Tinjauan Hukum Perjuangan Warga Kebun Sa (1)

Hak Atas Tanah dan Tempat Tinggal
Rencana Penggusuran Warga di Kebun Sayur, Ciracas, Jakarta Timur
oleh:
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FHUI 2015
dan
Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FHUI 2015
A. Kasus Posisi
Sejak tahun 1980-an lahan kosong bercirikan semak belukar dengan kisaran
luas 5,3 hektar di kawasan Ciracas, Jakarta Timur telah menjadi hunian para pendatang
dari luar Jakarta bahkan luar Pulau Jawa. Melihat kondisi tanah yang terbengkalai dan
diimbangi dengan kebutuhan akan mata pencaharian di Ibukota, warga pendatang
kemudian menempati dan menggarap lahan kosong yang ada menjadi kebun sayur.
Nyaris tanpa dinamika yang berarti, warga Desa Kebun Sayur Ciracas menjalani
kehidupan selama hampir 20 tahun. Adapun guncangan pertama pada harmonisme
hidup warga Desa Kebun Sayur terjadi pada saat 6 Mei 2009 silam, yang ketika itu
Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) melayangkan surat permohonan
No. 10/RTP/VI/2009 yang ditujukan untuk PLN cabang Ciracas terkait pemutusan aliran
listrik warga Kebun Sayur. Gempuran kedua kemudian menyusul dengan skala yang
lebih besar saat PPD memberikan ultimatum secara sepihak, dengan dasar hukum
yang dipertanyakan validitasnya 1 perihal batas waktu bagi warga untuk meninggalkan
lokasi Ciracas dari mulai 10 Juni-10 Agustus 2009 disertai dengan pendirian pos

penjagaan dan penutupan seluruh akses jalan warga. Opresi dari luar secara otomatis
membangkitkan upaya konsolidasi internal warga Desa Kebun Sayur Ciracas melalui
pembentukan Tim Sembilan pada 9 Juni 2009.
Tim Sembilan merupakan pelembagaan suara dan aspirasi warga Desa Kebun
Sayur yang mengemban tugas untuk berhubungan langsung dengan pihak-pihak
eksternal dalam upaya pengadvokasian dan pengembalian hak-hak warga Desa Kebun
Sayur yang tercederai dengan ultimatum sepihak Perum PPD. Perjuangan demi
perjuangan dilakukan Tim Sembilan dengan didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum
1

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2003 tentang Penyertaan Modal Negara dalam Perum PPD dan Surat
Komisi Nasional Hak Asas Manusia Nomor 2.309 yang menyatakan Kepemilikan Tanah PPD.

Jakarta, mulai dari tahap permohonan perundingan yang ditujukan kepada pihak PPD,
permohonan bantuan mediasi sengketa kepada berbagai instansi termasuk Komnas
HAM dan Komisi III DPR-RI dan permohonan bantuan pemenuhan identitas warga
yang ditujukan pada Lurah Ciracas. Upaya-upaya yang digulirkan berhasil meredam
tekanan dari PPD walau dalam perjalanannya tetap dibumbui intimidasi 2 dari pihak
PPD. Satu hal yang masih menjadi kegamangan warga Desa Kebun Sayur sampai saat
ini ialah tidak diakuinya entitas Desa Kebun Sayur sebagai kawasan di kelurahan

Ciracas dan warga tidak terpenuhi hak administratifnya karena warga Desa Kebun
Sayur tidak dapat mengurus KTP ber-domisili Ciracas dengan alasan lahan yang
ditempati merupakan milik orang lain.3
B. Tinjauan Mengenai PP Nomor 42 Tahun 2003 Tentang Penyertaan Modal
Kepada Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD)
Permasalahan penyertaan modal negara dalam bentuk tanah kepada Perum
Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) merupakan suatu permasalahan yang
sangat pelik, dimana penyertaan modal dalam bentuk tanah ini dicantumkan di dalam
PP No.42 tahun 2003. Permasalahan yang terjadi adalah penyertaan modal dalam
bentuk tanah tersebut yang salah satunya berada di kawasan Ciracas telah ditempati
oleh orang-orang yang mengelola tanah tersebut sedari dulu. Adapun orang-orang
tersebut dikenal sebagai masyarakat Kebun Sayur Ciracas.
1. Tata Cara Pemberian Penyertaan Modal
Di dalam PP No.42 tahun 2003 disebutkan bahwa alasan di dalam penyertaan
modal negara kepada PPD adalah “untuk lebih meningkatkan dan mengembangkan
kegiatan usaha Perusahaan Umum (PERUM) Pengangkutan Penumpang Djakarta,
dipandang

perlu


untuk

melakukan

penambahan penyertaan

modal

Negara

Republik Indonesia ke dalam modal Perusahaan Umum (PERUM) Pengangkutan
Penumpang Djakarta”4. Di dalam PP tersebut salah satu modal negara yang diberikan
2

Bentuk-bentuk intimidasi antara lain: 1) Pihak PPD mendatangi warga door-to-door dikawal kepolisian berpakaian
preman dan oknum Satpol PP, 2) Penutupan akses jalan masuk, 3) Pencurian ternak dan pompa air milik warga
3
Berdasarkan pernyataan Kepala Lurah Ciracas pada April 2010 setelah pertemuan dengan Pihak PPD. Sumber:
Team Sembilan Perwakilan Warga Kebun Sayur Ciracas, Kronologis Warga Menempati Kebun Sayur
4

Bagian menimbang PP No.42 tahun 2003

kepada PPD adalah tanah di ciracas seluas 53.817 m 2, namun kita harus meninjau
ulang bagaimana sejatinya tata cara pemberian penyertaan modal tersebut kepada
pihak PPD.
Di dalam lampiran X Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.06/2007
tentang tata cara pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan
pemindahtanganan barang milik negara, mengatur tentang tata cara pelaksanaan
penyertaan modal pemerintah pusat yang berasal dari barang milik negara, dimana
dinyatakan dalam angka romawi IV lampiran peraturan menteri di atas dinyatakan
bahwa barang milik negara yang dapat dilakukan penyertaan modal pemerintah terdiri
dari :
1. tanah dan/atau bangunan yang berada pada pengelola barang.
2. tanah dan/atau bangunan yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk
disertakan sebagai modal pemerintah pusat sesuai yang tercantum dalam
dokumen penganggarannya.
3. selain tanah dan/atau bangunan.
Lalu dalam angka romawi V lampiran peraturan menteri di atas dijelaskan bahwa
subjek pelaksana penyertaan modal pemerintah pusat terdiri dari :
1. Pihak-pihak yang dapat melaksanakan penyertaan modal pemerintah pusat

adalah:
a. Pengelola Barang, untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada
Pengelola Barang.
b. Pengguna Barang, dengan persetujuan Pengelola Barang untuk:
i. Barang Milik Negara berupa tanah dan/atau bangunan yang dari
awal pengadaannya direncanakan untuk disertakan sebagai modal
pemerintah

pusat

sesuai

yang

tercantum

dalam

dokumen


penganggaran.
ii. Barang Milik Negara selain tanah dan/atau bangunan.
2. Pihak-pihak yang dapat menerima penyertaan modal pemerintah pusat :
a. Badan Usaha Milik Negara.
b. Badan Usaha Milik Daerah.
c. Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara/Daerah.
Yang dimaksud dengan pengelola barang di dalam lampiran peraturan menteri
keuangan tersebut merujuk pada Pasal 4 PP No. 27 tahun 2014 tentang pengelolaan
barang milik negara/daerah, bahwa pengelola barang Menteri Keuangan selaku

bendahara umum negara, selain itu yang dimaksud dengan pengguna barang merujuk
pada Pasal 6 PP No. 27 tahun 2014 adalah Menteri/Pimpinan Lembaga selaku
pimpinan Kementerian/Lembaga.
Tanah Kebun Sayur Ciracas sendiri sejatinya adalah aset yang dimiliki oleh
pemerintah pusat selaku pengelola barang, yang mana di dalam PP No. 42 tahun 2003
tanah tersebut diberikan kepada Perum PPD yang nantinya akan menjadi pengguna
barang. Namun kita harus mengetahui bahwa sejatinya sebelum PP No. 42 tahun 2003
tersebut diterbitkan terdapat berbagai tata cara yang harus dilewati oleh pemerintah
selaku pengelola barang, yang mana diampukan kepada Menteri keuangan.
Di dalam angka romawi VII angka 2 lampiran Peraturan Menteri Keuangan di

atas, diatur mengenai tata cara pelaksanaan penyertaan modal pemerintah pusat
tentang barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan yang berada pada
pengelola barang. Bahwa sejatinya sebelum tanah tersebut diberikan kepada pihak
pengguna barang nantinya, pihak pengelola barang harus menyetujui untuk
menyertakan modal yang diajukan oleh pihak pengguna barang. Nantinya bila pihak
pengelola barang menyetujui pengajuan tersebut, maka pihak pengelola barang harus
membentuk tim yang terdiri dari pengelola barang, wakil dari instansi yang bertanggung
jawab dalam pembinaan penerima penyertaan modal, serta dapat melibatkan wakil dari
instansi teknis yang kompeten, dan wakil dari calon penerima penyertaan modal.
Tim ini nantinya akan melakukan penelitian atas tanah dan/atau bangunan yang
akan dijadikan penyertaan modal, serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis dalam
pelaksanaan penyertaan modal tersebut. Berdasarkan laporan tim ini pengelola barang
akan menetapkan nilai barang milik negara yang akan disertakan sebagai modal
menyusun rancangan peraturan pemerintah tentang penyertaan modal, selain itu di
dalam laporan tersebut juga terdapat tentang kelayakan tanah tersebut. Selanjutnya
pengelola barang akan mengajukan permohonan persetujuan kepada DPR terkait
penyertaan modal tersebut beserta hasil laporan dari tim, lalu berdasarkan surat
persetujuan dari DPR, Pengelola Barang mengajukan rancangan peraturan pemerintah
tentang penyertaan modal pemerintah kepada Presiden untuk ditetapkan di dalam PP.
Sejatinya bila melihat dari alur penetapan penyertaan modal pemerintah

tersebut, maka sudah dapat dipastikan bahwa sebelum meminta persetujuan kepada

DPR, pemerintah selaku pengelola barang yang diwakilkan oleh Menteri Keuangan,
mengetahui apakah tanah tersebut sekarang sudah ditempati atau dikelola oleh satu
maupun beberapa orang, dikarenakan terdapat alur penilitian terhadap tanah tersebut
sebelum tanah tersebut ditetapkan sebagai penyertaan modal pemerintah kepada
BUMN. Pun saat meminta persetujuan DPR, sudah sejatinya DPR seharusnya meminta
persetujuan masyarakat sekitar tempat tersebut, apakah masyarakat nantinya akan
setuju bila tempat/tanah tersebut dijadikan sebagai apa yang diinginkan oleh BUMN
atau BUMD yang diberikan tanah, bila nantinya warga menyetujui barulah DPR
seharusnya menyetujui usulan dari pengelola barang yang mana adalah Menteri
Keuangan.
Terkait dengan tanah di Ciracas yang notabene sudah dikelola dan ditempati
sedari dulu sebelum dikeluarkannya PP tersebut, maka sejatinya di sini pemerintah
selaku pengelola barang seharusnya sudah mengetahui bahwa tanah tersebut telah
ditempati dan dikelola oleh warga Kebun Sayur Ciracas pada saat penelitian terhadap
tanah tersebut. Maka terjadi sebuah kejanggalan saat tanah tersebut telah ditempati
dan diusahakan oleh beberapa orang, namun tetap disertakan sebagai penyertaan
modal negara kepada BUMN yang mana disini adalah PPD, pun kejanggalan lainnya
adalah bagaimana mungkin DPR yang sudah sewajarnya adalah perwakilan rakyat

menyetujui usulan dari Menteri Keuangan tersebut saat DPR pun seharusnya
mengetahui dari hasil penelitian pengelola barang yaitu Menteri Keuangan bahwa lahan
tersebut sudah ditempati dan diusahakan oleh beberapa orang, yang notabene orangorang tersebut telah menetap lama dan merupakan masyarakat miskin yang ingin
mencari kehidupan yang lebih layak.

2. PP Penyertaan Modal Sebagai Dasar Kepemilikan Atas Tanah
Hak milik menurut Pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan
terpenuh yang dapat dipenuhi orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam
Pasal 6. Turun temurun di dalam Pasal tersebut artinya adalah hak milik atas tanah
dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal

dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang masih
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Adapun subyek dari hak milik sendiri terdiri
dari:
a. Perseorangan, yang mana diatur lebih lanjut bahwa hanya warga negara
Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (Pasal 21 ayat (1) UUPA)
b. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah agar dapat mempunyai
hak milik dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya hak milik atas
tanah hanya dapat dimiliki oleh warga Indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh

warga negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang di
luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam PP
No. 38 Tahun 1963. Yang terdiri dari :
1. Bank-bank yang didirikan oleh negara (Bank Negara) Perkumpulan-perkumpulan
Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU No. 79 Tahun 1958.
2. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar pendapat dari Menteri Agama
3. Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria

setelah

mendengar pendapat dari Menteri Kesejahteraan Sosial.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya hak milik
diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan
tunggal, baik untuk tanah yang diusahakan maupun untuk keperluan membangun
sesuatu di atasnya.
Terjadinya hak milik atas tanah sendiri dapat melalui 3 cara yang disebutkan
dalam Pasal 22 UUPA yaitu :

1. Hak milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat :

Hak milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan)
atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibing)
2. Hak milik atas tanah terjadi karena penetapan pemerintah :
Hak milik atas tanah yang terjadi disini berasal dari tanah Negara. Hak milik atas
tanah ini terjadi karena permohonan pemberian hak milik atas tanah oleh

pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan
oleh BPN.
3. Hak milik atas tanah terjadi karena ketentuan undang-undang :
4. Hak milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1, Pasal II, dan Pasal III dan Pasal VII
ayat(1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.
Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kasus Kebun Sayur Ciracas
dapat disimpulkan, walaupun berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPA oleh pemerintah
ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya,
namun PP Nomor 42 tahun 2003 yang digunakan oleh PPD sebagai dasar kepemilikan
tanah mereka sebenarnya dapat dikatakan cacat hukum karena bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1963 tentang penunjukan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, sebab PPD sendiri
tidak termasuk dalam Badan Hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah
berdasarkan Pasal 1 PP tersebut5.
PP yang mengatur tentang penyertaan modal pemerintah yang mana salah
satunya adalah tanah yang terdapat di Ciracas tidak dicantumkan dengan jelas tanah
Ciracas bagian mana yang menjadi hak PPD berdasarkan PP No. 42 tahun 2003
tersebut6, sehingga terjadi sebuah pertanyaan besar apakah tanah yang dicantumkan di
dalam PP tersebut adalah tanah Kebun Sayur Ciracas atau bukan.
Perihal perlibatan masyarakat dalam pembuatan PP No.42 tahun 2003 tersebut
tentu berkaitan erat dengan peran/perlibatan masyarakat dalam penataan ruang
perkotaan. Sebab salah satu hal yang terkandung dalam PP tersebut adalah perihal
penambahan modal berupa tanah. Seperti tertuang dalam Pasal 12 UU No. 24 Tahun
1992 bahwa penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah dan Masyarakat 7. Hal tersebut
berarti bahwa dari saat lahirnya UU No. 24 Tahun 1992 masyarakat sudah diperankan
sebagai mitra (secara hitam diatas putih) namun dalam kenyataannya masih belum
dilaksanakan.
5

lihat peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 38 tahun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah
6
lihat peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 42 tahun 2003tentang penambahan penyertaan modal negara
republik Indonesia ke dalam modal perusahaan umum (perum) pengangkutan penumpang Djakarta
7

Lihat UU No.24/1992

Sementara itu dalam PP No. 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan dan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang, dalam Pasal 2 PP tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat berhak
untuk :
a. Berperan serta
b. Mengetahui
c. Menikmati manfaat
d. Mendapat ganti8
Jika dikaitkan dengan kasus Ciracas, dapat dikatakan bahwa pihak-pihak terkait
telah mengabaikan peran serta masyarakat dalam penataan ruang dan mengabaikan
hak-hak masyarakat Ciracas, pun saat pemerintah memberikan tanah tersebut kepada
pihak PPD berdasarkan PP di atas sudah seharusnya masyarakat Kebun Sayur
Ciracas mendapat ganti tanah oleh pemerintah di tempat lain selebar tanah yang
selama ini ditempati dan dikelola oleh masyarakat Kebun Sayur Ciracas.
C. Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Penggusuran
Penggusuran menjadi masalah yang pelik dalam konteks sosiologis manusia
dimana kebutuhan akan tempat perlindungan (rumah) menjadi hal esensial bagi
keberlangsungan hidup manusia. Rumah menjadi esensial bagi keberlangsungan hidup
karena memberikan proteksi dan kemampuan bagi manusia untuk membangun dirinya
menjadi manusia sebenarnya lewat aktifitas-aktifitas yang dilakukannya di rumah
seperti makan, tidur, beristirahat, penyimpanan makanan dan harta, serta pertumbuhan
keluarga. Dalam konteks tempat sebagai lokasi usaha, keberlangsungan hidup secara
langsung terusik dengan adanya penggusuran. Hal ini terjadi jika usaha yang
menggunakan tempat tersebut menjadi mata pencaharian utama bagi pengusaha
tersebut.
Menimbang hal-hal tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memasukkan hak
atas tempat tinggal dalam hak yang layak disebut sebagai hak paling esensial bagi
manusia, yaitu Hak Asasi Manusia. The Universal Declaration of Human Rights
menyatakan :
8

Lihat pp 69/1996 tentang pelaksanaan dan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tatacara peran serta masyarakat
dalam penataan ruang

“No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or
correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right
to the protection of the law against such interference or attacks (Article 12)”, dan
“Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of
himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and
necessary social services, and the right to security in the event of unemployment,
sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances
beyond his control (Article 25 para. 1)”.
Mengenai hak atas tempat tinggal juga telah masuk ke dalam the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, yang menyatakan :
“The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to an
adequate standard of living for himself and his family, including adequate food, clothing
and housing, and to the continuous improvement of living conditions. The States Parties
will take appropriate steps to ensure the realization of this right, recognizing to this
effect the essential importance of international co-operation based on free consent
(Article 11 para.1)”.
Dari berbagai dokumen PBB tersebut, Indonesia telah memasukkannya ke dalam
beberapa produk hukum. Pasal 28H ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 5
ayat (1) UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah, juga pada
Pasal 19 undang-undang yang sama menyatakan bahwa penyelenggaraan rumah dan
perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan
dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat (ayat 1), dan
penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk
menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur (ayat 2).
Pasal 40 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap
orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.
Karena bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), maka haruslah ada
tindakan proaktif dari pemerintah untuk tetap mengadakan hak tersebut sebelum, saat,

dan setelah penggusuran terjadi. Sebelum penggusuran terjadi, haruslah ada alasan
yang seimbang dalam melaksanakan penggusuran, yaitu pembangunan untuk
kepentingan umum. Hal tersebut telah diimplikasikan dalam penerbitan UU No. 2 Tahun
2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Saat
berlangsungnya penggusuran, proses penggusuran haruslah jauh dari keterpaksaan
tergusur9 dan kekerasan10. Dalam pelaksanaan penggusuran, pemerintah juga haruslah
memberikan ganti rugi kepada pihak yang berhak melalui musyawarah penetapan ganti
kerugian.11
D. Tinjauan Sosiologis Masyarakat Kebun Sayur dari Dulu Hingga Sekarang
Sekilas balik napak tilas perjuangan warga Desa Kebun Sayur memiliki sebuah alur
dari perspektif psikologi yang dapat dibagi kedalam tiga periodisasi yakni tinjauan
psikologis terhadap: (1) Masa Pra Opresi PPD (1990-sebelum Mei 2009), (2) Masa
Rawan Opresi PPD (Mei 2009-Des 2010), (3) Masa Pasca Opresi PPD (Awal 2011sekarang). Suatu tinjauan sosiologis berarti sorotan yang didasarkan pada hubungan
antarmanusia, hubungan antar kelompok serta hubungan antara manusia dengan
kelompok, di dalam proses kehidupan masyarakat.

12

Dalam kasus warga Desa Kebun

Sayur Ciracas, pergesekan antar kelompok yaitu kelompok masyarakat Desa Kebun
Sayur sebagai satu entitas dan Perum PPD sebagai entitas lain. Pergesakan tersebut
menimbulkan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat, atau
dapat disebut juga sebagai gejala abnormal/gejala patologis. Dikatakan sebagai suatu
gejala abnormal karena kehadirannya menimbulkan kekecewaan atau penderitaan
yang membahayakan hubungan-hubungan sosial dan berujung pada kegoyahan dalam
kehidupan masyarakat.
Tinjauan sosiologis masyarakat Desa Kebun Sayur Ciracas dapat dilakukan dengan
mengikuti periodisasi sebagaimana telah dijabarkan diatas dan juga alur peristiwa yang
dimulai dari timbulnya suatu interaksi sosial bersifat disosiatif yang dikualifisir dalam
bentuk pertentangan/konflik, kemudian pertentangan/konflik melahirkan penguatan
konsolidasi ke dalam, konsolidasi
9

bentuk reorganisasi warga masyarakat, yang

Lihat Pasal 19 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
HAM menolak bentuk opresif terhadap warga negara oleh pemerintah
11
Lihat Pasal 27 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
12
Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 385.
10

reorganisasi kemudian melahirkan proses pelembagaan yang berfungsi untuk
merealisasikan gerakan sosial sebagai reaksi dari kondisi sosial yang ada.
Terbentuknya komunitas di lahan yang sekarang bernama Desa Kebun Sayur bermula
dari warga luar Jakarta yang menjadi pendatang. Sebagian besar warga pendatang
berasal dari Karawang, Jawa Barat dan sebagian besar lagi berasal dari Medan,
Sumatera Utara. Warga pendatang yang melakukan urbanisasi atas dorongan
ketidakmampuan dalam segi ekonomi dan keingingan untuk memiliki mata pencaharian
di Ibu Kota kemudian melihat adanya potensi dari sebuah lahan kosong tak
berpenghuni di kawasan Ciracas, Jakarta Timur sehingga timbul keinginan untuk
menggarapnya. Kuantitas pendatang makin-bertambah seiring berjalannya waktu dan
lama-kelamaan secara alamiah membentuk apa yang disebut dengan kelompok sosial.
Kelompok sosial merupakan himpunan manusia yang hidup bersama dan diantara
mereka terdapat hubungan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi dan juga
suatu kesadaran untuk saling-menolong.

13

Kelompok sosial yang terbentuk di Desa

Kebun Sayur termasuk pada kualifikasi kelompok sosial berbentuk paguyuban karena
tempat (gemeinschaft by place). Rasa solidaritas diantara masyarakatnya terbangun
atas kesatuan wilayah. Masyarakat Desa Kebun Sayur Ciracas memenuhi klafisikasi
suatu kelompok sosial untuk disebut sebagai paguyuban yaitu diantaranya ditandai
dengan ciri saling mengenal antar anggotanya, adanya suatu kemauan bersama
(common will), ada suatu pengertian dan juga kaidah-kaidah yang timbul dengan
sendirinya dari kelompok tersebut.
Kesatuan batin yang menandai kelompok sosial paguyuban tercermin di periode
kedua yaitu kondisi masyarakat Desa Kebun Sayur pada masa rawan opresi PPD.
Surat peringatan yang dilayangkan PPD untuk mengklaim tanah yang telah ditempati
warga selama kurang lebih 20 tahun merupakan bentuk interaksi sosial antar-kelompok
yang bersifat disosiatif yaitu pertentangan atau pertikaian. Pertentangan merupakan
suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman
dan/atau kekerasan. Akar dari pertentangan dalam kasus PPD dengan warga Desa
Kebun Sayur adalah perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan didasari oleh
13

R.M Mac Iver dan Charles H. Page, Sociology: An Introductory Analysis, London: Macmillan & Co. Ltd, 1961,
hlm. 23.

aspek ekonomi, warga Desa Kebun Sayur merasa mereka layak atas tanah yang telah
mereka garap dan menjadi sumber mata pencaharian mereka. Di lain pihak Perum PPD
mengklaim bahwa tanah yang awalnya tak berpenguhi di kawasan Ciracas tersebut
sebagai milik mereka.
Masyarakat Ciracas yang memiliki kekhasan kelompok sosial gemeinschaft by
place yaitu rasa solidaritas yang alami merespon pertikaian dengan positif. Positif
dalam artian bahwa sesungguhnya pertentangan sebagai proses disosiatif tidak
selamanya hanya membawa penderitaan atau gangguan pada rasa kelanggengan
masyarakat. Dalam teori sosiologi yang mengkaji tentang dampak konflik dalam suatu
masyarakat, konflik terbukti membawa dampak positif karena keberadaannya yang
secara otomatis memperkuat solidaritas intern dari rasa in-group suatu kelompok.
Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan
akan meningkat pesat dengan hadirnya konflik dengan pihak luar. 14
Rasa solidaritas sebagai pihsk yang menderita dibawah opresi, warga Desa
Kebun Sayur membentuk Tim Sembilan sebagai pengrealisasian konkret dari
konsolidasi ke dalam masyarakat Desa Kebun Sayur setelah terjadinya pertikaian
dengan PPD. Sebagai sebuah lembaga sosial, Tim Sembilan dapat diklafisikan sebagai
enacted institutions atau jenis lembaga sosial yang sengaja dibentuk untuk memenuhi
tujuan tertentu15. Pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah lemaga sosial bertujuan
untuk menjadi jembatan penghubung bagi warga Desa Kebun Sayur dengan instansiinstansi luar dalam rangka pengadvokasian aspirasi dan kepentingan masyarakatnya.
Setelah pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah lembaga sosial yang turut menjadi
substitusi kehadiran Rukun Tetangga di wilayah Desa Kebun Sayur, tinjauan sosiologis
terhadap kondisi masyarakat masuk ke dalam periode ketiga yaitu ketika pertentangan
dengan pihak DPD sudah mulai mereda. Meredanya konflik dengan DPD tidak sematamata menurunkan kadar keawasan warga Desa Kebun Sayur terhadap posisi mereka
yang masih rawan. Status mereka yang tidak diakui sebagai warga DKI Jakarta dengan
dipersulitnya kepemilikan Kartu Tanda Penduduk oleh petugas administratif setempat
14

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2005, hlm. 68.
15
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, Jakarta:Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI, 1964, hlm. 70.

serta ditambah dengan status lahan sengketa yang menambah ketidakpastian masa
depan Warga Desa Kebun Sayur.
Pada periode ketiga, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Pak
Darwin Sinaga, mantan ketua Tim Sembilan Desa Kebun Sayur Ciracas periode 20142015, kegiatan yang dilakukan Tim Sembilan lebih banyak terfokus pada pemupukan
kembali solidaritas paguyuban antar warga masyarakat. Interaksi yang terjalin dalam
fase ini adalah interaksi sosial asosiatif dalam bentuk kerjasama. Unsur kerjasama
sebenarnya sudah tertanam dalam diri warga Desa Kebun Sayur pada periode kedua,
dimana kerjasama bertambah kuat setelah ada bahaya luar yang mengancam atau
tindakan-tindakan luar yang menyinggung kepentingan masyarakat, namun pada
periode pasca meredanya pertikaian dengan PPD bentuk kerjasama dalam masyarakat
cenderung ke arah gotong-royong. Gotong-royong dilakukan dengan bentuk perbaikan
infrastruktur jalan dan kerja bakti lingkungan. Tujuan dilaksanakannya kerjasama pada
periode ini semata-mata untuk memperbaiki keadaan Desa Kebun Sayur yang
berangsur-angsur semakin kumuh di beberapa titik. Pemerintah dan Pemerintah daerah
memiliki

kewenangan

yang

diamanatkan

oleh

undang-undang 16

dalam

hal

pengendalian kawasan pemukiman untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya
perumahan kumuh dan pemukiman kumuh. Ketentuan dalam perundang-undangan ini
dapat menjadi justifikasi bagi aparat pemerintah untuk melakukan penggusuran
terhadap kawasan pemukiman yang dinilai kumuh. Oleh karena itu, pemupukan
kembali solidaritas paguyuban Desa Kebun Sayur Ciracas beserta kegiatan gotongroyong berfungsi untuk mencegah atau setidaknya memperkecil kemungkinan
penggusuran di kawasan yang sekarang mereka huni.
Sebagai konklusi, tinjauan sosiologis terhadap kondisi masyarakat Ciracas dari
dulu sampai sekarang secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga periode yang
acuannya adalah pertentangan denga pihak DPD. Kajian dari aspek sosiologi dimulai
dari pembentukan Desa Kebun Sayur sebagai sebuah komunitas yang berkembang
menjadi paguyubas atas dasar kesatuan wilayah, konflik dengan pihak luar yang
membangkitkan rasa solidaritas ke dalam in-group dan penguatan konsolidasi melalui
pembentukan Tim Sembilan sebagai sebuah enacted institution serta yang terakhir,
16

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

pemupukan kembali rasa solidaritas bersama melalui kerjasama/gotong-royong untuk
memperkecil terjadinya risiko penggusuran di masa yang akan datang.
E. Fungsi Sosial Tanah
Sebagai manusia yang lahir dan mati di bumi, hidup kita tidak akan pernah lepas
dari tanah yang sejak menghela napas telah kita pijak. Betapa pentingnya bumi ini demi
kepentingan manusia, membuat pemerintah harus mengatur dan mengurusnya demi
kepentingan warga negara. di Indonesia, hukum tanah diatur dalam Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang lebih sering
disebut UUPA serta peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi
peraturan pelaksana undang-undang tersebut.
Berbicara mengenai hukum pertanahan atau hukum agraria tidak akan lepas dari
hak-hak yang diatur dalam UUPA. Hak-hak yang diatur dalam UUPA terbagi menjadi
dua jenis yaitu, hak atas tanak primer dan hak atas tanah sekunder. Hak atas tanah
primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai.
Sedangkan hak sekunder terdiri dari Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa
Tanah Pertanian dan Hak Menumpang. Kedua jenis hak tersebut dan segala hak yang
terdapat di dalamnya oleh UUPA diatur untuk harus mempunyai fungsi sosial. 17 Fungsi
sosial tanah disinggung oleh Pofesor Boedi Harsono dalam buku Agraria Indonesia,
menyatakan: Hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi mengandung dalam
dirinya unsur kekuasaan atau unsur kemasyarakatan. Unsur ini ada pada setiap hak
atas tanah karena semua hak atas tanah secara langsung atau tidak langsung
bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama. Adapun tanah yang dihaki
seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi juga
bagi bangsa Indonesia seluruhnya (1994: 198, 229-231). Dari pernyataan beliau, dapat
kita simpulkan bahwa fungsi sosial pada tanah adalah suatu pembatasan atas hak atas
tanah baik primer atau sekunder, bahwa tanah-tanah tersebut boleh digunakan
sebebas-bebasnya sesuai hak yang dimiliki tetapi tidak boleh merugikan kepentingan
umum sekitarnya. Pembatasan tersebut sekiranya dapat menciptakan keseimbangan,
kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pemilik tanah.
17

Pasal 6 UUPA: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dalam UUPA, tanah berfungsi sosial terdapat dalam Pasal-Pasal berikut ini:
1. Pasal 7 UUPA mengenai larangan latifundia yang melarang penguasaan tanah
melampaui batas
2. Pasal 10 UUPA mengenai larangan absentee yang mewajibkan pemilik hak
untuk mengusahakan tanahnya sendiri
3. Pasal 14 UUPA mengenai perencanaan dan peruntukan tanah
4. Pasal 15 UUPA mengenai kesuburan tanah
5. Pasal 18 UUPA mengenai pencabutan hak atas tanah demi kepentingan umum.
Pada tataran praktis, bentuk konkrit dari fungsi sosial dari tanah adalah tindakan
pemerintah untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan menguasi kembali tanah
tersebut untuk digunakan bagi kepentingan umum. Daripada itu, sebenarnya apa yang
dimaksud dengan kepentingan umum? Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah
dan digunakan sebesar-besarnya

suatu kemakmuran rakyat. 18 Dari bunyi Pasal

tersebut, sebetulnya luas sekali apa yang dapat tercangkup dalam kepentingan umum.
Dari pencabutan hak, pemerintah akan memberikan ganti kerugian kepada pemilik
tanah sebenarnya. Ganti kerugian itu harus sesuai dengan kehilangan yang dialami
oleh pemilik hak sebenarnya. Pada dinamika yang terjadi di masyarakat, sebenarnya
banyak sekali terjadi pencabutan hak yang didasari oleh alasan kepentingan umum.
Namun yang terjadi masyarakat malah dirugikan, haknya dirampas namun tidak
dipergunakan semestinya untuk kepentingan umum. Hal tersebut terjadi karena begitu
luasnya definisi kepentingan umum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan kita.
F. Hapusnya Hak Milik
Sesuai dengan Pasal 27 UUPA Hak Milik dapat hapus karena sesuatu hal, meliputi :
a. Tanah jatuh kepada Negara karena pencabutan hak.
Pencabutan hak atas tanah menurut UUPA adalah pengambil-alihan

tanah

kepunyaan sesuatu pihak oleh Negara secara paksa, yang mengakibatkan hak
atas tanah menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu
18

Pasal 1 butir 6 Perpres No. 71 Tahun 2012

pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum. 19 Dasar
hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah diatur oleh UUPA dalam Pasal 18
yang menyatakan bahwa “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak- hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara
yang diatur dengan

undang-undang.20 Pengaturan lebih lanjut mengenai

pencabutan hak atas tanah terdapat di dalam UU No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada diatasnya.
b. Penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya (Keputusan Presiden No. 55
Tahun

1993

Tentang

Pengadaan

Tanah

Bagi Pembangunan

Untuk

Kepentingan Umum yang telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden No.
36 Tahun 2005);
c. Ditelantarkan.
d. Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) tentang subyek hak
milik yaitu larangan kepemilikan tanah dengan status hak milik oleh orang
asing baik melalui pewarisan maupun jual beli ataupun perbuatan hukum
lain yang bertujuan untuk memindahkan hak milik kepada orang asing baik
langsung maupun tidak langsung;
e. Tanah musnah maksudnya tanahnya hilang karena banjir, longsor dan atau
bencana alam lainnya yang menyebabkan tanah tersebut hilang atau musnah.
Sebab-sebab dari jatuhnya tanah hak milik kepada Negara yang disebutkan
dalam Pasal 27 itu kiranya bukan bersifat limitatif, karena kita mengetahui bahwa
masih ada sebab-sebab lain. Hak milik juga hapus dan tanahnya menjadi tanah
Negara jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan landreform
yang mengenai pembatasan maksimum serta larangan pemilikan tanah/pertanian
secara absentee.21 Kepemilikan tanah secara absentee merupakan pemilikan tanah
pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanah
pertanian tersebut. Hal ini dilarang karena pada prinsipnya melanggar asas nasionalitas
19

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm.38.
Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
21
Boedi Harsono, Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunana Nasional, (Makalah:
1990), hlm. 82
20

yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA serta menyimpangi Pasal 10 ayat (1)
UUPA.
Menurut UUPA, seluruh tanah di wilayah negara Republik Indonesia dikuasai
oleh negara. Apabila di atas tanah itu tidak ada hak pihak tertentu maka tanah tersebut
merupakan tanah yang langsung dikuasai negara dan apabila di atas tanah itu terdapat
hak pihak tertentu maka tanah tersebut merupakan tanah hak. Yang disebut tanah
negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolan serta
tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi: 22
a. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya.
b. Tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi.
c. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris.
d. Tanah-tanah yang ditelantarkan.
Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar
mendefinisikan tanah terlantar sebagai tanah yang sudah diberikan hak oleh
negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai
dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.
e. Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum.
Seperti yang kita ketahui, masyarakat di wilayah Kebun Sayur, Ciracas, telah
berada di sana semenjak kisaran tahun 1980. Sebelumnya, wilayah tersebut hanya
merupakan hutan belantara yang tidak dimanfaatkan. Sehingga, sejatinya hal ini
bertentangan dengan fungsi sosial tanah yang di atur oleh UUPA. UUPA anti terhadap
penelantaran tanah (membiarkan tanah menjadi kosong) sehingga jika ditelantarkan
maka akan dicabut/dihapuskan dan dialihkan ke pihak lain, baik untuk jenis hak
milik (Pasal 27), hak guna usaha (Pasal 34), hak guna bangunan (Pasal 40). Hal
ini mengingat bahwa tanah memiliki fungsi sosial (Pasal 6) sehingga pemanfaatan
dan
22

penguasaan

oleh

pihak

lain dimungkinkan.

Di

sinilah

tercermin

bahwa

Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas, 2001),
hlm. 62.

hubungan manusia dengan tanah tidaklah semata-mata hubungan hak kebendaan
(perdata) namun terkandung hak publik (refleksi dari pemahaman atas adat bahwa
kekuasaan dalam urusan tanah terletak dalam komunitas). 23 Hak menguasai negara
atas sumber-sumber agraria/daya alam perlu dibaca ulang sebagai hak yang di
dalamnya

terdapat

mendelegasikan

hak-hak

segenap

warga

negara

yang

mereka

ini

kepada pemerintah untuk mengelolanya. 24 Pun jika mencoba

menginsyafi alas hak yang digunakan oleh PPD berupa PP No. 42 Tahun 2003, maka
dalam rentang waktu 2003-2009 PPD telah melakukan kegiatan penelantaran tanah
yang hal ini, jika kita kembali merujuk ke atas, bertentangan dengan fungsi sosial tanah.
Oleh karena itu, tindakan PPD yang menelantarkan tanah di wilayah Kebun Sayur,
Ciracas, telah menjadi justifikasi bahwasanya hak atas tanah yang dimiliki PPD telah
terhapuskan sebagaimana yang di atur di dalam UUPA.
Di sisi lain, masyarakat yang telah berada di sana semenjak tahun 1980,
seharusnya menjadi pemilik yang sah terhadap tanah yang berada di wilayah tersebut.
Hal ini karena mereka telah memanfaatkan tanah yang telah ditelantarkan tersebut
menjadi tanah yang produktif. Saat ini bahkan wilayah Kebun Sayur, Ciracas tersebut
merupakan salah satu wilayah pemasok sayur yang cukup signifikan di wilayah DKI
Jakarta. Ini berarti bahwa fungsi sosial tanah telah dapat ditranslasikan dengan tepat
dan baik oleh masyarakat yang berada di sana. Pun jika kita mencoba melihat
ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 11 ayat (2) UUPA, yang menyatakan bahwa:
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat
di

mana

perlu

dan

tidak

bertentangan

dengan

kepentingan

nasional

diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan
yang ekonomis lemah.”
Atau

ketentuan

yang

terdapat di

dalam Pasal

15

UUPA,

yang

berbunyi::

”Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang

23

Ahmad Nashih Luthfi, Bahan diskusi di Kunci Cultural Studies Center pada 24 Februari 2012 berjudul Tanah
Kosong: Didefinisikan, Diatur, dan Dipraktikkan dari Masa ke Masa, hlm. 4
24
Ibid, hlm. 7

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak
yang ekonomis lemah.”
Sehingga, ketika satu-satunya pihak yang menjaga dan menjalankan fungsi sosial
tanah tersebut adalah masyarakat, maka masyarakat jelas merupakan pihak yang
harus diutamakan keberadaannya. Dengan kata lain, hak atas tanah yang terdapat di
wilayah tersebut seyogyanya berada di tangan masyarakat.
G. Pihak-Pihak Terkait dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Kebun
Sayur Ciracas
Beban mental, rasa ketidaknyamanan, hingga tak terpenuhinya hak-hak sipil dasar
sebagai warga negara Indonesia agaknya bukan menjadi momok baru bagi warga
Kebun Sayur Ciracas, Jakarta Timur. Kawasan permukiman penduduk yang terletak di
dekat tol Jagorawi tersebut telah ditempati dan dikelola oleh warga Kebun Sayur
Ciracas selama lebih dari dua puluh tahun. Lahan yang dulunya semak belukar, telah
beralih fungsi menjadi lahan produktif yang mana mampu menjadi pencaharian
warganya. Namun, sengketa mengenai hak milik atas tanah Ciracas tak dapat dihindari
ketika Perusahaan Penumpang Djakarta (PPD) kemudian mengklaim kepemilikan
tanah akan Kebun Sayur Ciracas. Klaim tersebut berbekal dasar pembenar PP No. 42
Tahun 2003 dan Surat Komnas HAM No. 2.390/K/PMT/VIII/2009 yang berisi bahwa
tanah yang ditempati warga Kebun Sayur Ciracas adalah milik PPD melalui surat No.
10/RTP/VI/2009.25
Usaha mempertahankan tanah merupakan usaha untuk memperjuangkan
keadilan. Hal ini karena para pemilik maupun penggarap tanah itu menyadari bahwa
mereka punya hak hidup dan hal diperlakukan secara adil. Dalam konteks ini, ada
posisi tawar menawar (bargaining) untuk mencapai keadilan bersama. Apabila terjadi
pembebasan tanah, uang ganti rugipun harus dipikirkan dan diperhitungkan dari aspekaspek yang tidak hanya ekonomis saja. Maka dari itu,

uang ganti rugi harus

diperhitungkan dari kerugian immaterial yang menyangkut makna tanah bagi manusia.
Itu menyangkut: tanah sebagi kawasan lingkungan; tanah sebagai tanah garapan;

25

Berdasarkan data Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiwa Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 2013 yang dipublikasikan pada April 2013.

tanah sebagai pembentuk identitas; dan tanah yang punya keterkaitan sejarah. 26
Namun, dalam sengketa Ciracas tersebut, warga tak memperoleh ganti rugi sebanding
dan justru memperoleh tindakan bersifat intimidasi dari pihak PPD.
Pada dasarnya, tanah mempunyai aspek politik karena tanah adalah bagian
integral wilayah negara. Aspek politik manusia adalah aspek masyarakat sebagai
keseluruhan. Dalam konteks ini, tanah merupakan faktor yang mendukung tindakantindakan yang menyangkut kepentingan umum atau masyarakat. Dalam rangka
kepentingan umum itulah, peran penguasa seharusnya berlaku seadil-adilnya. 27
Pengertian keadilan itu sangat kompleks dan tidak mudah untuk dirumuskan.
Keadilan secara sederhana dapat dikatakan sebagai “memberikan apa yang menjadi
haknya”. Namun, dalam kenyataannya, tidak sesederhana rumusannya. Terdapat tarikmenarik kepentingan.28
Sengketa tanah Ciracas yang tengah bergulir tersebut bukan hanya sengketa
antara warga Ciracas dan PPD. Lebih lanjut, pihak-pihak yang harus turut andil dalam
penyelesaian sengeketa tanah Ciracas tersebut antara lain:
1. Pemerintah Daerah
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang no. 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman bahwa, 29
“Negara bertanggungjawab atas penyelenggaraan perumahan dan permukiman
yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”
Selanjutnya dalam Pasal 19 ayat (2) undang-undang serupa, tercantum bahwa: 30
“Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk
menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki
rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.”

26

Y. W. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, (Yoryakarta: Kanisius, 2004), hlm. 93
Ibid., hlm. 84.
28
Ibid., hlm. 91
29
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
30
Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
tercantum, “Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah
satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat”
27

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam kasus sengketa tanah Ciracas,
pemerintah daerah yang meliputi Walikota Jakarta Timur dan DPRD DKI Jakarta
merupakan elemen yang harus menjadi bagian dari penyelesaian sengketa tersebut.
2. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)
Badan Pertanahan Nasioanal yang selanjutnya disebut BPN RI adalah lembaga
pemerintah nonkementerian yang berada di bawah dan tanggungjawab Presiden. 31
BPN RI mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan
secara nasional, regional, dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.32 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksudkan tersebut, BPN RI
menyelenggarakan fungsi:33
a. penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan, dan kerja
sama di bidang pertanahan:
c. pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI;
d. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan;
e. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
f. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan, dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
g. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dan penetapan hak tanah instansi;
h. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengkajian dan
penanganan sengketa dan perkara pertanahan;
i. pengawasan dan pembinaan fungsional atas pelaksanaan tugas di bidang
pertanahan;
j. pelaksanaan

pengelolaan

data

informasi

lahan

pertanian

pangan

berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
k. pelaksanaan pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
l. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
m. pelaksanaan pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan pengembangan sumber
daya manusia di bidang pertanahan; dan
31

Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1)
Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 2
33
Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 3
32

n. penyelenggaraan dan pelaksanaan fungsi lain di bidang pertanahan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, mengacu pada poin-poin penyelenggaraan fungsi oleh BPN RI
tersebut, maka BPN RI juga merupakan salah satu lembaga yang semestinya turut
berperan langsung dalam upaya penyelesaian sengketa tanah di Ciracas. Upaya
tersebut dilaksanakan melalui Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara
Pertanahan.34

Dalam

upaya

penyelesaian

sengketa

Ciracas,

Deputi

Bidang

Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan dapat menyelenggarakan beberapa
fungsi, antara lain:35
a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa
dan perkara pertanahan;
b. pelaksanaan pengkajian dan pemetaan secara sistematis;
c. penanganan masalah, sengketa, dan perkara pertanahan secara hukum dan
non hukum;
d. penyelenggaraan

dan

pelaksanaan

alternatif

penyelesaian

masalah,

sengketa, dan perkara pertanahan melalui bentuk mediasi; fasilitasi; dan
lainnya;
e. penyelenggaraan dan pelaksaan putusan lembaga peradilan yang berkaitan
dengan pertanahan;
f. pelaksanaan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
peruang-undangan;
g. pelaksaan pengelolaan informasi strategis sengketa perkara pertanahan;
h. pelaksanaan pemberian bantuan hukum; dan
i. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala.
H. Upaya Masyarakat Kebun Sayur dalam Kasus Sengketa Lahan Ciracas
Hingga saat ini kehidupan warga Kebun Sayur Ciracas, RT 05 RW 06 Kelurahan
Ciracas, Jakarta Timur masih jauh dari kata tenang. Kepastian akan status mereka
sebagai penduduk yang secara sah mendiami wilayah tersebut terus dipertanyakan.
Semua bermula dari perseteruan yang terjadi antara warga setempat dengan
34

Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 27 ayat (1) tercantum,
“Deputi Bidang Penanganan Sengketa dan Perkara Pertanahan adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi
BPN RI di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala.”
35
Perpres Nomor 63 Tahun 2013 Tentang Badan Pertanahan Republik Indonesia Pasal 29

Perusahaan Penumpang Djakarta (PPD) tahun 2009 silam. Kala itu, PPD secara tibatiba mengklaim lahan seluas 5,3 hektar tersebut walaupun pihak mereka sama sekali
tidak dapat menunjukkan bukti otentik kepemilikan tanah tersebut. 36 Hal inilah yang
menyebabkan warga Kebun Sayur bersikukuh untuk tidak meninggalkan wilayahnya
yang sudah secara lama ditempatinya. Para warga pun mencoba melawan
kesewenang-wenangan yang terjadi dan melawan pihak PPD melalui sebuah tim yang
merupakan representatif untuk memperjuangkan hak-hak warga hasil dari keputusan
masyarakat setempat. Tim kecil in