jaranguda dan Doulu tersebut.
Masyarakat yang memanfaatkan satwa hanya
beberapa responden pada Desa Doulu. Hal ini dikarenakan
oleh pola pikir masyarakat yang sudah semakin mengerti
akan satwa yang dilindungi. Dan hal ini sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan yang terjadi pada masyarakat Desa
Jaranguda.
Berdasarkan hal di atas, manfaat tangible yang
dimanfaatkan masyarakat pada kedua desa sangatlah besar.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahmawaty (2004) yang
menyatakan bahwa hutan memberikan manfaat besar bagi
kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung dapat dilihat dari ketersediaan bambu
untuk diolah menjadi keranjang, satwa yang diburu, ataupun
hasil hutan lainnya. Sementara untuk manfaatn tidak
langsung yang didapatkan oleh masyarakat pada kesua
desa adalah manfaat rekreasi, pengaturan tata air dan
pencegahan erosi. Hal yang paling nyata pada hal ini adalah
manfaat rekreasi. Desa Doulu merupakan daerah pemandian
air panas sehingga banyak wisatawan lokal maupun
mancanegara yang memanfaatkan keindahan alam serta air
panas tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden,
potensi sumber daya hutan pada kedua desa merujuk pada
pola tujuan konsumtif, koleksi dan produktif. Dimana, pola
tujuan konsumtif berarti adanya pemakaian pribadi dan
sehari-hari seperti contohnya buah-buahan, tumbuhan obat
dan satwa. Sedangkan untuk pola tujuan koleksi sendiri tidak
ditemukan pada salah satu responden. Dan untuk pola
produksi contohnya pada pemanfaatan bambu regen, bambu
bulak, madu dan tumbuhan obat.
Menurut keterangan salah satu responden, dalam
satu ha bambu terdapat lebih kurang 300 rumpun bambu.
Setiap rumpun memiliki 40 batang bambu. Dimana sekali
dalam tiga bulan bambu tersebut dipanen sebanyak 6.000
batang bambu. Berarti, perbandingan ketersediaan dengan
pengambilan 2 : 1. Karena bambu merupakan salah satu
tumbuhan vegetatif maka tidak perlu dilakukan budidaya
khusus. Bambu akan tumbuh dengan sendirinya disamping
juga harus dibersihkan dari rumput-rumput yang akan
mengganggu proses perkembangannya.
Nilai Ekonomi Hasil Hutan di Desa Jaranguda dan Desa
Doulu
7
Nilai ekonomi hasil hutan yang dimanfaatkan
masyarakat di Desa Jaranguda lebih tinggi dari nilai ekonomi
di luar hasil hutan seperti pertanian, buruh, perkebunan,
wiraswasta dan sebagainya. Nilai ekonomi hasil hutan
diperoleh dari perkalian total pengambilan per jenis per tahun
dengan harga hasil hutan per jenis (Lampiran 3 dan 7). Hasil
penelitian di Desa Jaranguda menunjukkan bahwa nilai
ekonomi dari pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat yaitu
sebesar Rp. 1.219.958.800,- per tahun. Nilai ini diperoleh
dari hasil penjumlahan nilai ekonomi bambu regen, tanaman
obat, madu, satwa dan buah-buahan.
Jenis hasil hutan yang memberikan kontribusi
terbesar terhadap pendapatan masyarakat adalah bambu
regen yang diolah menjadi keranjang. Adapun nilai
ekonominya yaitu sebesar Rp. 540.992.000,- atau dengan
persentase jenis sebesar 44,34 % dari jumlah total
keseluruhan nilai hasil hutan yang dimanfaatkan. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang
Dimanfaatkan Masyarakat Desa Jaranguda
N
o
Jenis
Hasil
Hutan
Penga
mbilan
(Unit/Ta
hun)
Satua
n
(Unit)
Harga
(Rp/Unit
)
93.416
batan
g
336
buah
1.0007.000
3001.000
10.000750.000
100.000
2
Bambu
Regen
Buahbuahan
3
4
Satwa
Madu
85
2.040
5
Tumbuh
an Obat
46.320
1
ekor
botol
gengg
am,
biji
1.000100.000
Jumlah
Nilai Hasil
Hutan
(Rp/Tahun)
Perse
ntase
Nilai
Ekono
mi (%)
540.992.000
44,34
212.800
0,02
63.010.000
204.000.000
5,16
16,72
411.744.000
1.219.958.800
33,76
100
Besarnya kontribusi bambu pada Desa Jaranguda
disebabkan oleh sistem kerja pembuatan keranjang yang
tidak terikat sepanjang hari. Sehingga, masyarakat berpikir
menjadi perajin keranjang adalah pekerjaan yang sangat
menguntungkan. Pada pukul 14.00 WIB perajin keranjang
telah selesai membuat keranjang dan dapat melanjutkan
pekerjaan yang terbengkalai di ladang hingga sore hari.
Selain itu, kebutuhan akan keranjang yang sangat banyak
untuk mencukupi keranjang jeruk dan tomat sehingga
masyarakat tidak pernah berhenti membuat keranjang setiap
hari kecuali minggu.
Jenis hasil hutan satwa dan buah-buahan hanya
memberikan persentase nilai ekonomi masing-masing 5,16
% dan 0,02 %. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat
yang sudah mulai paham akan peraturan pemerintah yang
melarang perburuan liar. Tanaman obat yang dimanfaatkan
masyarakat di Desa Jaranguda hanya sedikit. Hal ini karena
masyarakat lebih suka menggunakan obat yang praktis
daripada harus mencari ke hutan dan meramu sendiri
obatnya.
Setelah melakukan wawancara dengan seorang
ahli pengobatan Karo, ternyata responden memanfaatkan
122 jenis tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Tahura.
Adapun kontribusi tumbuhan obat sebesar Rp. 411.744.000,-
dengan persentase nilai ekonomi 33,76 %. Responden
tersebut menjelaskan bahwa tumbuhan obat tersebut ratarata diambil sekali hingga dua kali seminggu dan kemudian
diracik menjadi minyak kusuk, parem, tawar dan sebagainya.
Mengingat permintaan pasien yang berobat ke praktek
pengobatan responden sangat banyak maka hal tersebut
menjadi alasan cukup besarnya nilai ekonomi dari tumbuhan
obat tersebut.
Sedangkan nilai ekonomi hasil hutan dari madu,
diperoleh persentase sebesar 16,72 % dengan nilai ekonomi
Rp. 204.000.000,00 pertahun. Pemanfaatan madu ini masih
sebatas untuk satu responden saja. Bayangkan bila
seandainya terdapat beberapa orang lagi yang bermata
pencaharian sebagai peternak madu.
Sama halnya dengan Desa Jaranguda, Desa
Doulu juga didominasi oleh hasil hutan berupa bambu regen
dengan nilai hasil hutan Rp. 528.264.000,- dengan
persentase nilai ekonomi 48,42 %. Diikuti oleh nilai ekonomi
tumbuhan obat pada posisi kedua dengan nilai Rp.
437.232.000,- dan persentasenya sebesar 40,08 %. Lain
halnya dengan Desa Jaranguda yang hanya memanfaatkan
satu jenis bambu, Desa Doulu memanfaatkan dua jenis
bambu yaitu bambu regen dan bulak. Bambu bulak
digunakan untuk membuat tepas. Perbedaan ini disebabkan
oleh masyarakat Desa Jaranguda tidak ada yang menjadi
perajin tepas. Sementara di Desa Doulu terdapat tiga orang
yang menjadi perajin tepas. Nilai ekonomi yang diperoleh
dari tepas sebesar Rp. 119.040.000,- per tahun dengan
persentase nilai ekonominya sebesar 10,91 %. Satwa tidak
memberikan kontribusi yang banyak karena sama halnya
dengan masyarakat Desa Jaranguda, masyarakat Desa
Doulu juga paham akan perlindungan satwa sehingga
mereka jarang melakukan perburuan ke hutan sehingga
persentase nilai ekonominya hanya sebesar 0,59 %. Pada
Tabel 4 dapat dilihat persentase nilai ekonomi hasil hutan
yang dimanfaatkan masyarakat Desa Doulu.
Tabel 3. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan Yang
Dimanfaatkan Masyarakat Desa Doulu.
N
o
Jenis
Hasil
hutan
3
Bambu
Regen
Bambu
Bulak
Tumbu
han
Obat
4
Satwa
1
2
Peng
ambil
an
(Unit/
Tahu
n)
77.90
0
3.936
51.45
6
52
Satuan
(Unit)
batang
m2
gengga
m, biji,
lembar
ekor
Harga
(Rp/Uni
t)
1.0007.000
30.00040.000
1.000100.000
750.000
3.000.0
00
Total
Nilai Hasil
Hutan
(Rp/tahun)
Persent
ase
Nilai
Ekono
mi (%)
528.264.000
48,42
119.040.000
10,91
437.232.000
40,08
6.250.000
1.090.786.000
0,59
100
Sesuai dengan pernyataan Pearce (2001), nilai
ekonomi hasil hutan tinggi jika hutan tersebut mudah diakses
dan sebaliknya nilai yang rendah atau bahkan bias mencapai
nol jika hutan tersebut susah untuk diakses sehingga biaya
aksesnya tinggi dan ditambah dengan biaya pengolahan.
Untuk desa Doulu maupun Jaranguda, karena hutan di
sekitarnya masih tergolong hutan yang mudah diakses
8
menyebabkan nilai ekonomi jenis hasil hutan masih
tergolong tinggi.
Tingkat ketergantungan masyarakat yang tinggi
terhadap hutan semestinya disikapi serius oleh Balai Besar
Tahura Bukit Barisan. Dengan ketergantungan yang tinggi
akan menyebabkan kerusakan bila tidak diiringi oleh upaya
pelestarian. Untuk itu, Balai Besar Tahura Bukit Barisan
harusnya melakukan pembinaan dan pengarahan terhadap
masyarakat sekitar Tahura untuk sama-sama mengelola
dan memanfaatkan hutan secara lestari.
Sebenarnya HHBK dalam pemanfaatannya
memiliki keunggulan dibanding hasil kayu, sehingga HHBK
memiliki prospek yang besar dalam pengembangannya.
Adapun keunggulan HHBK dibandingkan dengan hasil kayu
antara lain adalah tidak menimbulkan kerusakan yang besar
terhadap hutan dibandingkan dengan pemanfaatan kayu.
Walaupun HHBK memiliki keunggulan dibandingkan dengan
hasil kayu, tetapi pemanfaatan HHBK belum dilaksanakan
secara optimal. Beberapa permasalahan yang terkait dengan
pemanfaatan HHBK adalahah belum ada data tentang
potensi, sebaran dan pemanfaatan HHBK baik yang sudah
diketahui maupun yang belum diketahui manfaatnya. Hal
tersebut menyebabkan perencanaan pemanfaatan HHBK
tidak dapat dilakukan. Hal inilah yang terjadi pada kawasan
Tahura Bukit Barisan. Sementara itu permasalahan yang
terkait dengan produk HHBK yang saat ini mendesak untuk
diperhatkan secara serius di kawasan Tahura Bukit Barisan
adalah terjadinya penurunan potensi sebagai akibat adanya
pemanfaatan dan belum dikuasainya teknologi budidaya
yang tepat.
Kontribusi Hasil Hutan Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Desa Jaranguda dan Desa Doulu
Pendapatan utama masyarakat berasal dari
pertanian. Namun melihat kondisi pertanian di kedua desa
tersebut maka sumber pendapatan dari pertanian tidak
sebanyak dari pengolahan bambu, tumbuhan obat ataupun
madu. Sehingga tidak jarang petani juga berprofesi sebagai
perajin keranjang. Hal ini disebabkan dengan menjadi perajin
keranjang, para petani memiliki modal untuk mencukupi
kebutuhan ladang. Pendapatan dari pertanian juga tidak
dapat disamakan setiap waktu. Karena, sering terjadi gagal
panen ataupun hasil panen yang tidak dapat mengembalikan
modal ladang. Selama wawancara terhadap responden,
alasan yang menyebabkan suatu pekerjaan dijadikan
sebagai pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan adalah
besar kecilnya kontribusi pekerjaan tersebut terhadap
pendapatan rumah tangga sehari-hari. Data pendapatan
masyarakat Desa Jaranguda dan Doulu di luar Pemanfaatan
hasil hutan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5 pada
halaman 8.
Tabel 4. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar
Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Jaranguda
Sumber
Persentase
No
Jumlah (Rp)
Pendapatan
(%)
1
Pertanian
283.200.000
92,60
2
Buruh Tani
7.800.000
2,55
3
Buruh Bangunan
2.400.000
0,78
4
Ahli Pengobatan
2.000.000
0,65
5
6
7
Pemandu Wisata
Dagang
Perkebunan
Jumlah
400.000
5.000.000
5.000.000
305.800.000
0,13
1,64
1,64
100
Tabel 5. Pendapatan Rumah Tangga Per Tahun Di Luar
Pemanfaatan Hasil Hutan Di Desa Doulu
Sumber
Persentase
No
Jumlah (Rp)
Pendapatan
(%)
1
Pertanian
123.600.000
62,80
2
Dagang
22.800.000
11,58
3
Tukang Kusuk
9.600.000
4,88
4
Buruh Tani
10.800.000
5,49
5
Tukang Ojek
30.000.000
15,24
Jumlah
196.800.000
100
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
pemanfaatan hasil hutan per KK per tahun pada Desa
Jaranguda dan Desa Doulu sebesar Rp. 40.665.293,- dan
Rp. 36.559.533,- . Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan
hasil hutan pada kedua desa memberikan kontribusi yang
nyata. Berarti, pada kedua desa tersebut keberadaan hutan
masih menjadi penopang kehidupan masyarakat dalam
bidang ekonomi.
Berdasarkan Rensis Likert dalam Usman dan
Purnomo (2009) kontribusi pendapatan bambu regen
termasuk ke dalam kontribusi pendapatan sedang yaitu 41%60%. Sementara bambu bulak masuk ke dalam kontribusi
pendapatan sangat kecil yaitu 0%-20%. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel 6 di halaman 8.
Tabel 6. Persentase Kontribusi Bambu Terhadap Ekonomi
Rumah Tangga
Persentase
Kontribusi
No
Keterangan
Pendapatan Hasil
Bambu
Kontribusi pendapatan
1
0%-20%
sangat kecil
2
21%-40%
Kontribusi pendapatan kecil
Kontribusi pendapatan
3
41%-60%
sedang
Kontribusi pendapatan
besar
4
61%-80%
Kontribusi pendapatan
sangat besar
5
81%-100%
Sumber : Usman dan Purnomo, 2009
Sementara pada pendapatan di luar hutan per KK
per tahun pada Desa Jaranguda dan Desa Doulu sebesar
Rp. 10,193,333,- dan Rp. 6,560,000,-. Berdasarkan nilai
tersebut terlihat dengan jelas perbandingan pendapatan dari
hutan dan juga luar hutan. Untuk lebih jelas di bawah ini
terdapat grafik persentase nilai ekonomi hasil hutan dan luar
hutan pada kedua desa tersebut.
9
Luar Hutan;
16,49%
Hasil Hutan;
83,51%
Gambar 9. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar
Hutan di Desa Jaranguda
Pada Desa Jaranguda, terlihat bahwa pendapatan
masyarakat didominasi dari pemanfaatan hasil hutan.
Meskipun dari letaknya desa ini merupakan saah atu desa
yang dekat sekali ke pusat kota. Begitu juga dengan akses
ke hutan, desa ini berbatasan langsung dengan Tahura Bukit
Barisan. Sementara Desa Doulu merupakan desa yang
dikelilingi oleh deleng-deleng yang menyebabkan
masyarakat bergantung sekali dengan hutan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Luar Hutan;
16,91%
hasil hutan tersebut. Adanya rangkulan dari pihak-pihak yang
berwenang tentunya akan membantu terciptanya hutan
lestari.
Menurut
Ramelgia (2009) dalam Linda Sri
Agustina Wati (2011) tingkat ketergantungan masyarakat
dengan persentase kontribusi 75% - 100% termasuk ke
dalam kategori tergantung sekali. Pada Desa Jaranguda
sebesar 83,51% sedangkan pada Desa Doulu 83,09%.
terlihat dari hasil tersebut bahwa Desa Doulu dan Desa
Jaranguda tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam
pemanfaatan hasil hutan.
Adapun model interaksi yang paling dominan pada
kedua desa adalah model interaksi produktif yang akhirnya
menuju pada konsep komersil. Seperti pemanfaatan bambu
regen dan bambu bulak yang diolah menjadi keranjang dan
tepas untuk dijual pada konsumen. Begitu juga dengan
tumbuhan obat yang diolah menjadi minyak kusuk, parem
ataupun tawar. Namun untuk satwa dan buah-buahan pola
interaksi yang digunakan adalah konsumtif. Khusus untuk
madu, interaksi yang berlangsung adalah interaksi konsumtif
dan produksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil Hutan;
83,09%
Gambar 10. Persentase Nilai Ekonomi Hasil Hutan dan Luar
Hutan di Desa Doulu
Persentase hasil hutan dan luar hutan yang ada di
kedua desa tersebut dapat dilihat pada gambar 8 dan
gambar 9. di atas. Untuk Desa Jaranguda, persentase hasil
hutan sebesar 83.58% sedangkan luar hutan sebesar
16.42%. lebih dari setengah pendapatan masyarakat berasal
dari hasi hutan. Sementara untuk Desa Doulu persentase
hasil hutan dan luar hutan adalah 83,16% dan 16,84%. dari
besarnya hasil hutan yang dimanfaatkan pada kedua desa,
tidak satupun terdapat masyarakat yang memanfaatkan hasil
hutan kayu. Semua masyarakat yang menjadi responden
hanya menggunakan hasil hutan non kayu. Berdasarkan
Adger et al (1994), pemanfaatan hasil hutan non kayu
sebenarnya memberikan kontribusi yang besar terhadap
mata pencaharian penduduk. Selain itu juga akan sangat
berkontribusi bagi masyarakat tidak mampu untuk
menyokong kehidupan mereka. Pernyataan di atas terlihat
jelas pada Desa Jaranguda dan juga Doulu, dimana
masyarakatnya mengolah hasil hutan bukan kayu untuk
mata pencaharian, makanan, dan juga obat-obatan.
Sesuai dengan pernyataan Rencana Penelitian
Integratif (2010) HHBK terbukti dapat memberikan dampak
pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan
memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa
negara. Peranan HHBK dalam menunjang kegiatan dan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan tidak diragukan lagi
namun tentunya harus memperhatikan kondisi ekologisnya.
Untuk kawasan Tahura Bukit Barisan sendiri perlu dilakukan
pengarahan langsung terhadap masyarakat akan pentingnya
kondisi hutan yang tetap lestari, karena semua hasil hutan
yang dimanfaatkan masyarakat berasal dari hutan dan
nantinya anak cucu mereka juga yang akan memanfaatkan
Kesimpulan
1. Jenis hasil hutan yang dimanfaatkan masyarakat di
sekitar Kawasan Tahura adalah hasil hutan bukan
kayu yaitu bambu regen, bambu bulak, 130 jenis
tumbuhan obat, buah-buahan, satwa serta madu.
2. Nilai ekonomi yang paling besar adalah pemanfaatan
bambu regen sebesar Rp.1.069.256.000,00 dengan
kontribusi sedang terhadap pendapatan masyarakat.
3. Kontribusi hasil hutan
terhadap pendapatan
masyarakat sekitar Tahura Bukit Barisan tergolong
besar yaitu 83,51%.
DAFTAR PUSTAKA
Adger et al. 1994. Towards Estimating Total Economic Value
of Forests in Mexico. Centre for Social and
Economic Research on the Global Enviroment,
University of East Angelia and University College
London. London
Agustina, L.S. 2011. Kontribusi Sumber Daya Hutan
Terhadap Pendapatan Masyarakat di Sekitar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Pearce, D. 2001. The Economic Value of Forest
Ecosystems. CSERGE-Economics, University
College London. London
Rahmawaty, 2004. Hutan: Fungsi Dan Peranannya Bagi
Masyarakat. USU. Medan
Rencana Penelitian Integratif, 2010. Pengolahan Hasil Hutan
Bukan Kayu hal 595-626. Jakarta
Usman, H dan Akbar, PS. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial. Bumi Aksara. Jakarta
10