Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Mirzan Insani

NIM: 201033200785

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi yang berjudul DINAMKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tanggal 12 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S-1) pada program Study Ilmu Politik.

Jakarta 12 Maret 2010

Sidang Munaqasyah, Ketua Merangkap Anggota,

Wiwik Siti Sadjaroh, MA

NIP. 196902101994032004. Anggota,

Pembimbing,

Dr. Sirojuddin Aly, MA

NIP: 19540605 2001121001

Penguji I Penguji II

Dra. Haniah Hanafie, M,Si Drs. Agus Nugraha, M,Si


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (satu) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 12 Maret 2010

Mirzan Insani


(4)

KATA PENGANTAR

”Ma… jika malam gelap Simpan tangismu dalam sehelai sapu tangan besok pagi jadikan merpati… Menengadahlah pelangi sedang menapak dimuara amarahmu Genggam satu saja kau lempar ke wajah aku.. Ma, bendung air matamu dengan kata-kata Pertama untaikan dalam sajak besok pagi jadikan bait puisi.. Tengoklah hujan sedang menyirami bara risaumu Biarkan melaut untuk menguap kembali menjadi awan”

Syukur terhatur kehadhirat Allah Tuhan yang Maha Ghafur atas segala rakhmat yang meruang dan mewaktu dengan segala ketakziman yang ada. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah ke-haribaan Muhammad SAW, keluargamu, sahabat-sahabatmu, dan siapapun yang mengikutimu, seperti curah hujan atas bumi, seperti pancaran matahari pada semesta raya.

Akhirnya, skripsi ini selesai. Ada proses panjang yang sebelumnya memang harus dilalui. Di sana, penulis mengalami banyak peristiwa dan bertemu dengan nama-nama. Entah kenapa, peristiwa dan nama-nama itu seperti fase-fase yang tanpa terasa membawa penulis pada fase terakhir studi. Kehidupan memang memiliki aturan sendiri yang mungkin lepas dari logika manusia.

Terima kasih penulis haturkan kepada :

1. Dekan, Pembantu Dekan, dan seluruh Bapak serta Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengajaran selama masa belajar penulis.

2. Ibu Wiwik St Syajaroy, MA selaku ketua Jurusan Pemikiran Politik Islam, Bapak Rifki Mukhtar, Ketua Program Ushuluddin dan Filsafat


(5)

3. Bapak Dr. Siradjuddin Ali, MA., selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulisan skripsi ini. 4. Sungkem Sujudku kepada Kedua orang tua tercinta, Bapak Sujono

dan Ma Royanah atas keikhlasan, do’a serta airmata restu mereka. Tanpa keduanya penulis tidak akan berada di dunia dan menjalani kehidupan yang merupakan sekolah yang tidak pernah menawarkan ijazah.

5. Saudara-saudaraku, Kakakku tercinta Mas Aan Raekhan dan Yu Dewi, Adikku Lukman Effendi dan Endang serta sikecil Keyla Zahra Lazuardani sebagai bagian dalam satu niscaya yang tak terpisahkan menuju doa yang sempurna. Tak lupa para Lilik, Budhe, sepupu, Um, Bulik, untuk kerukunan dan remojongannya. Bayu, Tegar (Mas Dang saged Lulus)

6. Teruntuk mata telagaku Juwita Ratna Wulan yang menemani dan banyak membantu menyelesaikan penulisan dan support yang membangun untuk keoptimisan dalam penyelesaian studyku, serta ketabahanmu

7. Untuk doamu kepadaku Rokhana semoga segalanya ada jawaban pangampurane Nok.

8. Bambang Prihadi guruku diteater atas inspirasi kebersahajaannya. 9. Keluarga Besar UKM Teater Syahid dan Lab Teater Syahid banyak

memberikan pembelajaran yang tak ternilai.

10. Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia Daerah Ciputat memperkenalkanku tentang bagaimana menangis yang baik dan bijak.


(6)

11. Saudara sehatiku Mas Kirno, Sub, Agus, Bapa Sakim yang menyelamiku dalam makna yang bernama “diam”

12. Kleng Pablo atas teriakan dan tepukan punggung untuk terus maju menyelesaikan study ini.

13. Keluarga Bani Solikhin Mba Zizah, Mas Untung, Mas Joyo, Mba Endah, tak lupa Bonis atas cita yang sepadan

14. Ozhy Tatu teman diskusi dan layout selama dalam penulisan

15. Kang Gino dan Sokhibi pijakan pertemanan awalku memasuki kota Jakarta dan Studyku di IISIP.

16. Bapak Utomo Dananjaya demikian banyak keakraban tentang memeluk kehidupan yang selalu dianggap hijau.

17. Mas Radhar Pancadahana dan FTI (Federasi Teater Indonesia) atas transfer pengetahuan dalam mencari celah kemungkinan

18. Temen-temen seperjuangan semua kang Aseng tralala, Wong Zdolim, Bang Echo Chotib, Mas Aris, Sir Ilham, Olief, Julung, Jula, Lina, Yuni, Yanche, Alam, Yova, Kancil, Parto, Widi, Akbar, Rendi, Big Dady, Washadi, Welda, Bangkit, Iman, Dimas, Kis, Wilda, Uswah, Dien, dan temen-temen yang tidak saya sebutkan satu persatu. Trimakasih semuanya

12 Maret, 2010.


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… iii-v

DAFTAR ISI……….. vi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……… 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……… 9

D. Metode Penelitian……….. 10

E. Sistematika Penulisan……… 11

BAB II. LATAR BELAKANG PENDIRIAN, PEMBENTUKAN DAN PENGKADERAN A. Keadaaan Umat islam Paska Kemerdekaan……….. 12

B. Motovasi Dasar Pendirian Pelajar Islam ……….. 21

C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia ……… 24

D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan………... 33

E. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia………... 35

F. Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Demokrasi……….. 38

BAB III. KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU A. Setting Politik Orde Baru ………. 41


(8)

A. 1. Politik dalam Masa Peralihan……… 42

B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI………... 43

B. Pengetatan Struktur Politik ……….. 47

C. Implikasi Setting Politik Orde Baru Terhadap Islam……… 50

BAB IV. DINAMIKA HUBUNGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DENGAN PEMERINTAH ORDE BARU A. Undang-undang Keormasan Nomor 8/1985: Puncak Pertentangan………….. 56

B. Umat Islam dan Undang-undang Keormasan………. 62

C. Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia dan Undangundang Keormasan…. 65

D. Pelajar Islam Indonesia Melampaui Batas Akhir dan Tunduk pada Undang-undang Keormasan………. 76

E. Sumbangan Pelajar Islam Indonesia Terhadap Pembangunan Nasional………. 81

E.1. PII dan Gerakan Amal Sholeh………... 82

E.2. PII dan Masa Depan Kepemimpinan Nasional………. 83

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan……… 85

B. Saran-Saran……… 86


(9)

A. Latar Belakang

Umumnya para analis bersepakat, bahwa pasang surut hubungan Islam dengan negara di Orde Baru telah memasuki babak baru sejak pertengahan tahun 1980-an dan makin jelas pada era 1990-an. Afan Gaffar menganggap, fenomena tersebut sebagai fenomena politik akomodasi setelah sebelumnya hubungan itu berada dalam suasana yang antagonistik.1Hubungan yang demikian ini ditandai oleh dua hal. Pertama, di kalangan kekuatan-kekuatan politik Islam, persoalan formalitas ideologi Islam dalam negara tampaknya tidak lagi menjadi ide atau gagasan yang perlu dikedepankan. Gagasan itu adalah mendirikan negara Islam atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tampaknya terjadi perubahan persepsi di kalangan generasi baru Islam. Mereka ini tidak lagi membicarakan bagaimana membangun negara Islam atau bagaimana membangun suatu negara yang menerapkan kaidah-kaidah (syari’ah) politik Islam dalam kehidupan kenegaraan di Indonesia. Perubahan persepsi ini, menurut Afan, tidak dapat dilepaskan dari makin banyaknya kelompok Islam yang terpelajar sebagai salah satu hasil dari pembangunan Orde Baru.2 Kedua, di tingkat kenegaraan, pemerintah tampak melakukan akomodasi terhadap berbagai kepentingan

1

Afan Gaffar, ”Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat” (Ulumul Qur’an, 1993) Vol. IV, hal-2

2

Afan Gaffar, “ Islam Dalam Era Orde Baru, Mencari Bentuk Artikulasi yang Tepat” Vol. IV, hal-2


(10)

(aspirasi) umat Islam. Berbagai indikator dapat ditunjukkan untuk mendukung pernyataan ini:

1). Pada masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, kebijakan pendidikan mulai berubah. Misalnya, pemberlakuan kembali liburan puasa dan pelajar muslimah boleh memakai jilbab di sekolah-sekolah umum/negeri.

2). Pendidikan yang bersesuaian dengan ajaran Islam diakomodasi dalam beberapa pasal Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nsional.

3). Undang-undang tentang peradilan Agama yang mengakui pemberlakuan syari’ah Islam digolongkan dalam Pengadilan Agama di Indonesia.

4). Pengiriman seribu da’i ke berbagai daerah oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila sekaligus dengan pembiayaannya.

5). Pengangkatan berbagai tokoh/intelektuan yang dianggap dekat dengan Islam ke dalam kabinet pemerintah maupun lembaga DPR/MPR.

6). Berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).

Penjelasan terhadap munculnya fenomena akomodasi terhadap Islam oleh Negara ini umumnya dilakukan secara makro. Umat Islam dalam hal ini dipandang sebagai suatu entitas yang keseluruhannya melibatkan diri dalam arus besar gerak politik Orde Baru. Dengan kata lain, berbagai penjelasan mengenai pasang naiknya hubungan Islam dengan Negara sejak pertengahan era 1980-an masih menyisakan satu pertanyaan besar. Pertanyaan itu ialah apakah fenomena politik akomodasi di atas menyentuh kelompok-kelompok yang dianggap berada


(11)

di luar mainstream, baik secara formal maupun substansial? Pertanyaan ini juga menurut penjelasan mengenai bagaimanakah perjalanan dan perkembangan persepsi serta respon kelompok-kelompok Islam terhadap negara.

Dengan demikian, pada dasarnya umat Islam mengambil dua sikap. Sikap utama atau yang menjadi main stream adalah menerima kebijakan tersebut. Sedangkan sikap menolak adalah sikap yang dapat digolongkan sebagai sikap diluar main stream. Lebih tegasnya, sebagai kelompok yang menolak kebijakan itu, Pelajar Islam Indonesia dapat dikatakan telah berada di luar kerangka politik formal Orde Baru.

Selain itu kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengedepankan ide tentang penyeragaman asas bagi segenap organisasi politik dan kemasyarakatan dengan menggunakan asas Pancasila, pertama kali disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan tahunannya pada tanggal 16 Agustus 1982. Untuk organisasi kemasyarakatan, ide ini- setelah melalui berbagai proses-akhirnya diwujudkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan dan diundangkan melalui Lembaran Negara Nomor 2638 tanggal 17 Juni 1985.3 Salah satu pasal dalam Undang-Undang itu mewajibkan setiap organisasi kemasyarakatan agar mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi dan tidak ada asas lain selain itu.4 Setiap organisasi kemasyarakatan ketika itu diberi batas waktu hingga 17 Juni 1987 untuk menyesuaikan asasnya dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri.5

3

Tempo, Nomor 46 Tahun 1988. 4

Undang-Undang Keormasan Nomor 8 Tahun 1985 5

Lihat, Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), Jilid III, hal,922 bandingkan dengan Tempo, Nomer 46 Tahun 1988


(12)

Sejak awal pencetusan ide tentang penyeragaman asas organisasi kemasyarakatan ini, respon atau sikap ini nampak konsisten. Pernyataan-pernyataan resmi PII selama tenggang waktu lima tahun (1982-1987) menunjukan adanya konsistensi ini.

PII merupakan organisasi pelajar tertua yang lahir setelah kemerdekaan Indonesia,6 bergerak di bidang sosial-pendidikan dan dakwah. PII didirikan di Yogyakarta tanggal 4 Mei 1947. Meskipun organisasi ini bernama pelajar, namun yang terhimpun di dalamnya tidak hanya pelajar dalam arti formal. Di PII juga akan ditemui mahasiswa (sarjana dan pascasarjana), juga pemuda-pemuda yang sudah bekerja. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat PII mendefenisikan “pelajar” dalam arti luas dan longgar, mengacu kepada pengertian bahwa belajar itu sepanjang hayat.

Sebagai organisasi yang lahir pada masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, PII telah menunjukan komitmennya yang besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Bahkan pada awal-awal pergerakannya, sesuai dengan konteks ketika itu, gerak PII lebih banyak diwarnai oleh keikutsertaannya- bersama komponen bangsa yang lain- mempertahankan kemerdekaan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat salah satu motivasi berdirinya PII bertolak dari tanggungjawab sebagai organ bangsa yang ketika itu sedang mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan kolonial Belanda dengan agresi militernya.7

6

Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam di Indonesia”, (Jakarta: Departemen Agama, 1993), Jilid III, hlm.922

7


(13)

Pengakuan atas peran PII itu antara lain tercermin dalam amanat almarhum Jendral Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI) pada resepsi hari bangkit (HARBA) I PII, tanggal 4 Mei 1948 :

“Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anak PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara.Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anaku Pelajar Islam Indonesia. Negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”.8

Di samping motivasi kebangsaan, motivasi pertama yang melandasi pendirian PII adalah motivasi yang berasal atau bertitik tolak dari ajaran agama.9 Ayat al-Qur’an yang menjadi rujukan motivasi ini adalah Surat Ali Imran (3) ayat 104 yang memberi isyarat agar ada diantara sekelompok orang (organisasi) Islam yang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Motivasi ini sangat mempengaruhi kepribadian kader-kader PII pada umumnya. Segenap warga PII berkeyakinan bahwa eksistensi organisasi bukanlah sekedar memenuhi social need, melainkan merupakan perangkat fardhu kifayah ( kewajiban secara kelompok) dalam rangka pengembangan dakwah Islam.

Dengan dasar motivasi itu, sebagai organisasi Islam PII telah menunjukan komitmen dan kepedulian yang tinggi dan konsisten kepada Islam. Perjalanan historis PII telah membawanya pada posisi yang dianggap sebagai kelompok kritis (kadang dianggap radikal) dan sangat dekat dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi M. Natsir). M. Rusli Karim menggambarkan PII sebagai organisasi massa-pelajar yang sangat konsisten mengamalkan ajaran Islam dan

8

Documenta Selecta Pelajar Islam Indonesia, PB PII. Telah disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).

9

Tim IAIN Syahid Jakarta, “Ensiklopedi Islam Indonesia” (Jakarta: Djambatan 1992) Jilid I, hal, 759.


(14)

pandangan politiknya sering disamakan dengan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).10 Jadi, tidaklah mengherankan kalau di tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara PII menjadi sangat peduli dan kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah terutama yang menyangkut kepentingan Islam dan umat Islam.

Untuk membahas masalah ini secara nasional setidaknya PII telah melaksanakan empat kali pertemuan. Pembahasan pertama dilakukan dalam Muktamar Nasional ke-16 di Jakarta pada tahun 1983. Pembahasan kedua pada tahun1984 di Jawa Barat lewat acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas). Tahun berikutnya melalui Musyawarah Instruktur Nasional (MIN) di Bandar Lampung. Akhirnya, pada Muktamar Nasional ke-17 tahun 1986,PII tetap mempertegas sikapnya sebagaimana tercermin dalam Pokok-Pokok Pikiran Pengurus Besar (PB) PII tentang penyusunan Undang-undang Keormasan yang merupakan hasil Rapimnas tahun 1984 :

1. Menolak setiap perangkat atau hukum yang secara sengaja atau tidak sengaja akan mengeliminir atau mencoret Islam secara tersirat atau tersurat dari Anggaran Dasar atau perangkat organisasi kemasyarakatan, terutama yang bernafaskan islam.

2. Mengakui Al-Islam sebagai satu-satunya asas bagi berorganisasi kemasyarakatan yang bernafaskan Islam dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.

10


(15)

3. Menolak setiap perangkat aturan atau hukum yang secara birokratis-administratif akan membatasi nilai-nilai Islam.11

Pokok-pokok pikiran tersebut dengan jelas menunjukan analisa dan prediksi PII yang memandang Undang-undang Keormasan sebagai perangkat ideologis pemerintah untuk mengeliminasi Islam dari bumi Indonesia.

Sejak itulah legalitas formal PII sebagai organisasi kemesyarakatan tdak diakui lagi. Sejak itu pula sesungguhnya PII secara kelembagaan telah berada diluar kerangka politik formal Orde Baru. Akan tetapi, di sini pula kita melihat adanya pola hubungan yang unik antara pemerintah Orde Baru dengan PII sebagai salah satu Kelompok Masyarakat. Pengurus dan kader PII sendiri tidak mau menganggap organisasinya ilegal karena terbukti seluruh kegiatan utama mereka dapat tetap dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Mereka menyebut situasi ini “informal”.12 Dengan istilah itu mereka ingin mengatakan, bahwa kegiatan-kegiatan PII tetap berlangsung, meskipun tidak dipublikasikan dan tentu saja mengalami berbagai penurunan baik kualitas maupun kuantitas. Kegiatan terbuka PII yang terakhir sebetulnya adalah muktamar di Surabaya (1-7 Januari 1980).13 Setelah itu, kegiatan PII tidak dipublikasikan. Pada dasarnya pemerintah mengetahui aktivitas PII, tetapi membiarkan saja.14

Ketiadaan legalitas formal ternyata tidaklah mengurangi dinamika di dalam tubuh PII. Pada tahun 1995 melalui Muktamar Nasional PII yang ke-20 di

11

PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan”, Jakarta: Rapimnas, 1984.

12

Lihat, PII, “Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan”, Jakarta: Rapimnas, 1984.

13

PII, Jakarta: Rapimnas, 1984. 14

Keterangan Hartono Mardjono, S.H (ketika itu Wakil Ketua DPA RI ) pada acara “Advanced Leadership Training PII” (Jakarta, Juni 1991)


(16)

Cisalopa, Jawa Barat, PII secara kompak berketetapan hati untuk menerima asas tunggal Pancasila dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri .15

Alasan yang dikemukakan adalah , 1) Pancasila bagi umat Islam dan bsgi PII sudah tidak perlu dipermasalahkan; dan 2) mengingat kondisi obyektif para pelajar (terutama pelajar sekolah menengah umum), maka PII perlu megoptimalisasikan perannya. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa memakai jalur formal.

Sebagai tindak lanjut kesepakatan tersebut, pada tanggal 9 Desember 1996 secara resmi PII mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri sebagai salah satu tahap akhir upaya formalisasinya.16 Untuk mendukung peresmian kembali PII ini, dilakukanlah lobby yang cukup intensif hingga mereka mengantongi rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia, ABRI (sekarang TNI ), dan dari tokoh-tokoh masyarakat.17 Dukungan yang jelas juga diberikan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi.18 Bahkan PII telah pula berkirim surat langsung kepada Soeharto sebagai presiden orde baru di masanya.

Perkembangan PII di era 1980-an dan 1990-an seperti telah diuraikan tersebut dapat menunjukkan dua hal yang masing-masing memuat dua fenomena yang tampak bertentangan. Pertama, pada tahun 1985 PII menyatakan diri menolak pemberlakuan asas tunggal Pancasila, sedangkan sepuluh tahun setelah itu yakni tahun 1995, PII menyatakan sebaliknya. Kedua, pada tahun 1985 alasan PII menolak asas tunggal Pancasila bersifat ideologis, sedangkan tahun1995 saat

15

Hasil Muktamar Nasional ke-20 PII, (Jakarta, 1995). 16

Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997. 17

Suara Merdeka, 4 Mei 1996. Juga Berkas Registrasi PII, Jakarta: PB PII, 1997. 18


(17)

mereka mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri alasannya pragmatis. Kedua fenomena yang tampak bertentangan ini tentunya menarik untuk dikaji. Kemudian, bila diletakkan dalam konteks hubungan Islam dan Negara Indonesia, fenomena PII juga menarik. Pertama, apakah dinamika PII sejalan dengan dinamika hubungan Islam dan Negara ataukah sebaliknya, dan bagaimanakah menjelaskan fenomena yang tampak bertentangan dalam tubuh PII itu? Kedua, apakah politik akomodasi dapat menjelaskan fenomena PII pada satu dasawarsa terakhir ini? Pertanyaan seperti ini akan berimpliksi kepada penjelasan mengenai pola hubungan Negara denagn PII sebagai kelompok yang secara formal berada di luar kerangka politik formal Orde Baru akibat penolakannya terhadap pemberlakuan asas tunggal Pancasila tahun 1985. Ketiga, fenomena upaya PII memformalkan dirinya kembali ini mengingatkan kita pada upaya Masyumi merehabilitasi dirinya pada awal Orde Baru. Meski di sisi lain dalam beberapa hal dapat dibenarkan. Misalnya, dari segi afiliasi politik, PII dikenal dekat dengan Masyumi. Bahkan, PII dikenal sebagai “Masyumi bercelana pendek”.19

Di samping itu, ada perubahan suasana dari yang bersifat antagonistik kepada suasana yang akomodatif dari era 1980-an hingga 1990-an. Kemudian, ada

lobby yang cukup intensif yang dilakukan PII kepada pihak-pihak pemerintah

yang sedang berkuasa. Upya mencermati lobby PII ini akan membawa kita kepada kesimpulan yang menarik tentang peran masyarakat dalam berhubungan dengan negara.

19


(18)

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

Pembatasan dalam penulisan ini berkisar tentang Hubungan dan Pergerakan Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan pemerintahan Orde Baru.

Adapun perumusan masalahnya adalah:

1. Dimanakah posisi PII dalam dinamika hubungan Isalam dan Negara dari tahun 1980 hingga 1995?

2. Mengapa terjadi perubahan sikap PII dari menolak asas tunggal Pancasila pada tahun 1985 menjadi menerima pada tahun 1995.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola hubungan yang terjadi antara negara di era Orde Baru dan PII serta, meletakkan dan menjelaskan posisi PII sebagai kelompok kaum muda Islam yang kritis, di dalam dinamika politik Orde Baru.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi tersebut adalah:

1. Melihat kembali pola hubungan antara negara dan masyarakat di Indonesia yang secara teoritik telah terkonstruksi.

2. Sebagai bahan pelengkap informasi mengenai pergerakan Islam di Indonesia kontemporer, terutama pergerakan kaum mudanya.

D. Metode Penelitian

Data diperoleh melaui studi kepustakaan (library research) sebagai sumbernya yaitu buku-buku, artikel, jurnal, majalah, internet, dan dokumentasi-dokumentasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan, dalam pembahasan Dinamika hubungan dengan pemerintah Orde Baru, wawancara mendalam dengan


(19)

key information. Untuk sumber primer sebagi acuan penulis menggunakan Buku karya Djayadi Hanan “Gerakan Pelajar Islam Dibawah Bayang-Bayang Negara Studi kasus Pelajar Islam Indonesia tahun 1980-1997.

Penelitian ini bersifat kualitatif. Maksudnya, mendekati perjalanan PII dalam setting naturalnya, dan berupaya memahami atau menginterprestasikan fenomena PII sesuai dengan pemaknaan yang diberikannya.20 Data yang digunakan juga bersifat kualitatif. Data kualitatif adalah data yang biasa berbentuk kata-kata, bukan angka-angka.21

Selain itu, untuk pedoman penulisan skripsi ini, berpedoman pada buku

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

E. Sistematika Penulisan

Demi mempermudah penelitian, pembahasan, dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I. Merupakan Pendahuluan yang membahas Latar Belakang, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Methodologi Pembahasan, terakhir Sistematika Penulisan.

Bab II. Menelusuri dan melihat keadaan keadaan umat Islam Indonesia pasca-kemerdekaan hingga lahirnya PII, dan bagaimana PII berkiprah hingga menjadi sangat sering bersentuhan dengan politik.

20

Norman K. Denzin dan Yvonna S. Loncoln,“Entering The Field of Qualitative Research” (Handbook of Qualitative Research, California; SAGE Publication, Inc., 1994), hal, 2.

21

Mathew B. Miles, A. Michael Huberman, “Qualitative Data Analysis” (California: SAGE Publicatyin, Inc., 1996), hal, 1.


(20)

Bab III. Adalah mengkonsepsikan peran dalam setting politik Orde Baru dan bagaimana implikasi setting poltik Orde baru terhadap Islam

Bab IV. Merupakan pandangan atau ide-ide yang berkembang dan dikembangkan di PII berkaitan dengan ideologi, kekuasaan, dan Negara (pemerintahan) serta berbagai proses perkembangannya.


(21)

PENGKADERAN

A. Keadaan Umat Islam Pasca kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, memberikan tiga warisan kepada bangsa Indonesia. Warisan itu adalah keadaan yang ditinggalkan oleh penjajah Belanda selama lebih dari tiga ratus lima puluh tahun, warisan pemerintahan fasis Jepang, dan situasi internal bangsa Indonesia akibat gabungan dari hal tersebut. Bagi Umat Islam, kemerdekaan yang ada memang merupakan hal yang sangat disyukuri dan ditunggu-tunggu. Umat Islam memang memiliki legitimasi historis untuk merasa paling berkepentingan dengan kemerdekaan tersebut:1

1. Sebagian besar wilayah Nusantara dihuni oleh umat Islam dan hamper disemua wilayah yang mayoritas Islam terjadi perlawanan yang sangat gigih terhadap penjajah. Misalnya, perang Aceh, perang di daerah Jawa pada umumnya, perang di Kesultanan Palembang, Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Gowa dan Tallo, Kerajaan di daerah Ternate dan Tidore, dan lain-lain.

2. Ajaran Islam sangat berkepentingan dengan pelaksanaan syariat Islam secara bebas dan diatur oleh orang Islam sendiri. Itu berarti bahwa umat Islam harus memiliki kemerdekaan dan tanah air sendiri yang berdaulat.

1

Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976) hal, 5-7


(22)

3. Para penjajah yang menyengsarakan rakyat jelas-jelas dalam pandangan Islam adalah kafir. Berjuang memerdekakan diri dari orang kafir adalah sebuah jihad yang demikian besar dan mulia.

4. Umat Islam berjumlah mayoritas sehingga apabila kemerdekaan dipandang sebagai penyelesaian terbaik bagi bangsa ini, maka umat Islam-lah yang akan mendapatkan kebaikan yang lebih banyak. Pemahaman yang paling fundamental bagi umat Islam menunjukkan, bahwa penjajah adalah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam dan fitrah manusia. Di manapun dan kapanpun penjajah harus diperangi dan dibasmi.2

Penjajah Belanda yang bercokol demikian lama di Indonesia memiliki kebijakan khusus berkenaan dengan Islam. Hal ini terjadi karena Belanda menyadari sepenuhnya, bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan berarti pengaruh Islam merupakan variable yang tidak boleh dan tidak dapat diabaikan. Pemerintah kolonial Belanda sejak lama sebetulnya sudah mengkhawatirkan kekuatan Islam. Ajaran Islam yang utama dalam kehidupan sosial yakni, amar ma’ruf dan nahiy munkar sangat berdimensi revolusioner.3

Pada dasarnya, dalam setiap agama manapun terlebih Islam mengajak pemeluknya untuk selalu berbuat kebaikan dan memerangi segala bentuk keburukan dan kejahatan dalam hidup. Belanda melihat bahwa Islam-lah yang paling berkepentingan untuk menentang berbagai bentuk eksploitasi yang mereka lakukan terhadap bangsa Indonesia. Dalam perspektif ini, Belanda beranggapan bahwa ajaran Islam pada hakekatnya memang suatu revolusi yakni, revolusi

2

lihat misalnya, Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6-7.

3

Ahmad Adby Darban, “Sejarah Lahirnya Pelajar Islam Indonesia”, (Yogyakarta : Panitia Daerah Muktamar XIV Pelajar Islam Indonesia, 1976), hal, 6.


(23)

dalam menghapuskan dan menentang segala bentuk eksploitasi seperti kapitalisme, imperialisme, komunisme, atau fasisme.4

H. Aqib Suminto5 menyimpulkan, bahwa Belanda melakukan tiga jenis kebijakan politik terhadap Islam; Pertama. Kebijakan netral terhadap agama. Kebijakan ini dalam prakteknya ternyata berbeda. Sampai tahun-tahun terakhir kekuasaannya, pemerintah Belanda lebih banyak campur tanggan terhadap agama. Kesulitan pemerintah Belanda bersikap netral karena politik-identitas antara Islam dan Kristen. Pada umumnya, pemeluk Islam pasti orang bumiputra, sedangkan Kristen pada umumnya dianut juga oleh penjajah.

1. Politik asosiasi kebudayaan. Inti politik ini menghendaki agar di bidang kemasyarakatan bumiputra menyesuaikan diri dengan kebudayaan Belanda. Jalan yang ditempuh adalah melalui asosiasi dan pemanfaatan adat serta asosiasi pendidikan.

2. Memberikan perhatian secara khusus dan serius pada perkembangan paham tarekat dan pan-Islamisme. Bagi Belanda, dua gerakan paham ini sangat potensial untuk menimbulkan fanatisme di kalangan umat Islam. Ketiga kebijakan ini kemudian diadministrasikan oleh kantoor voor

Islandsche zaken, yakni suatu institusi yang berwenang memberikan

nasihat kepada pemerintah dalam masalah-masalah bumiputra.6

Sementara itu, menurut Adaby Darban inti kebijakan pemerintah kolonial Belanda adalah melakukan usaha-usaha untuk menghalangi perkembangan dan

4

Mohammat Natsir, “Capita Selecta”, (Jakarta : Pustaka Pendis, 1957) hal, 23. 5

H. Aqib Suminto, “Politik Islam Hindia Belanda”, (Jakarta : LP3ES, 1986) hal, 19. 6


(24)

kebangkitan agama Islam dengan cara yang halus. Kebijakan ini ditempuh dengan melakukan beberapa hal sebagai berikut:7

1. “Kristening politik’” yaitu, suatu usaha untuk melemahkan kekuatan

bumiputra dengan jalan memasukkan pengaruh agama lain dari tanah jajahan. Menurut Stoddard,8 tindakan seperti ini dilaksanakan dengan menggunakan kesucian agama untuk kepentingan busuk kolonialisme di Indonesia. Hal ini dilakukan Belanda pada masa kekuasaan Gubernur Jendral Idenburg. Pada masa inilah politik pengkristenan terhadap seluruh penduduk Nusantara dilakukan sedikit demi sedikit secara teratur dan terencana. Stoddard menambahkan, bahwa politik ini pada intinya bukanlah untuk memperkuat kekuasaan penjajah di bumi Nusantara dalam waktu selama mungkin. Politik model ini memang memungkinkan bila mengingat perimbangan kekuatan penjajah yang kalah terhadap mayoritas umat Islam. Atas dasar itu, maka pemerintah Kolonial Belanda memberikan bantuan pembinaan dan pengembangan agama Kristen. Melalui restu Ratu Belanda sejak tahun 1901, dibukalah Zending Kristen untuk beroperasi di Indonesia. Tindak lanjut dari hal ini adalah dengan mendirikan sekolah-sekolah Kristen. Sekolah-sekolah Kristen inilah yang memberikan andil yang cukup besar dalam menyokong perkembangan agama Kristen di Indonesia, dan terutama dalam menyuksekan politik pemerintah Kolonial Belanda.

7

Bandingkan dengan, Drs. H. Ahmad Adaby Darban, S. U, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” dalam HM. Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 229-239.

8


(25)

2. Politik-asosiasi (associatie politik), yakni politik untuk menghubungkan antara dunia Barat dan Timur. Dengan politik ini diharapkan kebudayaan Barat akan mudah masuk ke Nusantara. Implikasi berikutnya tentu akan membuat Belanda makin lama bercokol di Nusantara karena pengaruh kedekatan kabudayaan tersebut. Politik ini dilaksanakan dengan mengambil sebagian dari bumiputera untuk dididik dengan kehidupan dan gaya budaya Barat. Selanjutnya, kelompok ini akan dijadikan sebagai pegawai pemerintah atau orang-orang yang memegang kekuasaan guna membantu pemerintah kolonial.9

Tokoh utama politik-asosiasi ini adalah Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang paham agama Islam. Melalui pendidikan, para pelajar diupayakan untuk mulai jauh dan terpisah dari ajaran agama mereka. Juga diupayakan agar para pelajar tidak akrab dengan nilai-nilai patriotisme. Kecintaan akan segala hal yang berbau dan berpola Barat sangat ditanamkan, khususnya yang berhubungan dengan Belanda. Dalam hal ini, Belanda menundukkan kaum bumiputera yang mayoritas umat Islam.

Sementara itu, penjajahan Jepang selama sekitar tiga setengah tahun juga meninggalkan berbagai persoalan yang banyak menimpa umat Islam pasca-kemerdekaan. Pemerintah Jepang memang datang dengan mulut manis dan janji-janji yang menyejukkan bagi bangsa Indonesia ketika itu. Pendaratan Jepang pada tanggal 1 Maret 1942 yang disusul dengan penyerahan kedaulatan dari Gubernur Jenderal Garda van Starkenborgh Stachhouwern, kepada Jenderal Imamura pada 8 Maret 1942 mulanya disambut dengan antusias oleh bangsa Indonesia. Dengan

9


(26)

semboyan Tiga A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia, dan Nippon Pelindung Asia), Jepang segera menarik simpati sebagian besar masyarakat

bumiputra.10

Dalam perjalanan selanjutnya, simpati masyarakat kapada Jepang itu semakin memudar hingga akhirnya berbalik manjadi antipati. Ada tiga langkah dan kebijakan yang dibuat Jepang hingga membuat rakyat menarik simpatinya kembali.

1. Segera setelah berkuasa, Jepang memaksakan kehendak untuk mengubah segala corak kebudayaan rakyat Indonesia. Semua sekolah harus bercorak Jepang dan menghimbau PII untuk mematuhi akan larangan melanjutkan segala bentuk kegiatannya. Pemuda dan pelajar dididik secara militer. Mereka ini kemudian dimobolisasi ke dalam berbagai barisan militer seperti Seinendan (untuk remaja), Keibondan (untuk pemuda), Fujinkai

(untuk pemudi), dan Hanco (untuk kalangan dewasa). Ringkasnya,semua diberi corak Jepang.

2. Jepang melaksanakan kerja paksa (romusha) dan menjerat kaum perempuan Indonesia menjadi budak seks (jugun ianfu) bagi tentara Jepang. Di zaman Belanda, rakyat mengenal kerja rodi yang juga merupakan kerja paksa. Para romusha ditempatkan di berbagai pangkalan militer dan kubu-kubu pertahanan. Untuk menghadapi perlawanan rakyat, maka dibentuk Kempei Tai (Polisi Militer) yang sangat terkenal sebagai algojo-algojo Jepang super kejam.

10


(27)

3. Jepang mewajibkan kepada setiap rakyat Indonesia untuk melakukan sekere yakni penyembahan Tenno Heika (Kaisar Jepang) setiap pagi dengan cara menghadap ke arah negeri Jepang. Secara aqidah, umat Islam tidak dapat menerima hal itu karena sama dengan mengantarkan orang untuk cenderung berbuat musyrik, yaitu salah satu dosa besar yang ada dalam ajaran Islam.11

Selain ketiga perilaku kejam yang telah dilakukan Jepang, masih ditambah lagi dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 3 Pemerintah Bala Tentara Jepang. Undang-undang ini berisi larangan terhadap segala pembicaraan dan pergerakan, serta anjuran yang bersifat propaganda.

Melihat perilaku Jepang yang semula memberi harapan ini, akhirnya rakyat Indonesia-terutama umat Islam berkesimpulan, bahwa bangsa berkulit kuning ini tidak kalah jahatnya dengan bangsa penjajah terdahulu. Bahkan, terkesan lebih biadab. Inilah yang menyebabkan rakyat menjadi sangat antipati terhadap Jepang.

Apa yang dilakukan Belanda dan Jepang terhadap Indonesia itu menghasilkan reaksi yang sama dari umat Islam. Dengan semangat amar-ma’ruf

nahiy munkar umat Islam bangkit sekalipun harus bergerilya dengan segala

tantangan dan kesulitan. Di sini ada anggapan, bahwa pembinaan agama Islam menjadi factor yang sangat penting hingga kemudian bangsa Indonesia dan umat Islam memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945.12

11

Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” (Jakarta : Bulan Bintang, 1997), hal, 231-239.

12

Natsir Zubaidi dan Lukman Fathullah Rais, S.H, “Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa” hal, 229-239.


(28)

Secara internal, di kalangan umat Islam sendiri ada berbagai masalah serius yang harus diselesaikan. Perjuangan umat Islam di Indonesia telah sejak lama dilakukan. Terutama perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu kedua bangsa penjajah yang bercokol sangat lama. Perjuangan umat Islam terutama dalam kaitannya dengan keberadaan Islam sebagai komunitas politik mulai menghebat sejak awal abad ke-20 dengan munculnya berbagai organisasi. M. Rusli Karim13 membagi perjuangan itu kedalam era sebelum dan sesudah merdeka. Pada era sebelum merdeka terdapat tiga jenis organisasi Islam yakni;

1) Syarikat Islam. 2) Muhammadiyah dan 3) Nahdlatul Ulama.

Di samping itu, keberadaan organisasi ini digolongkan sebagai fase awal perjuangan umat Islam. Selanjutnya, perjuangan umat memasuki fase ideologis yakni, saat adanya elaborasi berbagai pandangan tentang Negara Islam dan perjuangan idoelogis pada masa pendudukan Jepang. Fase perjuangan ideologis ini menurut M. Rusli Karim, berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka yang dapat dibagi ke dalam tahap:14

1) Perjuangan tahun 1945.

2) Perjuangan pada fase demokrasi liberal. 3) Perjuangan pada fase demokrasi terpimpin.

4) Perjuangan-perjuangan setelah atau pascademokrasi terpimpin.

Polemik ini memunculkan pola-pola perjuangan yang diidentifikasikan oleh M. Rusli Karim menurutnya, itu tidak lepas dari adanya berbagai perbedaan

13

M. Rusli Karim, HMI MPO “Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1997), hal, 53-54.

14


(29)

pandangan dan pengalaman di kalangan umat Islam. Perbedaan itu umumnya berkenaan dengan masalah khilafiyah yang sering kali dibesar-besarkan.15 Tidak jarang justru membawa perpecahan. Seperti telah diuraikan di muka, Belanda dengan strategi polotiknya berhasil memperbesar perbedaan dan perpecahan itu. Bahkan, memelihara dan meningkatkan intensitasnya.

Sisi lain, umat Islam yang telah terpecah-belah dikemudian hari berupaya untuk bersatu. Dan gagasan ini mewujud pada tanggal 21 September 1937 dengan terbentuknya Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI). Akan tetapi, MIAI ini tidak berumur panjang karena para anggotanya tidak kompak atau menyatu.

Dengan konteks ini keberadaan umat Islam yang telah diuraikan di atas, maka umat Islam pasca kemerdkaan menghadapi keadaan sebagai berikut:

1) Umat Islam tetap terpecah-belah ke dalam berbagai organisasi dan golongan berdasarkan kategori mazhab atau aliran tertentu.

2) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya harus bersiap-siap menghadapi kembalinya para penjajah ke tanah air melalui berbagai cara. Padahal, tugas berat dan utama yang harus segera diselesaikan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka adalah menyiapkan pengelolaan Negara secara politis maupun secara social dan administratif.16

3) Bangsa Indonesia umumnya dan umat Islam khususnya belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengelola Negara. Keadaan ini terutama

15

Lihat Habibullah,”Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah” makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986).

16


(30)

disebabkan oleh kondisi pendidikan bangsa Indonesia yang masih sangat memprihatinkan.17

B. Motivasi Dasar Pendirian Pelajar Islam Indonesia

Dengan dilatarbelakangi keadaan bangsa sebelum kemerdekaan, pendirian organisasi Pelajar Islam Indonesia dimotivasi oleh dua hal.

1) Motivasi ke-Islam-an. 2) Motivasi Kebangsaan.

Adapun, kebijakan politik Belanda dan Jepang terhadap umat Islam dan bangsa Indonesia sangat berpengaruh kepada generasi muda, utamanya para pelajar. Akibat politik-asosiasi, misalnya, banyak pelajar Indonesia yang mendapat pendidikan kurikulum Belanda. Terdapat perbedaaan antara pelajar didikan Belanda dengan pelajar hasil didikan Tradisional di Indonesia yang mengutamakan pendidikan Pesantren. Para pelajar didikan Barat umumnya memiliki pandangan dunia yang lebih luas (rasional) terutama berkenaan dengan dunia Barat. Di samping itu, mereka juga cenderung banyak meniru Barat dalam pola hidup maupun budaya pribadi, seperti terlihat pada cara berpakaian, bersikap, dan tingkah laku sehari-hari. Umumnya, pandangan dan rasa keagamaannya terkikis seiring dengan perubahan cara berfikir dan cara menyikapi agama. Bagi

17

Lihat habibullah, makalah pra-skripsi untuk fakultas Adab IAIN (Jakarta, Desember 1986).

dan bandingkan dengan, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” (Yogyakarta: PB PII & UII Press, 2006) hal, 54.


(31)

mereka, hidup haruslah diorientasikan pada dunia, bukan pada Tuhan (religion) yang hanya berorientasi pada akhirat.18

Terdapat sisi positifnya yang dapat diambil dari hasil pendidikan Barat, misalnya pada metode penggunaan gaya modern, misalnya memakai kurikulum dan kelas. Metode ini dapat memberikan keteraturan dan kedinamisan. Sementara sisi negatifnya terletak pada kemerosotan rasa patriotisme dan masuknya paham sekularisme ke dalam pikiran para pelajarnya. Dari sisi pekerjaan, umumnya pelajar hasil pendidikan gaya Belanda ini menjadi pegawai rendahan pada pemerintah kolonial Belanda. Keadaan seperti ini tentu saja akan mengancam perkembangan bangsa dan umat Islam ke depan.19

Di satu sisi, untuk mempertemukan dan menyatukan kedua kutub pelajar, agar terjalin keharmonisan antara keduanya sebagai sesama Muslim. Atas dasar ini yang menjadi salah satu latar belakang pendirian organisasi Pelajar Islam Indonesia.

Sementera itu, pada zaman Jepang, akibat adanya tekanan-tekanan terhadap kemurnian aqidah oleh pemerintahan Jepang (terutama karena adanya keharusan melakukan sekerei sebagai keinginan Jepang), maka umat Islam pun menggencarkan pendalaman aqidah bagi para pelajar Islam. Gerakan ini dilakukan terutama di kampung-kampung dan di sekolah-sekolah melalui pendidikan agama dan pelaksanaan shalat fardhu secara barjamaah. Adanya aktivitas keagamaan di sekolah inilah yang turut memberikan andil bagi

18

Seperti dituturkan Amin Syahri kepada Bapak Ahmad Adaby Darban, tanggal 11 September 1975 di Kompleks Mu’allimin Jalan Patangpuluhan. Lihat Ahmad Adaby Darban, “Refleksi Kilas Balik Berdirinya PII” hal, 11.

19


(32)

kelancaran dan keberhasilan ide pendirian PII.20 Akan tetapi, ada hal yang berhubungan langsung sebagai latar belakang berdirinya PII, yakni berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).21 Sejak HMI didirikan pada 5 Februari 1947, Anton Timur diminta oleh Lafran Pane (pendiri HMI) menjadi Sekretaris Jendral hingga Kongres I. Anggota-anggota HMI umumnya menempuh pendidikan menengah pada zaman Belanda. Dengan demikian, mereka lebih memiliki dasar-dasar tradisi akademik dari pada para santri. Mereka lebih siap masuk ke Perguruan Tinggi Umum daripada ke Perguruan Tinggi Islam. Dari HMI inilah Anton Timur, sebagai Pendiri PII mengaku memperoleh tradisi berpikir akademik yang kemudian dapat digunakan sebagai pisau analisis. Ia pun merasa lebih terarah dalam memahami pesan-pesan al-Qur’an.22

Dari uraian di atas, terlihat bahwa motivasi ke-Islam-an yang mendorong pendirian PII didasari oleh keprihatinan terhadap keadaan umat Islam, yang bila dibiarkan seperti saat itu akan mengalami kebekuan. Sementar itu, motivasi kebangsaan muncul dari keprihatinan para pendiri PII terhadap nasib bangsa Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan yang sangat lama. Dalam jangka pendek dan panjang, menurut mereka, bangsa ini pasti memerlukan wadah yang dapat menjadi penjaga keutuhannya sekaligus penyedia kader-kader pengganti para pimpinannya.

20

Seperti dituturkan oleh Anton Timur Djaelani dalam wawancara pada tanggal 30 April 1997, di Kramat Raya Nomor 9 Jakarta Pusat.

21

Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.

22


(33)

C. Proses Pendirian Pelajar Islam Indonesia

Pada tanggal 25 Februari 1947, Yoesdi Ghozali sedang beri’tikaf di Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Ketika itu, dalam pikirannya terlintas gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam yang saat itu belum terkoordinasi. Gagasan tersebut disampaikannya kepada kawan-kawannya saat pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Sekodiningratan, Yogyakarta. Selain Yoesdi Ghozali, hadir juga Anton Timur Djaelani, Amin Syahri, Ibrahim Zarkasyi, dan Noersyaf. Semua yang hadir ini sepakat untuk mendirikan organisasi Pelajar Islam.23

Di sisi lain, dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret hingga 1 April 1947, Yoesdi Ghozali mengemukakan gagasan tersebut kepada para peserta kongres. Setelah melalui proses perdebatan karena perbedaan pandangan, akhirnya peserta yang menyetujui ide ini lebih banyak. Oleh karena itu, kongres kemudian memutuskan untuk melepas GPII sayap pelajar guna bergabung ke organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan Kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memperlancar berdirinya organisasi khusus Pelajar Islam.24

Kemudian, Ahad tanggal 4 Mei 1947 digelar pertemuan di kantor GPII, jalan Margomulyo No. 8 Yogyakarta. Dalam pertemuan itu hadir Anton Timur Djaelani dan Amin Syahri mewakili GPII sayap pelajar yang siap untuk dilebur ke dalam organisasi Pelajar Islam yang akan dibentuk. Di sana juga telah hadir Yoesdi Ghozali, Ibrahim Zarkasyi, dan wakil-wakil organisasi Pelajar Islam lokal yang telah ada. Mereka adalah Yahya Ubeid dari persatuan Pelajar Islam

23

Lihat, Lihat misalnya, Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 57.

24


(34)

Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari penggabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERSIKEM) Surakarta, serta Dida Gursida dan Supomo NA dari perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itulah diputuskan berdirinya organisasi

Pelajar Islam Indonesia (PII). Tepatnya pada pukul 10.00 WIB tanggal 4 Mei

1947.25

Dalam pertemuan anggota GPII, maka ditetapkan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) PII. Juga ditetapkan susunan pengurus Besar PII periode pertama, yang terdiri atas Yoesdi Ghozali sebagai ketua umum, Thoha Mashudi sebagai Wakil I, Mansur Ali sebagai Wakil II, Ibrahim Zarkasyi sebagai Sekretaris Jenderal, Karnoto sebagai Bendahara, Amin Syahri sebagai Bagian Pendidikan, dan Anton Timur Djaelani sebagai penanggung jawab Bagian Penerangan.26

Yoesdi Ghozali sebagai penggagas berdirinya PII ternyata juga telah menyiapkan lambing organisasi ini.27 Usulan Yoesdi Ghozali pun langsung disetujui oleh peserta yang hadir dalam pertemuan itu tanpa memerlukan perdebatan panjang. Demikianlah tampaknya dunia pelajar. Sedangkan hadirin yang lebih tua, termasuk Anton Timur Djaelani yang saat itu telah menjadi mahasiswa juga menyetujui.

25

Djayadi Hanan, “Gerakan Pelajar Islam di bawah Bayang-bayang Negara” hal, 58-60 26

Muzakkir, “Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia” (Yogyakarta, 1979), hal, 55.

27

Lihat juga HM Joesdi Ghozali, S.H., “Dunia Pelajar Islam Indonesia”; “Dasa Warsa PII”; dan Lagu-lagu PII,” dalam Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 19-34; 114-115; 116-120.


(35)

Lambang PII ketika itu terdiri dari warna hijau yang menunjukkan, bahwa dalam mencapai cita-citanya, Islam dijadikan sebagai lambing perdamaian. Lalu, ada warna biru yang melambangkan kesetiaan PII kepada cita-citanya itu. Warna merah putih menunjukkan lambing kebangsaan Indonesia. Bulan-bintang menunjukan ketinggian Islam sebagai cita-cita yang diperjuangkan PII, dan kubah yang tinggi membumbung dengan lengkungan membusung melambangkan keagungan dan kebesaran Islam. Jadi, lambing PII itu berupa bangunan yang menunjukkan bahwa PII mendirikan organisasinya di atas landasan yang kokoh-kuat. Intinya, lambing PII itu merupakan implikasi dari motivasi dan orientasi pendiriannya.28

Pada dasarnya, orientasi awal berdirinya PII bersifat jangka panjang di didang pendidikan dan kebudayaan. Akan tetapi, segera setelah berdirinya organisasi ini langsung menghadapi kenyataan lain. Bersama komponen umat Islam dan bangsa Indonesia lainnya PII harus ikut terjun kedalam revolusi fisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Pada sisi lain, berdirinya PII mendapatkan reaksi dan IPI (Ikatan Pelajar Indonesia), yaitu organisasi pelajar yang bersifat umum dan telah ada sebelumnya. Mereka menilai bahwa pendirian PII akan menimbulkan perpecahan dikalangan pelajar. Oleh karena itu, diadakanlah pertemuan antara Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) pada tanggal 9 Juni 1947 di Gedung Asrama Teknik Jalan Malioboro, Yogyakarta. Hasil pertemuan ini dituangkan dalam “Piagam Malioboro” yang isinya antara lain tentang pengakuan hak hidup PII oleh IPI. Penandatanganan piagam tersebut adalah Sekjen PB IPI Busono

28

Moh Husnie Thamrin dan Ma’roov (eds.), “Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia” (Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998), hal, 116-120.


(36)

Wiwoho dan Sekjen PB PII Ibrahim Zarkasy. Selanjutnya, di mana ada IPI, maka di situ akan didirikan PII. Keberadaan IPI ketika itu sudah terdapat di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di semua sekolah menengah. Anggota IPI yang beragama Islam Kemudian membantu berdirinya PII. Sebaliknya, PII juga bersedia bekerjasama dengan IPI dalam masalah yang bisa dikerjakan secara kolektif dan bersifat nasional. Dalam perjalanan kedua organisasi itu kemudian terlihat perkembangan yang menunjukkan kemajuan PII lebih pesat daripada IPI. IPI kemdian berubah nama menjadi IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan lebih berorientasi pada soal kepemudaan hingga belakangan mulai terpengaruh paham komunis. Atas dasar itu, PII tidak lagi melanjutkan kerjasama dengan IPPI, terutama sejak dipimpin oleh Suyono Atmo.29

PII selanjutnya melakukan konsolidasi. Guna menggalang persatuan seluruh elemen anggota dalam organisasinya, PII menyelenggarakan Kongres I di Solo pada tanggl 14-16 Juli1947. Hair antara lain utusan dari Jakarta, Aceh,dan beberapa daerah di Pulau Jawa. Keputusan pentingnya adalah pengesahan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), dan pemilihan Pengurus Besar PB (PII). Susunan pengurus besar yang terpilih adalah Noersyaf (Ketua Umum), Yoesdi Ghozali (Ketua I), Tedjaningsih (Ketua II), Ibrahim Zarkasy (Sekretaris Jenderal), Karnoto (Bendahara), Anton Timur Djaelani (Bagian Penerangan), dan Amin Syahri (Bagian Pendidikan).

Selang beberapa hari setelah Kongres PII digelar, terjadi agresi militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947. Republik Indonesia yang baru berusia dua tahun, kembali harus menghadapi penjajahan Belanda. Akibatnya, PB PII tidak dapat

29

Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.


(37)

melanjutkan konsolidasi kepengurusannya. Ketua umum PB PII Noorsyaf pulang ke Bandung untuk bergerilya. Pengurus-pengurus PII yang lain juga pulang kampung untuk melakukan hal yang sama. Anggota-anggota PII pun banyak yang bergabung ke Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Tentara Pelajar, Mujahidin, Angkatan Perang Sabil dan sebagainya. Kesemuanya dimaksudkan untuk membantu perjuangan untuk mengusir tentara Belanda. Kondisi inilah yang menandai perubahan model perjuangan PII dari model perjuangan yang menggunakan pena menjadi model perjuangan yang menggunakan bedil di medan tempur.30

Di satu sisi, keikutsertaan PII dalam revolusi fisik ini menunjukkan, bahwa PII adalah organisasi pelajar yang lahir dalam kobaran api revolusi. Pena dan bangku sekolah ditinggalkan sementara dan beralih ke pemanggulan senjata untuk mempertahankan kemerdekaan.

Namun, perubahan cara berjuang yang dipengaruhi oleh situasi nasional ini melatarbelakangi terbentuknya Brigade PII. Keputusannya ditetapkan dalam konferensi Besar I tanggal 4-6 November 1947 di Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.31 Konferensi ini diselenggarakan untuk meninjau ulang beberapa program PII hasil kongres I beberapa bulan sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan pertahanan Negara. Konferensi Besar I inilah yang terkenal sebagai konferensi perjuangan dengan acara pokok “sumbangan PII dalam pertahanan dan pembelaan nagara”. Peserta yang menghadiri konferensi terbatas ini hanyalah daerah-daerah yang secara de Facto di kuasai Republik Indonesia. Keputusan penting Konferensi Besar I adalah membentuk sayap bersenjata dalam organisasi

30

Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V di Kediri, Kedai PII (Ngabean, Yogyakarta), hal, 9. 31

Lihat HA. Halim MA Tuasikal,” Sejarah PII Dari Kongres Ke Kongres,” majalah Berita Pelajar Islam Indonesia, (Tahun II Nomor 1, Januari 1956).


(38)

PII dan dinamakan Brigade PII. Komandannya yang pertama adalah Abdul Fatah Permana dan dibantu oleh beberapa orang staf. Fungsi Brigade PII adalah untuk menyalurkan “bakat ketentaraan” anggota-anggota PII. Anggota-anggota PII yang sebelumnya berada di kesatuan Tentara Republik Indonesia, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, dan lain-lain, diminta untuk menggabungkan diri dari kesatuan Brigade PII. Tugas mereka adalah melakukan fungsi-fungsi brigade dan berhubungan dengan pemerintah melalui Biro Perjuangan Kementrian Pertahanan.

Meskipun, PII telah berpengalaman menghadapi Agresi Militer I Belanda, namun ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II, PB PII tetap kalang kabut juga. Satu sisi, saat pembentukan pemerintah Darurat R.I. di sumatera pimpinan Mr. Syarifuddin Prawiranegara, PB PII juga membentuk pimpinan darurat di Sewugalur, Kulon Progo, Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena Gedung Kamar Bola sebelah timur kantor PB PII dibakar. Untuk pengamanan organisasi, dokumen-dokumen PII juga dibakar, sedangkan anggota-anggota PB PII ikut bergerilya ke pelosok-pelosok daerah mengikuti Panglima Besar Jenderal Soedirman. A. Fatah Permana (Komandan Brigade PII) dan Anwar Haryono (Gerakan Pemuda Islam Indonesia/GPII) saat itu telah menjai kurir Jenderal Soedirman.32 Meski demikian, Jenderal Soedirman telah menjadi bagian dalam salah satu saksi sekaligus pemberi legitimasi keterlibatan PII dalam pergerakan dan perjuangan kemerdekaan bangsa.

32

Penghargaan dan rasa terima kasih Paak Dirman atas partisipasi PII ini diilustrasikan oleh ucapan Pak Dirman pada hari ulang tahun PII yang pertama. Ucapan itu berbunyai : “Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII. Sebab saya tahu, bahwa telah banyak korban yang diberikan PII kepada Negara. Teruskanlah perjuanganmu, hai anak-anakku PII. Negara kita adalah Negara baru, yang didalamnya penuh onak dan duri. Kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”. Lihat Yoesdi Ghozali, “ Tiga Tahun Berorganisasi,” artikel lepas, (Yogyakarta, 1950), hal, 5.


(39)

Keterlibatan PII dalam pergulatan politik bangsa Indonesia kembali intensif ketika terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Bagi PII, tindakan PKI ini merupakan tikaman dari belakang pada saat bangsa Inonesia sedang sibuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda. Dengan demikian, PII ikut terpanggil menumpas pemberontakan PKI ini. Komandan Brigade PII madiun, Suryosugito33 adalah yang gugur sebelim pasukan TNI Divisi Siliwangi tiba.

Di bagian lain, pada tanggal 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta dilangsungkan Kongres Muslimin Indonesia. Kongres ini adalah kongres ke-15 umat Islam. Empat belas kongres sebelumnya dilaksanakan pada zaman Belanda. Kongres ini berhasil membentuk Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI)34 yang bersifat federatif. Terpilih Gaffar Ismail sebagai Sekretaris Jenderal dan Anwar Haryono serta Wali Al-Fattah sebagai wakil. Yoesdi Ghozali (PII) juga aktif dalam BKMI ini. Akan tetapi, perkembangan politik berikutnya tidak memungkinkan BKMI ini dapat eksis lebih lama.

Berkaitan dengan Kongres Musllimin Indonesia di atas, PII telah mengadakan kongres pendahuluan pada tanggal 21-23 Desember 1949 di tempat yang sama dan dihadiri oleh utusan berbagai daerah. Lalu, dalam Kongres Muslimin Indonesia itu PII mengambil peran penting dengan mencetuskan Panca Cita yang berisi lima butir pernyataan tekad dan keyakinan yakni;

1) Partai Politik Islam hanya satu yaitu Masyumi

33

Pengakuan Peran PII dalam menghadapi PKI di Madiun Affar ini juga diberikan oleh Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution. Lihat A.H. Nasution, “Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal,” artikel yang ditulis untuk penerbitan buku Sejarah PII, 27 Juni 1997.

34

Taufik Ismail, “ Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965.” Artikel untuk penerbitan buku Lima Puluh Tahun PII, 1998, hlm.3.


(40)

2) Organisasi Pemuda Islam hanya satu yaitu GPII 3) Organisasi Mahasiswa Islam hanya satu yaitu HMI 4) Organisasi Pelajar Islam hanya satu yaitu PII

5) Organisasi Pemandu Islam hanya satu yaitu Pandu Islam Indonesia.35 Dalam Panca Cita ini kemudian menjadi semacam ikatan moral yang sangat kuat dan menjadi salah satu dasar pemersatu berbagai komponen umat Islam untuk bergerak di segala arena. Dalam perkembangan berikutnya, pada Kongres VIII PII di Cirebon tanggal 20-25 Juli 1960, disepakati pula satu keputusan penting berkaitan dengan formulasi tujuan PII. Semula tujuan PII berbunyi,“kesempurnaan pendidikan dan kebudayaan yang sesuai dengan Islam”. Di samping itu ditambah dengan kata-kata “dan umat manusia”.36

Pada masa kepengurusan PB PII periode Kongres inilah tekanan-tekanan dari situasi politik eksternal seperti dari penguasa rezim Demokrasi Terpimpin mulai menguat. Ketika tekanan-tekanan dan intimidasi yang dialami PII dari rezim Demokrasi Terpimpin itu makin lama makin keras, maka pada tanggal 4 September 1963 PII masuk Front Nasional dan mengurus Moh. Husnie Thamrin sebagai wakilnya. Situasi politik eksternal di atas justru mendorong PII untuk menegaskan jatidirinya sebagai organisasi perjuangan. Lantas, pada Konferensi Besar VI PII di Jakarta (Juli 1961) tercetuslah Ikrar Jakarta yang menyatakan secara tegas bahwa “PII adalah mata rantai perjuangan umat Islam Indonesia”.37

Situasi politik eksternal PII yang dimaksud adalah makin luas dan kokohnya dominasi PKI dalam berbagai sektor kehidupan social politik

35

____ “Berita Pelajar Islam Indonesia” (Januari 1956), hal, 20. 36

___ “Berita Pelajar Islam Indonesia” PB PII Bagian Penerangan, 1960, hal, 5. 37

Lihat Sri Syamsiar Issom, Korps PII Wati, “ Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan Situasi,” makalah untuk penulisan Sejarah PII, (Jakarta, 31 Maret 1998).


(41)

masyarakat. Dengan dilatarbelakangi hal ini dan situasi intern PII ketika itu, maka PB PII periode Ahmad Djuwaeni (hasil Muktamar IX di Medan tahun 1962) mengeluarkan Khittah Perjuangan PII. Khittah ini memberikan semacam rambu-rambu agar garis perjuangan yang dilakukan PII kian jelas karena bersifat jangka panjang, sementara pengurusnya selalu berganti-ganti sesuai batas periode kepengurusan.38

Pada Konferensi Besar VII PII tanggal 13-18 Oktober 1963 di Bandung, PII secara nasional sepakat menolak Manifesto Politik (manipol) yang menjadi garis politik pemerintah karena bertentangan dengan Islam dan berorientasi paham komunis. Sikap-sikap dan kebijakan-kebijakan PII terhadap rezim ketika itu makin memperluas jurang perbedaan antara PII dengan pemerintah.39

Hal-hal ini yang kemudian mengantarkan PII ke peran yang lebih besar dalam menumbangkan Orde Lama. Dengan demikian, bagi Pelajar Islam Indonesia (PII), kewajiban pelajar itu tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu duniawi

(umum), tetapi juga ilmu-ilmu ukhrowi. Atau, ilmu-ilmu mengenai batin dan ilmu-ilmu mengenai zahir, yang rasional dan menggunakan otak. Jadi, dalam organ pelajar Islam itu terkumpul lengkap dua macam kepentingan ilmu yaitu ilmu-ilmu rohani dan ilmu-ilmu jasmani.

Di satu sisi berangkat dari pemahaman penulis bahwa, kata “siswa” tidak digunakan karena berasal dari bahasa Sansekerta, dan munculnya kata itu pun karena ada kata “mahasiswa”.40 Jadi, pada waktu berdirinya PII, kata “siswa”

38

Ahmad Djuwaeni, “ Khittah Perjuangan dan Majelis Dakwah PII, Sebuah Upaya Menegaskan Missi,” makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni 1997).

39

Ahmad Djuwaeni, makalah yang diolah dari hasil wawancar, (Jakarta, 12-13 Juni 1997).

40

Anton Timur Djaelani, “Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi,” tulisan tidak dipublikasikan, 30 April 1997.


(42)

belum digunakan. Sementara, kata “pelajar“ mempunyai arti yang lebih luas dan mendalam. “Pelajar” yang dimaksudkan di sini adalah kelompok yang belajar mulai dari tingkat ibtid’iyah (SD), tsanawiyah (SLTP) hingga ‘aliyah (SMU). Sementara, belajar merupakan kewajiban bagi semua orang. Sedangkan kelompok yang telah memasuki perguruan tinggi memang namanya “mahasiswa” dan “pelajar“ dalam bahasa Inggris memiliki terjemahan yang sama yakni student

sehingga secara implisit PII menamakan semuanya sebagai “pelajar“. Akan tetapi, PII memang lebih diorientasikan sebagai organisasi untuk kelompok anak Sekolah Dasar sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, termasuk pelajar sekolah persiapan. Pengurus PII bisa saja telah menjadi mahasiswa, tetapi tidak diprioritaskan karena sudah ada HMI yang mewadahinya dan lebih dulu berdiri.

D. Dasar-dasar Pandangan Pelajar Islam Indonesia tentang Kekuasaan

Seorang Muslim meyakini bahwa sumber kekuasaan yang mutlak adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebagai kholifah, manusia hanya diberi mandat oleh Allah untuk mengelola bumi dengan petunjuk dan kehendak-Nya. Pemanfaatan, pengembangan, dan pendistribusian kekuasaan (allocation of power) harus berada dalam kerangka pengabdian kepada Allah.41 Sumber-sumber hukum yang mengatur kekuasaan ini secara hirerarkis adalah al-Qur’an, Sunah Rosul, dan ijtihat dalam produk-produk hukum yang dikembangkan manusia dengan bersandar pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunah Rosul (al-hadits).42

Kekuasaan atau posisi seseorang di tengah masyarakat sangat terikat pada hirerarki ketaatan kepada Allah dan Rasul, dan lalu ketaatan pada pemimpin dan

41

Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 100

42


(43)

pemegang kekuasaan lainnya.43 Oleh karena itu, legimitasi (keabsahan) pemegang kekuasaan dalam masyarakat atau Negara diukur sjauh tetap berlandaskan pada ajaran Allah. Bila kekuasaan seseorang telah abash menurut aqidah dan qaidah

Islam, maka setiap muslim wajib mendukung dengan memberikan ketaatan, kepatuhan, dan partisipasi sekaligus control berdasarkan ajaran al-Qur’an pula. Apabila kekuasaan seseorang itu secara terang-terangan atau terselubung menentang syari’ah Allah, maka secara otomatis pemegangnya kehilangan hak ketaatan dari rakyat. Terhadap penguasa yang telah melakukan pelanggaran hak dan kezaliman yang berat pada rakyat, umat Islam wajib melakukan perubahan sesuai potensi dan kemampuan masing-masing. Siapapun yang tidak setuju dengan kezaliman dan kekuasaan sewenang-wenang itu, baik secara terang-terangan maupun diam-diam, terbebas dari tanggungjawab di akhirat. Sebaliknya, bagi siapapun yang setuju atau mendukung kezaliman dan kesewenagan ini, akan menanggung siksa di akhirat.44

Berkaitan dengan siapa yang harus ditaati setelah Allah dan Rasul, ada penekanan husus yaitu kepada para pemimpin “diantaara kamu” (minkum), bukan “diantara mereka” (minhum).45 Berarti, pemimpin itu haruslah dari kalangan orang-orang beriman yakni orang yang memiliki komitmen pada Allah dan atuan-Nya.

43

Menurut Al-Quran, apabila engkau berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Lihat., materi-materi training PII, terutama yang berkaitan dengan aqidah dan idiologi.

44

Lihat., materi-materi training PII 45

Lihat, Mutamimul Ula, “Kepemimpinan Dalam Islam” (Jakarta: STDI RISKA, 1986) hal, 5


(44)

Banyak ayat dalam al-Qur’an yang melarang penyerahan kepemimpinan itu pada orang di luar Islam46 seperti larangan mengikuti jalan (metode) di luar orang beriman; larangan menjadikan setan menjadi penolong; larangan menjadikan orang kafir sebagai wali; larangan menjadikan sanak-saudara dan para orang tua yang condong kepada kekufuran sebagai pemimpin orang beriman; larangan tunduk kepada manusia secara berlebihan; dan sebagainya.

Sikap PII terhadap pemerintah digariskan dalam Khittah Perjuangan yang menyebutkan, bahwa “Pelajar Islam Indonesia (PII) bersedia atau dapat membantu kebijaksanaan pemerintah secara paratisipatif, korektif, dan konstruktif selama menguntungkan Islam dan umat Islam.”47 Garis besar dasar-dasar pandangan PII terhadap kekuasaan ini tercermin sikap-sikapnya pada situasi tertentu dari zaman ke zaman.

E. Kaderisasi Pelajar Islam Indonesia

PII bertipologi sebagai organisasi kader sekaligus sebagai organisasi massa (pelajar). Dalam pembangunan pemikiran, sikap, dan watak organisasi PII, proses kaderisasi memegang peranan yang sangat penting. Hal ini juga ditunjang oleh pengembangan sistem kaderisasi yang dilakukan secara terus-menerus dengan kurikulum yang selalu dikembangkan.

Pengembangan sistem kaderisasi PII telah dimulai sejak tahun 1952 dengan nama Latihan Kader. Kegiatannya dilaksanakan secara sederhana tanpa konsepsi yang terencana dan tanpa standarisasi yang baik. Pola kaderisasi ini terus

46

Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 102

47

Lihat, Khitah Perjuangan PII, bandingkan dengan Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal, 103


(45)

dikembangkan baik dari segi sistem, kurikulum, maupun pelaksanaannya. Dari segi pengembangan konsep, kaderisasi PII dapat dibagi ke dalam dua periode yaitu sebelum 1990-an dan sesudah 1990-an. Sedangkan dari segi pelaksanaannya dapat dibagi menjadi masa sebelum 1985, masa 1985 hingga awal 1990-an, dan masa sesudah 1990-an.

Pengembangan konsep kaderisasi PII sebelum 1990-an mendapatkan bentuk yang sesuai sejak tahun 1979 hingga berbentuk panduan dan silabus pada tahun 1985. konsep ini ditinjau dan diperbarui kembali pada tahun 1997, dan diberi nama Takdib.48

Sesuai tujuannya, kegiatan kaderisasi merupakan bagian dari usaha pendidikan PII. Pada hakikatnya kader adalah seseorang yang disiapkan untuk mengemban tugas masa depan dengan kemampuan, kualitas, dan kualifikasi tertentu. Kader adalah anggota inti organisasi dan diharapkan mampu bersikap idealis sekaligus realistik.56 “Idealis” di sini berarti senantiasa berusaha mengubah keadaan yang ada ke arah kondisi yang lebih baik dan ideal, serta tidak boleh putus asa menghadapi realitas yang pahit sekalipun. Sedangkan “realistis” berarti mampu melihat realitas dan berpijak tegar di atasnya.

Jadi, kaderisasi adalah kebulatan proses yang mengarah pada terciptanya kader-kader atau anggota inti organisasi yang berlangsung mulai dari rekrutmen anggota, pembinaan hingga pelaksanaan tugas-tugas, atau dalam bentuk seluruh kegiatan PII yang ada hubungannya dengan kegiatan anggota.49 Oleh karena itu, ada dua jenis kader yang mengikuti dan menggerakan organisasi PII. Pertama,

kader material yakni mereka yang melakukan usaha dan program kerja dengan

48

Lihat, Muhamad Jauhari, “Konsep Kader PII” (Jakarta: Panitia CIN, 1982) 49


(46)

atau tanpa melalui training-training formal. Kedua, kader formal yaitu kader yang telah mengikuti dan mempunyai piagam training formal PII. Seluruh kegiatan PII sesungguhnya merupakan proses kaderisasi, namun secara khusus kegiatan kaderisasi dilangsungkan melalui training.Melalui kaderisasi inilah diharapkan:50

a. Tumbuh dan berkembangnya suasana untuk berjuang di jalan Allah sehingga melembaga menjadi suatu norma.

b. Berkembangnya kesadaran untuk senantiasa melaksanakan ajaran Islam hingga menjadi norma kelompok.

c. Tumbuh dan suburnya hasrat untuk selalu sukses-studi sehingga setiap kader senantiasa berusaha untuk menambah pengetahuan dan keterampilan.

d. Berkembangnya sikap saling mengingatkan dalam hal kebenaran dan kesabaran, keikhlasan, dan keterbukaan.

e. Setiap kesadaran diikuti dengan usaha-usaha yang nampak seperti kegiatan kelompok belajar, pengabdian social, kegiatan kemanusiaan, dan lain-lain

Adapun jenis dan jenjang training PII terbagi sebagai berikut:51

1) Training kepemimpinan (leadership training) yang terdiri atas

Ledership Basic Training (LBT) dan Leadership Advance Training (LAT). 2) Training keagamaan yang dikenal sebagai Mental Training (Mentra).

3) Training sosial kemasyarakatan yang disebut Perkampungan Kerja

Pelajar (PKP).52

50

Lihat PB PII, “Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-21 PII” (Jakarta:,1998) hal, 120-121.

51

Muchil Abdi, “ Pengaruh Training PII Terhadap Kepribadian Muslim” dalam skripsi sarjana S-1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 1987.


(47)

LBT merupakan jenjang training PII yang pertama. Aktivitas kader yang telah mengikuti LBT ini ialah di Pengurus Komisariat (PK). Anggota yang aktif dapat mengikuti jenjang training kedua yaitu Mentra atau PKP. Setelah itu, kader dapat diangkat ke pengurus Daerah (PD). Setelah aktif di Pengurus Daerah maka kader dapat mengikuti jenjang LAT. Namun, karena alasan-alasan khusus dan tanpa perlu melewati Mentra atau PKP.

Selain training formal, di PII juga ada training-training khusus. Training

ini terdiri atas Training Centre kepengurusan dan Training Badan Otonom yang terdiri atas: training PII-wati (berkaitan dengan persoalan-persoalan kemuslimahan), training Brigade (diorientasikan pada aspek-aspek ketahanan organisasi; dan Coaching Instruktur (training untuk menyediakan tenaga-tenaga instruktur).

F. Pelajar Islam Indonesia, Arena Belajar Berdemokrasi

Tiga tingkat training di PII (Basic,Mental/Intermediate, Advance)

merupakan kunci mutlak bagi karir seorang kader di pengurusan. Kunci mutlak yang dimaksud di sini tidak berkaitan dengan prestasi atau promosi administrative kader dalam kepengurusan, melainkan berkaitan dengan kemampuan kader menginternalisasi ajaran Islam sebagai sikap atau prinsip, dan lalu mengeksternalissasinya sebagai tindakan keseharian.

Sebagian besar materi atau wacana dalam training PII di atas bersifat terbuka yang ditandai oleh metode andragogi, dinamika kelompok, debat, dan dialog. Pemandu atau instruktur tidak berfungsi sebagai komandan atau sumber

52


(48)

kebenaran, melainkan sebagai fasilitator yang merangkum berbagai perkembangan pemikiran setiap peserta. Ciri utama yang menandai setiap forum

training adalah penekanan sikap demokratis dan kebebasan berpendapat pada

setiap peserta sehingga berwatak mandiri dan percaya diri. Pada setiap akhir materi, tidak ada kesimpulan yang bulat oleh pemandu atau instruktur sebab peserta memang diharapkan menemukan tafsir-tafsir kritis baru. Dalam kacamata modernis, training-training PII ini lebih bersifat semacam achievement motivation training atau training yang memotivasi kepeloporan dan kepemimpinan secara Islam.

Jadi, dapat dikatakan bahwa training-training PII merupakan wahana pengetahuan untuk belajar berdemokrasi. Selain karena peserta training PII diambil dari unsure-unsur Pesantren (sekolah Islam) dari sekolah umum yang wacana keilmuan masing-masing berbeda, juga karena sifat federatif struktur organisasi PII dari pusat hingga wilayah/daerah propinsi lainnya kadang-kadang berbeda jauh, terutama dalam memandang ilmu dan pengetahuan, politik dan ideologi dalam konteks Negara. Dengan demikian, ada kader PII yang sangat menekankan sikap keagamaan (ibadah formal) sebagai nilai yang mengatasi persoalan-persoalan seperti ilmu dan pengetahuan, politik, dan ideologi, tetapi ada juga yang menekankan sikap politik dan akademis (ibadah social) sebagai nilai yang justru harus muncul dari sikap religius. Perbedaan ini sesungguhnya tipis, tetapi akan tampak tajam dalam hal-hal yang bersifat praktis seperti dalam hal memilih studi, organisasi pasca PII, profesi, karir, atau peran dalam kegiatan kemasyarakatan.53

53

Djayadi Hanan, “Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara” (Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006) hal,105-107


(49)

Hasil training yang beragam itulah yang membuat PII meningkat, baik secara internal (dalam organisasi atau kepengurusan) maupun secara eksternal (dalam masyarakat) seperti soal pilihan politik masing-masing kader. Intinya, tidak ada penyeragaman pilihan secara politis, kecuali dalam hal etika dan prinsip-prinsip keislaman.


(50)

A. Setting Politik Orde Baru

Berakhirnya Demokrasi Terpimpin yang sekaligus menandai kelahiran Orde Baru dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi dan politik. Kondisi ekonomi saat itu sangat buruk namun kita tidak akan membahas lebih dalam,yang akan dikaji lebih luas adalah dari segi politik.

Dari segi politik, percobaan kudeta melalui G-30-S pada tahun 1965 beserta pukulan balik yang menyertainya telah membawa korban bagi para perwira Angkatan Darat dan lebih dari setengah juta penduduk.1 Faksi-faksi yang ada di tubuh militer, potensial untuk meledakkan perang saudara. Di samping itu, kelompok Soeharto juga mendapat tekanan dari para perwira radikal dalam tubuh Angkatan Darat serta komponen-komponen kekuatan politik Islam yang berada di kesatuan-kesatuan aksi dan parlemen untuk menyeret Soekarno ke pengadilan. Padahal, jika tuntutan ini dipenuhi justru akan menimbulkan perang saudara.

Berdasarkan kondisi politik dan perekonomian yang kurang baik ini, maka secara sederhana dapat dimaklumi kalau yang terpikir oleh pemerintah adalah bagaimana mengatasi krisis dalam kedua bidang itu. Siapapun yang tampil memerintah pasti dihadapkan pada sedikit pilihan. Pilihannya adalah mencegah agar krisis tidak makin memburuk dengan menerapkan suatu strategi stabilitas

1

Lihat juga Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, (Jakarta : Hasta Mitra), 1995, hal,52


(51)

politik dan ekonomi.2 Lantas, yang dilakukan Soeharto adalah membangun serangkaian struktur dan proses politik yang memungkinkan penanganan dua hal sekaligus. Pertama, memberikan dukungan bagi transformasi ekonomi. Kedua, mengendalikan akibat-akibat krisis, terutama dengan menjinakkan dan mencegah oposisi agar tidak mengganggu program ekonomi pemerintah.

A. 1. Politik dalam Masa Peralihan

Sebagian besar pendukung Orde Baru meyakini bahwa penyebab krisis adalah konflik politik yang diwarnai oleh pertarungan ideology. Karena itu, mereka percaya bahwa masa depan Indonesia seharusnya bebas dari politik yang bebas dari ideology. Konflik ideologis merupakan konflik yang tak berkesudahan, dan di zaman Soekarno mengimbas pada keruntuhan ekonomi nasional. Aktor dalam konflik-konflik itu adalah partai-partai politik yang di dalamnya terdapat banyak politisi sipil.3 Pemerintah Orde Baru kemudian merancang suatu mekanisme yang dapat meminimalkan konflik sosial dan memaksimalkan produktivitas ekonomi.4 Ialah mekanisme ketertiban politik untuk menjamin pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang cepat, dan efisien. Langkah lanjutan dan mekanisme ini adalah :

1. Menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis, berdasarkan ketertiban dan kesepakatan (konsensus). Langkah ini menghasilkan penyederhanaan partai-partai politik yang semula multipartai menjadi tiga

2

Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo, (eds.) Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarn, hal, 21.

3

Lihat Mochtar Mas’oed, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 36-37.

4


(52)

partai, dan penyederhanaan badan perwakilan serta penerapan “politik berdasarkan konsensus”.

2. Membatasi partisipasi politik yang pluralistik. Partisipasi rakyat diarahkan terutama pada penerapan program pembangunan yang dirancang oleh elit politik.5

Di sisi lain, rumusan dasar strategi yang akan ditempuh itu membenarkan “penundaan” terhadap pelaksanaan demokrasi karena pendekatan stabilitas lebih dikedepankan dalam menjalankan pembangunan ekonomi. Penekanan pada masalah ketertiban ini terdapat dalam pernyataan politik para pemimpin Orde Baru. Versi yang paling mencolok terdapat dalam tulisan-tulisan Ali Moertopo. Gagasan-gagasan tentang penyempitan partisipasi politik dengan pembatasan politik-kepartaian ini banyak dikembangkan terutama oleh para intelektual sipil di sekeliling Ali Moertopo. Ali Moertopo adalah orang kepercayaan Soeharto. Karena menguatnya kedudukan kelompok ini, maka dengan cepat mereka dapat memperoleh posisi yang sangat berpengaruh selama awal kekuasaan Orde Baru.6

B. 2. Ideologi Pembangunan dan Dwifungsi ABRI

Akar pemikiran sosial politik yang melandasi setting politik Orde Baru dapat ditelusuri pada konsep pemikiran tentang developmentalisme

(pembangunanisme) yang pada masa itu sedang popular di seluruh dunia, terutama di Negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka. Pemikiran-pemikiran tentang peran militer dalam suatu Negara termasuk di bidang politik, juga menjadi

5

Ali Moertopo, Strategi Politik Nasional, Jakarta : CSIS, 1980, hlm. 47. 6


(53)

relevan karena dapat dikatakan bahwa militerlah yang berkuasa selama perjalanan Orde Baru.

Di lain tempat, jauh sebelum Orde Baru lahir, telah ada sejumlah intelektual awal abad ke-20 yang berpendidikan Barat. Kebanyakan mereka dipengaruhi oleh pemikir sosialis Eropa.7 Sepanjang 1950-1960-an intelektual ini berkumpul secara informal di sekitar pemimpin bertipe administrator seperti Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan yang terpenting bahwa mereka juga berada di sekitar politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Para intelektual ini mengembangkan sejenis ideologi yang berdasarkan pada nilai-nilai modernis-sekuler, pragmatisme, rasionalisme, dan internasionalisme.8 Contoh pernyataan ideologis mereka yang berpengaruh pada Orde Baru sebagaimana dikutip oleh Liddle ialah:

“Suatu perekonomian industrial, suatu masyarakat yang egaliter, dan suatu Negara kesejahteraan yang aktif berdasarkan asas-asas demokrasi.”9 Sarana untuk mencapai tujuan itu didasarkan pada pandangan yang elitis dan pragmatis: Pencapaian tujuan ini… akan memerlukan pendirian sebuah partai yang kuat yang terdiri dari kader-kader sosialis yang akan mampu menolak bujukan komunisme totaliter, menghancurkan warisan-warisan feodalistik…melalui pendidikan serta menciptakan iklim ketertiban dan efisiensi pragmatis sehingga perencanaan ekonomi yang rasional bisa dilakukan”.10

Melalui nilai-nilai modernis-sekuler ini tetap hidup di sekitar intelektual dan aktivis mahasiswa di Jakarta dan Bandung sepanjang 1960-an sekalipun PSI sudah dibubarkan sejak pemerintahan Orde Lama (tahun 1960). Ketika Orde Baru lahir, pada saat bersamaan pikiran-pikiran ini sedang memperoleh kekuatan

7

Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 8

Mochtar Mas’oed, Negara. Hal, 38. 9

R. William Liddle, Modernizing Indonesian Politics,” dalam R. William Liddle (ed.), Political Participation in Modern Indonesia, New Haven, Conn: Yale University Southeast Asian Studies, 1973, hlm. 179.

10


(54)

baru.11 Pertama, kembalinya sejumlah intelektual berpikiran reformis yang baru saja memperoleh derajat doctor dari berbagai universitas di Amerika Serikat.

Kedua, tersedianya teori-teori sosial baru yang mendukung perjuangan para

intelektual itu. Ada tiga teori utama yang berpengaruh ketika itu, ialah :

1. hipotesis dari Lipset yang menyatakan, bahwa demokrasi polotik umumnya terjadi setelah keberhasilan pembangunan ekonomi. Persyaratannya tergantung pada tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.12

2. Adanya argumen Daniel Bell tentang “matinya ideologi” (the end of ideology). Politik Ideologi menurut Bell, tidak ada lagi dan digantikan oleh politik konsensus.13 Dengan kata lain, Bell menyatakan bahwa intensitas politik ideology telah berkurang seiring dengan peningkatan pembangunan ekonomi.

3. Teori dari Hutington tentang akibat negatif dari mobilisasi sosial yang tak terkendali pada masyarakat sedang berkembang. Oleh karena itu, menurut Huntington partisipasi politik harus disalurkan secara tertib.14

Di kalangan militer terdapat pula perkembangan yang serupa. Kaum militer dapat menerima dasar berpikir modernisasi-politik seperti ini karena dua hal:

1) Memang sebagai orientasi pemikiran para intelektual dalam merespon ekonomi terpimpin Soekarno.

11

Mochtar Mas’oed dari Liddle, Negara. Hal, 39. 12

Lihat Seymour Martin Lipset, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City, New York: Anchor Books, 1963, bab 2.

13

Lihat Daniel Bell, The end of Ideology, New York: Collier, 1960, hlm. 397. 14

Lihat Samuel Huntington, Political Development and Political Decay, World Politics, 1965, vol. 17 No. 3 (April). Lihat juga Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Drs. Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, terutama Bab III


(1)

Habibullah, Tinjauan Terhadap Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Sejarah Perjuangannya Sebagai Organisasi Kader, Pendidikan, dan Dakwah, Jakarta, Desember 1986.

Hanan, Djayadi, Gerakan Pemuda Islam Di Bawah Bayang-Bayang Negara, Yogjakarta:PB PII & UII Press, 2006.

Hassan, Kamal, Muhammad, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987.

Hatta, Muhammad, Uraian Pancasila, Jakarta, Mutiara, 1978.

Ismail, Taufik, Kisah Berserakan Sekitar PII, Dari Fail Pribadi, 1947-1965, Artikel Lima Puluh Tahun PII, 1998.

J. Benda, Harry, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, Jakarta : Pustaka Jaya, 1980.

Jauhari, Muhamad., Konsep Kader PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.

Kamal Hasan, Muhammad, Modenisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta: Lingkar Studi Indonesia, 1987.

Lukman, S.H, Pak Timur Menggores Sejarah, PII Menyiapkan Kader Ummat dan Bangsa, Jakarta : Bulan Bintang, 1997.

Ma’roov (eds.), Pilar Dasar Gerakan PII, Dasa Warsa Pertama Pelajar Islam Indonesia, Jakarta : Karsa Cipta Jaya, Mei 1998.

Mardjono, Hartono, S.H Advanced Leadership Training PII , Jakarta, Juni 1991.

Martin, Lipset, Seymour, Political Man, The Social Basis of Politics, Garden City, New York: Anchor Books, 1963.


(2)

76

Mas’oed, Mochtar, Negara, Kapital, dan Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994.

Muhaimin, Yahya, Kemana Mobilitas Sosial, makalah seminar HIPIS di Palembang, Maret 1984.

Mulkhan, Munir, Abdul, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta : Rajawali Pers, 1991.

Moertopo, Ali, Strategi Politik Nasional, Jakarta: CSIS, 1974,

Muzakkir, Perjuangan PII Ditinjau Dari Segi Dakwah di Indonesia, Yogyakarta, 1979.

Nasution, A.H. Peranan PII Dalam Penumpasan PKI, Pengalaman Pribadi Seorang Jenderal, PII, 27 Juni 1997.

Natsir, Mohammad, Capita Selecta, Jakarta : Pustaka Pendis, 1957.

Nelson, Joan, Partisipasi Politik Di Negara Berkembang, terj. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Pengkhidmatan, 1983.

Rahrdjo, M. Dawam, Basis Sosial pemikiran Islam di Indonesia sejak Orde Baru, Prisma No. 3, Maret 1981.

Saefuddin Anshori, Endang, Pancasila Sebagai Dasar Negara RI: Merupakan Hasil Puncak Kesepakatan Nasional,” dalam Peraturan Agama Dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila, Departemen Agama RI: Jakarta, 1985.


(3)

Sri Syamsiar Issom, Upaya Mobilisasi Kader PII Putri Menjawab Tantangan Situasi, Jakarta, 31 Maret 1998.

Stoddard, F.L., Dunia Baru Islam , Jakarta : Gunung Agung, 1966.

Suminto, Aqib, H, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta : LP3ES, 1986.

Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer, Studi Tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992.

Syafii Maarif, Ahmad, Studi tentang Percaturan Dalam Konstituante. Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1996.

Taufik Dahlan., Sistem Kaderisasi PII, Jakarta: Panitia CIN, 1982.

Timur Djaelani , Anton, Kebangkitan PII 4 Mei 1947, Dari Bangku Sekolah Ke Organisasi, 30 April 1997.

Ula, Mutamimul., Kepemimpinan Dalam Islam, Jakarta: STDI RISKA, 1986.

________, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama, Jilid III 1993.

________, Documenta Selecta, Pelajar Islam Indonesia, PB PII.

________, Tim IAIN Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan, Jilid I, 1992.

________, Tempo, Nomor 46 Tahun 1988.

________, Undang-Undang Keormasan, Nomor 8 Tahun 1985.

________, PII, Pokok-pokok pikiran PB PII tentang Penyusunan Undang-Undang Keormasan, Jakarta: Rapimnas, 1984.


(4)

78

________, Republika, 20 Januari dan 24 Juni 1997.

________, Suara Merdeka, 4 Mei 1996.

________, Berita Pelajar Islam Indonesia, PB PII Bagian Penerangan, 1960.

________, Berita Pelajar Islam Indonesia, Januari 1956.

________, Tafsir Asasi PII Hasil Kongres V, Ngabean, Yogyakarta.

________, HMI MPO Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung : Mizan, 1997.

________, Paduan Training PII, Jakarta: POIN, 1979.

________, PB PII, Kumpulan Keputusan dan Ketetapan Muktamar Nasional ke-21 PII, Jakarta,1998.

________, Departemen Agama, Pedoman Pembinaan Masjid, 1981.

________, TAP MPR RI 1983, Deppen RI, 1985.


(5)

4. Jurusan/Prodi : Study Ilmu politik 5. Program : Strata Satu (S.1)

6. Judul skripsi : DINAMIKA PERJUANGAN PELAJAR ISLAM INDONESIA DI ERA ORDE BARU

7. Pembimbing : Dr. Sirojuddin Aly, MA

8. Penguji : Dra. Haniah Hanafie, M,Si

Drs. Agus Nugraha, M,Si

9. Tanggal lulus : 12 Maret 2010

10. Nomor Ijazah :

11. Indeks Prestasi/yudisium : 3, 22/ Amat Baik 12. Jabatan dalam oraganisasi

Kemahasiswaan : 1. Ketua Pelajar Islam Indonesia Daerah Ciputat (2005-2007)

2. Ketua UKM Teater Syahid (2006-2008) 3. Ketua Bela Diri Pernapasan “MAHATMA” cabang UIN (2008-sekarang)

13. Alamat Asal : RT/RW: 03/08

Desa: Jatilaba

Kecamatan: Margasari

Kabupaten: Tegal - Jawa Tengah 52463

Telp: 081808694311

14. Alamat Sekarang : JL Abdul Ghani komplek Perkebunan No. 46 Cempaka Putih

Ciputat Timur- Tangerang Selatan-Banten Telp: 081808694311

15. Nama Ayah : Sujono

16. Pendidikan Terakhir Ayah : D2 pendidikan

17. Pekerjaan Ayah : Kepala Sekolah Dasar Negeri Jatilaba 03

18. Nama Ibu : Royanah

19. Pendidikan Terakhir Ibu : SD 20. Pekerjaan Ibu : Dagang

Jakarta, 18 Maret 2010 Calon Wisudawan

Mirzan Insani NIM: 201033200785


(6)