Masa Depan Kakus dan Masa depan Peradaba

Masa Depan Kakus dan Masa depan Peradaban: Memahami Tantangan Budaya dan Peluang
di Timor Barat [ sebuah survey antropologi terhadap sanitasi di timor barat, indonesia]
Pendahuluan
Jumlah kakus yang berada di Kabupaten Kupang, NTT masih relatif minim sejak mulai
disosialisasikan tahun 1940an di pedalaman Timor. Orang lain akan menganggap faktor
ekonomi yang menjadi penyebabnya, namun hal tersebut bertolak belaka. Masyarakat lebih
tertarik untuk memiliki handphone daripada membangun kakus, serta menganggap kakus
merupakan barang asing yang apabila diperhatikan sebagai kebutuhan primer karena
berhubungan dengan sanitasi yang dekat dengan makanan kemudian bertransformasi.
Permasalahan mengenai kakus kurang diperhatikan oleh pihak politik serta politikus, yang
sebenarnya mempengaruhi terhadap fasilitas dasar kesehatan

masyarakat dan menjadi

keprihatinan global. Target MDGs untuk meningkatkan jumlah pengguna kakus atau kualitas
sanitasi serta akses untuk air akan cukup lama dan sulit. Untuk mengukur perkembangan
MDGs, pemerintah mengambil konsep “Akses Sanitasi Layak” dari Bapennas dan BPS
sebagai standar minimum akses sanitasi dan program tersebut membagi kakus menjadi 3
jenis, yaitu kakus cemplung, kakus leher angsa dengan septic tanks, dan toilet flush. Selama
20 tahun terakhir, dari data survey sosial ekonomi nasional (tahun 1990, 2001, dan 2010)
indonesia mengalami peningkatan dalam ASL, hampir tiap tahunnya peningkatan bertambah

1,5% dan untuk provinsi NTT mengalami peningkatan 1%, namun kabupaten Kupang
peningkatannya masih sangat rendah, hanya 0,35% pertahunnya dalam kurun waktu 20 tahun
terakhir.
Bussiness as usual (BAU) memperhitungkan bahwa kabupaten kupang akan mencapai
target MDGs di tahun 2194 dan ditahun 2255 atau 240 tahun kedepan, setiap rumah di
Kabupaten kupang memiliki kakus, sedangkan NTT akan mencapai target MDGs tahun 2061.
Dalam masalah mengenai sanitasi ini terdapat dua skenario untuk melihat perubahan
kabupaten kupang, pertama yaitu apabila ada perubahan kebijakan publik dan kebijakan
kesehatan, pemerintah kabupaten siap untuk meningkatkan ASL hingga level NTT atau
pertumbuhan 1% pertahun. Dan skenario kedua apabila mengadopsi angka ASL nasional
(1,5% per tahun), maka target yang tercapai akan terwujud tahun 2050 atau 35 tahun
terlambat dari target. Water, sanitation, and hygenic (WASH) masih dilihat berdasarkan sudut
pandang ekonomi dan ilmu kesehatan, namun dalam studi sosial antropologi hal mengenai
budaya WASH sering terabaikan. ACF internasional kemudian melakukan studi sistematis

berdasarkan dimensi sosial-budaya serta antropologi wash di kabupaten kupang, timor barat.
Metode campuran (mix method) berupa sejarah lisan (oral history), participatory rural
appraisals, wawancara mendalam, dan survey literatur (literature review), serta studi
sistematis mengenai dimensi sosial-budaya wash (water, sanitation, and hygiene) di beberapa
desa, kabupaten kupang. Penelitian dilakukan untuk menjelaskan perilaku, kepercayaan, dan

kebiasaan masyarakat lokal di kecamatan takari dan amabi oefeto timur. Penelitian yang
dilaksanakan pada tahun 2013 bulan februari hingga maret tersebut, mencakup pemahaman
mengenai bagaimana pandangan masyarakat terhadap praktek WASH yang ideal, dalam
kehidupan sehari-hari, dan dorongan sosial-budaya, ekonomi, atau lingkungan yang
mempengaruhi perilaku, kepercayaan, dan kebiasaan.
Kajian pustaka
Kajian antropologi mengenai studi kakus masih jarang dalam bidang antropologi, dan
studi tentang sanitasi modern baru dilaksanakan beberapa tahun lalu di indonesia. Ahli
antropologi sering mengabaikan masalah sanitasi karena cenderung fokus terhadap apa yang
ada daripada apa yang tidak ada, sehingga dapat menjadi terobosan baru bagi antropologi
tentang studi sanitasi. Stein (2009) menjelaskan mengenai perkenalan kakus pada masyarakat
jawa di tahun 1930-an yang dilakukan oleh rockefeller foundation dan bukan pihak kolonial
belanda. Awal pengenalan program ini pemerintah hindia belanda tidak mendukung adanya
pendidikan sanitasi dan higiene bagi penduduk pribumi, dan rockefeller foundation memiliki
fokus kerja terhadap eliminasi cacing tambang, penyakit tropis ini dapat dihilangkan melalui
pengenalan dan pengadopsian kakus. Stein (2009), menjelaskan bahwa praktek sanitasi dan
higiene di jawa dipengaruhi oleh adanya mantri yang di definisikan sebagai teknisi
kebersihan. Hasil wawancara dengan bekas penduduk di pedesaan timor, tahun 1940-an
belanda telah mempekerjakan mantri cacar, sedangkan wawancara dengan mantan gubernur
provinsi NTT, diketahui bahwa ayah Ben Mboi merupakan seorang mantri kakus di

manggarai, flores. Keberadaan mantri kakus secara tertulis tidak pernah ditemukan.
Masyarakat timor meyakini adanya konsep “kutuk” (leu), dan ini menjadi tantangan
untuk memperkenalkan penyebab penyakit dan praktek kesehatan modern. Middlekoop,
menemukan konsep kutukan (leu) sangat dominan pada masyarakat timor ketika
memperkenalkan agama kristen, termasuk orang atoni atau dawan. Penelitian middlekoop
dilakuakn sekitar tahun 1922 di kapan, mollo dan menghasilakan tesis penting terhadap
penelitian antropologi mengenai penyakit yang ada di masyarakat penganut natural religion

(Middlekoop, 1960). Sehat tidaknya sesorang diakibatkan oleh beberapa faktor, seperti status
ekonomi, kebahagiaan, adanya dukungan sosial serta hubungan sosial yang baik, serta
dihubungkan dengan kualitas personal, seperti kemampuan kerja keras serta beriman terhadap
tuhan. Sedangkan sakit diakibatkan oleh kemiskinan, kemalasan, kesedihan, ketidaksopanan,
roh jahat dan kehendak tuhan. Douglas (1966), antropolog dalam lagam Durkheim dalam
bukunya purity and danger: an analysis of concept of pollution and taboo menulis mengenai
masyarakat primitif memahami ketidakbersihan, kotoran, maupun sakit, dalam masyaakat
atoni sakit dikaitkan dengan kesalahan yang telah dilakukan. Douglas (1966, p.3) pun
memperkuat pernyataan tersebut i belive that some pollutions are used as analogies for
expressing a general view of the social order’.
Masyarakat indonesia telah diperkenalkan kakus sudah selama enam dekade, dan
perilaku BAB di tempat terbuka merupakan hal lumrah, penyakit pun tetap dikaitkan dengan

kutukan. Naketi sebagai ritual pengakuan dari orang sakit sebagai proses penyembuhan
hingga sekarang masih dilakukan. Masyarakat Atoni percaya, apabila seseorang ingin sembuh
dari sakit maka harus mengakui kesalahannya melalui tutur adat, sehingga terdapat
perngertian modern mengenai penyakit dan kebersihan, dengan pengertian penyakit dan
kesucian di kalangan masyarakat primitif. Konsep penyakit di dunia kesehatan modern yaitu
berkurangnya antibodi seseorang, sedangkan pada masyarakat primitif yang menganut natural
religion, penyakit dihubungkan dengan ketidakseimbangan sosial, bupati kabupaten kupang,
Ayub Titueki ( seorang Doktor Demografi), menjelaskan bahwa naketi masih merupakan hal
lazim bagi masyarakat Atoni, dan masyarakat setempat tidak mengabaikan bahwa air hangat
penting untuk mengobati luka.