kewenangan daerah khusus dan daerah isti

KEWENANGAN DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA DALAM SISTEM
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. Latar Belakang
Pada masa Amandemen UUD 1945, mengenai bentuk negara Kesatuan Republik
Indonesia sangat kuat untuk dipertahankan. Tidak ada keinginan politik dalam pembahasan
amandemen UUD oleh MPR 1998-2002 untuk mengubah bentuk negara. Hal ini di
masukkan dalam kesepakatan dasar yang disusun oleh panitia Ad Hoc I yang mana terdiri
dari lima butir antara lain :1
1.

Tidak mengubah pembukaan UUD Negara kesatuan Republik Indonesia;

2.

Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia;

3.
4.

Mempertegas sistem pemerintahan presidensiil;
Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat hal-hal normatif


5.

akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh);
Melakukan perubahan secara adendum.
Jelas disana semangat untuk mempertahankan bentuk negara sebagai harga mati dalam

kenegaraan Republik Indonesia. Ketentuan mengenai bentuk negara ini dituangkan dlam
Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
Pasal 1 ayat (1)
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik.
Bahkan untuk mengantisipasi adanya perubahan mengenai bentuk negara kesatuan ini
dalam amandemen UUD NRI 1945 dicantumkan dalam Pasal 37 ayat (5) yang berbunyi:
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 37 ayat (5)
Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan
perubahan.
Namun Negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945 mengenal istilah daerah yang
bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa. Ketentuan ini memiliki dasar hukum
dari Undang-Undang Dasar tepatnya pada Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi :
Pasal 18B ayat (1)

1 MPR RI, Paduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sesuai
Dengan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekjen MPR RI, 2009, Hlm 13

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B
ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan negara mengakui
keistimewaan dan kekhususan suatus daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in
unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.2 Hal tersebut dianggap
bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.3
Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status
keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model
bentuk susunan negara federal.4 Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan
argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam
undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah
di daerah otonomi khusus/istimewa.5Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum
tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status

otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari
model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia.
Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh
kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri,

2 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme Graha Ilmu dan Universitas
Pancasila Press, Jakarta: 2009, hlm.238
3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada,Jakarta: 2005, hlm. 95
4 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan...,obcit
5 Undang-undang tersebut yaitu UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 21 Tahun 2001 , UU No. 11 Tahun 2006, UU No
13 Tahun 2012,UU No 29 Tahun 2007

pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. 6 Hal ini
menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan
barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar. 7 Termasuk
bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau
membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan
di daerah merupakan suatu otonom.8


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut penulis merumuskan rumusan masalah yang
akan dibahas yaitu :
1. Bagaimana kewenangan daerah istimewa/khusus dalam negara kesatuan Republik
Indonesia ?
2. Bagaimana status daerah istimewa/khusus dalam konsep negara kesatuan ?

BAB II
PEMBAHASAN

6 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan
lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi
negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6)
pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional
7 I Gde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia , Alumni,Bandung: 2009, hlm. 55
8 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta: 2008, hlm. 112

Untuk menjawab rumusan masalah diatas, penulis akan menyajikan beberapa bahan

terkait pembahasan kewenangan daerah yang bersifat istimewa, dan khusus yang merujuk
pada Undang – Undang sebagai dasar untuk menganalisis rumusan masalah tersebut.

A. Kewenangan Daerah Otonomi Istimewa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum
bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak
bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM
pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006,
akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.
Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun
2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan
Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan
Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak mennumbuhkan istilah tersebut
di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai
dengan UUD 1945 maupun UU No. 23 Tahun 2014. Tidak terdapatnya istilah “daerah
provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan
istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan
sebuah negara, bukan sebuah daerah.
Selain itu ada perbedaan dalam memberian nama dalam Dewan Perkawilan Rakyat

Daerah (DPRD) di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni bernama “Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk DPRD tingkat propinsi dan “Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) untuk menyebutkan DPRD tingkat
Kabupaten/Kota.9
9 Lihat Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh

Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan
undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP)
yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil
Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan
walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana
yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 Jo UU No 2 Tahun 2015 menggunakan
Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah “KPUD”.10
Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah
sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006.
Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan
daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana
yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:
1.


Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,
mukim, kelurahan dan gampong.11 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum
di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan
kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah
mukim.12

2.

Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
DPRA.13 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau
badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah
kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari

10 Lihat Pasal
11 Lihat Pasal 1 angka 12 UU No 11 tahun 2009
12 Lihat Pasal 1 angka 9 UU No 11 Tahun 2009 j.o Pasal 114, Pasal 115 UU No. 11 Tahun 2009
13Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No 11 tahun 2009


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi
secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.14
3.

Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang
berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan
pertimbangan DPRA.15

4.

Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang
akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan
Gubernur.16

5.

Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara
lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan
pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta
calon walikota dan wakil walikota di Aceh.17


6.

Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal alsyakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan
berdasarkan Qanun.

7.

Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah
“Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh

14 Lihat Pasal 9 UU No 11 tahun 2009
15Lihat Pasal 8 ayat (2) UU No 11 tahun 2009
16Lihat Pasal 8 ayat (3) UU No 11 tahun 2009
17Lihat Pasal 75 sampai Pasal 88 UU No 11 tahun 2009


Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun
Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan
bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan
Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. 18
Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan
kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).
Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan
bentuk ancaman pidana tersendiri.19
8.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,
badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.20 Di Aceh terdapat
institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,
Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK, Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat,
Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit
Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai
penegak Syari’at Islam.


B. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Status otonomi khusus bagi provinsi papua saat ini didasarkan pada uu no. 21 tahun
2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi papua sebagaimana kemudian diubah
melalui perppu nomor 1 tahun 2008 yang ditetapkan menjadi undang-undang nomor
35 tahun 2008 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
nomor 1 tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang nomor 21 tahun 2001
tentang otonomi khusus bagi provinsi papua menjadi undang-undang. pemberian status

18Lihat Pasal 128 sampai Pasal137 UU No 11 tahun 2009
19Lihat Pasal 232 sampai Pasal 245 UU No 11 tahun 2009
20Lihat Pasal 10 UU No 11 tahun 2009

otonomi khusus pada provinsi papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena
adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran hak asasi manusia (ham).
Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah
pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas
Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan
Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2008 berbunyi
sebagai berikut:
Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif,
dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.
Penggunaan istilah badan legislatif dan badan eksekutif dalam pemerintahan
propinsi Papua perlu mendapat perhatian khusus. Karena penggunaan istilah badan
legislatif dan badan eksekutif ini merujuk pada pembagian kekuasaan negara seperti
yang di utarakan oleh Montesquieu dengan teori Trias Politicanya. Montesquieu
membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang
(eksekutif), dan kekuasaan untuk mengadili terhadap pelanggaran undang-undang
(yudikatif).21
C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak
terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk
undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat. Sehingga tepatlah jika
dalam UU No 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 2 tahun 2014 tentang
Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak
menggunakan istilah Badan Legislatif dan Badan Eksekuif dalam pemerintahan daerah.
Dikatakan disana bahwa DPRD ialah lembaga perwakilan rakyat daerah yang

21 Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010, Hlm 74

berkedudukan sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan daerah.22 Sedangkan Kepala
Daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.23
Dalam pandangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dipencarkan dalam
menjalankan pemerintahan daerah itu hanya lembaga eksekutif saja. Hal ini juga
diperkuat dengan adanya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintahan pusat terhadap
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah.24 Kemudian Presiden memegang
tanggungjawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan
oleh pemerintah Pusat dan Daerah.25
Sehingga jelas bahwasaya dalam menjalankan pemerintahan daerah di Negara
Indonesia yang menganut asas desentralisasi dan dokensentrasi serta tugas pembantuan
ini tidak mengenal adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam struktur organ
pemerintahan daerah, jelas penggunaan istilah badan legislatif dan badan eksekutif
dalam suatu pemerintahan daerah Negara Indonesia tidak relevan dengan negara
kesatuan tetapi lebih mirip pada penyelenggaraan pemerintahan negara bagian layaknya
negara yang memiliki bentuk Federasi.
Selain itu dengan dinamakannya Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk
daerah propinsi juga tidak lazim dengan peraturan perundang-undangan lainya seperti
UU Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD,dan DPRD atau biasa disebut UU
MD326. Hal lain yang menjadi kewenangan khusus yang hanyan dimiliki oleh
pemerintahan daerah Papua yakni dibentuknya Majelis Rakyat Papua yang merupakan
represtasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua yang berlandaskan pada penghormatan terhadap
22 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
23 Lihat Pasal 1 angka 3 UU No 23 Tahun 2014
24 Lihat Pasal 7 ayat (1) UU No 23 Tahun 2014
25Lihat Pasal 7 ayat (2) UU No 23 Tahun 2014
26 Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014

adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup
beragama.27
Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus
(Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan
pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur
dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat
juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP
bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.
21 Tahun 2001. Perdasi ini lebih mirip dengan Peraturan Daerah karena dibuat dan
ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.
Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada
bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001
disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana
Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai
Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan.
Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.
C. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Daerah otonomi khusus Jakarta atau sering disebut Daerah Khusus Ibukota Jakarta
(DKI Jakarta) diatur dalam UU No 29 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adanya otonomi khusus di Provinsi DKI Jakarta didasari pertimbangan bahwa
hubungan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
mana sudah sewajarnya memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung
penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia yang memiliki kekhususan tugas,

27 Lihat Pasal 5 ayat (2) UU No 21 tahun 2001

hak, kewajiban, dan tanggungjawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga
internasional.28
Selain itu bahan yang menjadi pertimbangan dalam memberikan status khusus
kepada provinsi DKI Jarkarta ialah karena Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan
sebagai daerah otonom berhadapan dengan karakteristik permasalahan yang sangat
kompleks dan berbeda dengan provinsi lain. Provinsi DKI Jakarta selalu berhadapan
dengan masalah urbanisasi, keamanan, transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan
khusus, dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah
secara sinergis melalui berbagai instrumen.29
Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta memiliki perbedaan
dengan daerah lain yang antara lain :
1. Adanya Deputi Gubernur sebagai pejabat yang membantu Gubernur dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah provinsi DKI Jakarta.30 Deputi tersebut
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Deputi ini
2.

bertanggungjawab kepada Gubernur.
Wilayah di Provinsi DKI Jakarta di bagi dalam kota administrasi dan kabupaten
administrasi yang dipimpin oleh Walikota/Bupati.31 Walikota/Bupati di kota
administrasi/ kabupaten Provinsi DKI Jakarta di angkat oleh Gubernur melalui
pertimbangan dari DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang
memenuhi syarat dan selain itu Walikota/Bupati kota administrasi/Kabupaten
bertanggungjawab

kepada

Gubernur,

selain

itu

Walikota/Bupati

dapat

diberhentikan oleh Gubernur.32
Ketentuan ini berbeda dengan pengisian jabatan Walikota/Bupati sebagai kepala
daerah Kabupaten/Kota yang mana dilakukan melalui pemilihan langsung
28 Lihat Pasal 5 UU No 29 Tahun 2007
29 Lihat Penjelasan dalam UU No 29 Tahun 2007
30 Lihat Pasal 1 angka 9 UU No 29 Tahun 2007
31 Lihat Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 19 ayat (1) UU No 29 Tahun 2007
32 Lihat Pasal 19 ayat (2), (3), dan (4) UU No 29 Tahun 2007

meskipun dalam pertanggungjawabannya memang masih kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintahan pusat di daerah. Namun tanggung jawab ini tidak sebesar
tanggungjawab layaknya Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta. Artinya
Walikota/Bupati di pemerintahan daerah lainnya masih memiliki kewenangan yang
3.

besar terkait dengan pelaksanaan otonomi luas.
Dalam pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta tidak dikenal adanya Dewan
Perwakila Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, yang ada ialah dewan kota/kabupaten.
Komposisi keanggotaan daripada dewan kota/kabupaten ini ialah terdiri dari tokohtokoh yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu kecamatan satu wakil.
Tidak ada pemilihan langsung dalam pengisian dewan kota/dewan kabupaten ini
namun yang ada ialah anggota dewan kabupaten/kota diusulkan oleh
masyarakatdan disetujui oleh DPRD DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan oleh

4.

Gubernur.33
Pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada Pemerintahan
mengenai penambahan jumlah dinas, lembaga teknis provinsi serta dinas, dan/atau

5.

lembaga teknis daerah baru.34
Selain itu adanya ketentuan pengkhususan Provinsi DKI Jakarta dalam rangka
melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat yakni antara lain budaya
masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang

6.

ada di daerah Provinsi DKI Jakarta.35
Kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta ialah mengenai protokoler,
dimana Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara mempunyai hak

7.

protokoler, termasuk juga mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.36
Provinsi DKI Jakarta terutama di Kota/Kabupaten yang berbatasan langsung
dengan Provinsi Jawa barat dan Provinsi Banten, melalui pemerintahan Provinsi
DKI Jakarta melakukan kerja sama dengan mengikutsertakan pemerintah

33 Lihat Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UU No 29 Tahun 2007
34 Lihat Pasal 13 ayat (3) UU No 29 Tahun 2007
35 Lihat Pasal 26 ayat (6) UU No 29 Tahun 2007
36 Lihat Pasal 31 UU No 29 Tahun 2007

Kota/Kabupaten yang berbatasan langsung guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektifitas pelayanan
publik serta saling menguntungkan.37
Meskipun pada dasarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat melakukan
kerja sama dengan Pemerintah Provinsi lain atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
D. Kewenangan daerah Otonomi Istimewa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pemberian otonomi istimewa kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
sempat mengalami gejolak politik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhono. Beliau menyatakan bahwa tidak ada monarkhi dalam negara demokrasi
ditambah lagi, pasca amandemen UUD NRI 1945 Gubernur Propinsi DIY ialah Sultan
Hamengkubuwono X tanpa melalui pemilihan dan telah diperpanjang secara otomatis
sebanyak dua kali. Hal inilah yang kemudian melahirkan gejolak politik dimana,
pertama, masa jabatan Gubernur Provinsi DIY telah berakhir dengan dua kali masa
jabatan 2002-2012, kedua, adanya keinginan para elite politik atas dasar kepentingan
atau memang jiwa kenegaraan yang diakari oleh semangat demokrasi yang kuat,
sehingga memaknai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwasanya demokrasi merupakan
harga mati dalam pengisian jabatan Gubernur.
Sehingga dalam kelanjutannya mengenai memberian otonomi istimewa kepada
Provinsi DIY mengalami gejolak hingga lahirnya refrendum dari rakyat Yogyakarta
yang tetap mendukung Keistimewaan Yogayakrat terkait Sultan hamengkubuwono
sebagai Gubernur DIY. Dan akhirnya melalui negosiasi yang panjang, Presiden dan
DPR menyetejui UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Secara jelas undang-undang nomor 13 tahun 2012 menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki
37 Lihat Pasal 27 ayat (1) UU No 29 Tahun 2007

oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Adapaun
kewenangan istimewa adalah kewenangan tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain
wewenang sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang tentang Pemerintahan
Daerah. 38Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi :39
a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur
b. Kelembagaan Pemerintah DIY
c. Kebudayaan
d. Pertanahan dan
e. Tata ruang
Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai
kearifan local dan keberpihakan kepada rakyat. Kewenangan dalam urusan
keistimewaan diatur dengan Perdais. Dengan demikian di DIY ada dua macam produk
hukum daerah, yaitu Peraturan Daerah DIY (Perda) untuk mengatur penyelenggaraan
urusan Pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam dalam undang-undang
pemerintahan daerah dan Peraturan Daerah Istimewa DIY (Perdais), untuk mengatur
penyelenggaraan kewenangan Istimewa.40
Adapun tata cara pengisisan jabatan khususnya persyaratan calon Gubernur dan
calon Wakil Gubernur di DIY sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18, memiliki ke
khasan atau kekhususan daerah yang sama sekali berbeda dengan ketentuan dalam UU
No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yakni calon yang
bertahta sebagai Sultan Hamengkubuwono untuk calon Gubernur dan bertahta sebagai
Adipati Pakualam untuk calon Wakil Gubernur.41Persyaratan ini menarik karena calon
harus bertahta sebagai sultan (Gubernur) atau Adipati (Wakil Gubernur), yang
38 Lihat Pasal 1 Ayat (2) dan (3) UU No 13 Tahun 2012
39 Lihat Pasal 7 UU No 13 Tahun 2012
40 Ni’matul Huda, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di
Indonesia, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm.173
41 Lihat Pasal 18 Ayat (1) UU No 13 Tahun 2012

dibuktikan dengan surat pengukuhan yang menyatakan Sultan Hamengkubuwono
bertahta dikesultanan dan surat pengukuhan yang menyatakan Adipati Pakualam
bertahta di Kadipaten.42
Salah satu keistimewaan DIY di bidang pertanahan, di dalam Bab X ditegaskan
bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, Kesultanan dan Kadipaten
dengan undang-undang ini dinyatakan sebagai badan hukum

dalam hal ini yang

dimaksudkan badan hukum adalah badan hukum khusus bagi Kesultanan dan
Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2012.43Oleh karena Kesultanan
dan Kadipaten telah ditegaskan sebagai badan hukum maka Kesultanan dan Kadipaten
merupakan subyek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kesultanan dan Tanah
Kadipaten.44
Tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten meliputi tanah keprabon 45 dan tanah bukan
keprabon46 yang terdapat diseluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY. Kesultanan dan
Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kesultanan dan tanah
Kadipaten untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam Bab XI tentang tata ruang menegaskan, kewenangan
Kesultanan dan Kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan
tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten. Dalam pelaksanaan kewenangan tata ruang,
Kesultanan dan Kadipaten menetapkan kerangka umum kebijakan tata ruang tanah
Kesultanan dan tanah Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY. Kerangka umum
kebijakan tata ruang tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten ditetapkan dengan
memperhatikan tata ruang nasional dan tata ruang DIY yang dimana ketentuan lebih
42 Opcit, Ni’matul Huda,….hlm 174
43 Lihat Pasal 32 UU No 13 Tahun 2012
44 Opcit, Ni’matul Huda,….hlm 189
45 Tanah keprabon yaitu tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti pagelaran ,
Kraton, Sripaganti, tanah untuk makam Raja dan Kerabat (dikota Gede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid,
taman sari, pesanggrahan, dan Petilasan. Lihat Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU No 13 Tahun 2012
46 Tanah bukan keprabon terdiri atas dua jenis tanah, yaitu tanah yang digunakan penduduk/lembaga dengan
hak (megarsari, ngidung, hak pakai, hutan kampus, rumah sakit, dll) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa
alassan hak. Lihat penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2012.

lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten
serta tata ruang tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten diatur dengan Perdais.

B. Relevansi Pemberian Status Daerah Khusus dan Istimewa dalam Teori Negara
Kesatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa negara Indonesia yang
memiliki bentuk negara kesatuan, pasca amandemen UUD NRI 1945 telah melakukan
otonomi daerah yang luas dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan. Melalui pelaksanaan otonomi daerah yang luas ini Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbagi atas provinsi dan tiap-tiap provinsi tersebut terbagi pula atas
kabupaten/kota yang mana tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki dan
mengurusi jalannya pemerintah daerah mereka masing-masing.
Pemerintah daerah tersebut kemudian dijalankan oleh kepala daerah yang bernama
Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi untuk pemerintah daerah
propinsi dan Bupati/Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
untuk pemerintah daerah kabupaten/kota yang mana kepala daerah beserta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tersebut diibaratkan suami istri yang memiliki peran
masing-masing dalam rangka menjalankan pemerintah daerah.
Kembali pada pembahasan mengenai bentuk pemerintah daerah yag ada di Negara
Indonesia, dalam perkembangannya ternyata ada empat daerah yang memiliki status
yang berbeda antara lain Jakarta dan Papua dengan status daerah otonomi khusus dan
Yogyakarta dan Aceh dengan status otonomi istimewa. Penerapan status khusus dan
istimewa dalam pemerintah daerah ini sebenarnya memiliki dasar hukum dalam UUD
NRI 1945 yakni pada pasal 18B ayat (1) hasil dari amandemen ke II UUD NRI 1945.
Namun kemudian daerah khusus dan istimewa ini memiliki kewenangan yang
relatif berbeda dengan daerah lain, pengaturan di tiap-tiap daerah istimewa dan khusus
ini juga melalui UU tersendiri seperti UU No 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan

Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Keistimewaan Aceh, UU
No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Perrpu
No 1 Tahun 2008 Jo UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagis Provinsi
Papua. Namun demikian selain hal-hal yang secara khusus diatur dalam undanngundang otonomi khusus dan istimewa tersebut pengaturan mengenai pemerintah daerah
yang memiliki otonomi khusus maupun istimewa tetap menggunakan UU No. 2 Tahun
2015 Jo Perpu No 2 tahun 2014 Jo UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
Pertanyaan selanjutnya ialah apakah pemberian otonomi khusus dan istimewa
dalam teori negara kesatuan yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini
relevan? Untuk itu dalam menjawab wacana ini perlu memaknai apa pengertian dari
bentuk negara kesatuan tersebut.
Menurut pendapat beberapa ahli dalam menentukan bentuk negara yang ditinjau
dari segi susunannya kemungkinan akan menghasilkan dua bentuk susunan negara
sebagaimana yang dikemukakan oleh Soehino, yaitu :
1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan
2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut Negara Federasi47
Abu Daud dalam bukunya ilmu negara mempunyai pandangan yang sejalan
dengan pandangan yang dikemukakan oleh Soehino bahwa dalam menentukan bentuk
negara yang ditinjau dari segi susunan akan menghasilkan dua susunan bentuk negara,
yaitu :
1. Negara Kesatuan. Ini adalah negara yang bersusunan tunggal
2. Negara Federasi ini adalah negara yang bersusunan jamak48

47 .Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 2008 Cetakan kedelapan, hlm 224
48Abu Daud Busroh, Jakarta, BumuAksara, 2011 cetakan kedelapan, hlm 64.

Dalam pandangan dua ahli tersebut memberikan pengertian yang sama dalam
memberikan pengertian yang dimaksud dengan negara berbentuk kesatuan. Soehino
dan Abu Daud Busroh menegaskan Bahwa negara kesatuan dapat pula disebut negara
unitary adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,melainkan hanya
terdiri atas satu negara sehingga tidak ada negara didalam negara. Dengan demikian
dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu Pemerintah Pusat yang
mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,
menetapkan kebijakan pemerintahan negara baik pusat maupun di daerah-daerah 49.
Dari penjabaran definisi diatas secara tegas dinyatakan bahwa prinsip atau doktrin
dalam negara berbentuk kesatuan ialah kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah
pusat, maka daerah provinsi dan kabupaten / kota yang menjadi bagian dari negara
kesatuan tunduk pada pemerintah pusat.
Dalam membagi bentuk negara Ni’Matul Huda mempunyai pandangan yang
berbeda dengan Soehino dan Abu Daud, pembagian bentuk negara pada masa
sekarang yang dikemukakan oleh Ni’Matul Huda terbagi menjadi tiga bentuk negara,
yaitu :
1. Negara Kesatuan
2. Negara Federal
3. Negara Konfederasi50
Adapun perbedaan pandangan dalam pengkalisfikasian bentuk negara akan tetapi
pada pengertian tentang bentuk negara kesatuan Ni’Matul Huda tetap pada
pandangan yang sama dalam memberikan pengertian Negara Kesatuan, sebagaimana
yang dikutip oleh Ni’Matul Huda
“...negara kesatuan dalah bentuk kenegaraan yang paling kokoh, jika dibandingkan
dengan federal atau konfederasi. Dalam negara kesatuan terdapat, baik persatuan
49 Ibid Soehino hlm 224, lihat juga Abu Daud Busroh hlm 64.
50 Ni’matu Huda, Ilmu Negara, Jakarta, RajaGrafindoo, 2010 cetakan kedua, hlm 232 – 248.

(union) maupun kesatuan (unity). Dilihat dari segi sususnan negara kesatuan bukan
negara tersusun dari beberapa negara melainkan negara tunggal”51
Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara kesatuan adalah negara dimana
kekuasaan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan
kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara
tegas.52
Konsepsi Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di satu sisi mengukuhkan
keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi lain memberikan stimulan
bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua kepentingannya, termasuk
masalah otonomi daerah dalam sistem hukum dan kebijakan nasional.53 Inilah
kemudian disebut sebagai negara kesatuan yang didesentralisasikan.
Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut
dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan
Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda berikut ini: 54
“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan
tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu
delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government).
Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak
dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (lical
government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap
51Ibid, lihat juga Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan kelima, Bandung, Binacipta, 1974, hlm 188.
52Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Kelompok Gramedia, Jakarta,
2007, Hlm 282
53Hari Subarno, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah, Mandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa,
Sinar Grafikan, Jakarta, 2008, Hlm 144
54Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 92

merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah
pemerintah pusat.”

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa
kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak
dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan, tanggungjawab pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun
hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana
dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip
Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah
sebagai berikut: 55
“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein
adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu
kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah
pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat
terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam
wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K.
bahwa

mengandung

empat

pengertian:

pertama,

desentralisasi

merupakan

pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk dan diserahi
wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan
pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;keempat, kekuasaan yang dipencarkan
diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.”
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah
di Indonesia: 56
55Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3, Sinar Grafika,Jakarta, 2009, hlm. 13
56Ni’matul Huda, Hukum Tata...op.cit., Hlm 93

“…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas
negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang
diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya
hubungan kewenangan dan pengawasan.” 15

Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai
dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya
pemberi hak dan penerima hak. Berikut ini penjelasannya mengenai asas desentralisasi
dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut
ini:57
“Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni
penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak
tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan
tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan
pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap
dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan
kepada si pemilik hak dalam hal ini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD
sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah.”

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil
yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat
pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan
secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum
yang tidak diabaikan.

57Sunarno Siswanto,Hukum Pemerintahan...op.cit., Hlm 7

Dalam perkembangannya kemudian ialah bagaimana konsep negara kesatuan
dalam mencermati perkembangan otonomi daerah yang melahirkan otonomi khusus
dan istimewa sehingga dalam khasanah otonomi daerah tidak lagi simetris melainkan
asimetris namun secara menyeluruh tetap berada di dalam satu komponen utama yang
bernama negara. Menjawab permasalahan ini penulis coba untuk merujuk pada teori
terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya negara serikat. Dengan kata lain bahwa
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak murni memenuhi konsep
terbentuknya negara kesatuan.
Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad menjelaskan bahwa model
negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi
negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan
mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara. 58 Tidak ada
kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua
wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat
independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau wilayahwilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat
untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa
negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.59
Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak,
maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri
serta pemerintahan sendiri.60 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan

58Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara…,Op.Cit., hlm. 92
59Ibid.,
60Soehino, Ilmu Negara...op.cit, Hlm 226

sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,
sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.61Ramlan
Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian
bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.62
Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah
negara atau pembagian wilayah negara ke dalam beberapa daerah baru dilakukan
setelah terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu,
barulah kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses
terbentuknya negara federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri sendiri
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk membentuk
pemerintah dan/atau negara gabungan (pemerintah/negara federal).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Indonesia sebagai negara kesatuan yang ditegaskan dalam Konstitusi
seharusnya tunduk pada prinsip – prinsip negara kesatuan akan tetapi
berdasarkan status beberapa daerah yang memproleh kewenangan yang
bersifat istimewa dan khusus dapat mencederai semangat negara kesatuan. Hal
ini dapat kita lihat pada Undang-Undang yang mengatur daerah yang berstatus
istimewa dan khusus.
Berdasarkan pada Undang –Undang yang telah dijabarkan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa gagasan yang bersifat desentralisasi yang asimetril
61Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta, 2010, Hlm 216
62Ibid.,

mencedarai semangat atau prinsip negara kesatuan dengan adanya beberapa
ketentuan yang diperoleh daerah yang tidak mencerminkan prinsip negara
kesatuan dalam artian kewenangan yang diperoleh daerah istimewa dan
khusus tidak sesuai apabila ditinjau berdasarkan teori negara kesatuan.
B. Saran
Untuk mencegah lahirnya kembali gerakan separatisme yang
mengancam integrasi bangsa dalam hal ini kesatuan bangsa yang berakhir
dapat berujung pada permintaan pemisahan diri maupun perubahan bentuk
negara menjadi federal, hal disebabkan oleh kecemburuan sosial yang
melahirkan kesenjangan ekonomi sebagaima data yang di jabarkan Ni’Matul
Huda dalam bukunya Hukum Pemerintahan Daerah. Maka perlu dibuat suatu
sistem pemerintahan yang ditata dengan mekanisme asimetrikal sequention
desentralisation yaitu pemberian penambahan kewenangan berdasarkan pada
kinerja menggunakan beberapa parameter yang dievaluasi setiap tahunnya
untuk menenukan kewenangan yang diperoleh setiap daerah sebagaimana
semangat lahirnya konsep desentralisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta, BumiAksara, 2011 cetakan kedelapan
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme Graha Ilmu dan
Universitas Pancasila Press, Jakarta: 2009
Gramedia, Jakarta, 2007
Hari Subarno, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah, Mandu Otonomi Daerah Menjaga
IGde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia , Alumni,Bandung:
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Kelompok
Kesatuan Bangsa, Sinar Grafikan, Jakarta, 2008
MPR RI, Paduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Sesuai Dengan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekjen MPR RI, 2009

Ni’matu Huda, Ilmu Negara, Jakarta, RajaGrafindoo, 2010 cetakan kedua
Ni’matul Huda, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perdebatan Konstitusi dan PerundangNi’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada,Jakarta: 2005
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10, Gadjah Mada
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2010

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 2008 Cetakan kedelapan undangan di Indonesia,
Nusa Media, Bandung, 2013University Press, Yogyakarta: 2008
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3, Sinar Grafika,Jakarta

Peraturan Perundang – Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang nomor 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi
Undang-undang
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewah
Yogyakarta 2009