Otonomi Daerah dan HAM ASIAN 2014

1

Otonomi Daerah dan Potensi Kebijakan Publik yang Berdimensi
Pelanggaran HAM di Sumatera Barat 1
Oleh: Afriva Khaidir, Azwar Ananda, Heni Muchtar, Akmal2
==============================================================
Makalah Dipresentasikan dalam Simposium IV Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara
(AsIAN) di Universitas Udayana, Denpasar 18-19 September 2014
Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada daerah otonom baik di tingkat propinsi, kabupaten/kota bahkan sampai ke
desa untuk mengatur dan meregulasi masyarakatnya melalui berbagai bentuk peraturan perundang-undangan. Regulasi atau
kebijakan publik yang dicita-citakan haruslah memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat, dan adanya asas
kemanfaatan. Perkembangan kontruksi hukum kebijakan publik diharuskan memperhatikan hukum yang berlaku secara vertikal
dan horizontal serta instrumen hak asasi manusia yang ada. Kebijakan publik yang mengesampingkan rasa keadilan justru akan
menimbulkan keadaan chaotik dalam masyarakat, sebaliknya keadilan tanpa didasari kepastian hukum akan menghilangkan
nurani keadilan kemanusiaan dan esensi dari the rule of law itu sendiri. Penelitin ini adalah mengidentifikasi dan
mengembangan model kebijakan publik yang tidak melanggar hak asasi manusia dalam era otonomi daerah di 3 kabupaten di
prop. Sumatera Barat, yaitu Padang Pariaman, 50 Kota, Pesisir Selatan dan propinsi sendiri. Formulasi kebijakan publik harus
sesuai dengan UU No.32 tahun2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga tidak terjadi penyimpangan penyusunan Perda
dari ketentuan yang berlaku, dan dapat diterima oleh masyarakat luas., Sosialisasi rancangan peraturan daerah (Perda)
sebelum menjadi Perda dalam rangka pemajuan kesejahteraan dan keamanan masyarakat merupakan tuntutan masyarakat
sesuai dengan amat hukum itu sendiri. Kewajiban pemerintah untuk mendidik dan mengkomunikasikan tentang Perda, yang

disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. Penelitian menemukan sebagian kebijakan publikyang dilahirkan ditentang
masyarakat secara luas, seperti masalah Perdatentang Pemerintahan Nagari dan PerdaMaksiat tertentu, telah mengundang
protes keras masyarakat melalui demonstrasi ke pihak regulator. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui Perda yang
mengatur hak dan kewajibannya, secara mendadak mengikat mereka, masyarakat menilai Perda bertentangan dengan kepatutan
dan rasa keadilan, bahkan tidak mengindahkan asas dan sikronisasi hukum baik secara vertikal dan horizontal, terindikasi
bertentangan dengan instrumen HAM nasional dan internasional. Penelitian ini dengan pendekatan yuridis normatif untuk
melihat dasar berpijak formal dengan pamahaman pada inventarisasi, asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi yang termuat
dalam berbagai produk hukum dan kebijakan yang telah dihasilkan oleh pemerintah daerah apakah berdemensi adanya
pelanggaran HAM Tahap berikutnya dilakukan analisis dengan pendekatan yuridis empiris, yaitu melihat bagaimana hukum
bertemu dengan aspek kehidupan dan budaya masyarakat serta pemerintah. Pada akhirnya data inventarisasi dan analisis
digunakan untuk mengetahui tentang pengembangan model strategi penyusunan kebijakan publik (baik Perda maupun Perna)
dalam era otonomi daerah di Sumatera Barat yang tidak melangar HAM,

Latar Belakang
Kebijakan publik (public policy)diperingkat daerah memiliki berbagai bentuk. Jika merujuk kepada pasal 7 UU No. 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ia terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kota/Kabupaten. Jika merujuk kepada definisi kebijakan publik menurut Robert Eyestone dalam Winarno (2007:17) secara luas
kebijakan publik dapat bermakna ”hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya” atau Thomas R. Dye menyatakan
”kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Menurut Amir Santoso
(1993:20) mengindentifikasi ada pemikiran yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah terdiri dari serangkaian proses yang

terdiri dari perumusan, implementasi dan evaluasi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan (implementor) untuk
mencapai tujuan dan cara mencapai tujuan tersebut. Dalam kaitan inilah regulasi merupakan sebuah produk kebijakan publik.
Jika level kebijakan dibagi atas makro, mezzo dan mikro, maka di peringkat mikro kebijakan publik di daerah tidak hanya berupa
peraturan daerah yang merupakan keputusan politik, tetapi juga termasuk peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan
walikota, peraturan kepala desa dan seterusnya. Bahkan jika peraturan bernuansa regulatif (regerend), keputusan yang berupa
desicive (beschikking) juga merupakan kebijakan publik karena akan berdampak kepada publik pada ruang lingkup yang
terbatas.
Kebijakan publik yang dicita-citakan adalah kebijakan yang memenuhi unsur kepastian hukum, rasa keadilan masyarakat, dan
adanya kemanfaatan. Perkembangan kontruksi hukum kebijakan harus memperhatikan hukum yang berlaku secara vertikal dan
horizontal serta instrumen HAM yang ada. Begitupun juga halnya dengan nilai keadilan yang dipancarkan, Daniel Webster
1
2

Makalah adalah bagian dari Penelitian Strategis Nasional, SImlitabmas Dikti Kemdikbud tahun 2014
Penulis adalah Dosen di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

2
mengatakan :”justice is the great interest of man on earth ” (keadilan merupakan kepentingan yang besar bagi kehidupan manusia
di dunia). Selanjutnya O.C Kaligis (2007) mengatakan bahwa tanpa keadilan akan timbul keresahan dalam masyarakat. Hukum
dengan mengesampingkan rasa keadilan justru akan menimbulkan chaos hukum, sebaliknya keadilan tanpa didasari kepastian

hukum akan menghilangkan nurani keadilan kemanusiaan dan Rule of Law itu sendiri.
Unsur keadilan yang dikemukakan Sabini dalam Rahayu (2007) menyatakan bahwa bahwa unsur penerapan keadilan terdiri dari
keadilan substansial dan keadilan prosedural. Sedangkan asas manfaat menurut aliran utilitarianisme atau utilitisme bahwa tujuan
hukum satu-satunya adalah untuk mencapai kemanfaatan. Hukum yang baik adalah hukum yang membawa kemanfaatan bagi
manusia. Kemanfatan dapat diartikan kebahagian (happyness). Baik buruknya suatu hukum apakah hukum itu memberikan
kebahagian atau tidak bagi manusia. Jeremy Benthan menjelaskan bahwa hukum sudah dapat dikatagorikan baik apabila mampu
memberikan kebagian kepada bagian terbesar dari masyarakat (the greatest happines for the greatest number of people )
Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan. Tahapan pertama yang dilaksanakan tahun 2014 bertujuan untuk mengidentifikasi sementara
tahapan kedua yang akan dilaksanakan tahun 2015 akan dimaksudkan untuk mengembangkan model Perdasebagai kebijakan
publik yang tidak melanggar hak asasi manusia dan kemanfaatan dalam era otonomi daerah di 3 (tiga) kabupaten di provinsi
Sumatera Barat dan provinsi. Kondisi ini amatlah diperlukan sesuai dengan amanat dari pasal 138 UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengharuskan dipertimbangkannya asas pengayoman, kemanusiaaan, kebangsaan, kekeluargaan,
kenusantaraan, bhineka tunggal ika , keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum, dan keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Formulasi kebijakan yang mendasarkan kepada asas-asas tersebut
menghindarkan kepada terjadinya penyimpangan penyusunan Perda dari ketentuan yang berlaku, dan dapat diterima oleh
masyarakat luas.Penelitian dilaksanakan dengan kerjasama bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perwakilan Sumatera
Barat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Sumatera Barat
Sosialisasi rancangan kebijakan sebelum menjadi Perda dalam rangka pemajuan kesejahteraan dan keamanan masyarakat
merupakan tuntutan masyarakat sesuai dengan amat hukum itu sendiri. Menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mendidik dan
mengkomunikasikan tentang Perdayang disesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya. Dengan demikian kebijakan publik

dalam konteks pembangunan pada hakekatnya adalah bagian dari proses pembangunan manusia seutuhnya. Hal tersebut
mengedepankan adanya saling keterkaitan antara kebebasan dan persamaan dengan pelaksanaan pembangunan, namun dalam
perjalanannya dapat dilihat dan dirasakan bersama ditemukan jurang yang memisahkan antara praktek pembangunan dengan
kerangka normatifnya, atau terjadi kesenjangan antara tujuan yang dirumuskan dengan sasaran mengoperasionalkan tercapainya
tujuan tersebut.
Melihat perkembangan serta situasi yang terjadi di masyarakat kabupaten/kota Sumatera Barat sebagian besar Perda yang
dilahirkan ditentang masyarakat secara luas, seperti masalah Perda pemerintahan nagari dan Perdaanti-maksiat tertentu, telah
mengundang protes keras masyarakat melalui demonstrasi ke pihak yang mewakili Negara (Kepala Daerah, DPRD, Komnas
HAM Perwakilan Sumatera Barat). Ditemukan juga pada beberapa kasus sebagian besar masyarakat tidak mengetahui Perda
yang mengatur hak dan kewajibannya, yang kemudian secara mendadak mengikat mereka, masyarakat menilai Perda
bertentangan dengan kepatutan dan rasa keadilan, bahkan tidak mengindahkan asas dan sikronisasi hukum baik secara vertikal
dan horizontal. Selanjutnya terindikasi bertentangan dengan instrumen HAM nasional dan internasional (Pusham UNP, 2009),
(Komnas HAM Perwakilan, 2009), (Kanwil Hukum dan HAM Sumatera Barat, 2009). Selanjutnya diungkapkan bahwa Perda
yang dikeluarkan pada dasarnya belum mencakup kepentingan pembangunan dalam arti seluas-luasnya. Pada saat ini
pembangunan satu sama lain kurang saling berkaitan. seperti bidang pembangunan yang dirancang yang meliputi pembangunan
ideologi/ABS-SBK, politik/pemerintahan, ekonomi, fasilitas pelayanan umum, pendidikan, kesehatan, perumahan, kesempatan
kerja dan jaminan sosial dan seterusnya.
Metodologi dan Kajian Teoritik
Pembangunan hukum yang dirancang, seharusnya tidak terlepas dari kesadaran hukum masyarakat, rasa keadilan, manfaat dan
kepastian hukum.Pembangunan pada hakekatnya adalah pembangunan manusia seutuhnya, hal tersebut mengedepankan saling

keterkaitan antara kebebasan dan persamaan disatu sisi dengan pelaksanaan pembangunan disisi lain. Namun demikian, dalam
perjalanannya dapat dilihat dan dirasakan bersama jurang yang memisahkan antara praktek pembangunan dengan kerangka
normatifnya, atau terjadi kesenjangan antara tujuan yang dirumuskan dengan sasaran mengoperasionalkan tercapainya tujuan
tersebut.
Sehubungan dengan itu, penelitian kebijakan dengan pendekatan yuridis normatif untuk melihat dasar berpijak formal dengan
pemahaman pada inventarisasi, asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi yang termuat dalam berbagai produk hukum dan
kebijakan yang telah dihasilkan oleh regulator. Dengan demikian dapat diidentifikasi apakah sebuah kebijakan publik
mengandung dimensi pelanggaran HAM ataukan terbebas. Pada level berikutnya dilakukan pendekatan yuridis empiris atau
dikenal juga dengan sosiologi hukum (sociological yurisprudence). Artinya yaitu melihat bagaimana hukum bertemu dengan
aspek kehidupan dan budaya masyarakat serta pemerintah.

3
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui tentang pengembangan model strategi penyusunan kebijakan publikyang tidak
melanggar HAM, Spesifikasi penelitian pada yuridis normatif lebih bersifat deskriptif terhadap hasil inventarisasi
kebijakanPerda yang berkaitan dengan sitematika hukum, penemuan asas-asas hukum, dan taraf sinkronisasi peraturan
perundang-undangan dalam penyusunan Perda. Dilakukan pengkajianPerda-Perda yang bermasalah seperti pelanggaran asasasas hukum dan sikronisasi sesuai perundang-undangan dan instrumen HAM. Sedangkan pendekatan melalui focus group
discussion (FGD) dimanfaatkan untuk mengetahui model penyusunan Perda yang tidak melanggar HAM.Penelitian dilakukan di
3 (tiga) kabupaten di provinsi Sumatera Barat, yaitu kabupaten Pesisir Selatan, kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Padang
Pariaman. Di samping itu dilakukan juga pengambilan data dan analisis di tingkat provinsi Sumatera Barat di Padang sebagai
ibukotanya.

Sumber data primer dalam penelitian ini terutama menekankan kepada identifikasi pola penyusunan/formulasiPerda.Kemudian
dilaksanakan wawancarayang dilakukan kepada tokoh masyarakat yang mewakili setiap kelompok kepentingan (interest group),
atau tokoh-tokoh kunci yang mengetahui tingkat pelanggaran Perda di daerah penelitian, dengan jumlah yang ditetapkan sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Sedangkan dari pihak pengambil kebijakan (decision makers)diambildari unsur legislatif, eksekutif
dan yudikatif sesuai dengan kebutuhan penelitian dan akan ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan level kejenuhan data
penelitian.
Pengambilan data menggunakan beberapa teknik sebagai upaya memperoleh data yang akurat dan triangulatif yaitu: 1) studi
kepustakaan, 2) observasi, 3) survey kuesioner, 4) wawancara (interview), dan 5) diskusi kelompok terfokus (focus group
discusion-FGD)
Institusi yang dibentuk untuk menjaga terakomodasinya penegakan dan perlinfungan Hak Asasi Manusia (HAM) di provinsi
Sumatera Barat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Sumatera Barat.Dalam tugas pokok dan fungsi yang
dimiliki Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat sesuai dengan amanat UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang dimplementasikan dengan Keputusan Komnas HAM No.14/Komnas HAM/IV/2006 tentang Fungsi, Tugas dan Wewenang
Komnas HAM Perwakilan meliputi:
(1) melakukan fungsi pengkajian dan penelitian: (a) pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan daerah yang
akan diberlakukan atau yang telah berlaku di wilayah (b) studi pustaka, studi lapangan, dan studi banding dalam rangka
peningkatan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di wilayah kerjanya, (c) pembahasan berbagai
masalah yang berkaitan dengan perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM di wilayah kerjanya, (d) kerjasama
pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lain di wilayah kerjanya.
(2) Pelaksanaam fungsi penyuluhan, yaitu: (a) melakukan penyebarluasan wawasan mengenai HAM kepada masyarakat, (b)

upaya peningkatan kesafdaran masyarakat tentang HAM melalui lembaga pendidikan formal, non formal, informal serta
berbagai l;embaga lainnya.
(3) Pelaksanaan pemantauan, yaitu: (a) melakukan pengamatan pelaksanaan HAM di wilayah kerja dan penyusunan laporan
hasil pengamatan tersebut untuk disampaikan kepada Komnas HAM Pusat, (b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap
peristiwa yang timbul dalam masyarakat diwilayah kerjanya nya yang berdasar lingkup dan sifatnya patut diduga terdapat
pelanggran HAM, (c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan berhubungan dengan
peristiwa yang diduga terdapat pelanggran HAM untuk diminta dan didengar keterangannya, (d) peninjauan tempat kejadian
dan tempat lainnya yang dianggap perlu, (f) pemanggilan terdapat pihak yang terkait dengan peristiwa yang diduga terdapat
pelanggran HAM yang terjadi diwilayah kerjanya untuk memeberi keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen
yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan, (g) pemeriksaan setempat terhadap rumah,
pekarangan, bangunan, dan tempat-tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua
Pengadilan, (h) pemberian pendapat berdasarkan pesertujuan Ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam
proses peradilan di wiyah kerjanya, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran HAM dalam masalaha publik dan
acara pemeriksaan oleh peradilan, dengan permintaan oleh hakim kepada para pihak.
(4) Pelaksanaan fungsi mediasi, yaitu: (a) melakukan Perdamaian para pihak yang bersengketa, (b) menyelesaikan sengketa
yang terjadi melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli, (c) pemberian saran kepada para pihak
yang bersengketa yang berada di wilayah kerjanya untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, (d) penyampaian
rekomendasi atas suatu kasus pelanggran HAM kepada lembaga legislatif untuk ditindaklanjuti (Keputusan Komnas HAM
NO.14/Komnas HAM/IV/2006).
Komnas HAM Perwakilan lebih memperhatikan aspek pengaduan, jika ada pengaduan baru dikaji sesuai dengan tuntutan

masyarakat dan direkomendasi pada instansi terkait. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM di Sumatera Barat. (a) Abuse of power
(Kesewenangan), yaitu tindakan penguasa atau aparat negara terhadap masyarakat di luar atau melebih batas-batas kekuasaan dan
wewenang yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan, baik birokrasi sipil maupun militer. Seperti lebih banyak dilakukan
Satpol PP dan Polri, (b) Violation by omission (pembiaran). Artinya tidak mengambil tindakan atas suatu pelanggaran, seperrti
tidak dibuatnya peraturan daerah dalam rangka perlindungan masyarakat, seperti pembiaran perampasan tanah ulayat oleh
investor dan pemerintah sendiri pada hal masyarakat meminta perlindungan Perda tentang masyarakat hukum adat dan ulayat
mereka, (c) Violation by commmision (sengaja melakukan). Artinya melakukan tindakan yang menyebabakan pelanggran HAM,
seperti Membuat peraturanatau kebijakan publik tetapi isinya mengandung unsur pelanggaran HAM. Kecenderungan
pelanggaran HAM dilakukan oleh siapa saja yang memilki kekuasaan. Seperti adanya Perda kelebihan muatan, Perda maksiat

4
yang melarang perempuan keluar malam hari, Perda pemanfaatan tanah ulayat yang tidak dapat dikembalikan ke ulayat. Hal
tersebut sebagai fungsi, tugas dan wewenang yang dimainkan Komnas HAM Perwakilan di Sumatera Barat.
Negara yang menganut sistem demokrasi tidak dapat dipisahkan dengan wacana penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).Negara
demokratis wajib menjamin pelaksanaan hak-hak politik dan memberi jaminan terhadap keberlangsungan hidup setiap
warganya.Pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara harus berimplikasi terhadap kesejahteraan
warganya. Proses demokrasi yang dijalankan tidak hanya sebatas pada prosedural (demokrasi prosedural) tetapi dapat sampai
pada substansi (demokrasi substansial) dari demokrasi dengan memberikan jaminan pasti terhadap HAM.
HAM merupakan klaim yang harus dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang bersifat kodrati.Dalam
definisinya yang esensial, HAM melekat pada manusia sebagai subjek pengemban hak semenjak manusia dapat dikategorikan

sebagai manusia di dalam kandungan.Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan dan dibagi-bagi.Semenjak deklarasi Hak
Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948 telah mengafirmasikan betapa penting dan
fundamental terpenuhinya dua macam kebebasan bagi umat manusia, yaitu freedom of wants (hak-hak sipil dan politik) dan
freedom of needs (hak-hak ekonomi dan sosial). Akan tetapi realitasnya di lapangan, sejak berakhirnya Perang Dunia II,
sebetulnya lebih banyak orang yang meninggal akibat malnutrisi, kelaparan, dan wabah penyakit ketimbang gabungan jumlah
keseluruhan korban berbagai perang yang terjadi dan korban berbagai rezim represif yang secara sistematis melanggar hak-hak
sipil dan politik warganya demi mempertahankan kekuasaan meraka. Namun pemenuhan hak EKOSOB baru menjadi
perbincangan serius belakangan ini di dalam konteks wacana hak asasi manusia di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan
hak pangan, pendidikan, dan perumahan.
Perbincangan mengenai HAM pada era modern ini tidak terlepas dari pandangan terhadap manusia terutama dari Thomas Hobbes
(1588-1679) dan John Locke (1632-1704).Dalam pandangan Hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo
homini lupus).Manusia menjadi makhluk yang penuh ambisi yang berkontestasi dengan manusia lainnya dalam melakukan
akumulasi untuk kepuasan hidupnya.Dengan demikian, maka untuk menjamin terciptanya ketertiban diperlukan suatu organsasi
lebih besar dari sistem sosial masyarakat yang dapat melakukan paksaan.Organisasi yang dianggap mampu melaksanakan
paksaan itu adalah Negara.Demikian pula pandangan Locke, yang menganggap manusia adalah makhluk atau individu yang
bebas melakukan atau tidak melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya.Locke memandang kebebasan manusia itu dalam
bentuk kesejajaran yang relasinya bersifat konstruktif.Makna relasi yang konstruktif itu dimanifestasikan dalam bentuk hukum
yang diorganisir oleh badan yang berbentuk Negara.
Baik pandangan Hobbes maupun Locke memiliki konsekuensi bahwa Negara perlu ada untuk menjaga agar seseorang tidak
menjadi korban dari keberingasan manusia lain dan menjamin agar hubungan sosial berjalan dalam tujuan sosial yang disepakati

bersama. Salah satu perbedaan pandangan mereka terletak pada sifat kontraktual antara negara dan masyarakat. Hobbes
mengandaikan kontraktual masyarakat dengan negara itu sebagai mandat bebas dari masyarakat kepada Negara, sehingga Negara
dapat melakukan apa saja untuk menjamin sistem sosial bertahan. Pandangan Negara kuat inilah yang menjadi akar dari
otoritarianisme yang oleh Hobbes disebut sebagai Leviathan.Sedangkan Locke memandang hubungan kontraktual antara
masyarakat dengan negara itu bersifat imperatif atau terbatas. Yaitu sebatas negara masih berfungsi untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak individu untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki masyarakat. Bila negara lari dari
kontraktualnya, maka Negara dapat diabaikan, dibubarkan atau dinegosiasikan ulang.
Hak-hak sipil dan hak EKOSOB merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mendukung.Kerapnya
terjadi pelanggran terhadap hak-hak sipil biasanya selalu diawali oleh pelanggaran terhadap hak-hak EKOSOB sesorang atau
masyarakat.Sebagai contoh pembunuhan terhadap aktivis-aktivis gerakan di Indonesia, diawali dengan adanya penuntutan
terhadap hak-hak EKOSOB yang dilanggar oleh negara.International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau sering
disebut negative rights dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau positive rights
merupakan produk yang dilahirkan pada situasi dunia yang diliputi perang dingin, dan kedua Covenan ini tidak dilahirkan secara
bersamaan, sehingga membawa dampak tersendiri dalam pelaksanaannya. ICCPR memuat tentang pembatasan penggunaan
kewenangan oleh aparat represif negara, sedangkan ICESCR menuntut peran maksimal negara.
Di Indonesia, wacana akan HAM pada dasarnya bukan hal yang baru. Jika kita melihat sejarah konstitusi, maka akan kita
temukan dasarnya-dasarnya. Pada mukadimah UUD 1945 dengan jelas mengatakan bahwa “kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.... ”. Hal ini berat bahwa founding father kita telah

menyadari akan pentingya HAM dalam pengelolaan negara.
Pasca kejatuhan presiden Soeharto pada tanggal 20 Mei 1998, praktis hak-hak sipil di Indonesia mendapat jaminan yang lebih
kuat, dan telah termuat dalam konstitusi pasca amandemen kedua yang secara spesifik berbicara tentang HAM. Namun, dalam
aspek pemenuhan hak-hak EKOSOBmasih sering terabaikan bahkan sering dilanggar oleh negara, sebagai contoh, maraknya
penggusuran, kemiskinan, hak akses dunia pendidikan, menjadi masalah baru yang harus menjadi perhatian semua pihak. Harus
ada pemahaman yang lebih luas dimasyarakat bahwa kekerasan tidak hanya sifatnya fisik, seperti penculikan, pembunuhan,

5
pembungkaman akan tetapi hak-hak dasar seperti pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan kesejahteraan merupakan sebuah hak
yang harus dituntut.
Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya – EKOSOB (International Convenant for Economic,
Social and Cultural Rights) terdiri dari 31 Pasal, yang terdiri dari Mukadimah dan 5 Bagian. Mukadimah terdiri dari lima (5)
Paragraf preambule yang seluruh isinya berbunyi sama dengan Mukadimah Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik. Namun perlu dicatat bahwa, paragraf preambuler ke-3 dari Kovenan ini (ICESCR) merupakan penegasan tentang
keterkaitan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan hak-hak sipil dan politik.Paragraf preambuler ke-3 tersebut
menyatakan:
“Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas
dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana
semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politiknya.”
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic,
social, and Cultural Right) pada Oktober 2005.Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya).Dengan demikian, negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi Hak-hak tersebut kepada
warganya.Ada 143 negara yang meratifikasi kovenan tersebut, termasuk Indonesia.
Kovenan Hak EKOSOB ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1. Bagian pertama memuat hak setiap penduduk untuk menentukan nasib sendiri dalam hal status politik yang bebas serta
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya.
2. Bagian kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya
yang ada dalam mengimplementasikan Kovenan dengan cara-cara yang efektif, termasuk mengadopsi kebijakan yang
diperlukan.
3. Bagian Ketiga memuat jaminan hak-hak warga yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.

Hak atas pekerjaan
Hak mendapatkan program pelatihan
Hak mendapatkan kenyamanan dan kondisi kerja yang baik
Hak membentuk serikat buruh
Hak menikmati jaminan sosial, termask asuransi sosial
Hak menikmati perlindungan pada saat dan setelah melahirkan
Hak atas standar hidup yang layak termasuk pangan, sandang, dan perumahan
Hak terbebas dari kelaparan
Hak menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tinggi
Hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar secara cuma-cuma
Hak untuk berperan serta dalam kehidupan budaya menikmati manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
aplikasinya

4. Bagian keempat memuat kewajiban negara untuk melaporkan kemajuan yang telah dicapai dalam pemenuhan hak-hak
EKOSOB ke Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan EKOSOB.
5. Bagian kelima memuat ratifikasi negara. Diantara banyak hak yang dimuat dalam Hak-hak EKOSOB, ada hak yang paling
mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak EKOSOB, yakni Hak tas Pendidikan dan Kesehatan.
Dilihat dari fungsi sebuah kebijakan publik, hukum dimaksudkan untuk membentuk perilaku masyarakat demi tercapainya suatu
suasana dan kondisis tertentu, dalam hal ini hukum dilihat sebagai sarana perekayasa masyarakat (a tool of social engeneering).
Masalah dampak hukum yang positif sebenarnya menyangkut hukum yang efektif, maka terjadilah dampak hukum yang positif
(Soekanto dalam Akmal, 2002).Sebagai suatu kaedah, maka hukum dapat berisikan suruhan, larangan dan atau kebolehan.
Suruhan dan larangan adalah hukum yang bersifat imperatif, sementara kebolehan bersifat ajektif. Kaedah hukum imperatif
secara apriori tidak mengikat, sehingga harus ditaati, sementara yang bersifat ajektif secara apriori tidak mengikat.

6
Dalam konteks sosialisasi strategi penyusunan kebijakan yang menjadi sasaran adalah bagaimana caranya agar kebijakan dalam
pedoman proses penyusunannya dapat diterima masyarakat, dan mempunyai dampak terhadap perilaku manusia. Artinya dalam
hal pokok kajian utama adalah bagaimana kebijakan dapat dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dan aparat pemerintah. Demi
tercapainya tujuan tersebut diperlukan pemenuhan beberapa kondisi yang merupakan persyaratan agar hukum mempunyai
dampak yang positif. Penelahaan hal ini di Indonesia sejauh ini kurang mendapat perhatian, sehingga penerapan peraturan
perundang-undangan sering menelan biaya sosial (social cost) yang besar baik secara langsung maupun tidak yang
mengakibatkan kewibawaan hukum.
Kondisi yang dimaksud adalah hukum harus dikomunikasikan. Komunikasi disini diartikan sebagai proses penyampaian dan
penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti tertentu. Komunikasi hukum lebih-lebih tertuju pada sikap atau perilaku
yang berwujud pada tindakan nyata. Karena itu ia mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif. Kognitif mengandung
persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang tercakup pengetahuan, afektif berhubungan dengan penilaian positif dan negatif serta
konatif berkaitan dengan kecenrungan untuk bertindak atau tidak bertindak terhadap sesuatu (Soekanto, 1986).
Pengembangan strategi proses penyusunan Perda dilakukan melalui mekanisme sebagai berikut:
1)Diseminasi (penyebaran ) rancangan instrumen Perda untuk menumbuhkan kesadaran warga
tentang Perda. Artinya
melibatkan masyarakat secara aktif dalam penyusunan Perda
2) Promosi (pemajuan) Perda melalui pelatihan, penyuluhan, curah pendapat, dialog, dsb.
3) Pemenuhan Perda melalui perbaikan peraturan dan kondisi yang kondusif membangun berbagai sarana sosial dan melakukan
aksi-aksi partisipasi masyarakat untuk membangun kesadaran hukum masyarakat dan pemerintah
4). Proteksi (perlindungan) Perda yaitu melalui penegakkan hukum dan advokasi.
Hukum merupakan suatu sistim dan memiliki tatanan, yaitu suatu kesatuan yang utuh tediri dari unsur-unsur yang mempunyai
interaksi satu sama lain untuk mencapai tujuan. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsure-unsur yuriridis peraturan
hukum atas hukum dan pengertian hukum (Sudikno M,1986).Dalam teori hukum murni dari Hans Kelsen dikatakan bahwa setiap
kaedah-kaedah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah (stufenbau). Dipuncak menara stufenbau tersebut terdapat
“grundnorm” atau kaedah dasar (basic norm) dari suatu kaedah hukum nasional. Kaedah dasar merupakan dasar dari pandangan
untuk menilai yang bersifat yuridis yang memungkinkan dalam kerangka tata kaedah hukum tersebut (Shad Brurv, dalam Akmal
2002). Diakomodasinya stufenbau theory di Indonesia dapat dilihat melalui UU No. 10 Tahun 2004 yang telah diperbaharui
dengan UU No. 12 tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sedangkan asas-asas hukum yang dikemukakan The Liang Gee merupakan suatu dalil umum. Bellefroid menjelaskan asas
hukum sebagai norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan
yang lebih umum. Asas hukum umum ini merupakan penendapan hukum positif dalam suatu masyarakat (Sudikno M,1986).
Disamping asas hukum juga dikenal asas perundang-undangan yaitu : (1) undang-undang tidak boleh berlaku surut, artinya
undang-undang hanya boleh digunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah
undang-undang dinyatakan berlaku (asas legalitas), (2) Undang-undang yang oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiori), (3) Undang-undang yang bersifat khusus, mengesampingkan
undang-undang yang bersifat umum, bila pembuatnya sama (lex special derogat legi generali), (4) undang-undang yang berlaku
kemudian membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogat legi priori), (5) undang-undang tidak
dapat diganggu gugat, dan (6) undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat maupun individu
secara spiritual maupun material dengan cara melaksanakannya.
Asas-asas hukum tersebut bukan merupakan peraturan hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada
didalamnya (Satjipto Rahardjo, 1986).Studi pedahuluan yang telah dilakukan yaitu pengkajian Perda-Perda pada tingkat provinsi
yaitu kerjasama Tim Pusham UNP dengan Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat (2008) seperti Perda pemanfaatan tanah
ulayat, dimana terdapat kontradiksi dengan ketentuan hukum Perdata adat Minangkabau.
Temuan dan Analisis
Hampir di 19 kabupaten/kota di Sumatera Barat terdapat kebijakan yang terindikasi adanya unsur melanggar HAM berdasar
instrumen HAM yang telah diratifikasi Indonesia.Hal ini juga ditunjukan dengan banyaknya Perda yang dibatalkan Kementerian
Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan.Ditemukan bahwa berbagaiPerda Pemerintahan Nagari dan Perdaanti Maksiat sebagai
Perda yang banyak mengundang konflik dan dipersoalkan oleh masyarakat pada lokasi penelitian.
Secara prinsippenyelenggaraan Pemerintah Daerah sesuai dengan amanat UUD 1945, Pemerintah Daerah mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.Penyelenggaraan pemerintahan diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemeratan, keadilan, keistemewaan
dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI.

7
Efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Pemerinatah Daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek
hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keaneragaman daerah, peluang dan tantangan
persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pasal 136 UU No. 32 tahun 2004 menyetakan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD, Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembangunan, Perda
merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi termasuk instrumen HAM yang telah
diratifikasi pemerintah RI dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah, Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Perda berlaku setelah diundangkan dalam
lembaran daerah.
Selanjutnya pasal 137 menyatakan bahwa Perda dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang
meliputi: kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan hasilguna, kejelasan rumusan, dan keterbukaan. Masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda (pasal 139). Perda dapat memuat ketentuan
tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada kepada pelanggara sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling
banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lainnya (pasal 143). Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan, kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah, dan tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan umum, Perda dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (146).
Perda tentang Pemerintahan Nagari yang mengandung dimensi pelanggaran HAM yang diteliti yaitu Perda Kab.Padang Pariaman
No. 02 tahun 2002, Perda Kab.Padang Pariaman No. 05 tahun 2009, dan Perda Kab.Pesisir Selatan No. 08 tahun 2007.Beberapa
bentuk indikasi pelanggaran HAM yang berhubungan dengan hak ECOSOB ditemukan dalam substansi dan formulasi kebijakan
yang diteliti.
Filosofi kehidupan social di Minangkabau yang diformulasikan dalam rumusan “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah” yang dikenal sebagai ABS-SBK ternyata tidak menjadi rujukan utama dalam formulasi kebijakan pengaturan
Pemerintahan Nagari. Hal ini merupakan sebuah ironi sosial, karena semangat yang ada dibalik kembalinya kepada pemerintahan
Nagari yang berbasiskan adat sebenarnya adalah untuk mengembalikan tatanan social yang sempat tercerabut dalam rumusan UU
No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dapat terak-tualisasikan.Beberapa aturan pelaksanaan konkrit belum dibuat dalam
penataan Pemerintahan Nagari seperti penegakan hukum dalam perlindungan masyarakat.Hal ini memberikan indikasi terjadinya
violation by omission oleh Negara.Tidak adanya perlindungan terhadap masyarakat adat terhadap beberapa kecenderungan terkini
yang mengancam hak-hak ulayat juga menjadi kecenderungan dalam rumusan kebijakan yang dihasilkan oleh daerah penelitian.
Rumusan kebijakan juga ditemukan belum memberikan perhatian dan perlindungan kepada beberapa komponen penting dalam
kehidupan sosial, ekonomi dan budaya lokal. Beberapa yang dapat diidentifikasikan adalah:
1. Perlindungan identittas budaya dan hak ulayat (pertanahan);
2. Pembinaan infrastruktur sosial dan politik lokal (politik, ketertiban dan keamanan);
3. Perlindungan tenaga kerja lokal, baik yang bekerja di lokasi setempat maupun di luar negeri (ketenagakerjaan);
4. Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah;
5. Pengembangan usaha dan bisnis yang tidak memberikan perlindungan dan keberpihakan kepada pasar tradisional, dan
harmonisasi investasi dengan kepemilikan adat;
6. Kesederajatan dan komunalitas dalam akses kepada komoditas dan pangan;
7. Ketersediaan pemenuhan kebutuhan gizi (kasus busung lapar);
8. Pendidikan, agama dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.
Berbagai bentuk kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pelanggaran dengan pembiaran (violent by omission) dan
pelanggaran dengan sengaja melakukan (violent by commission) diidentifikasi dalam perbagai produk kebijakan yang dihasilkkan
dalam pelaksanaan otonomi daerah di daerah penelitian.
Simpulan
Penataan kebijakan di tingkat daerah di Sumatera Barat masih belum mencapai taraf sinkronisasi vertical dengan berbagai
peraturan perundang-undangan di tingkat nasional.Kebijakan nasional yang mengakomodasi HAM dalam berbagai UndangUndang seperti UU HAM, UU Pemerintahan Daerah dan UU Ratifikasi Hak EKOSOB belum terimplementasi dengan kongkrit
dalam kebijakan mezzo dan mikro di daerah.Di sisi lain kecenderungan pemerintah local untuk menunjukkan identitas
“indigenous” dengan menrevitalisasi kembali nilai-nilai murni adat juga belum menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan
kebijakan.

8
Dengan demikian, direkomendasikan perumusan kebijakan (formulasi) dan penerapan kebijakan (implementasi) di daerah
penelitian seyogyanya memberikan perhatian kepada nilai-nilai dan komitmen kultural dan lokalitas yang pada gilirannya
sekaligus merujuk kepada kebijakan nasional yang menjadi justitifikasi bagi perlindungan hak-hak masyarakat. Dengan
akomodasi dari kedua kutub ini diharapkan perumusan kebijakan mendapatkan basis nilai dan utilitasnya sehingga memiliki
kemampuan akomodatif untuk merangkum konten nilai universal dan local dan sekaligus efektif dalam memberikan dampak bagi
kesejahteraan dan penerimaan masyarakat terhadap aspek regulatif dari kebijakan itu sendiri
Referensi
Akmal. 2002. Model Sosialisasi Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU No.39 Tahun 1999) Dalam Rangka Pemberdayaan
Masyarakat Daerah Sumatera Barat. Hasil Penelitian HB X/1. Direktorat Pembinaan dan Penelitian Pada Masyarakat
Dirjen Dikti Departemen Diknas RI:.Jakarta.
Budi Winarno. 2007. Kebijakan Publik: teori dan proses. Yogyakarta: Media Pressindo
Davidson, Scott. 1994. Hak Asasi Manusia . Sejarah, Teori, dan Praktek Dalam Pergaulan Internasional. Grafiti. Jakarta
Dardji Darmodiharjo Shidarta. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia.R. Grapindo Persada:
Jakarta.
Gerhart (editor) “The Lawyer Treasury“ dalam O.C Kaligis. 2007. Kumpulan Kasus Menarik Jakarta.
Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Barat. 2009. Hasil Evaluasi Pelaksanaan RAN HAM 2009. Padang
.
Komnas HAM Sumatera Barat.2009. Laporan Kegiatan Tahun 2009 Komnas HAM Sumbar. Padang
Lindblom, Charles E. 1968. The Policy-Making Process. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs
Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Liberty. Yokyakarta.
Pusham UNP. 2009. Perda Kabupaten/Kota Yang Berdemensi Melangar HAM. Bahan Dialog Dengan Tim Penelitian Kanwil
Hukum dan HAM Sumatera Barat. Padang
Rahardjo, Satjipto. 1986. Ilmu Hukum. Akumni: Bandung
Soekanto. 1986. Beberapa Cara & Mekanisme dalam Penyuluhan Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita.
Soemitro, Roni Hanitijo. 1998. Metode Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Yustini Probowati Rahayu dalam buku “Dibalik Putusan Hakim (Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. dalam
Pusham Universitas Muhadiyah Malang (2007). Hasil Penelitian Transaksi Hukum dan Transaksi Ekonomi Dalam
Putusan hakim
Undang-Undang Dasar 1945
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 12 tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and
Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Instrumen Hak Asasi Manusia Internasional yang telah Diratifikasi Pemerintah RI