Makalah anggaran pendapatan dan belanja (1)

Makalah anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH
NAMA : INGGRIYANI
KELAS

: XII. RAMIN

NIS/NISN

: 2015050/0001230892

GURU


: IBU EWA

DAFTAR ISI
Cover
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Identifikasi Masalah
C. Metode Penulisan
BAB II ANALISIS
A. Pemangkasan Anggaran Pembelanjaan Negara Terhadap
Kementerian atau Lembaga
B. Kedudukan Inpres Terhadap UU APBN-P Berdasarkan Asas
(Lex Superior Derogat Lex Inferior)
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Presiden Joko Widodo meneken Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2016 tentang
Penghematan Belanja Kementerian/Lembaga dalam rangka pelaksanaan APBNP Tahun
Anggaran 2016 pada 26 Agustus 2016.
Angka total penghematan atau pemotongan APBNP di 83 kementerian/lembaga sebanyak
Rp 64,7 triliun. Kecuali empat lembaga negara tidak menjadi korban pemotongan anggaran
yakni DPR, MPR, DPD dan Kementerian Pemberdayan Perempuan dan Perlindungan
Anak.
Inpres itu melengkapi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 125/PMK.07/2016
tertanggal 16 Agustus 2016, yang berisi penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum
(DAU) tahun 2016 di 169 daerah dengan total anggaran Rp19,4 triliun. Sejumlah kepala
daerah terkejut dengan langkah pemerintah pusat dengan menunda penyaluran DAU ini.
Pasalnya, pemerintah pusat tidak berkomunikasi terlebih dahulu ihwal penundaan tersebut.
Pemotongan anggaran ini memiliki dua aspek sekaligus. Pertama penghematan atau
pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah yang memiliki makna kontekstual di
tengah situasi dan kondisi obyektif neraca APBN kita. Capaian target penerimaan negara
yang jauh panggang dari api menjadi musabab langkah pemotongan tersebut dilakukan.
Apalagi, dari sejumlah item obyek pemotongan dilakukan terhadap item belanja

honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium
tim/kegiatan, biaya rapat, iklan dan lain sebagainya. Merujuk maksud, tujuan serta item
yang dipotong, langkah tersebut secara substansial tepat dilakukan.
Kedua, tindakan hukum presiden dengan menerbitkan Inpres yang isinya secara
konkret mengubah struktur anggaran belanja negara. Setidaknya sebanyak Rp64,7 triliun
mengurangi struktur anggaran yang tertuang di UU APBN Perubahan 2016. Secara legalprosedural, tindakan hukum presiden ini menjadi persoalan serius dalam hukum
kenegaraan kita. Dengan kata lain, produk hukum Inpres mengubah produk hukum di
atasnya yakni UU APBNP 2016. Langkah ini juga bertentangan dengan asas perundang-

undangan yakni produk hukum yang lebih rendah tidak bisa mengeyampingkan produk
hukum yang lebih tinggi (lex superior derogatlegi lex inferiori).
Di poin kedua inilah yang menjadi titik letak persoalan. Tindakan hukum presiden
yang menerbitkan Inpres, secara praksis telah melakukan perubahan UU APBNP 2016.
Padahal, secara konstitusional, kuasa legislasi berada di tangan DPR (Pasal 20 ayat (1)
UUD 1945). Meskipun, dalam praktiknya, kuasa legislasi DPR tersebut tidak sepenuhnya
juga mutlak di tangan DPR.
Bila merujuk Pasal 6 ayat (1) UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
kekuasaan pengelolaan keuangan negara memang dimiliki sepenuhnya oleh presiden dalam
kapasitasnya sebagai Kepala Pemerintahan. Secara substansi materi Inpres tersebut
memang tepat, presiden dalam kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara memberi arahan terhadap jajaran di pemerintahan untuk melakukan
penghematan.
Sayangnya, kekuasaan pengelolaan keuangan negara itu tidaklah berdiri sendiri.
Karena pada ketentuan berikutnya di Pasal 7 UU Keuangan Negara disebutkan kekuasaan
pengelolaan keuangan negara yang dimiliki presiden dimaksudkan untuk mencapai tujuan
bernegara.
Bagaimana tujuan negara itu agar tercapai? Di pasal 7 ayat (2) UU Keuangan Negara
secara implisit disebutkan untuk mencapainya melalui penyusunan APBN di tingkat
nasional dan APBD untuk tingkat daerah. Dengan kata lain, mekanisme penyusunan
perundang-undangan melalui UU APBN menjadi satu-satunya cara untuk memastikan
tujuan bernegara tersebut. Di konstitusi, ketentuan membahass UU APBN dilakukan secara
bersama-sama Presiden dan DPR.
Penerbitan Inpres No. 8/2016 oleh Presiden Jokowi tertanggal 26 Agustus 2016
tentang penghematan anggaran ini sebenarnya juga pernah dilakukan oleh Presiden SBY
melalui Inpres No 4/2014 tertanggal 19 Mei 2014 atau sebulan sebelum pengesahan APBN
Perubahan tahun 2014.
Pencantuman tanggal penandatanganan Inpres tersebut penting dihadirkan karena
terkait dengan kalender pengesahan anggaran melalui APBN atau APBNP. Inpres Jokowi
diteken setelah pengesahan APBN Perubahan 2016. Sedangkan Inpres SBY diteken
sebulan sebelum pengesahan APBN Perubahan 2014.


Dalam Inpres No. 4 tahun 2014 yang diteken Presiden SBY saat itu, di diktum keempat
disebutkan “Pelaksanaan pemotongan anggaran belanja dalam DIPA Kementerian/
Lembaga dilakukan setelah UU tentang APBN Perubahan Tahun Anggaran 2014
disahkan”.
Jelas di poin inilah perbedaan yang mencolok antara Inpres 4/2014 dan Inpres
8/2016. Di Inpres 8/2016 tidak terdapat diktum seperti yang tertuang dalam diktum
keempat Inpres 4/2014. Di poin ini pula titik soalnya. Presiden Jokowi mengabaikan
mekanisme perubahan UU yang harus dilakukan secara bersama-sama antara Presiden dan
DPR.
Padahal, spirit konstitusi yang terkandung dari ketentuan pembahasan bersama
antara DPR dan pemerintah dalam penyusunan UU semata-mata sebagai upaya cheks and
balances dalam pengelolaan negara yang merupakan ciri dari negara demokrasi. Di titik
inilah, Presiden mengabaikan konstitusi dan spiritnya.
Secara normatif-prosedural, Inpres 8/2016 bermasalah. Kondisi ini harus diluruskan
karena hal ini juga berpotensi menjadi persoalan hukum dan politik yang menggelinding
secara bebas. Oleh karenanya, sebaiknya Istana legowo untuk menarik Inpres tersebut
digantikan dengan pengusulan RUU APBNP 2016 tahap kedua, yang khusus memuat
tentang proposal penghematan anggaran di 83 Kementerian/Lembaga (K/L) sebagaimana
tertuang dalam Inpres 8/2016.

Upaya ini semata-mata untuk memastikan jalannya pemerintahan ini agar sesuai
dengan rel konstitusi dan aturan perundang-undangan. Langkah ini juga untuk memastikan
negara ini menganut prinsip demokrasi konstitusional.
Mekansime lainnya yang juga bisa ditempuh oleh warga negara terkait dengan
Inpres 8/2016 ini dengan melakukan judicial review Inpres tersebut ke Mahkamah Agung
(MA) untuk menguji apakah inpres tersebut melanggar UU atau tidak.
Penggalan pidato Presiden Jokowi saat dilantik MPR RI pada 20 Oktober 2014
relevan untuk dihadirkan dalam polemik Inpres 8/2016 ini. Di hadapan sidang MPR RI,
Presiden Jokowi secara lugas berujar “Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan
konstitusi.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasar pemaparan dari latar belakang diatas mengenai APBN-P 2016 dan terbitnya
inpres nomor 8 tahun 2016 yang bertujuan merubah uu apbn-p.dalam inpres tersebut
menjelaskan adanya pemotongan anggara pembelajaan negara khususnya terhadap
kementrian/lembaga.Maka penulis menemukan identifikasi sebagai berikut:
Kemenrian/Lembaga mana sajakah yang dimaksud dalam pemotongan anggaran yang
dijelaskan dalam inpres tersebut?
Bagaimana kedudukan INPRES TERHADAP UNDANG-UNDANG APBNP,berdasarkan asas (lex superior derogat lex infarior)?
C. METODE PENULISAN

Dalam penulasan ini makalah ini penulis menggunakan sistem penulisan pendekatan
normati,yakni dengan menggunakan data-data pustaka.

BAB.II
ANALISIS

A. PEMANGAKASAN ANGGARAN PEMBELAJAAN NEGARA
TERHADAP KEMENTRIAN/LEMBAGA
Melalui Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tertanggal 26 Agustus 2016,
Presiden Joko Widodo menginstruksikan 85 Kementerian/Lembaga (K/L) untuk melakukan
langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2016.
Dalam lampiran Inpres tersebut tertuang besaran penghematan dari masing-masing
K/L, dimana penghematan terendah menjadi beban Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sebesar Rp 2,744 miliar, sementara penghematan tertinggi dibebankan
kepada Kementerian Pertahanan sebesar Rp 7,933 triliun. Hanya 3 dari 87 K/L yang tidak
memperoleh penghematan APBN-P 2016, yaitu MPR RI, DPR RI, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
RI. Secara rinci K/L yang terkena penghematan anggaran pada APBN-P 2016 itu adalah:
1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rp 200 miliar;

2. Mahkamah Agung (MA) Rp 192,536 miliar;
3. Kejaksaan Agung Rp 18,032 miliar;
4. Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) Rp 320,994 miliar;
5. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Rp 789,799 miliar;
6. Kementerian Luar Negeri Rp 700,811 miliar;
7. Kementerian Pertahanan Rp 7,933 triliun;
8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Rp 550,908 miliar;
9. Kementerian Keuangan Rp 3,527 triliun;
10. Kementerian Pertanian Rp 5,938 triliun.
11. Kementerian Perindustrian Rp 854,778 miliar;
12. Kementerian ESDM Rp 3,916 triliun;
13. Kementerian Perhubungan Rp 4,745 triliun;

14. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 3,916 triliun;
15. Kementerian Kesehatan Rp 5,552 triliun;
16. Kementerian Agama Rp 1,405 triliun;
17. Kementerian Ketenagakerjaan Rp 488,070 miliar;
18. Kementerian Sosial;
19. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rp 871,727 miliar;
20. Kementerian Kelautan dan Perikanan Rp 3,059 triliun.

21, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp 6,980 triliun;
22. Kemenko Polhukam Rp 27,495 miliar;
23. Kemenko Perekonomian Rp 49,999 miliar;
24; Kemenko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Rp 114,608 miliar;
25. Kementerian Pariwisata Rp 800 miliar;
26. Kementerian BUMN Rp 59,100 miliar;
27. Kemenristek dan Dikti Rp 1,358 triliun;
28. Kemenkop dan UKM Rp 47,235 miliar;
29. Kementerian PAN RB Rp 6,366 miliar;
30. Badan Intelijen Negara (BIN) Rp 228,495 miliar.
31. Lembaga Sandi Negara Rp 228,495 miliar;
32. Dewan Ketahanan Nasional Rp 14,117 miliar;
33. Badan Pusat Statistik Rp 14,117 miliar;
34. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Rp 224,266 miliar; 35.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Rp 311,015 miliar;
36. Perpustakaan Nasional RI Rp 184,570 miliar;
37. Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp 193,315 miliar;
38. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) Rp 2,959 triliun;
39. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Rp 136,897 miliar;
40. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Rp 105,135 miliar.

41. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rp 17,500 miliar;
42. Badan Narkotika Nasional (BNN) Rp 459,400 miliar;
43. Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Rp 2,082 triliun;
44. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Rp 774,261 miliar;

45. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Rp 3,803 miliar;
46. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rp 31,056 miliar;
47. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Rp 19,171 miliar;
48. Mahkamah Konstitusi (MK) Rp 10,849 miliar;
49. PPATK Rp 2,774 miliar;
50. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rp 17,674 miliar.
51. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Rp 11,503 miliar;
52. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi(BPPT) Rp 20,832 miliar;
53. Lemb aga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) R[ 38,292 miliar;
54. Badan Informasi Geospasial (BIG) Rp 16,884 miliar;
55. Badan Standardisasi Nasional (BSN) Rp 3,363 miliar;
56. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Rp 6,510 miliar;
57. Lembaga Administrasi Negara (LAN) Rp 4,137 miliar;
58. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Rp 12,673 miliar;
59. Badan Kepegawaian Negara (BKN) Rp 10,969 miliar;

60. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Rp 50 miliar.
61. Kementerian Perdagangan Rp 727,235 miliar;
62. Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Rp 346,413 miliar;
63. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Rp 13,001 miliar;
64. Komisi Yudisial Rp 3,873 miliar;
65. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rp 551,078 miliar;
66.Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Rp
52,537 miliar;
67. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Rp 20,197 miliar;
68. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Rp 39,063 miliar;
69. Badan SAR Nasional (Basarnas) Rp 55,973 miliar;
70. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Rp 20,997 miliar.
71. Badan Pengembangan Wilayah Suramadu Rp 101,649 miliar; 72. Ombudsman Republik
Indonesia Rp 9,012 miliar;
73. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Rp 36,110 miliar;

74. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Rp 49,613
miliar;
75. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rp 52,725 miliar;
76. Sekretariat Kabinet Rp 6,816 miliar;
77. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rp 19,891 miliar;
78. Lembaga Penyiaran Radio Republik Indonesia (LPP RRI) Rp 76,911 miliar;
79. Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (LPP TVRI) Rp 75,911 miliar;
80. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Rp 70,849
miliar.
81. Badan Keamanan Laut (Bakamla) Rp 443,079 miliar;
82. Kemenko bidang Kemaritiman Rp 122,781 miliar; dan
83. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Rp 363,431 miliar.[2]

B. KEDUKAN INPRES TERHADAP UU APBN-P BERDAASARKAAN ASAS (LEX
SUPERIOR DEROGAT LEX INFERIOR)
Menurut Sudikno Mertokusumo Bahwa di dalam sistem perundang-undangandikenal
dengan adanya hierarchie (kewerdaan atau urutan) Adanya peraturan perundang-undangan
yang mempunyai tinggaktan yang tinggi,ada yang mempunyai tingkatan yang lebih rendah
(UUD, UU, PP; Grondwet,Wet,A.M.V.B.,Ordonnantie,Regeringsverordening,Osamu Seiri,Os
amu Kkirei,Syuurei,Koorei). Perudang-undangan suatu negara merupakan suatu atau konflik
didalamnya. Peraturan perundang-undanganyang tingkatnya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan yang lebih tinggi yang mengatur hal yang sama.Kalau sampai terjadi
konflik,peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah:Peraturan perundang uandngyang lebih tinggilah yang
akan didahulukan.Ini merupakan asas yang dikenal dengan adagium yang berbunyilex
superior derogat legi inferiori[3].
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, keputusan presiden (Keppres) yang
sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan presiden
yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang mana
peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa keputusan
presiden ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat selain mengatur (bersifat
menetapkan sesuatu). Jika subjek hukum yang terkena akibat keputusan itu bersifat konkret
dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam
keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret. Tetapi, apabila
subjek hukum yang terkait itu bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret,
maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum
yang bersifat abstrak dan umum. Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak itu
biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat
merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun
keputusan yang berupa vonis hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.[4]

Peraturan presiden (dulu keputusan presiden)merupakan peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh presiden berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945
sebelum dan sesudah amandemen yang berbunyi sebagai berikut:
“Presiden Republik Indonesia memegan kekuasaan pemerintahan menurut UndangUndang Dasar”
Sebagai

pemegan

kekuasaan

pemerintahan

tertinggi

di

Negara

Republik

Indonesia,Presiden adalah pemegan kekuasaan eksekutif dan sekaligus pegang kekuasaan
legislative (bersama Dewan Perwakilan Rakyat).Hal ini bisa disimpulkan berdasarkan
pendapat dari Jellinek yang mengatakan bahwa pemerintahan dalam arti formal
mengandung

kekuasaan

mengatur(Verordnungsgewalt)

dan

kekuqasaan

memutus(Entscheidungsgewalt),sedangkan pemerintah dalam arti materil mengandung
unsur melaksanakan (das elementder regierung und das dervollziehung)
Dengan adanya kekuasaan pemerintahan tersebut,Presiden mempunyai kekuasan
untuk mengatur segala sesuatu di Ngara Republik Indonesia.
Suatu keputusan presiden dapat merupakan peraturan secara langsung berdasarkan
atribusi dari pasal 4 ayat (1) UUD 1945,keputusan presiden juga disebut keputusan yang
mandiri.keputusan yang mandiri ini merupakan hak dari presiden selaku pemegan kekuasan
tertinggi dalam pemerintahan.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, keputusan presiden (Keppres) yang
sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan presiden
yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang mana
peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa keputusan presiden
ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat selain mengatur (bersifat menetapkan
sesuatu). Untuk penjelasan lebih lengkapnya simak di dalam artikel Perbedaan antara
Keputusan Presiden dengan Peraturan Presiden.
Namun jika diteluri lebih dalam lagi mengenai INPRES tersebut merupakan suatu
kebijakan yang ditetapkan oleh presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam bidang
pemerintahan,untuk mencega atau mengantisipasi terjadinya deficit dalam Anggaran
Pendatan dan Belanja Negara.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Presiden dengan menerbitkan Inpres yang isinya secara konkret mengubah struktur
anggaran belanja negara. Setidaknya sebanyak Rp64,7 triliun mengurangi struktur
anggaran yang tertuang di UU APBN Perubahan 2016. Secara legal-prosedural, tindakan
hukum presiden ini menjadi persoalan serius dalam hukum kenegaraan kita. Dengan kata
lain, produk hukum Inpres mengubah produk hukum di atasnya yakni UU APBNP 2016
Inpres itu melengkapi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 125/PMK.07/2016
tertanggal 16 Agustus 2016, yang berisi penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum
(DAU) tahun 2016 di 169 daerah dengan total anggaran Rp19,4 triliun. Sejumlah kepala
daerah terkejut dengan langkah pemerintah pusat dengan menunda penyaluran DAU ini.
Pasalnya, pemerintah pusat tidak berkomunikasi terlebih dahulu ihwal penundaan
tersebut.
Pemotongan anggaran ini memiliki dua aspek sekaligus. Pertama penghematan atau
pemotongan anggaran yang dilakukan pemerintah yang memiliki makna kontekstual di
tengah situasi dan kondisi obyektif neraca APBN kita. Capaian target penerimaan negara
yang jauh panggang dari api menjadi musabab langkah pemotongan tersebut dilakukan.
Apalagi, dari sejumlah item obyek pemotongan dilakukan terhadap item belanja
honorarium, perjalanan dinas, paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium
tim/kegiatan, biaya rapat, iklan dan lain sebagainya. Merujuk maksud, tujuan serta item
yang dipotong, langkah tersebut secara substansial tepat dilakukan.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, keputusan presiden (Keppres)
yang sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan
presiden yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang
mana peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundangundangan.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa keputusan presiden
ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat selain mengatur (bersifat menetapkan
sesuatu).
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 100 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, keputusan presiden (Keppres) yang
sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan
presiden yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang
mana peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundangundangan.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kita dapat melihat bahwa keputusan presiden
ada yang bersifat mengatur dan ada yang bersifat selain mengatur (bersifat menetapkan
sesuatu).
B. SARAN
Dalam penetap inpres nomor 8 tahun 2016 seharus presiden bersama kementian
atau bersama lembaga Negara yang mempunyai wewenag dalam hal-hal yang berkaitan
dengan inpres tersebut,duduk bersama untuk mencari jalan keluar.
Inpres ini terlihat buru-buru dalam penetapannya,yang menggambarkan kegebahan
presiden halam hal selaku kepala pemerintan.dalam hal penetapan inpres ini seharus
presiden memberitahukan terlebih dalauhu kepada lembaga-lembga atau daerah-daerah
yang memerasakan dampaknya dari inpres tersebut.

Daftar Pustaka
http://nokenpetrus.blogspot.co.id/2017/