Ekspansi Ritel Modern Kemiskinan Struktu

Ekspansi Ritel Modern, Kemiskinan Struktural bagi Usaha Kecil
Oleh: Aris Supriyadi1

Pengantar
Masifnya laju pertumbuhan ritel-ritel modern di Indonesia yang tidak dibarengi dengan
perlindungan serius kepada usaha kecil masyarakat, secara kasat mata tentu menampakkan
ketimpangan persaingan diantara keduanya. Sehingga menurut Managing Director Econit
Advisory Group, yakni Hendri Saparini (dalam bataviase.co.id: 2010) mengatakan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan bisnis ritel paling liberal. Selain bebas
menentukan lokasi untuk membuka gerai, keberadaan investor asing juga tidak diatur. Padahal di
negara-negara maju yang notabene liberal sejati, seperti Inggris, Jepang, dan Korea Selatan itu
ada pembatasan penguasaan asing di sektor ritel dengan penguasaan pangsa pasar hanya 1
hingga 3 persen saja, namun paradok di Indonesia yang mengaku sebagi negara dengan sistem
ekonomi kerakyatan, namun penguasaan ritel asing hampir mencapai pangsa pasar di atas 13
persen.

Perkembangan pesat ritel modern di banyak tempat, sebut saja Hypermart, Carrefour,
Makro, Matahari, Hero, hingga minimarket seperti Indomaret dan Alfamart yang jauh masuk ke
pelosok-pelosok desa menimbulkan banyak permasalahan besar. Pasalnya ketika ritel-ritel
modern itu berdiri dan mengalami laju pertumbuhan yang signifikan, justru usaha-usaha kecil
masyarakat yang tergusur dan gulung tikar. Akibatnya, marjinalisasi dan kemiskinan menjadi

fenomena yang tak terbantahkan. Dari fenomena menarik tersebut, tulisan ini mencoba untuk
menelaah lebih jauh mengenai fenomena marjinalisasi usaha-usaha kecil masyarakat karena
tersisih oleh ritel modern. Untuk lebih jauh memahami fenomena ini, penulis akan memulai
dengan pertanyaan dasar, yakni bagaimana ritel modern menindas usaha kecil masyarakat?
Bagaimana kemiskinan struktural terjadi pada pelaku usaha kecil masyarakat? Apa solusi yang
dapat ditawarkan untuk mengentaskan kemiskinan struktural tersebut? Untuk menjawab

1

Aris Supriyadi adalah M ahasisw a Polit ik dan Pemerint ahan Fakult as Ilmu Sosial dan Ilmu Polit ik Universit as
Gadjah M ada. M akalah ini dibuat t anggal 15 Januari 2012 unt uk memenuhi Tugas M at akuliah M et hodologi Ilmu
Polit ik yang diampu oleh Prof. Dr. Purw o Sant oso, M A & Nur Azizah, SIP, M sc.

pertanyaan dasar tersebut, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan pengamatan
langsung, studi pustaka, dan browsing internet.

Dalam menelaah kajian ini, penulis menggunakan metode berpikir strukturalis untuk
mengkerangkai fenomena ritel modern yang memarjinalisasi ritel tradisonal yang kebanyakan
adalah usaha-usaha kecil masyarakat. Alasannya jelas, dengan metode berpikir strukturalis,
penulis bisa membaca fenomena kemiskinan struktural yang dialami oleh pelaku usaha kecil dan

mengungkap adanya ‘agenda-agenda tersembunyi’ yang selalu mewarnai sekaligus paling
menentukan aksi-aksi dalam fenomena sosial sehingga kaum yang terhegemoni oleh ‘agendaagenda tersembunyi’ tersebut mampu untuk keluar dari fenomena-fenomena ‘penindasan’ (Apter
1985, hh. 371). Lebih jauh dalam pandangan kaum strukturalis, fenomena kemiskinan ini terjadi
akibat adanya struktur tertentu yang diciptakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Sedangkan
kapitalisme atau liberalisasi ekonomi mereka anggap selalu identik dengan kegagalan, pasalnya
pasti ada kelompok-kelompok yang tersisihkan. Oleh sebab itulah kaum strukturalis, khususnya
Marxian ingin sekali mewujudkan masyarakat yang tanpa kelas, yakni suatu keadaan dimana
tidak ada pihak-pihak yang miskin, meskipun juga tidak ada yang kaya, semua mendapatkan
sesuai kebutuhannya (Effendy 1996, h. 15-17).

Walaupun dalam perjalanan strukturalis sendiri banyak yang mengkritik, bahwa
strukturalis itu secara konsisten meremehkan individu untuk mengambil kemungkinan tindakan
efektif untuk terlepas dari struktur, dengan hanya menempatnya hanya sebagai pembawa
struktur. Selain itu secara eksplisit menolak kemungkinan orang mampu membentuk arah sejarah
dengan memberi gambaran bahwa individu itu ada berkat struktur sosial yang berada di luar
kontrol mereka atau bahkan tidak mereka sadari sama sekali (Marsh & Stoker 2011, hh. 332).
Namun demikian, di tengah banyak yang mengkritik, kelebihan yang belum banyak ada pada
pendekatan lain adalah bahwa pendekatan ini selalu berusaha untuk melihat agenda-agenda yang
tersembunyi, yakni apa yang disebut sebagai struktur dan aturan-aturan permainan yang
menentukan aksi (Apter 1985, hh. 371).

Ritel Modern, Bentuk Nyata Kapitalisme yang Menggusur Usaha Kecil Masyarakat

Seiring berjalannya waktu, mungkin juga adanya perubahan masyarakat ke arah yang
liberal dan konsumtif, kini fenomena menjamurnya ritel-ritel modern yang berdiri tinggi
menjulang di pusat jantung kota hingga berekspansi sampai pelosok-pelosok desa dan
kesemuanya mengalami pertumbuhan yang luar biasa.

Beberapa bentuk ritel-ritel modern itu menurut www.organisasi.org (dalam Arifardhani
n.d., h. 90) diantaranya adalah: (1). Discount Stores (contohnya Toko Diskon Makro dan Alfa);
(2). Specialty Stores/Toko Produk Spesifik (contohnya toko buku Gramedia, toko musik Disc
Tarra, dan toko obat Guardian); (3). Department Stores (contohnya seperti Ramayana, Robinson,
Rimo, dan sebagainya; (4). Convenience Stores (contohnya minimarket Alfamart dan
Indomaret); (5). Catalog Stores (contohnya toko catalog barang); (6). Chain Store; (7).
Supermarket (contohnya Hero); (8). Hipermarket (contohnya hipermarket Giant, Hypermart dan
Carrefour). Sedangkan ritel-ritel tradisional kebanyakan merupakan usaha-usaha kecil
masyarakat, seperti warung rumahan, toko kelontong, pasar tradisional, asongan, kedai, dan lain
lain.

Laju pertumbuhan yang luar biasa ritel-ritel modern yang semakin hari semakin luar
biasa itu justru membuat Pemerintah (baik pusat maupun daerah) bersorak sorai kesenangan

karena mendapatkan suntikan dana yang tidak sedikit. Padahal fenomena menjamurnya ritel-ritel
modern ini jelas menjadi masalah besar karena di tengah pertubuhan ritel-ritel modern itu, justru
usaha kecil-menengah masyarakat tersingkir kalah bersaing dengan ritel-ritel modern tersebut.
Hal ini tidak lepas dari pangsa pasar (baik secara lokasi maupun konsumen) yang banyak direbut
oleh peritel modern dari ritel tradisional. Disinilah letak kapitalisme yang melulu mengakibatkan
adanya fenomena marjinalisasi dan pemiskinan terhadap ritel-ritel tradisional.

Hal berbeda menurut Adam Smith (dalam Sholeh n.d., h. 1) yang menjelaskan bahwa
masalah ekonomi hanya dapat diselesaikan dengan mekanisme pasar dimana keseimbangan
penawaran dan permintaan akan terwujud melalui pasar persaingan sempurna, informasi
sempurna, dan hal yang digerakkan oleh tangan tidak kentara (invisible hand).

Konsep yang dikemukakan oleh Adam Smith itu sungguh merupakan hal yang omong
kosong, pasalnya keseimbangan penawaran dan permintaan melalui pasar persaingan sempurna
itu dalam kenyataannya adalah soal ketimpangan modal, akses informasi, dan sumber daya.
Modal yang dipakai oleh ritel-ritel modern jauh melebihi ritel-ritel tradisional yang kebanyakan
usaha kecil masyarakat itu. Ketimpangan modal, akses informasi, dan sumber daya diantara
keduanya dapat diasumsikan bagaikan langit dan bumi yang sudah sedari awal harusnya disadari
bahwa ketimpangan ini pasti akan menyingkirkan yang kecil. Melihat hat ini, pasti ujungujungnya adalah marjinalisasi usaha-usaha kecil masyarakat hingga hilang dan tenggelam.


Melihat fenomena tersebut, penulis menganggapnya merupakan fenomena Liberalisasi
ekonomi. Kalau kita lihat lebih dalam, keseimbangan informasi, modal, dan sumber daya untuk
seluruh pelaku ekonomi tidak terjadi seperti yang dijanjikan Smith, apalagi ketika peran
pemerintah didistorsi, bisa dipastikan ketimpangan itu akan semakin menjadi-jadi. Terbukti
bahwa liberalisme/ kapitalisme akan memunculkan persoalan baru, baik persoalan kemiskinan,
keterbelakangan, pengangguran, ancaman penyempitan kesempatan kerja, disparitas pendapatan
antar golongan masyarakat serta ketergantungan yang meningkat pada asing. Kesemua
persoalan-persoalan itu bukan semata-mata bersifat ekonomi, melainkan persoalan struktur
politik dan sosial (Sholeh n.d., h. 1).

Perselingkuhan Jahat Pemerintah dan Pemodal dengan Dalih Penanaman Modal

Sudah bukan rahasia lagi tentunya bahwa ritel-ritel modern yang sedang masif
mendirikan benih-benih ladang profitnya, baik dari bentuk ritel modern yang maha besar hingga
yang bersifat minimarket/ waralaba yang berdiri gagah di jantung kota hingga pelosok-pelosok
desa itu diamini oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pemerintah melihat fenomena
berdiri gagahnya ritel-ritel modern di kawasan strategis adalah sebuah prestasi mereka, yang tak
lain adalah keberhasilan mereka mendatangkan modal ke daerahnya dengan dalih pembangunan
daerah. Padahal di sisi lain, munculnya ritel-ritel modern itu baik secara langsung maupun tidak
langsung telah menindas pelaku usaha kecil masyarakat.


Fenomena semacam ini menurut penulis adalah dilema yang serius. Pemerintah yang
seharusnya memiliki fungsi regulasi, mengatur ritel-ritel modern untuk tidak sembarangan
berdiri gagah dalam rangka perlindungan usaha kecil masyarakat, di sini terlihat lemah dan
cenderung seperti terhegemoni dan tergiur dengan suntikan dana yang tidak sedikit itu. Pasalnya
jelas, potensi dana yang akan didapat pemerintah melalui izin usaha, pajak bumi dan bangunan,
dan pajak izin-izin yang lain itu jumlahnya tidak sedikit.

Hal ini menjadi masalah pelik karena ritel-ritel modern itu berdiri dengan bebasnya,
bahkan ada yang amat dekat dengan pasar tradisional. Adalah liberalisasi namanya ketika ritelritel modern itu dibebaskan secara liberal merebut pangsa pasar yang semula milik ritel-ritel
tradisional. Dalam liberalisasi ekonomi, hal yang sudah pasti ada/ mutlak ada adalah persaingan.
Dalam konteks ini, persaingan yang muncul adalah persaingan timpang antara ritel modern dan
ritel tradisional dari segi modal maupun manajemennya. Sehingga jelas yang ada bukanlah
persaingan sempurna seperti apa yang dijanjikan oleh Adam Smith, melainkan penindasan yang
masif yang berujung pada marjinalisasi usaha kecil masyarakat. Akhirnya kemiskinanlah yang
akan direngkuh oleh usaha-usaha kecil masyarakat.

Syarat Dagang, Bentuk Penindasan Terselubung dari Ritel Modern kepada Pemasok

Syarat dagang sedari awal sebenarnya dikonsepsikan sebagai jaminan dalam hubungan

bisnis agar memberikan kepastian hingga tidak ada pihak yang dirugikan. Namun belakangan
syarat dagang banyak disalahartikan oleh pihak yang punya otoritas lebih/ posisi tawar lebih
tinggi yang cenderung menindas kelas dibawahnya. Hal ini tercermin dari pernyataan
Arifardhani yang menjelaskan bahwa:
“Fenomena penerapan syarat dagang paling banyak diberlakukan oleh peritel modern pada saat
ini. Pemberlakuan syarat dagang ini sebenarnya bertujuan melindungi peritel sehingga
mendapatkan kepastian pasokan dan juga jaminan kualitas dari para pemasok. Namun
penerapannya akhir-akhir ini telah dieksploitasi untuk memberikan maksimalisasi manfaat dan
keuntungan bagi peritel modern ini. Akhirnya syarat dagang yang diberlakukan oleh peritel
modern lebih banyak merugikan pihak pemasok. Adapun para pemasok lebih banyak pasrah atas
pemberlakuan syarat dagang ini. Mereka yang ingin tetap berhubungan dengan ritel modern lebih
banyak menerima ketentuan syarat dagang walaupun berdampak pada menurunnya perolehan
keuntungan (Arifardhani n.d., h. 96).

Dalam penjelasan lebih lanjut, syarat dagang yang banyak diberlakukan oleh ritel modern
saat ini adalah opening listing fee, fixed rebate, conditional rebate, promotion discount,
promotion budget, regular discount, common assortment, reduce purchase price, minus margin,
penalty delay delivery for event, penalty on short level, opening cost, opening discount for new,
additional discount for other, anniversary discount, store remodeling discount, opening listing
fee, dan Lebaran discount (Arifardhani n.d., h. 96).


Kesemua syarat dagang yang telah disebutkan di atas, kalau ditelaah lebih lanjut dan
lebih dalam merupakan bentuk penindasan yang terselubung yang masif dilakukan oleh ritel
modern kepada pemasok dengan dalih menjamin kepastian hubungan bisnis kedua belah pihak.
Listing fee misalnya, syarat dagang yang diikuti dengan pengenaan biaya awal untuk penjualan
setiap item produk, yang lazimnya berkisar Rp. 1-3 juta/item/gerai (satu item produk adalah satu
varian produk dengan satu kemasan), naik menjadi 5,5 juta/item (Arifardhani n.d., h. 85-86).
Akibatnya jelas, para pemasok yang terkena syarat dagang itu kemudian berimbas kepada
pemasok kecil di bawahnya seperti grosir hingga pengecer. Sehingga tidak aneh ketika sampai
pada pengecer terkecil (akibat panjangnya roda distribusi barang) harga barang menjadi lebih
mahal hingga membuat masyarakat lebih memilih untuk berbelanja ke ritel-ritel modern dari
pada ke pasar tradisional atau warung-warung perumahan yang notabene itu adalah usaha-usaha
kecil masyarakat.

Dalam penjelasan lain, Arifardhani memprediksi akan adanya potensi ritel-ritel modern
memberlakukan jenis syarat dagang baru yang lain dimana syarat dagang ini terkesan mengadaada, dan sangat kentara hanya untuk memaksimalkan profit mereka dan menekan resiko
tanggungan mereka. Bentuk syarat dagang yang baru-baru ini digembar-gemborkan akan
diberlakukan oleh ritel-ritel modern adalah syarat dagang terselubung seperti pelimpahan beban
terhadap gaji pekerja, beban terhadap biaya listrik, beban terhadap biaya air, beban terhadap
biaya kebersihan, beban terhadap asuransi, beban biaya parker, beban biaya gudang, beban biaya

penyerahan, beban biaya komunikasi, dan beban biaya transaksi keuangan kepada pemasok
(Arifardhani n.d., h. 97).

Kemiskinan Struktural, Sebuah Dampak Maraknya Ritel-ritel Modern

Jika dilihat dari penyebabnya, kemiskinan menurut Sumodiningrat (dalam Sholeh n.d., h.
3) terdiri dari Kemiskinan natural, Kemiskinan kultural, dan Kemiskinan struktural. Dimana
kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan karena faktor-faktor alamiah seperti
karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan
yang terjadi karena sebab-sebab kultural, seperti sikap hidup seseorang atau masyarakat,
contohnya malas, tidak disiplin, boros, dan lain-lain. Sedangkan kemiskinan struktural adalah
kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang
tidak adil, distribusi asset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi
dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Munculnya kemiskinan
struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan
direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak
seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan
keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat
yang timpang.


Melihat fenomena menjamurnya ritel-ritel modern yang memarjinalisasi usaha-usaha
kecil masyarakat hingga mereka gulung tikar dan miskin, penulis melihat fenomena itu adalah
fenomena kemiskinan struktual. Dalam pandangan strukturalis, yang terjadi pada mereka itu
disebabkan oleh struktur tertentu yang diciptakan oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Adalah
melalui kapitalisasi atau liberalisasi ekonomilah fenomena itu terjadi. Ketimpangan dalam hal
sumber daya, modal, penguasaan teknologi, manajemen, dan akses informasi adalah penyebab
ritel tradisioanal tak mampu melawan struktur. Akibatnya jelas, muncullah kelompok-kelompok
yang tersisihkan (Effendy 1996, h. 15-17).

Dalam fenomena diatas, sangat jelas kiranya bahwa para pemasok ataupun pelaku-pelaku
usaha-usaha kecil itu mungkin tidak sadar akan adanya struktur. Mungkin dalam benak mereka
yang tersisih itu, fenomena semacam syarat dagang misalnya yang mana diajukan sepihak oleh
peritel modern itu dianggap memanglah seperangkat aturan yang tujuannya benar-benar untuk
member kepastian dalam urusan bisnis pasok-memasok barang. Padahal tidak, fenomena ini jelas

adalah fenomena struktur sistem ekonomi kapitalis yang melulu ingin menindas kaum lemah di
bawahnya. Terlihat dari timpangnya harga diantara keduannya hingga menyebabkan masyarakat
sudah berganti selera berbelanja di ritel-ritel tradisional. Akibatnya usaha kecil masyarakat
merugi, tersisih dari persaingan, dan akhirnya kemiskinanlah yang akrab menggelayuti mereka.


Jalan Keluar Strukturalis Melihat Fenomena Ritel Modern dan Kemiskinan Struktural
Dalam penjelasan David E. Apter (1985, hh. 371) mengenai adanya varian metodologi
strukturalis yang terspesifikasi dalam dua bentuk, yakni Pertama, varian yang melihat struktur
sebagai bentuk kontaradiksi yang menekankan pada aspek konflik dan bersifat dialektis. Kedua,
varian strukturalis yang melihat keseimbangan antara fungsi serta keteraturan. Dalam konteks
menyoroti fenomena marjinalisasi dari peritel modern ke ritel-ritel tradisional ini, penulis
mengunakan bentuk yang pertama, yakni strukturalis yang melihat pada kontradiksi, konflik, dan
bersifat dialektis. Alasannya jelas, adalah perubahan struktur yang selama ini memarjinalisasi
kaum lemah, untuk diganti secara menyeluruh dengan struktur yang baru yang menjamin tidak
adanya marjinalisasi lagi kepada kaum lemah.

Dalam penjelasan yang lain, misalnya Effendy (1996, hh. 15-16), beliau membagi varian
strukturalis ini menjadi dua, yakni: petama, strukturalis ikrementalis, yakni mereka yang
menyakini bahwa untuk mengatasi kemiskinan struktural itu tidak perlulah merubah seluruh
formulasi strukturalnya, tetapi cukup dengan memperbaiki bagian tertentu saja yang di anggap
bermasalah. Kedua,strukturalis radikal, yakni mereka yang meyakini bahwa untuk mengatasi
kemiskinan struktural itu harus mentransformasi dan mendekontruksi seluruh bangunan struktur
yang ada. Dalam melihat fenomena marjinalisasi yang dilakukan oleh ritel-ritel modern kepda
usaha kecil masyarakat, dimana berujung pada kemiskinan struktural tersebut, penulis adalah
bagian dari mereka yang menginginkan adanya perubahan mendasar dan keseluruhan strukturstruktur yang ada, karena memang ‘struktur’ tersebut adalah saling ‘melekat’ satu sama lain
sehingga dengan mendekonstruksi lewat gagasan strukturalis radikal adalah jawaban yang tepat
untuk meluluhlantakkan kemiskinan yang terstruktural tersebut. Adalah merubah tatanan yang
sudah ada secara mendasar dengan membatasi dan mengatur ketat peritel untuk masuk ke negara
ini dengan asumsi perlindungan kepada hak-hak ekonomi kecil dan menengah.

Kesimpulan
Maraknya ritel-ritel modern di jantung kota besar hingga pelosok-pelosok desa, tak pelik
menyebabkan permasalahan baru. Di sisi lain pemerintah yang tak mengatur ritel-ritel modern
sehingga mereka dengan leluasa membenamkan ritel-ritel tradisional yang kebanyakan adalah
usaha kecil masyarakat. Adalah struktur yang sampai hari ini dominan menghegemoni mereka
(pelaku ritel tradisional, seperti warung rumahan, asongan, took kelontong, dan kedai) tak
mampu bersaing, melulu tersingkir, dan termarjinalisasi.
Dengan ekspansinya, para peritel modern itu masuk merebut masyarakat yang semula
lekat dengan ritel-ritel tradisional, untuk beralih ke ritel-ritel modern. Bentuk paling konkret
adalah banyak berdirinya ritel-ritel modern, seperti Alfamart dan Indomaret berdiri di sebelah
pasar tradisional. Akibatnya, marjinalisasi yang tak terelakkan ini memunculkan fenomena
kemiskinan struktural dimana pelaku usaha-usaha kecil di pasar tradisional itu tidak mampu
bersaing dengan struktur atas (ritel modern) yang dari sisi sumber daya manusia, modal, dan
akses informasi diantara ritel modern dan ritel tradisional jelas timpang dan sangat kentara akan
menimbulkan marjinalisasi/ tersingkirnya kelompok-kelompok lemah
Untuk melihat fenomena tersebut, penulis lewat strukturalis yang melihat pada
kontradiksi, konflik, dan bersifat dialektis dan juga strukturalis radikal yang menuntut perubahan
struktur secara keseluruhan. Alasannya jelas, kemiskinan struktural tersebut harus dientaskan
lewat adanya perubahan mendasar dan keseluruhan terhadap struktur-struktur yang ada, karena
memang ‘struktur’ tersebut adalah saling ‘melekat’ satu sama lain sehingga dengan
mendekonstruksi lewat gagasan strukturalis radikal adalah jawaban yang tepat untuk
meluluhlantakkan kemiskinan yang terstruktural tersebut.

Referensi
Apter, DE 1985, ‘Pengantar analisa politik’, LP3ES, Jakarta.

Arifardhani, Y n.d., ‘Potensi penambahan syarat dagang yang akan diberlakukan oleh peritel
modern (kajian terhadap penyalahgunaan posisi dominan)’ dalam Untaian pemikiran
sewindu

hukum persaingan usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta.

Bataviase.co.id 2010, Minimarket-hipermarket, Indonesia paling liberal, dilihat 16 Januari 2012,
< http://bataviase.co.id/node/106831?page=1>
Effendy, M 1996, ‘Pemberdayaan masyarakat miskin sudut pandang doktrin Islam’, Afkar, vol.
1, no. 3, hh. 13-26.
Marsh, D & Stoker, G 2011, ‘Teori dan metode dalam ilmu politik’, Nusa Media, Bandung.
Sholeh, M n.d., ‘Akar kemiskinan dan ketergantungan di negara-negara berkembang dalam
perspektif strukturalis dependensia’, Universitas Negeri Yogyakarta, dilihat 16 Januari
2012,