Peran Bahasa dan Simbol Dalam Kristalisa

“Peran Bahasa dan Simbol Dalam Kristalisasi
Ideologi Politik Pada Partai Politik Di
Indonesia”1
Abstrak
Bahasa dan simbol, merupakan unsur kebudayaan
yang sangat penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai
dalam sebuah komunitas, termasuk entitas politik. Oleh
karena itu, bahasa dan simbol-simbol khas menjadi
karakteristik partai-partai ideologis atau setidaknya semi
ideologis. Di Indonesia, sampai Pemilu 2014 yang baru
berlangsung, karakter khas bahasa dan simbol setidaknya
masih ditemukan pada Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Analisis dalam artikel ini menunjukkan bahwa bahasa dan
simbol-simbol dalam entitas partai ideologis seperti PDI-P
dan PKS merupakan salah satu sarana utama dalam
kristalisasi ideologi politik partai sebagai landasan kekuatan
pergerakan. Tentu saja, tingkat penggunaan bahasa dan
simbol antara kedua partai yang menjadi unit analisis
berbeda, yang pada akhirnya juga menghasilkan perbedaan
keajegan ideologi politik pada entitas masing-masing partai.

Kata Kunci: Bahasa dan Simbol, Kristalisasi Ideologi Politik,
Partai Politik
A. Pendahuluan
Setelah Perang Dunia II, terutama setelah era 1960an,
muncul tren baru dalam konstelasi partai politik di Barat.
Tren baru ini menunjukkan gejala de-ideologisasi, semakin
bergesernya
karakter
ideologis
partai-partai,
untuk
memperluas jangkauan pemilih. Era ini dan sesudahnya
kemudian dinamai oleh Daniel Bell dengan istilah yang
sekaligus menjadi judul bukunya The End Of Ideology (1962).
Tesis Bell diaminkan kembali oleh Francis Fukuyama melalui
bukunya The End of History (1989) dengan menambahkan
faktor globalisasi sebagai pemicu penyebaran demokrasi ala
1 Makalah mata kuliah Language, Meaning, and Social Construct,
perkuliahan S3 di UIN Syarif Haidayatullah Jakarta tahun 2014.


1

Barat tersebut ke dunia luas. Terakhir, Fukuyama merevisi
sebagian pandangannya tentang kekuatan pengaruh
globalisasi dengan menulis edisi revisi bukunya yang
berjudul The End of History and The Last Man (1992).2
Namun demikian, tidak semua pemikir sependapat.
Pada tahun 1996 Samuel P. Huntington membantah tesis
Fukuyama yang dituangkan dalam bukunya Clash of
Civilizations and the Remaking of World Order (Benturan
Peradaban). Dalam buku tersebut, Huntington melihat pada
akhirnya dunia akan terpolarisasi dalam beberapa
kebudayaan, selanjutnya menjadi Barat dan Timur, yang
akan saling berbenturan, berkompetisi menjadi kekuatan
pengaruh utama dalam sistem kehidupan manusia. 3 Dengan
kata lain, Huntington menyatakan bahwa konflik dalam dunia
politik akan terus berlangsung, dengan menempatkan
peradaban sebagai pemicunya, menggantikan masa ideologiideologi yang sudah dikenal. Namun, esensinya hampir
sama, bahwa Huntington menempatkan peradaban layaknya
peran ideologi. Tesis Huntington ini juga mendapat kritikan

dari banyak pihak, diantaranya Edwar said dan Noam
Chomsky yang menilai tesis Huntington hanya justifikasi
terhadap perilaku dominasi Amerika Serikat.4
Pemikiran tentang berakhirnya masa ideologi dalam
partai politik juga berkembang di Indonesia. Pemikiran
kelompok ini misalnya dapat ditemukan dalam analisis
Baswedan, Mujani dan Liddle yang melihat corak ideologis
sudah mulai hilang dari partai-partai Islam, tergantikan oleh
pragmatisme. Namun, perdebatan terhadap pemikiran
tersebut juga terjadi. Meskipun ada kecenderungan ideologis
yang lebih terbuka, tidak berarti partai-partai meninggalkan
ideologi dalam perjuangannya. Salah satu contoh menarik
yang paling banyak dianalisis pemerhati politik Indonesia
adalah semakin terbukanya ideologi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) terutama sejak Pemilu 2009. Menurut Anis
Matta, gejala ini bukan merupakan wujud bergesernya
karakter ideologis PKS, namun lebih pada penafsiran ulang
dan perubahan strategi praktis saja terhadap nilai-nilai
2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008),
402-403.

3 Samuel P. Huntington, Benturan Peradaban dan Masa Depan Politik
Dunia (Jakarta: Qalam, 2002).
4 http://en.wikipedia.org/wiki/Clash_of_Civilizations, diakses 8 Juni 2014.

2

ideologi yang dianut. Hal ini dilakukan untuk menjawab
dilema antara logika basis sosial versus logika elektoral serta
antara idealisme dan kapasitas yang dialami oleh semua
partai ideologis.5
Masih berpengaruhnya ideologi dalam gerakan partai
politik di Indonesia hari ini dapat dilihat dari karakteristik
beberapa partai baik yang secara tegas menyebutkan
ideologinya sebagai asas, maupun yang mengejawantah
dalam pemikiran tokoh dan karakter gerakannya. Salah satu
aspek menarik untuk dianalisis adalah penggunaan bahasa
dan simbol-simbol khusus oleh partai yang menunjukkan
afiliasi pada ideologi-ideologi tertentu. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), adalah sedikit dari partai yang lebih menonjol

menunjukkan fenomena ini.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana peran
bahasa dan simbol-simbol yang digunakan entitas partai
terhadap upaya kristalisasi ideologi politik di tubuh
partainya? Apakah bahasa dan simbol-simbol yang
digunakan hanya sebatas ciri identifikasi diri atau lebih jauh
menunjukkan keajegan internalisasi nilai-nilai ideologis?
Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang didiskusikan dalam
makalah ini.
B. Ideologi dan Partai Politik di Indonesia
Terlepas dari pro-kontra tren de-ideologisasi partai
politik, teori-teori partai politik tetap menggunakan ideologi
sebagai salah satu kriteria penggolongan partai politik.
Ramlan Surbakti misalnya, menulis terdapat beberapa
penggolongan partai politik meliputi (i) dari segi dukungan
yaitu komprehensif dan sektarian; (ii) dari segi organisasi
internal yaitu terbuka dan tertutup; (iii) dari segi cara
bertindak dan fungsi yaitu menyebar dan khusus; (iv) dari
segi asas dan orientasi yaitu pragmatis, doktriner (ideologis);
dan (v) dari segi komposisi anggota yaitu kader dan massa.

Miriam Budiardjo menjelaskan karakter partai ideologis
biasanya sangat sentralistis menjaga kemurnian doktrin
politiknya, memiliki mekanisme saringan keanggotaan,
5 Anis Matta dalam Kata Pengantar buku Burhanuddin Muhtadi yang
berjudul Dilema PKS; Suara dan Syariah (Jakarta: KGP, 2012), xxi-xxviii.

3

melaksanakan sistem kaderisasi yang ketat dan memungut
iuran anggota. Karena itu, menurut Miriam, Partai Ideologis
disebut juga Partai Kader atau Partai Asas.6
Ideologi dan partai politik merupakan dua hal yang
saling berkait berkelindan dalam sejarah politik di Indonesia.
Pemilu pertama tahun 1955 yang banyak dinilai sebagai
pemilu paling demokratis dalam sejarah NKRI tanpa
pembatasan partai peserta Pemilu, sangat kental dengan
nuansa polarisasi ideologi. Dari 30an partai peserta Pemilu 7,
persaingan kampanye paling kuat terjadi antara Masyumi
dan PNI.8Kuatnya polarisasi politik berdasarkan ideologi
menjadi ciri iklim politik Indonesia pada masa awal

kemerdekaan. Pada periode 1945-1965, Herbert Feith
membagi polarisasi pemikiran politik di Indonesia dalam lima
kelompok yaitu Nasionalisme Radikal, Sosialisme Demokrat,
Komunisme, Tradisionalisme Jawa dan Islam. Kelompok Islam
sendiri masih terbagi dalam dua aliran yaitu Tradisional dan
Reformis.9 Polarisasi ini jelas menunjukkan landasan ideologis
yang kental dalam iklim pemikiran politik di Indonesia.
Polarisasi pemikiran dan gerakan politik bernuansa
ideologi ini bahkan semakin mengkristal pada masa Orde
Baru. Selain partai khusus bernama Golongan Karya, hanya
ada dua partai politik di Indonesia yaitu Partai Demokrasi
Indonesia (PDI) yang beraliran sekuler-nasionalis dan Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang beraliran Islam, untuk
tidak menyebut berideologi Islam sebab diberlakukannya
ideologi tunggal Pancasila oleh rezim Orde Baru menjadikan
PPP akhirnya berasas Pancasila. Setelah reformasi 1998,
konvergensi ideologi partai politik semakin majemuk, dari
yang [dianggap] paling kiri hingga paling kanan.10 Meskipun
6 Miriam Buadiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 399.
7Taksiran jumlah partai 30an ditemukan antara lain dalam website KPU

(www.kpu.go.id, diakses tanggal 16 Mei 2013). Jumlah yang lebih pasti
diperoleh pada catatan hasil Pemilu yang menunjukkan ada 27 partai
yang memperoleh suara ditambah 1 dari perseorangan (lihat
www.kpu.go.id dan Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia, cet. 3, 2008), 473-474)
8 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik(Jakarta: Gramedia, cet. 3,
2008), hal. 473-474.
9Herbert Feith, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES,
1998).
10 Penggolongan ideologi “kiri-kanan” berasal dari tradisi parlemen di
Prancis. Pada sidang Majelis Nasional Prancis masa Revolusi Prancis

4

Pancasila merupakan nilai dasar ideologis, faktanya terdapat
beberapa ideologi yang paling menonjol dianut oleh
beberapa partai di Indonesia yaitu Sosialisme-demokrat yang
terutama setia diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P)11, ideologi Kristen yang terakhir diwakili
oleh Partai Damai Sejahtera (PDS)12, dan ideologi Islam yang

terutama diwakili oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 13 yang
“menggeser” posisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Faktanya, hasil tiga kali Pemilu pada era Reformasi
(1999, 2004 dan 2009) menunjukkan bahwa elektabilitas
sebagian besar partai ideologis semakin menurun. Dengan
mengkhususkan kajian pada ideologi berbasis agama,
terutama
agama
Islam,
beberapa
peneliti
melihat
menurunnya pengaruh aspek agama terhadap pilihan politik
di Indonesia disebabkan masyarakat pemilih sejak reformasi
menurut sebagian peneliti menjadi semakin rasional. Mujani
tahun 1987, para pendukung Raja dan struktur tradisional duduk di
sebelah kanan panggung ketua, sedangkan kelompok yang menuntut
perubahan duduk di sebelah kiri, dan di tengah duduk kelompok yang
lebih moderat. Lihat C. C> Rode dkk, Pengantar Ilmu Politik (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2011), 106-107.

11 Ideologi Sosialisme-demokrat yang dianut oleh PDI-P bisa dilihat dari
pemikiran umum tokoh-tokohnya serta karakteristik gerakannya.
Meskipun, secara formal PDI-P sendiri menamakan diri sebagai partai
nasionalis dengan mencantumkan Pancasila sebagai asas partai.
12 Pada Pemilu 1999, terdapat beberapa partai yang membawa aspirasi
masyarakat Kristen yaitu Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai
Demokrasi kasih Bangsa, Partai Katolik Demokrat dan Partai Cinta Damai.
Namun, pada Pemilu 2014 lalu, tidak ada lagi partai Kristen peserta
Pemilu. Umumnya pemilih beragama Kristen menyebar dalam partaipartai nasionalis.
13 Setelah reformasi 1998, lahir 42 parpol Islam, walaupun hanya 20
partai yang lolos verifikasi ikut Pemilu tahun 1999. Jumlah ini semakin
berkurang pada pemilu 2004 yang tinggal 7 partai Islam, dan menjadi
hanya 6 partai pada Pemilu 2009. Jumlah tersebut semakin kecil pada
Pemilu tahun 2014 menjadi hanya 3 partai yaitu Partai Keadilan Sejahtera
(PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang
(PBB). Meskipun demikian, PKS merupakan partai Islam yang sementara
dianggap paling fenomenal sejak era reformasi. Tentang keunikan PKS
dalam ranah politik Indonesia telah banyak diakui ilmuwan maupun
penulis populer baik dari dalam maupun luar negeri. Lihat antara lain
tesis Burhanuddin Muhtadi yang telah dibukukan dengan judul Dilema

PKS; Suara dan Syariah (Jakarta: KGP, 2012). Peneliti lain yang pernah
mengkaji PKS di antaranya Ali Damanik( (2002), Sunny Tanuwidjaya
(2010), Saiful Mujadi dan R. W. Lidle (2011), Anis Baswedan (2011), Bill
Watson (2011) dan Kikue Hamayotsu.

5

dan Lidle mencatat bahwa faktor utama yang mempengaruhi
pilihan pemilih pada Pemilu 1999 dan 2004 adalah faktor
ketokohan dan identifikasi diri terhadap partai politik. Pada
Pemilu 2009, bahkan identifikasi kepartaian pun cenderung
tidak populer lagi dan pengaruhnya tergantikan dengan
pengaruh kampanye media massa.14
Kecenderungan
menurunnya
pengaruh
agama
terhadap pilihan pemilih juga terjadi pada pemilihan
eksekutif. Contoh menarik antara lain dapat dilihat dari
besarnya perolehan suara pasangan Susilo Bambang
Yudoyono-Boediono (61 %) dibandingkan dengan perolehan
suara Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto (12 %) pada Pemilu
Presiden 2009 lalu. Padahal, pasangan Kalla-Wiranto dikenal
lebih dekat dengan kelompok Islam dan saat kampanye juga
mencoba membangun citra lebih Islami. Bahkan isu yang
mengatakan Boediono adalah penganut Kejawen dengan istri
seorang Katolik, terbukti tidak banyak berpengaruh. 15 Contoh
lainnya yang menarik adalah Pemilihan Gubernur DKI tahun
2012 lalu. Ketimbang janji ideologis, banyak pemilih lebih
tertarik dengan agenda pragmatis. Pada putaran pertama,
Hidayat Nur Wahid yang mewakili kelompok Islamis kalah
telak. Padahal DKI Jakarta adalah salah satu lumbung suara
PKS. Seruan tokoh Islam, bahkan beredarnya seruan MUI
menjelang pemilu putaran kedua juga tidak mampu
menurunkan elektabilitas Jokowi-Ahok.
Pada Pemilu 2014 yang baru berlangsung, karakteristik
ideologis partai peserta Pemilu semakin memudar. Secara
umum partai politik semakin memosisikan diri ke tengah,
menjadi partai nasionalis dengan nilai-nilai yang lebih
menasional. Bahkan, Yusril Ihza Mahendra sebagai pendiri
Partai Bulan Bintang (PBB) yang merupakan salah satu partai
berasas Islam di Indonesia setelah reformasi, menjelang
Pemilu lalu menolak kalau PBB disebut partai Islam. Menurut
Yusril, tidak ada yang disebut partai Islam di Indonesia,
sebab Islam masuk ke hampir semua partai dan semua
partai berjalan di bawah peraturan Indonesia. 16 Meskipun
demikian, karakteristik ideologis -selain ideologi nasional
14 Saiful Mujani dan R. William Lidle, “Personalities, Parties and Voters”,
Journal of Democracy Volume 21, Number 2 (April 2010):37.
15 Saiful Mujani dan R. William Lidle, “Personalities, Parties and Voters,”
36-49, http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669 (diakses 21
Juni 2011).

6

Pancasila- tetap dapat diamati setidaknya pada beberapa
partai yaitu PDI-P dan PKS. Menariknya, PKS yang lebih
kental dengan nilai ideologis mampu meningkatkan
elektabilitasnya. Demikian juga dengan PDI-P berhasil meraih
suara terbesar pada Pemilu 1999, dan meskipun perolehan
suaranya menurun pada Pemilu 2004 dan 2009, setidaknya
PDI-P tetap mampu bertahan menjadi partai besar dan
indikasinya kembali mampu meningkatkan suara pada
Pemilu 2014 yang baru berlangsung.
Fenomena PDI-P dan PKS tersebut menunjukkan bahwa
ideologi tetap memiliki peran penting bagi sebagian partai
politik, dan sebagian pemilih. Hal ini diperkuat oleh hasil
analisis
Tanuwidjaya
yang
mengungkapkan
bahwa
menurunnya dukungan pemilih terhadap partai Islam, bukan
semata karena alasan rasionalitas pemilih yang bermakna
pragmatisme. Hal ini menurutnya disebabkan setidaknya
oleh dua hal yaitu menipisnya diferensiasi keagamaan di
antara partai-partai dan kandidat antara yang berasas Islam
dan yang nasionalis; serta semakin terbukanya partai
nasionalis terhadap agenda-agenda keagamaan (Islam). 17
Tidak hanya besarnya tantangan dari partai pesaing, partai
Islam dengan elektabilitas yang kecil juga harus menghadapi
ancaman ambang batas dalam setiap Pemilu.
C. Bahasa dan Simbol-Simbol pada Entitas Politik PDIP dan PKS
Mead dalam Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa
ujaran vokal merupakan simbol paling signifikan dalam kajian
interaksi simbolis, di mana simbol vokal paling signifikan
adalah bahasa.18 Selain bahasa lisan, penggunaan simbolsimbol juga sangat umum ditemukan dalam interaksi sebuah
komunitas, termasuk entitas politik seperti halnya PDI-P dan
PKS. Pemilihan PDI-P dan PKS sebagai analisis dalam tulisan
ini disadari tidak sepenuhnya memuaskan. Kedua partai,
terutama PDI-P saat ini menurut sebagian ahli sudah mulai
16 http://skalanews.com/berita/detail/142043/Yusril-Tak-Ada-Partai-Islamatau-Nasionalis (diakses tanggal 17 Mei 2013).
17 Sunny Tanuwidjaja, “Political Islam and Islamic Parties in Indonesia,”
Contemporary Southest Asia Vol. 32, No. 1 (2010): 29-49.
18 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet. 8 2012), 383.

7

kehilangan karakter ideologisnya. Namun, dari banyak partai
Era Reformasi yang masih mampu bertahan hingga Pemilu
2014 ini, kedua partai tersebut penulis nilai lebih memiliki
karakter ideologis dibanding partai lain.
Secara ideologis dan karakter gerakan, Damanik
melihat bahwa terdapat kemiripan antara PKS dengan Partai
Rakyat Demokratik (PRD). Meskipun bersumber dari ideologi
yang berbeda, tapi karakter ideologis sangat menonjol pada
kedua partai tersebut.19 Sayangnya, PRD hanya bertahan
sampai Pemilu 1999, dan setelah itu tokoh-tokohnya
berdiaspora, menyebar ke berbagai partai yang ada, di
samping beberapa yang memilih jalan di luar gerakan politik.
Budiman Sudjatmiko sebagai salah satu tokoh kunci
misalnya, memilih bergabung dengan PDI-P. Oleh karena itu,
pada tulisan ini penulis memilih menganalisis PDI-P sebagai
penyeimbang bahasan, meskipun harus diakui bahwa
karakter ideologis PDI-P -setidaknya sejak Pemilu 2004semakin kabur.
Entitas PKS yang berasal dari kader-kader gerakan
Tarbiyah memiliki berbagai karakter khas. Sebagai partai
yang mengusung tagline “partai dakwah”, kader-kader PKS
dikenal religius dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Hal ini juga diakui oleh Watson. Watson menulis bahwa
anggota-anggota PKS dikenal memiliki kekuatan spiritual,
antara lain dicirikan dengan perempuan berjilbab, tidak
merokok, dan memiliki disiplin tinggi. Integritas PKS
termasuk
aksi-aksi moral mereka
layak
mendapat
penghargaan. Watson menulis:
“The integrity of the PKS is universally applauded; its
leader, Hidayat Nurwahid, is widely respected top-ping
one controversial TV poll as the audi-ence's favoured
presidential candidate, and its organizational capacity
is admired. PKS demonstrations in Jakartaa reknown
for their orderliness, and their prompt philanthropic
responses to local disasters is well thought of -but the
lack of political experience, the naivety of their moral
approach and their exclusivity prevent them from

19 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah Indonesia, 223-227.

8

appealing to a large per-centage of the Muslim
electorate.”20
Salah satunya ciri entitas PKS yang sangat menonjol
dan menjadi fenomena menarik di Indonesia sejak tahun
1980-an adalah kader perempuannya yang identik dengan
pakaian menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak
tangan. Model pakaian ini umumnya stelan atau gamis
longgar dengan padanan jilbab panjang menutup dada serta
menggunakan kaos kaki. Adapun kader laki-laki PKS
umumnya memelihara jenggot.21 Selain itu, mereka juga
terbiasa
membawa
al-Qur’an
berukuran
kecil
dan
membacanya disela-sela aktivitas keseharian mereka. Dalam
berbahasa, kader-kader PKS juga terbiasa menggunakan
beberapa istilah-istilah berbahasa Arab seperti akhi/ukhti
(saudara/i), syukran (terima kasih) dan sebagainya, serta
terbiasa mengucapkan takbir (Allahu Akbar).
Dalam aspek kepedulian sosial, entitas PKS sudah
teruji sejak masih berbentuk Gerakan Tarbiyah. Kepedulian
sosial ini diwujudkan dalam berbagai aksi sosial terutama
pada saat terjadi bencana Menariknya, seperti diuraikan
Muhtadi, salah satu kepedulian sosial yang menyita
perhatian besar PKS adalah aksi solidaritas terhadap
Palestina. Setiap perkembangan kondisi Palestina selalu
mendapat respons besar dari PKS. Pengamatan terhadap
aksi-aksi PKS untuk Palestina akan sangat mudah terlihat
bagaimana entitas PKS merasa menyatu dengan perjuangan
rakyat Palestina, misalnya melalui yel-yel yang diteriakkan,
maupun dari do’a yang diucapkan disertai isak tangis dan
takbir membahana. Kepedulian PKS terhadap Palestina ini
bahkan mengejawantah dalam keseharian kader-kadernya.
Kader-kader PKS sangat akrab dengan aksesoris berbau
Palestina seperti gambar bendera Palestina yang digunakan
pada pin, bordiran jaket, topi dan lainnya. Lagu-lagu yang
dinyanyikan mereka juga banyak yang bertema Palestina.
Secara kolektif, entitas PKS dikenal terdidik, santun
dan profesional. Sejak menjelang Pemilu 1999, PKS menjadi
20 Bill Watson, “Muslim Politics and the Coming Elections in Indonesia,”

Anthropology Today, Vol. 20, No. 2 (Apr., 2004), Published by: Royal
Anthropological Institute of Great Britain and IrelandStable URL:
http://www.jstor.org/stable/3695110 .Accessed: 22/06/2011 00:43, p.23.
21 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah Indonesia, 239.

9

sorotan media massa dengan kemampuannya mengorganisir
massa. PKS selalu mampu memobilisasi ribuan -bahkan
puluhan ribu- massa dengan anggun, cerdas, tertib dan tidak
pernah ricuh atau sekedar memacetkan jalan. 22 Dari segi
pendidikan, PKS memiliki kader-kader berpendidikan tinggi
baik lulusan dalam maupun luar negeri, baik dari Timur
Tengah maupun Barat. Damanik menulis pada awal berdiri
PKS yang masih bernama PK, memiliki 8 orang Doktor pada
kalangan pendiri, sementara pada Dewan Pengurus Pusat
(DPP) terdapat 11 orang Doktor, 18 orang Master dan
sisanya umumnya Sarjana dari berbagai bidang ilmu. 23 Harus
diakui, latar belakang pendidikan ini memberikan banyak
peran dalam menentukan karakter individu maupun karakter
gerakan PKS.
Selain itu, entitas partai juga memiliki suasana
kekeluargaan yang sangat kental, namun terbatas sesama
kelompoknya, sehingga mereka terkesan eksklusif. 24
Meskipun dianggap eksklusif, tradisi yang dilaksanakan PKS
umumnya diterima sebagai tradisi yang baik oleh
masyarakat. Hal ini antara lain dibuktikan dari tingginya
minat masyarakat menyekolahkan anak ke sekolah-sekolah
Islam terpadu yang terutama banyak dikelola entitas PKS
dengan seluruh jaringannya. Kuntowijoya dalam Damanik
menyebutkan bahwa karakter gerakan ideologis cenderung
tertutup, normatif, dan subjektif. 25 Karakter ini bahkan
masih ditemui dengan jelas pada entitas PKS bahkan setelah
mereka menerapkan strategi lebih terbuka sejak Pemilu 2009
lalu.
Dari berbagai keunikan yang telah disebutkan di atas,
tulisan ini fokus pada karakter bahasa dan simbol-simbol
yang digunakan oleh entitas PKS. Sebagaimana telah
disebutkan, entitas PKS banyak menggunakan kosa kata
bahasa Arab, walaupun kader-kadernya banyak yang berlatar
22 Kemampuan PKS mengorganisir massa ini sangat banyak ditulis baik di
media massa. Lihat antara lain tulisan Ali Said Damanik dan Burhanuddin
Muhtadi yang menjadi sumber rujukan tulisan ini.
23 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah Indonesia, 261.
24 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah Indonesia, 82.
25 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi 20 Tahun
Gerakan Tarbiyah Indonesia, 226

10

belakang pendidikan umum bahkan lulusan Barat. Sebagai
partai Islam yang tergolong baru, PKS dengan seluruh
sayapnya identik dengan penggunaan istilah-istilah akhi,
ukhti, syukran dan terutama teriakan takbir. Sementara
simbol-simbol fisik utama yang sangat menonjol adalah
model pakaian kader perempuan, jenggot bagi kader laki-laki
dan simbol-simbol perjuangan Palestina.
Beberapa karakter khas bahasa dan simbol juga
ditemui pada entitas Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P), meski tidak sebanyak yang dapat dilihat pada PKS.
Sebagai partai yang berideologi Sosialis-demokrat, PDI-P
banyak mengusung tema-tema kerakyatan. Pada beberapa
kali Pemilu, PDI-P berhasil memasarkan diri sebagai “Partai
Wong
Cilik”.
Tokoh-tokoh
PDI-P
juga
selalu
mengumandangkan yel-yel “Merdeka!” dalam berbagai
acara yang dilaksanakan. Simbol yang paling identik dengan
PDI-P adalah Soekarno. Tampilnya gambar Soekarno dalam
setiap media sosialisasi PDI-P merupakan simbol inspirasi
ideologis gerakan yang kemudian diperkuat dengan warna
khas merah, memperkuat makna perjuangan yang ingin
ditampilkan. Tagline “Partai Wong Cilik” terbukti dengan
keberhasilan PDI-P meraup massa dari kalangan menengah
ke bawah baik dari ekonomi maupun pendidikan.
D. Kristalisasi Ideologi Melalui Bahasa dan SimbolSimbol
Perjalanan sistem politik secara signifikan dipengaruhi
oleh ideologi yang dianut oleh negara dan masyarakat,
sebab ideologi memberikan arahan tentang bagaimana
bertindak, bahkan ideologi juga dapat memberikan
pengesahan kepada pemerintahan.26 Ideologi formal negara
sendiri tidak selalu menyatu sepenuhnya dengan ideologi
yang dianut oleh warga negara. Dalam konteks sistem politik
Demokrasi, kelompok ideologi tertentu memiliki peluang
untuk memberikan pengaruh terhadap pilihan, atau
setidaknya penjabaran, ideologi negara. Hal ini tergantung
pada kemampuan memperoleh dan mengelola kekuasaan
politik. Dengan kata lain, ideologi yang dianut oleh
26 C.C. Rodee, dkk., terj., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, cet.
9. 2011), 105.

11

masyarakat akan mempengaruhi bagaimana sistem politik
dijalankan.
Agar
sebuah
ideologi
dapat
mempertahankan
relevansinya, Alfian dalam Syam memberikan tiga syarat
yaitu:
a. Dimensi realitas yaitu kemampuan ideologi untuk selalu
mencerminkan realitas dari nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakatnya.
b. Dimensi idealisme yaitu kemampuan kadar ideologi yang
terkandung dalam nilai-nilai dasar ideologi tersebut.
c. Dimensi fleksibilitas yaitu kemampuan ideologi untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan.27
Alfian dalam Syam, mendefinisikan ideologi sebagai
pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan
mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu
masyarakat tentang bagaimana cara yang sebaiknya, yaitu
secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah
laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan
duniawi mereka.28 Selain konsep ideologi sebagai suatu
sistem makna, ideologi juga dapat dilihat melalui paradigma
lain yaitu melalui dimensi budaya, di mana ideologi
merupakan produk budaya untuk menjustifikasi dan
mempertahankan sebuah sistem nilai dan kepercayaan
tertentu. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ideologi dalam
suatu negara akan saling bersaing memberikan pengaruh
ideologis terhadap sistem politiknya sehingga nilai-nilai
ideologi tersebut dapat diimplementasikan secara lebih luas.
Partai politik, sebagai salah satu struktur kunci sistem politik
Demokrasi, termasuk dalam kelompok-kelompok yang
memiliki kepentingan dalam hal ini. Untuk itu, kristalisasi
ideologi politik dalam tubuh partai menjadi sangat penting
bagi partai politik ideologis.
Upaya kristalisasi ideologi politik membutuhkan
strategi dan sarana yang tepat. Sebagai sebuah sistem nilai,
keberadaan ideologi pada dasarnya sangat terkait dengan
budaya masyarakat. Manusia, sebagai makhluk sosial yang
berpikir, selain mendefinisikan identitas dirinya sendiri juga
27 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, 241.
28 Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan
Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), 239.

12

berupaya
membentuk
identitas
sosialnya.
Dalam
membangun
identitas
sosial,
manusia
berusaha
mengasosiasikan dirinya dengan komunitas sosial yang dia
sukai. Perilaku ini lahir sebagai konsekuensi dari sifat alamiah
manusia sebagai makhluk sosial. Dengan kata lain,
identifikasi sosial pada dasarnya merupakan kebutuhan
manusia. Ketika menjelaskan tentang tindakan sosial, Weber
melihat bahwa individu sangat terpengaruh oleh beragam
kekuatan besar. Seorang Calvinisme misalnya, akan dipaksa
bertindak sesuai norma, nilai dan keyakinan agama
Calvinisme.29
Artinya,
seorang
individu
bertindak
terpengaruh dari lingkungan di mana dia memperoleh
sosialisasi dan pendidikan.
Salah satu faktor paling penting dalam pembentukan
identifikasi sosial itu adalah penggunaan bahasa. Garvin dan
Mathiot dalam Chaer menyebutkan bahasa memiliki tiga sifat
yaitu kesetiaan yang mempengaruhi seseorang untuk
mempertahankan bahasanya, kebanggaan yang mendorong
seseorang
untuk
mengembangkan
bahasanya,
dan
kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang
untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan
santun.30 Pilihan manusia dalam membentuk identitas
sosialnya, menyebabkan munculnya perbedaan bahasa. 31
Oleh karena itu, bahasa dan simbol menjadi sangat relevan
sebagai sarana untuk menginternalisasikan nilai-nilai
ideologis.
Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang
yang tidak dapat dipisahkan dalam sistem kehidupan
manusia. Rolland Barthes mengatakan bahwa masyarakat
tertentu mempersepsi bahasa dan simbol secara khas dalam
lingkungan mereka. Pemahaman dasar terhadap sifat
kebahasaan dan sifat alamiah identifikasi sosial manusia ini,
memungkinkan orang berusaha memahami perilaku suatu
komunitas melalui bahasa dan simbol-simbol yang mereka
gunakan. Seperti halnya pemikiran Rolland Barthes dan
Sander Peirce, bahasa dan simbol harus diinterpretasikan
29 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi,
139.
30 Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995), 151.
31 J.K. Chambers, Sociolinguistic Theory (Oxford: Blackwell Publishing,
2003), 274.

13

secara terus menerus untuk dapat memahami makna dibalik
sebuah realitas sosial.32 Pada konteks ini, identifikasi entitas
politik PDI-P dan PKS dapat dilakukan secara memadai
melalui bahasa dan simbol-simbol yang mereka gunakan.
Identifikasi diri terhadap partai dianggap sebagai
sesuatu yang penting bagi kader-kader partai, sehingga
bahasa dan simbol yang digunakan dalam entitas partai
direduksi dengan suka rela dalam kehidupan mereka. Dalam
model Psikologi, wujud identifikasi diri terhadap partai ini
terutama dapat dilihat dari loyalitas kader dalam aktivitas
partai, termasuk dalam Pemilu. Vina Salviana Darvina Soedarwo
menulis:
“Another element in political engagement is partisanship or political
identity. Partisanship is a psychological condition, any feeling of
closeness, attitude to support or to be loyal to or self-identity to a
certain political party. A partisan is someone who feels that he is part
of a party or identifies himself with a certain political party, for
example, Golkar or PDIP. Therefore, party identity is believed to be
important in determining why a citizen takes part in general election
or president election. This factor is really inseparable from
socialization process.”33
Pada banyak kasus, pengenalan masyarakat dan
anggota suatu kelompok ideologi terhadap simbol-simbol
kelompoknya lebih kuat daripada nilai-nilai inti ideologinya
sendiri. Simbol salam Quenelle (tangan terangkat lurus
dengan telapak tangan menghadap ke bawah) misalnya,
dikenal sebagai simbol Nazi. Bagi pengikut Nazi, simbol ini
dimaknai sebagai lambang pemersatu, salam pergerakan,
sementara bagi masyarakat yang anti Nazi, simbol tersebut
menjadi momok yang mengingatkan pada kekejaman Nazi. 34
32 Rolland Barthes, ilmuwan Semiotik asal Prancis, cenderung
menggunakan Semiotika sebagai kritik sosial dengan menggunakan
teknik “meembongkar mitos”. Sedangkan Sanders Peirce, ilmuwan
Semiotika asal Amerika yang juga menggunakan Semiotika sebagai alat
berpikir kritis, menggunakan teknik “menguraikan teks”. Lihat Sri
Iswidayati, “Rolland Barthes,” (Bahan kuliah Jurusan Seni Rupa FBS Unes,
diakses 25 Maret 2014).
33 Vina Salviana Darvina Soedarwo, “Political Ideology Meaning and
Patriarchal Ideology of Female Politicians in Indonesia: A Case in Malang,”
(4th International Conference on Sustainable Future for Human Security,
SustaiN 2013), 490 (diakses 26 Mei 2014)
34 Identifikasi masyarakat luas terhadap simbol ini tidak berkorelasi
positif dengan pemahaman tentang inti ideologi Nazi itu sendiri. Selain

14

Dalam sebuah pertandingan sepak bola pada Maret 2013
lalu, Giorgos Katidis dengan segera mendapat reaksi klaim
sebagai pengikut Nazi ketika simbol tersebut, entah sengaja
atau tidak, ditampilkannya. Katidis dihukum tidak boleh
bermain seumur hidup untuk Yunani.35 Kritikan yang sama
juga dialami oleh Nicolas Anelka pada Desember 2013 lalu.36
Pengaruh bahasa dan simbol juga tampak pada konsolidasi
barisan kader PKS dan PDI-P. Sebagai partai Islam yang relatif

baru, PKS mampu membangun ciri khas dengan bahasa dan
simbol yang tidak dimiliki partai Islam lain. Observasi
sederhana akan sangat mudah dilakukan bagaimana
masyarakat umumnya dengan mudah mengasosiasikan
perempuan dengan jilbab besar dan memakai kaos kaki,
serta laki-laki berjenggot adalah “orang” PKS. Demikian juga
dengan simbol-simbol Palestina menjadi sangat identik
dengan PKS karena memang harus diakui bahwa PKS
merupakan salah satu penggerak utama aksi-aksi untuk
Palestina dari Indonesia.37 Pada sisi lain, dengan bahasa dan
simbol-simbol yang digunakan PDI-P juga dapat dikatakan
berhasil mencirikan diri sebagai partai perjuangan rakyat
yang diinspirasi semangat perjuangan Soekarno.
Identifikasi bahasa dan simbol-simbol yang digunakan
dalam entitas partai menjadi semacam magnet yang akan
dengan mudah menarik orang-orang dengan ciri-ciri yang
sama, untuk bergabung dalam komunitas. Hal ini
menjelaskan kenapa cabang-cabang PKS di berbagai daerah
bahkan sampai ke luar negeri dengan relatif lebih mudah
mampu mengonsolidasi kader, meskipun jumlahnya tidak
selalu besar. Identifikasi bahasa dan simbol, sebagaimana
dijelaskan Mead38, mempermudah orang-orang untuk
mengenali suatu entitas sehingga dengan mudah dapat
mengasosiasikan diri dengan entitas yang sesuai dengan
simbol-simbol dan kenangan kekejaman Nazi, tidak banyak orang yang
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tersebut.
35
http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/internasional2/13/03/19/mjtnuh-garagara-salam-nazi-katidis-dilarang-bermain-seumurhidup (diakses tanggal 8 Juni 2014).
36 http://bola.kabar24.com/liga-inggris/read/20131230/40/207662/salamnazi-bawa-masalah-bagi-anelka (diakses tanggal 8 Juni 2014).
37 Kepedulian PKS terhadap Palestina merupakan salah satu analisis inti
dalam tulisan Burhanuddin Muhtadi (2012).
38 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi ,
383.

15

dirinya. Ciri identifikasi bahasa dan simbol
ini dengan
sendirinya juga menjadi saringan bagi orang-orang yang
akan masuk ke dalam entitas PKS. Secara sederhana, orang
yang akan bergabung ke dalamnya akan dihadapkan pada
pertanyaan pengantar, apakah akan mampu dan/atau cocok
menyesuaikan diri dengan gaya bahasa dan penampilan
entitas PKS. Konsekuensinya, ciri identifikasi yang sangat
khas ini menjadikan PKS semakin eksklusif.
Demikian
pula
orang-orang
yang
berideologi
Sosialisme-demokrat akan lebih mudah menemukan karakter
yang sesuai dengan dirinya melalui ciri-ciri yang diusung
oleh PDI-P. Ini pulalah salah satu penjelasan yang
memungkinkan kenapa sebagian tokoh-tokoh utama PRD
semacam Budiman Sujatmiko memilih bergabung dengan
PDI-P setelah PRD tidak mampu bertahan. Pada sisi lain,
terjadinya konvergensi ideologis dari kiri/kanan ke tengah,
seperti telah disinggung sebelumnya, menjadi penjelasan
alternatif untuk keputusan tokoh-tokoh PRD -atau gerakan
kiri lainnya- bergabung dengan partai-partai yang lebih
nasionalis seperti Andi Arif yang bergabung dalam eksekutif
di bawah pimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bahasa dan simbol PDI-P yang lebih umum dan bertema
nasionalisme, menyebabkan entitas PDI-P tidak eksklusif
seperti entitas PKS.
Namun, eksklusifitas partai tidak selalu bermakna
negatif. Dalam logika elektoral, eksklusifitas akan bermakna
terbatasnya elektabilitas. Namun, dalam logika idealisme,
eksklusifitas adalah salah satu wujud penjagaan kemurnian
nilai-nilai ideologis. Bagaimana memadukan kedua logika ini
secara apik adalah tantangan PKS untuk menjadi partai
ideologis yang besar di Indonesia sebagaimana juga diakui
oleh Presiden PKS, Anis Matta. Eksklusifitas juga dapat
dijadikan ukuran soliditas sebuah entitas. Semakin eksklusif,
biasanya akan semakin solid dalam mengorganisir diri. Hal
ini bisa dilihat dari kemampuan PKS mengorganisir
anggotanya dalam berbagai aksi, termasuk dalam
penggalangan dana dan kampanye. Merujuk pada tulisan
Darvina Soedarwo di atas, keterlibatan anggota dalam
kegiatan-kegiatan partai merupakan salah satu cara mereka
menunjukkan identifikasi diri sebagai bagian dari partai. Bagi
anggota yang tidak terlibat, akan dipertanyakan komitmen
16

keanggotaannya, yang memang mudah dicek dalam sistem
eksklusif.
Kebiasaan-kebiasaan
umum
dalam
masyarakat,
menurut Mead diinternalisasikan pada individu melalui
pendidikan.39
Untuk internalisasi nilai-nilai inilah, PKS
menerapkan sistem kaderisasi yang sangat ketat bahkan
setelah menerapkan strategi ideologi yang lebih terbuka
pada Pemilu 2009. Kaderisasi juga dilakukan oleh PDI-P,
walaupun tidak seketat dan tidak sekonsisten PKS 40.
Sebagian orang akan beranggapan bahwa munculnya
bahasa dan simbol-simbol yang digunakan dalam entitas
partai
merupakan
hasil
kaderisasi
sebagai
wujud
implementasi internalisasi nilai-nilai. Anggapan ini secara
umum memang terlihat pada PKS, namun tidak pada entitas
PDI-P. Bahasa dan simbol-simbol yang digunakan kader PKS
umumnya memang terbentuk melalui proses kaderisasi yang
diikuti. Namun tidak demikian halnya dengan PDI-P, yang
proses kaderisasinya tidak seketat PKS. Orang yang
bergabung dengan PDI-P dengan mudah bisa langsung
mengasosiasikan diri dengan gaya bahasa dan simbol-simbol
PDI-P, bahkan bisa dengan cepat menempati posisi pimpinan
partai. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa dan simbol bukan
semata hasil pendidikan/sosialisasi politik, melainkan
sekaligus sebagai alat pendidikan/sosialisasi politik itu
sendiri. Pendapat ini diperkuat dengan fakta bahwa pada
entitas PKS sendiri, penyesuaian diri anggota baru terhadap
gaya bahasa dan simbol-simbol PKS bisa berlangsung sangat
cepat di awal atau sebelum mengikuti proses kaderisasi.
Orang-orang yang merasa cocok dengan gaya PKS, bisa
dengan cepat menyesuaikan diri dan sekaligus menjadi
deklarasi dirinya merupakan bagian dari entitas PKS dengan
segala konsekuensinya.
Realitas tersebut menunjukkan signifikansi bahasa dan
simbol dalam proses kristalisasi ideologi politik. Dalam kasus
PKS, penggunaan gaya bahasa dan simbol-simbol bisa
menjadi penanda awal apakah seseorang itu entitas PKS
atau bukan. Bahkan, karakter ini masih tetap terpelihara
39 George Ritzer dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori Sosiologi,
391.
40 Tentang proses kaderisasi PKS dapat dilihat dalam AD/ART dan tulisan
Ali Said Damanik, sedangkan untuk PDI-P dapat dilihat dalam AD/ART.

17

walaupun PKS sudah mengusung tema keterbukaan sejak
menjelang Pemilu 2009 lalu. Selain keterbukaan komunikasi
sosial, selebihnya ciri-ciri entitas PKS masih tetap sama. Hal
yang sama juga dilakukan PDI dengan mempertahankan
simbol-simbol dan gaya bahasa mereka. Gambar Soekarno
bukan hanya sebatas wujud menjaga trah dinasti
kepemimpinan bagi PDI-P, namun sudah menjadi inspirasi
ideologis pergerakan.
E. Kesimpulan
Meskipun
cenderung
mengalami
konvergensi,
eksistensi ideologi masih bisa ditemukan dalam partai politik
di Indonesia. Karakter ideologis ini setidaknya masih bisa
dilihat pada PDI-P dan PKS, dalam kadar yang berbeda satu
dengan lainnya. Bagi partai ideologis, kristalisasi ideologi
politik merupakan hal yang sangat penting bagi eksistensi
dan kesinambungan gerakan. Oleh karena itu, internalisasi
nilai dan peningkatan kohesifitas entitas harus selalu
dilakukan.
Bahasa dan simbol, sebagai salah satu bagian
terpenting dalam kebudayaan merupakan salah satu cara
utama untuk tujuan kristalisasi ideologi politik. Keduanya,
akan membentuk sebuah struktur masyarakat yang menyatu
dengan deskripsi khas terhadap diri mereka. Semakin khas
karakter yang dibangun, semakin eksklusif entitas yang lahir.
Melalui
bahasa
dan
simbol
tersebut,
orang
mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari sebuah
entitas. Penerimaan bahasa dan simbol dari sebuah entitas
merupakan deklarasi penerimaan seorang individu pada
nilai-nilai ideologi mereka. Sehingga, bahasa dan simbol
merupakan bagian yang sangat penting bagi partai ideologis,
seperti PDI-P dan terutama PKS.
Meskipun dengan kadar yang berbeda, realitas
pemakaian bahasa dan simbol-simbol pada entitas PDI-P dan
PKS menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran dalam
kristalisasi ideologi politik partai. Bahasa dan simbol menjadi
18

identifikasi individu dalam mengasosiasikan diri menjadi
bagian entitas partai. Asosiasi ini kemudian dilanjutkan
dengan kesiapan menerima nilai-nilai ideologis dan bekerja
bersama dalam agenda-agenda partai untuk mewujudkan
tujuan yang ingin dicapai.

REFERENSI
Baswedan, Anis Rasyid. “Political Islam in Indonesia: Present
and Future Trajectory,” Asian Survey, Vol. 44, No. 4
(September/Oktober
2004):
669-690,
http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669
(diakses 21 Juni 2011).
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia, 2008.
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu
Pengantar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995).
Chambers, J.K., Sociolinguistic Theory (Oxford: Blackwell
Publishing, 2003).
Damanik, Ali Said, Fenomena Partai Keadilan; Transformasi
20 Tahun Gerakan Tarbiyah Indonesia (Bandung:
Teraju, 2002).
Feith, Herbert, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965
(Jakarta: LP3ES, 1998).
Hamayotsu, Kikue. “The Political Rise of Prosperous Justice
Party in Post-Authoritarian Indonesia; Examining the
Political Economy of Islamist Mobilization in a Muslim
Democracy,” Asian Survey, Vol. 51, Number. 5: 971992, http://www.ucpressjournals.com/reprintInfo.asp.
Huntington, Samuel P., Benturan Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia (Jakarta: Qalam, 2002).
Iswidayati, Sri, “Rolland Barthes,” (Bahan kuliah Jurusan Seni
Rupa FBS Unes, diakses 25 Maret 2014).
Matta, Anis, dalam Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS; Suara
dan Syariah (Jakarta: KGP, 2012).
Muhtadi, Burhanuddin, Dilema PKS; Suara dan Syariah
(Jakarta: KGP, 2012).
Mujani, Saiful dan R. William Lidle. “Personalities, Parties adn
Voters,” Journal of Democracy Volume 21, Number 2
19

(April
2010):
36-49,
http://www.jstor.org/stable/10.1525/as.2004.44.5.669
(diakses 21 Juni 2011)
________________. “Muslim Indonesia’s Secular Democracy,”
Asian
Survey,
Vol.
49,
Issue
4,
575–590,
http://www.ucpressjournals.com/reprintInfo.asp.
Ritzer, George dan Douglas Goodman, terj. Nurhadi, Teori
Sosiologi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, cet. 8 2012).
Rodee, C.C., dkk., terj., Pengantar Ilmu Politik (Jakarta:
Gramedia, cet. 9. 2011).
Soedarwo, Vina Salviana Darvina, “Political Ideology Meaning
and Patriarchal Ideology of Female Politicians in
Indonesia: A Case in Malang,” (4th International
Conference on Sustainable Future for Human
Security, SustaiN 2013) (diakses 26 Mei 2014).
Syam, Firdaus, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat,
Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007).
Tanuwidjaja, Sunny. “Political Islam and Islamic Parties in
Indonesia,” Contemporary Southest Asia Vol. 32, No. 1
(2010): 29-49.
Watson, Bill, “Muslim Politics and the Coming Elections in
Indonesia,” Anthropology Today, Vol. 20, No. 2 (Apr.,
2004), http://www.jstor.org/stable/3695110.Accessed:
22/06/2011 00:43. p.23
Website
http://www.republika.co.id/berita/sepakbola/internasional2/13/03/19/mjtnuh-garagara-salam-nazi-katidisdilarang-bermain-seumur-hidup (diakses tanggal 8
Juni 2014).
http://bola.kabar24.com/ligainggris/read/20131230/40/207662/salam-nazi-bawamasalah-bagi-anelka (diakses tanggal 8 Juni 2014).
http://en.wikipedia.org/wiki/Clash_of_Civilizations (diakses 8
Juni 2014).
www.kpu.go.id (diakses tanggal 16 Mei 2013).
http://skalanews.com/berita/detail/142043/Yusril-Tak-AdaPartai-Islam-atau-Nasionalis (diakses tanggal 17 Mei
2013).

20

21