Beberapa Catatan Tentang Repetisi dan Pe

Beberapa Catatan tentang Repetisi dan Penggandaan
Pameran ini memperlihatkan perulangan terbaru dari seri Superlight Ardi Gunawan,
yang terakhir dikembangkan dalam sebuah program residensi di antara tahun 2008
dan 2009. Sejak awal, memamerkan kembali sebuah karya lama tak dapat menghindar
dari beberapa persoalan besar. Terlepas dari keinginan untuk menjaga agar A
Proposal for A Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions: Superlight tetap
menantang kendati pengulangan, ada persoalan lain yang lebih mendesak mengenai
bentuk karya yang akan dipamerkan: seri Superlight adalah sebuah intervensi
performatif atas suatu tempat khusus. Karena sifatnya yang temporer dan bergantung
pada situs yang spesifik, pertanyaan yang harus kami jawab adalah bagaimana
mengulang sesuatu yang tidak bisa diulang?
Selain itu, meskipun kita menemukan cara untuk melakukannya – seperti kita
lihat disini, strategi Ardi adalah membuat penggandaan – kita tentunya tetap harus
tetap menghadapi pertanyaan ‘mengapa’: mengapa mengulang sesuatu yang telah
dilakukan sebelumnya? Seperti yang dikatakan Heraklitus, “Kita tidak bisa menginjak
sungai yang sama dua kali.” Artinya, karena dunia terus bergerak dan berubah, kita
tidak akan bisa mengulang apapun, sebab apa yang sudah terjadi tidak akan bisa
terjadi lagi untuk kedua kalinya. Maka, upaya untuk mengulang sesuatu – termasuk
sebuah karya – terancam sia-sia.
Namun usaha ini hanya akan menjadi percuma jika yang dicari lewat
pengulangan adalah kehadiran kembali hal yang sama. Paradoks ini runtuh pada saat

aksi pengulangan menghasilkan apa yang sebelumnya dianggap terhalangi olehnya:
perbedaan. Disini, repetisi tidak bisa disamakan dengan representasi: mengulang tidak
lagi berarti mengutarakan kembali hal yang sama, tapi mengutarakan hal yang sama
sekali berbeda.i Lewat mengulang metode kerjanya dan menggandakan karya yang
ada disini, “A Proposal for a Permanent Fixture at Ark Galerie in Two Editions:
Superlight” – disingkat disini menjadi Superlight: Editions of Two – adalah sebuah
artikulasi yang tak terduga atas praktek dan karya Ardi dalam seri yang telah
dibangun selama beberapa tahun terakhir.
Sedikit mengenai Superlight
Superlight adalah karya yang terdiri dari himpunan sampah dan benda temuan yang
diambil dari tempat di sekitar atau dimana karya tersebut akan dipamerkan. Di dalam
ruang pamer, kumpulan benda-benda itu ia tumpuk-tumpuk bertumpang tindih,
hingga masing-masing mencapai titik keseimbangan dan menjadi padat. Terlepas dari
pengertian atau makna yang sering kita kaitkan dengan suatu benda, benda itu – pada
dasarnya – adalah sebuah situs yang terdiri dari relasi material yang kompleks antara
zat dan wujud: terlibat dalam daya tarik-menarik antara energi dan tenaga, sebuah
benda memiliki kapasitas untuk tumbang, melebur, memanas, mengurai, membeku,
dan sebagainya. Ketika benda-benda tersebut berdiri tanpa perekat apapun, tapi hanya
dengan mengganjal dan menyangga satu sama lain, struktur yang dihasilkan menjadi
sangat rentan akan risiko alam yang paling mendasar, yaitu gravitasi.

Dalam bentuk skulptural ini, kesan ringan – lightness – tidak semata
dihasilkan hanya dengan menggunakan material yang memiliki beban seminimal

mungkin.ii Justru sebaliknya, kesan ringan muncul ketika himpunan barang berat ini
berada di ambang kolaps.
Menumpuk, menimbun, menyokong, mengapit, menopang, menghimpun:
Superlight adalah sebuah struktur yang terbangun dari rangkaian aktifitas fisik ini.
Sebelum kita menyamakannya dengan tindakan gestural para seniman Abstrak
Ekspresionisme, perlu ditekankan bahwa tidak ada keinginan untuk menuangkan
lapisan emosi disini. Rangkaian aksi tadi dilakukan hanya untuk mencapai tujuan
tertentu seperti: menahan sebongkah kayu dengan potongan besi agar dapat
menopang pecahan dari sebuah boneka yang sudah termutilasi. Meski beranjak dari
sifat-sifat kebendaan, keputusan Ardi untuk menetapkan parameter khusus atas situs
dari mana benda-benda itu boleh diambil (menjadikan karya ini site-specific) juga
menjauhkan prakteknya dari tradisi Formalisme dan preferensinya terhadap elemenelemen komposisi ketimbang konteks sosio-kultural.
Ketika Ardi mulai membuat karya awalnya dari seri Superlight di tahun 2007,
ia memiliki anggapan bahwa karya ini tidak bisa diulang. Dengan tidak mengulang, ia
dapat mengkritik kecenderungan seni rupa untuk mengobjektifikasi – atau, mungkin,
membendakan – sebuah karya, dimana nilai terpenting tentang karya diletakkan pada
objek atau benda akhir yang dibuat oleh seniman. Ini bermasalah, karena

memperbesar kemungkinan karya tersebut menjadi komoditas belaka. Meski tetap
berbasis objek, sifat Superlight yang tidak permanen dan terus berubah meghindari
tendensi “objek-sentrisme” tadi.
Resistensi terhadap pengulangan suatu karya dapat didudukkan dalam tradisi
seni Happening tahun 1960an di AS: sebuah karya dianggap sebagai sebuah peristiwa
unik yang hanya bisa berlangsung sekali waktu saja, dan maka dari itu tidak bisa
dibawa pergi dari tempat dimana karya itu terjadi. Sebagai sebuah “peristiwa”, karya
itu dianggap lebih dari sekadar bentuk akhir yang dihasilkan tapi mencakup seluruh
tataran proses yang membentuknya. Karena aspek prosesual ini, waktu menjadi faktor
penting; dan karena waktu tidak bisa diulang, maka karya itupun tidak bisa
digandakan.
Selain faktor waktu yang tak bisa diulang, ada juga faktor fisik barang-barang
ini sebagai situs relasi material yang aktif dan berdenyut. Apa yang bisa kita lihat di
Superlight: Editions of Two hanya sepotong momen istirahat dalam kehidupan
molekul dan atom kumpulan barang ini. Lemari itu tadinya pohon yang berakar, yang
kemudian digergaji, dipaku dan diglasir. Lemari itu terus berubah; retakan mulai
muncul di permukaannya, dan setelah pameran ini ia akan diruntuhkan seluruhnya,
dibuang sebagai sampah untuk kembali ke alam. Himpunan barang yang ada disini,
seperti lemari itu, terus menerus berubah dan bermutasi – dan karenanya tidak
mungkin diulang.

Repetisi dan Perbedaan
Pengulangan hanya mustahil dan sia-sia jika yang dicari adalah kehadiran kembali hal
yang sama. Karya dalam pameran ini memutar balik asumsi tadi, dengan
menunjukkan bahwa pengulangan dapat mengembangkan perbedaan yang tidak dapat
dihasilkan tanpa aksi repetisi ini – disini, repetisi bukan lagi menjadi pilihan, tapi
sebuah keharusan.

Salah satu perbedaan ini terlihat ketika kita membahas soal dokumentasi yang
dipermasalahkan oleh Ardi didalam wawancara yang kami muat di katalog ini. Ia
mengungkapkan bahwa ada persoalan besar antara dokumentasi dan peristiwa seni,
dimana dokumentasi tidak akan mampu untuk sepenuhnya merekam seluruh aspek
dari sebuah peristiwa. Akan selalu ada “surplus” dari suatu peristiwa yang akan lolos
dari suatu citra diam maupun bergerak tentangnya. Bagi Ardi, menghasilkan sebuah
replika yang nyaris sama persis atas karyanya – mulai dari proses hingga wujud
konkrit – adalah sebuah strategi untuk mendokumentasikan karya ini. Ide ini tentunya
tidak bisa diuji coba tanpa mengulang kembali karya Superlight. Ini adalah perbedaan
yang muncul melalui penggandaan karya yang sama dalam pameran ini, yang tidak
akan terlihat apabila hanya ada satu karya saja.
Penggandaan karya secara identik juga memberikan sebuah respon yang
berbeda atas ketegangan antara seni dan pasar, yang Ardi pernah tanggapi dalam

pameran Superlight sebelumnya. Superlight versi awal tidak boleh direproduksi
sebagai cara si seniman untuk melawan arus komodifikasi, sedangkan Superlight
dalam dua edisi disini menghadirkan sebuah parodi akan situasi pasar seni rupa
tersebut: dua versi patung ini mengkritisi mitos ketunggalan karya yang orisinal yang
umumnya diutamakan oleh praktek komodifikasi karya. Memang, Ardi tidak
mengulang wujud karya Superlight di dua pameran yang berbeda ini, tapi ia tetap
mengulang metode bekerjanya. Dan ternyata, pengulangan metode kerja dapat
mengutarakan pendapat yang berbeda.
Alasan penggandaan ini menjadi semakin kuat ketika kita menimbang fungsi
dan desain Ark Galerie – tempat pameran ini berlangsung – sebagai ruang komersil
bergaya modernis (catatan: model galeri “white cube”), yang umumnya
mengutamakan otentisitas sebuah karya yang dianggap begitu sakral sehingga tidak
boleh digandakan. Ketika ruang tersebut digandakan, lengkap dengan karya yang
terletak didalamnya, maka terbangun sebuah kritik berbentuk parodi terhadap Ark
Galerie sebagai sebuah ruang galeri komersil. Ini adalah pendekatan spasial yang
berbeda dengan pameran Superlight sebelumnya, yang pernah dilakukan di sebuah
galeri nirlaba di Melbourne, Australia.
Selain menjadi sarana pengutaraan gagasan yang berbeda, pengulangan
metode kerja juga tidak menjamin kesamaan wujud yang dihasilkan. Jika struktur
Superlight yang ada disini dibandingkan dengan yang pernah dibuat sebelumnya,

mereka akan langsung terlihat berbeda. Penyebabnya adalah prasyarat yang Ardi
tetapkan untuk project Superlight: semua bahan yang akan digunakan harus
ditemukan di daerah sekitar ruang pamer. Sudah pasti, ketika tempat pameran
berpindah, wujud fisik Superlight juga akan berubah.
Sekarang, ada pergeseran pada ketentuan ini dimana rumah yang merangkap
tempat kerjanya sehari-hari menjadi situs “pemulungan”. Ardi kemudian menyusun
kategori-kategori khusus untuk benda-benda yang ia kumpulkan, sehingga yang dapat
digunakan hanya boleh terdiri dari material bangunan, meubel, boneka bekas dan
bahan faux fur. Ini adalah kumpulan barang yang berbeda, yang belum pernah
digunakan sebelumnya. Jadi, meski ada repetisi pada metode bekerja, tetap akan
terjadi perbedaan pada bentuk akhirnya.

Repetisi dan Kesamaan
Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa tidak semua pengulangan memunculkan
perbedaan. Bayangkan menghafal sepenggal lirik lagu lewat menyanyikannya
berulang-ulang kali, dan lebih memahaminya karena pengulangan ini – disini,
pengulangan memperdalam kendali kita akan lagu tersebut. Demikian juga dengan
praktek seorang seniman: pengulangan metode kerja mempertajam pendekatan
artistiknya.
Untuk menggandakan karya Superlight sebelumnya, Ardi harus mengulang

kembali metode bekerja yang ia terapkan. Salah satunya adalah lompatan-lompatan
yang ia lakukan dari satu peran ke peran lainnya, meruntuhkan mitos bahwa seniman
adalah figur yang terperangkap dalam otonominya sendiri. Dalam mewawancarai 2
orang teman mengenai karyanya, Ardi melakukan tugas yang umumnya dikerjakan
oleh kurator. Cara Ardi untuk memposisikan dirinya sebagai kurator juga terlihat dari
pilihannya untuk menggandakan ruang pamer, dimana ia terlibat dalam aspek
pembuatan pameran dan bukan hanya pembuatan karya saja.
Seperti cara kerjanya dalam project-project lain, untuk mayoritas pembuatan
karya di pameran ini Ardi kerap mengambil peran “artisan” atau “tukang” yang lazim
dipekerjakan oleh seorang seniman. Sejak awal, ia membangun seluruh konstruksi
ruangnya sendiri dengan bantuan Pak Woto yang bekerja di Jilsi, sebuah usaha
produksi boneka yang ia miliki bersama keluarganya. Melihat Ardi berkarya, saya
mendapatkan bahwa keterlibatannya dalam “kerja kasar” pembuatan karya – tak
jarang kami tertawa karena praktek Ardi sering mengakibatkan ruang galeri terlihat
seperti area konstruksi bangunan – adalah sebuah pernyataan politis. Ketika banyak
seniman muda bersembunyi dibalik posisi sebagai “penggagas konsep”, Ardi
mengkritik situasi ini dengan memastikan bahwa ia terlibat – baik secara fisik
maupun konseptual – bersama orang-orang lain dalam segala aspek pembuatan karya
ini.
Ini dapat dilihat sebagai strategi untuk menyiasati dalih “estetika relasional”

yang sering dikemukakan sejak Nicolas Bourriaud menerbitkan bukunya di tahun
2002.iii Menurut teori ini, kapasitas seni yang paling signifikan muncul ketika karya
tersebut terbuka akan bermacam relasi dan hubungan antara beragam agen yang
terpintal dalam jaringan pembuatan dan penerimaan karya tersebut; disini, singularitas
seorang seniman tergeser dan tidak menjadi begitu penting lagi. Yang menjadi
masalah, dengan membuka praktek mereka terhadap peran serta orang lain, sering kali
keterlibatan seorang seniman dilucuti hingga titik dimana campur tangannya hanya
terlihat dari sisa-sisa konsep yang ia gagas. Berbeda dengan kecenderungan ini, meski
praktek Ardi membutuhkan partisipasi banyak peserta, karya yang kita lihat disini
tetap menunjukkan keterlibatannya yang menyeluruh: ternyata, ditengah maraknya
argumentasi kontemporer tentang luluh leburnya otoritas seorang seniman, ada saat
dimana otoritas ini masih harus dipertahankan.
***
Dalam pameran ini, repetisi, pengulangan dan penggandaan adalah sebuah strategi
artistik spesifik yang memberi Ardi kesempatan untuk mempertajam prakteknya. Tapi

lebih dari itu, strategi ini ternyata juga menimbulkan perbedaan-perbedaan signifikan
yang tidak akan muncul melalui cara lain. Ini meluruhkan asumsi mengenai repetisi
sebagai suatu tindakan yang percuma, karena hanya akan menghadirkan kembali hal
yang sudah pernah ada.

Heraklitus agaknya benar dalam menjalin korelasi antara ketetapan dan
perubahan: meski terus berubah, sungai yang ia contohkan di perumpamaan tadi tetap
sungai yang sama. Tapi filsuf ini keliru dalam mengisyaratkan – dengan menekankan
kemustahilan pengulangan – bahwa pengulangan berarti menghadirkan kembali hal
yang sama. Di pameran ini, terlihat bahwa repetisi tidak selalu menghadirkan kembali
hal yang pernah ada, tapi menunas beragam perbedaan. Hanya melalui repetisi,
sebuah karya lama dapat menghadirkan hal-hal yang belum pernah ia hadirkan
sebelumnya. Aliansi antara repetisi dan perbedaan ini adalah gelagat praktek seni
yang sedang berkembang secara rizomatic dan tak terduga, daripada linear dan pasti.iv
Mitha Budhyarto
Kurator pameran
                                                        
i Gilles Deleuze, Difference and Repetition (London: Continuum, 2001).

ii

Terri Bird, Reconfiguring Still, catalogue essay for the super light by Ardi Gunawan (2008).
Nicolas Bourriaud, Relational Aesthetics (Dijon: Les Presses du Réel, 2002).
iv
Gilles Deleuze and Felix Guattari, A Thousand Plateaus (Minneapolis: University of

Minnesota Press, 1987). 

iii