Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Moneter te

MAGISTER MANAJEMEN UGM

Pengaruh Kebijakan Fiskal dan Moneter pada Industri
Pembangkitan Listrik
PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali

GALIH HONGGO BASKORO

Dateline: 20 Maret 2014
Submit: 25 Maret 2014

Paper ini dibuat dalam pemenuhan terhadap mata kuliah General Business Environment
Magister Manajemen UGM dalam topik Monetary & Fiskal Policy (Mata kuliah ini diampu
oleh Prof. Wihana Kirana Jaya M.Soc.Sc., Ph.D.).

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

1. Pembukaan
Pengaruh Kebijakan Moneter dan Fiskal

Adanya hubungan imbal balik antara kebijakan moneter dan fiskal dengan bisnis karena
kebijakan moneter dan fiskal oleh pemerintah akan berpengaruh terhadap bisnis, dan
sebaliknya bisnis juga dapat mempengaruhi kebijakan moneter dan fiskal yang akan diambil
oleh pemerintah. Dalam paper ini akan dibahas dampak kebijakan fiskal dan moneter
terhadap industry ketenagalistrikan di Indonesia, khususnya terhadap PT PLN (Persero) Unit
Pembangkitan Jawa Bali, salah satu unit bisnis PT PLN (Persero) di bidang Pembangkitan.
Peluang dan ancaman yang muncul pada kedua isu tersebut akan diidentifikasi dan dikelola
dengan menciptakan strategi yang tepat untuk memaksimalkan peluang sekaligus
meminimalkan ancaman.
Profil PLN UPJB
PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali, selanjutnya disebut PLN UPJB, yang
berdiri sejak Juli 2011 merupakan salah satu unit bisnis PT PLN (Persero) yang dibangun
dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi pengendalian operasi dan pemeliharaan
serta untuk peningkatan kinerja dan percapaian target produksi pembangkit di Jawa-Bali
khususnya Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 10.000 MW. PLN UPJB
melingkupi Sektor Pembangkitan Cilegon, Sektor Pengendalian Pembangkitan I (yang
mengelola aset PLTU Suralaya Unit 8, PLTU Labuan, dan PLTU Lontar), Sektor
Pengendalian Pembangkitan II (yang mengelola aset PLTU Palabuan Ratu, PLTU
Indramayu, dan PLTU Adipala), Sektor Pengendalian Pembangkitan III (yang mengelola aset
PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTU Pacitan dan PLTU Paiton Unit 9), dan

Sektor Pengendalian Pembangkitan IV (yang mengelola aset PLTGU Muara Karang Blok 2,
PLTGU Tanjung Priok Blok 3, dan PLTGU Muara Tawar Blok 5). Gambar 1 menunjukkan
wilayah kerja PLN UPJB dalam Sistem Jawa Madura Bali (JAMALI) [1].
Dalam rangka peningkatan kinerja dan percapaian target produksi pembangkit di Jawa-Bali
khususnya Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 10.000 MW, sebagai Asset
Manager1, PLN UPJB mengelola sistem asetnya dengan tujuan optimalisasi risiko, biaya dan
kinerja dengan pola pengusahaan sebagaimana pada Gambar 2 [1].
1

PLN UPJB sebagai Manajer Aset atas Unit Pembangkit 10.000 MW, dengan Operator Aset yaitu PT Indonesia
Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (Anak Perusahaan PT PLN (Persero)).

1

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy
Gambar 1. Wilayah Kerja PLN UPJB
Bertanggung jawab atas 10 PLTU FTP-1 dan 4 PLTGU


Source: RJPP PLN UPJB [1]

Gambar 2. Pola Pengelolaan Aset PLTU FTP1 JAMALI
PLN UPJB sebagai Aset Manager

Source: RJPP PLN UPJB [1]

Definisi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Kebijakan moneter adalah kebijakan pengendalian besaran moneter seperti: (1) jumlah uang
beredar, (2) tingkat bunga, (3) dan kredit yang dilakukan oleh bank sentral. [2]

2

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

Misalkan terjadi situasi inflasi disertai dengan rendahnya output, maka kebijakan moneter
yang diambil yaitu penurunan atau pengurangan jumlah uang beredar dan menaikkan tingkat
suku bunga pinjaman bank. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan penurunan pengeluaran

konsumsi dan investasi agregatif yang selanjutnya mengakibatkan penurunan inflasi,
walaupun tidak bisa menaikkan tingkat produksi nasional serta kesempatan kerja. [3]
Kebijakan moneter akan menaikkan atau menambah jumlah uang beredar selama
perekonomian mengalami resesi untuk merangsang pengeluaran, dan sebaliknya membatasi
dan mengurangi supplai uang selama masa-masa inflasi untuk mengerem pengeluaran.
Kebijakan Moneter Ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang
yang beredar. Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat. [3]
Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu
antara lain :
1.

Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau
membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin menambah jumlah
uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin
jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga
pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah
SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat
Berharga Pasar Uang.


2.

Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah uang yang beredar dengan memainkan
tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum kadang-kadang mengalami
kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah uang
bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya
menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.

3.

Rasio Cadangan Wajib
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan
jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk
menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4.


Imbauan Moral

3

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

4

Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan
jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau
perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk
mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke
bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
Kebijakan Fiskal, merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan
perekonomian dengan mengubah-ubah anggaran penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
[4]
Menurut Farid Wijaya, Kebijakan Fiskal memiliki tujuan agar APBN seimbang. Hal ini
dicapai dengan merubah besarnya pajak dan/ atau pengeluaran pemerintah dengan tujuan

menstabilkan harga serta tingkat output maupun kesempatan kerja dan memacu atau
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melalui kebijakan fiskal, yaitu melalui
perubahan pajak dan pengeluarannya, dapat mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi yang
diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB), distribusi pendapatan, dan sebagainya.
Kebijakan fiskal dalam upaya untuk mencapai tingkat pendapatan atau output kesempatan
kerja penuh, serta stabilisasi tingkat harga (inflasi). [3]
Kebijakan fiskal memiliki dampak: (1) Kebijakan APBN surplus mempunyai impak
deflasioner, (2) Kebijakan APBN defisit memiliki impak ekspansioner, dan (3) Kebijakan
APBN seimbang mempunyai impak ekonomis yang ekspansioner dan terkendali. [3]
Macam-macam Kebijakan Fiskal
1.

Functional finance

: Pembiayaan pemerintah yang bersifat fungsional

2.

The managed


: Pendekatan pengelolaan Anggaran

budget approach
3.

The stabilizing
budget

: Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal,
maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti
dengan menaikkan gaji PNS atau subsidi

4.

Balance budget
approach

: Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal,
maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti
dengan menaikkan gaji PNS atau subsidi


General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

2. Pembahasan
Kebijakan Moneter BI
Sesuai Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, bulan Desember 2014, Kebijakan
Moneter yang diambil oleh Bank Indonesia yaitu: [5]


Mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga Lending Facility dan
suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 8% dan 5,75%.

Tingkat suku bunga tersebut untuk memastika tekanan inflasi jangka pendek pasca
kebijakan realokasi subsidi BBM, selain itu diharapkan untuk mengendalikan deficit


transaksi berjalan kea rah yang lebih sehat.
Memperkuat bauran kebijakan dalam merespond kebijakan reformasi subsidi BBM

yang ditempuh Pemerintah sebagai berikut:

o Mempersiapkan penyesuaian kebijakan makroprudensial guna memperluas
sumber-sumber pendanaan bagi perankan sekaligus mendukung pendalaman
pasar keuangan serta mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif yang
prioritas. Kebijakan meliputi: (i) Perluasan cakupan definisi simpanan dengan
memasukkan surat-surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan
LDR, dan (ii) Pemberian insentif untuk mendorong penyaluran kredit UMKM.
o Memperkuat kebijakan system pembayaran penyaluran program-program
bantuan pemerintah kepada masyarakat guna mengurangi dampak kenaikan
BBM melalui penggunaan uang elektronik dan implementasi Layanan


Keuangan Digital.
Mendukung kebijakan reformasi fiskal pemerintah untuk realokasi anggaran subsidi
BBM ke sektor yang produktif.

Realokasi anggaran subsidi ke pengeluaran untuk pembiayaan pembangunan
infrastruktur dan berbagai kegiatan produktif akan meningkatkan kapasitas fiskal
pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan

berkelanjutan.
Kebijakan Fiskal Pemerintah
Kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan industri ketenagalistrikan,
di antaranya adalah:

5

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy



Pembebasan

Bea

6

Masuk

atas

Impor

Barang

Modal

Pembangunan

dan

Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik

Dalam upaya menunjang perkembangan usaha penyediaan tenaga listrik yang
berkelanjutan, pemerintah memberikan insentif berupa pemberian bea masuk barang
modal untuk pembangunan pembangkit listrik untuk kepentingan umum melalui
PERMEN Keuangan nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Atas Impor
Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit
Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum dan dirubah melalui PERMEN Keuangan
nomor 128/PMK.011/2009. Insentif tersebut diberikan kepada PT PLN (Persero) dan
Pemegang IUKI Terintegrasi yang memiliki daerah usaha serta Pemegang IUKU
usaha pembangkitan yang memiliki kontrak jual beli dengan PT PLN (Persero)


maupun Pemegang IUKU Terintegrasi yang memiliki daerah usaha.
Kebijakan pemanfaatan energi primer untuk pembangkit tenaga listrik

Pemberlakuan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk pemanfaatan
energi primer bagi pembangkit listrik ditujukan agar pasokan energi primer dapat
terjamin. Kebijakan pengamanan pasokan energi primer tersebut dilakukan melalui
dua sisi. Sisi pelaku usaha penyedia energi primer, khususnya batubara dan gas,
diberikan kesempatan untuk memasok kebutuhan energi primer bagi pembangkit
tenaga listrik sesuai dengan harga keekonomian. Sedangkan sisi pelaku usaha
pembangkit tenaga listrik diantaranya kebijakan diversivikasi energi untuk tidak


tergantung pada satu sumber energi, khususnya energi fosil.
Penyesuaian Tarif Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero).

Pemerintah melakukan beberapa kali penyesuaian Tarif Tenaga Listrik (TTL2) pada
tahun 2014, melalui Peraturan Menteri ESDM nomor 09 Tahun 2014 tentang Tarif
Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT PLN (Persero) dan perubahannya pada
PERMEN ESDM nomor 19 Tahun 2014. Melalui PERMEN ESDM no 31 Tahun
2014 pemerintah juga menetapkan perubahan mekanisme tarif adjustment bagi 12
golongan tarif yang beradasarkan TTL 2013 dan 2014 tidak lagi mendapatkan subsidi
listrik. Mulai tahun 2015, Tarif Tenaga Listrik akan disesuaikan setiap bulan oleh PT
PLN (Persero) sesuai dengan perubahan komponen inflasi, kurs (nilai tukar mata uang
Dollar Amerika terhadap mata uang Rupiah), dan harga minyak mentah/ Indonesian
2

Tarif Tenaga Listrik, sebelumnya disebut dengan istilah Tarif Dasar Listrik (TDL), adalah tarif yang boleh
dikenakan oleh pemerintah untuk para pelanggan PT PLN (Persero).

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

7

Crude Price. Penetapan mekanisme tarif adjustment sebagaimana di atas bertujuan

untuk meningkatkan rasio elektrifikasi dan mendorong subsidi yang lebih tepat
sasaran. Diharapkan potensi penerapan kebijakan tersebut akan menghemat subsidi


energi sebesar Rp 8,4 triliun [6].
Realokasi anggaran subsidi energi, termasuk di dalamnya subsidi istrik, ke sektor
yang produktif.

Subsidi listrik diberikan oleh pemerintah dengan tujuan agar harga jual listrik dapat
dijangkau oleh pelanggan dengan golongan tarif tertentu (Golongan 450-900 Va).
Subsidi listrik dialokasikan karena rata-rata harga jual tenaga listrik lebih rendah
dibandingkan biaya pokok penyediaan tenaga listrik pada golongan tarif tersebut. Dari
tahun ke tahun realisasi subidi listrik semakin meningkat, dari subsidi single digit
pada periode 2005 dan sebelumnya hingga melebihi Rp 90 Triliun pada 2011 atau
meningkat sebesar 24 kali (gambar 3).
Rasbin memaparkan bahwa makin meningkatnya subsidi energi membuat pemerintah
tidak leluasa dalam mengimplementasikan program-program prioritasnya. Di
antaranya program pembangunan infrastrukturm pendidikan, kesehatan, dan program


penurunan tingkat kemiskinan. [8]
Transformasi Perhitungan Subsidi Listrik dari Skema Cost+ Margin menjadi
Performance Based Regulatory(PBR)

Mulai tahun 2015, skema perhitungan subsidi listrik dirubah dari sebelumnya
menggunakan “Biaya Pokok Penyediaan + Margin” menjadi Performance Based
Regulation (PBR). Skema PBR dilatarbelakang oleh alasan adanya paradox efficiency

dalam skema subsidi “cost + margin”. Melalui skema tersebut, PLN tidak akan
mendapatkan insentif apabila melakukan efisiensi perusahaan, malah ia kan
memperoleh kenaikan EBITDA apabila Biaya Pokok Penyediaan/ BPP-nya naik.
Sebagaimana laporan McKinsey, di mana setiap kenaikan BPP listrik sebesar Rp 100/
kwh produksi, PLN justru akan mendapatkan kenaikan EBITDA dari Pemerintah
sebesar + Rp 2,5 triliun [9].
PBR merupakan metode pengaturan subsidi berbasis target performace agar PLN
dapat

meningkatkan

efisiensinya,

memperbaiki

kualitas

pelayanannya,

dan

menurunkan biaya produksinya dan Pemerintah melalui subsidi memberikan reward
atas pencapaian performance tersebut. Terkait dengan pengaturan kegiatan investasi,
Pemerintah melalui subsidi listrik dan/atau Penanaman Modal Negara (PMN)
memberikan alokasi dana investasi untuk memenuhi kewajiban-kewajiban PLN.

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

8

Biaya penyediaan listrik dibagi atas parameter terkendali dan parameter tidak
terkendali. Parameter terkendali akan menjadi reward and punishment untuk
perusahaan. Sedangkan parameter tidak terkendali akan menjadi tanggung jawab
pemerintah dan pelanggan, contohnya yaitu: harga energi primer, kurs, inflasi,
pertumbuhan listrik, dan ketidaktersediaan energi primer. [9]
Dengan penerapan skema PBR, subsidi listrik tahun 2015 mengalami penurunan dari
Rp 94,26 triliun pada APBNP 2014 menjadi Rp 68,69 triliun pada RAPBN 2015 atau
mengalami penurunan sebesar Rp 25,57 triliun. [10]

Gambar 3. Pertumbuhan Subsidi Listrik
Periode Tahun 2000-2011 (Rp triliun)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2000

2001

2002

2003

2004
2005
ALOKASI

2006
2007
REALISASI

2008

2009

2010

2011

Source: PUSDATIN ESDM [7]

Indikator Perekonomian


Inflasi dan Indeks Harga Konsumen
Pada tahun 2014, inflasi yang terkendali dan rendah hingga Oktober kembali
meningkat pada November-Desember 2014, yang terutama didorong oleh faktor
kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan darat, dan tarif tenaga listrik.

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy
Tabel 1. Inflasi dan IHK
Periode Tahun 2010-2014 (Rp triliun)

Source: BPS [11]



Nilai tukar Mata Uang
Melemahnya rupiah dipicu oleh masih tingginya permintaan valuta asing domestik di
tengah pasokan yang terbatas dan meningkatnya tekanan terhadap kinerja transaksi
berjalan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang masih terbatas dan impor
yang masih tinggi, sejalan dengan masih kuatnya permintaan domestik. Pergerakan
rupiah juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menciptakan sentimen negatif.
Sementara pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut walau tidak merata dan
cenderung lambat. Namun perekonomian Amerika sebagai motor pemulihan ekonomi
global menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus meningkat. Normalisasi
kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan kemungkinan kenaikan Fed
Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong apresiasi dolar AS yang
kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia dan meningkatkan risiko pembalikan
modal asing dari emerging market, termasuk Indonesia. [5]

9

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

Gambar 4. Trend Pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS
Nilai Tukar Rupiah & Perbandingan Nilai Tukar Kawasan

Keterangan: HBA yang ditetapkan Kementerian ESDM merupakan harga batubara untuk kesetaraan
nilai 6.322 kilokalori/kilogram (Kkal/Kg) dengan basis GAR (gross as recieved).
Source: BI [5]



Harga Energi Primer (Batubara dan Minyak Mentah)
Krisis yang belum mereda di Eropa dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang
berlangsung akibat proses rebalancing ekonomi yang ditempuh-nya, terus menekan
harga komoditas mineral (termasuk batubara) lebih besar dari yang diperkirakan.
Sebagaimana dapat dilihat pada gambar 5, bagaimana trend penurunan harga
batubara.
Sementara harga minyak dunia pun menurun drastis dan diperkirakan akan berlanjut
di tahun 2015 seiring dengan pasokan yang meningkat dari AS di tengah permintaan
dunia yang melambat (Gambar 6).

10

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

Gambar 5. Penurunan Harga Batubara
Harga Acuan Batubara3 (US $/ Ton)
140.00
120.00
100.00
80.00
60.00
40.00
20.00

JAN '12
FEB '12
MAR '12
APR '12
MEI '12
JUN '12
JUL '12
AGS '12
SEP '12
NOP '12
DES '12
JAN '13
FEB '13
MAR '13
MEI '13
JUL '13
AGS '13
SEP '13
OKT '13
NOP '13
DES '13
JAN '14
FEB '14
MAR '14
APR '14
MEI '14
JUN '14
JUL '14
AGS '14
SEP '14

-

Keterangan: HBA yang ditetapkan Kementerian ESDM merupakan harga batubara untuk kesetaraan
nilai 6.322 kilokalori/kilogram (Kkal/Kg) dengan basis GAR (gross as recieved).
Source: ESDM [12]

Gambar 6. Trend Pelemahan Harga Minyak Mentah Indonesia
Nilai Tukar Rupiah & Perbandingan Nilai Tukar Kawasan

Source: ESDM [13]

3

Harga acuan ditetapkan berdasarkan rata-rata harga pada indeks harga Indonesia Coal Index (ICI), Platss 59,
New Castle Export Index, dan New Castle Global Coal Index (GC). Formulanya, HBA = 25% ICC + 25%
Platss59 + 25% NEX + 25% GC

11

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

12

3. Analisa
Peluang


Peningkatan Kepastian Pasokan dan Penurunan Biaya Bahan Bakar

Pasokan bahan bakar energi primer yang merupakan resources paling vital dalam
industri pembangkitan tenaga listrik, telah diamankan melalui kebijakan DMO
batubara dan gas. Dengan demikian bargaining position PLN UPJB kepada supplier
bahan bakar dapat meningkat, serta dapat mengamankan kepastian pasokan bahan
bakar melalui kontrak jangka panjang.
Kondisi penurunan harga minyak mentah dan batubara yang terjadi di tahun 2014 dan
diproyeksikan masih akan terjadi pada 2015 sangat menguntungkan PLN UPJB, di
mana komponen biaya energi primer mencapai 91% dari total biaya usaha. Dengan
penurunan harga batubara sebesar USD 1/ton maka hal ini akan berdampak terhadap
penurunan biaya operasi sebesar Rp. 15 Milyar hingga Rp. 25 Milyar per tahun


(tergantung dari nilai kalori batubaranya).
Peluang memperoleh Allowed Revenue dari Pemerintah untuk kepentingan
Investasi

Melalui implementasi PBR, maka PLN UPJB hanya focus pada parameter biaya
terkendali saja, yaitu efisiensi pembangkit yang diukur dengan indikator tara kalor/
heat rate pembangkit. Hal ini akan mengurangi risiko pelemahan kurs rupiah serta

kenaikan biaya bahan bakar. PT PLN diberikan pendapatan operasi sebesar kebutuhan
kas dalam melaksanakan penyediaan tenaga listrik. Dengan demikian, PLN tidak
memiliki dana internal untuk melakukan investasi. Untuk menjaga kemampuan PLN
dalam melakukan investasi, PLN diberikan dana oleh Pemerintah sebesar kewajiban
PLN kepada lender (termasuk pemenuhan covenant [DSCR/CICR]).
Disamping

itu,

mengingat

besarnya

kebutuhan

pembangunan

infrastruktur

ketenagalistrikan untuk mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi,
Pemerintah dapat memberikan tambahan alokasi belanja investasi (1) sepanjang
defisit APBN masih memungkinkan; (2) kondisi neraca PLN sudah tidak
memungkinkan PLN untuk memperoleh pendanaan eksternal.
Ancaman


Potensi mengalami defisit anggaran

Selain menjadi peluang, penerapan PBR juga menyimpan potensi ancaman bagi PLN
UPJB yaitu defisit anggaran. Apabila PLN UPJB gagal memenuhi target dalam

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

13

Service Level Agreement (SLA) dengan Pemerintah, maka punishment efisiensi

operasi yang menjadi beban PLN merupakan defisit dana operasi. Punishment ini
akan menjadi kontrol atas kinerja Manajemen PLN. Apabila terdapat peningkatan
Kebutuhan Pendapatan Operasi akibat parameter terkendali, maka tidak dapat


diusulkan untuk menambah belanja subsidi listrik.
Munculnya kompetitor pembangkitan tenaga listrik
Ancaman semakin banyaknya kompetitor dalam industry pembangkitan tenaga listrik,
dilandasi atas beberapa faktor berikut:
o Dibukanya

kesempatan

berbagai

pihak

untuk

berparisipasi

dalam

pembangunan sektor ketenagalistrikan oleh pemerintah melalui UU No 30
Tahun 2009 tentang ketenagalistrikan.
o Adanya insentif pembebasan bea masuk barang modal dalam pembangunan
dan pengembangan pembangkitan tenaga listrik.
o Telah disesuaikannya Tarif Tenaga Listrik yang menyebabkan 12 Golongan
tidak lagi disubsidi.
Maka PLN UPJB harus semakin meningkatkan daya saingnya untuk dapat
mempertahankan pangsa pasarnya. Apalagi dengan keadaan tidak adanya kapasitas
atau pembangkit baru.


Potensi peningkatan biaya operasi dari pelemahan kurs dan inflasi
Nilai tukar valuta asing dan inflasi sangat berpengaruh dalam kegiatan bisnis PLN
UPJB. Dengan total belanja barang dan jasa untuk biaya pemeliharaan mencapai Rp 2
T per tahun, maka kenaikan harga barang/ jasa akibat inflasi akan meningkatkan biaya
penyediaan energi listrik PLN UPJB secara signifikan. Sedangkan apabila terjadi
kenaikan nilai tukar valuta asing sebesar Rp. 1.000,- /USD 1 maka hal ini akan
berdampak terhadap kenaikan biaya operasi dan beban bunga pinjaman rata-rata
sebesar 10%.

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

14

4. Kesimpulan
Atas peluang dan ancaman yang telah dijabarkan pada bagian sebelumnya, maka PLN UPJB
perlu mengambil beberapa inisiatif strategis berikut guna memaksimalkan benefit yang dapat
diambil dari peluang yang ada dan meminimalisir dampak ancaman yang mungkin diterima.


Mengoptimalkan

Kinerja

dan

Biaya

Operasi

dan

Pemeliharaan

(O&M)

pengelolaan Aset Pembangkit

Yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas dan efisiensi unit
pembangkit melalui penerapan Clean Coal Technology. Dengan meningkatkan
efisiensi unit pembangkit maka Biaya Bahan Bakar (sebagai komponen biaya
terbesar) akan berkurang.


Membuat Kontrak Jangka Panjang dengan Supplier Bahan Bakar

Untuk memastikan ketersediaan pasokan energi primer, PLN UPJB perlu membuat
kontrak jangka panjang kepada supplier energi primer (Batubara, Gas Alam, dan
BBM) begitu pula dengan perusahaan angkutannya.


Melakukan tindakan hedging

Dilakukan dalam pembelian peralatan atau suku cadang impor, agar struktur biaya
dapat diatur lebih pasti untuk menghindari adanya peningkatan valuta asing yang
tidak terkendali dan mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah hutang.

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

Daftar Pustaka
1. PT PLN (Persero) UPJB. 2014. Rencana Jangka Panjang Perusahaan 2014-2018.
2. Warijo Perry dan Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia . PPSK: Bank
Indonesia.
3. Faried Wijaya.2000. Seri pengantar Ekonomika Ekonomi Makro Edisi 3. BPFE,
Yogyakarta.
4. Rahardja Prathama dan Manurung Mandala. 2001. Teori Ekonomi Makro. Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia. 2014. Tinjauan Kebijakan
Moneter: Ekonomi, Moneter, dan Keuangan Desember 2014.

6. http://www.pln.co.id/blog/pemerintah-terapkan-adjustment-tarif -listrik-di-tahun2015/
7. Pusat Data dan Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Kajian Analisis
Isu-isu Sektor ESDM. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

8. Rasbin. 2014. Kebijakan Energi dan Subsidi Energi: Tantangan Pemimpin Baru
Indonesia. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DRP
RI.
9. Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Badan Kebijakan Fiskal. 2013. Kajian Efektivitas
Penugasan Public Service Obligation (PSO) kepada BUMN Sektor Energi:
Implementasi Performance-Based Regulatory (PBR) pada PT PLN (Persero).

Kementerian Keuangan.
10. Paramita Purwanto, Niken. 2014. Kebijakan Pengurangan Subsidi Listrik. Pusat
Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jendral DRP RI.
11. http://www.bps.go.id/
12. http://www.minerga.esdm.go.id/
13. http://www.esdm.go.id

15

General Business Environment

Monetary and Fiskal Policy

16