MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA (2)

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA

---------

ETIKA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
BERDASARKAN KONSTITUSI1
Oleh: Moh. Mahfud MD.2

Pengantar
Bahwa negara ini sedang mengalami berbagai persoalan, tentu kita semua
telah mahfum. Tidak hanya pada sektor atau bidang tertentu saja, persoalan
telah muncul di hampir semua sendi kehidupan berbangsa. Kecenderungan
yang ada, persoalan itu semakin hari bukannya semakin menyederhana tetapi
kian kompleks dan rumit. Ini bisa terjadi bukan karena kita tidak melakukan
apapun untuk mengatasinya. Setiap persoalan telah coba kita atasi dan hadapi
dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tertentu. Pun demikian, reformasi
segala bidang sudah ditempuh untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Itu
sebabnya, reformasi pada 1998 dilakukan, dengan harapan kondisi segera
berubah dan lebih baik.
Sekarang, setelah lebih kurang 14 tahun reformasi dilakukan, persoalanpersoalan itu tak juga dapat tuntas diselesaikan. Ada beberapa bidang yang

mendapat klaim agak sedikit membaik, seperti bidang ekonomi misalnya,
namun tidak sedikit yang makin terpuruk seperti bidang hukum, politik, dan
sosial. Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan
politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah
reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering
dibelokkan

menjadi

instrumen

untuk

mencapai

atau

melanggengkan

kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam

kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktik-praktik kotor
lainnya.

Politik

dipraktikkan

dengan

perilaku

yang

minim

kesantunan.

Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses
mewujudkan


kebaikan

bersama.

Politik

identitas

semakin

menguat

mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya di
Makalah pada Kuliah Perdana Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Senin, 17 September 2012 di
Gedung Grha Sabha Pramana UGM, Yogyakarta.
2 Ketua Mahkamah Konstitusi RI.

1

1


antara sesama warga bangsa yang memudar pelan-pelan. Distrust itu telah
menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak
dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun
berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil
atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan negara.
Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik, dan
ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang
kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,
melainkan berkait dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang meredup.
Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak kunjung tuntas
teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa dan bernegara.
Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika berbangsa dan
bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan kondisi bangsa ini
haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian erat dengan krisis
etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi harus disertai upaya
mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip fundamen etis-moral dan
karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.


Dasar Prinsip Etika Bernegara
Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan
etika

adalah

barometer

peradaban

bangsa.

Suatu

bangsa

dikatakan

berperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai
dengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada

aturan main memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga berjalan
secara wajar, efisien, dan tanpa hambatan berarti. Masyarakat Jawa misalnya,
dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting etika.
Sebab, etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun,
dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri dalam
pergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup
bermasyarakat.
Begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika akan
menjelaskan mana tingkah laku yang baik, apa yang pantas, dan apa yang
secara substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya. Bagi bangsa timur
seperti Indonesia, etika telah mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalam
kerangka penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan
2

kolektif. Karena itu, kita masih yakin dan percaya, etika mengalir menjadi
bagian dari kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara
natural-genetis, di dalam diri anak bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia,
yang pada perkembangannya dirumuskan oleh founding peoples ke dalam
Pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara.
Melalui Pancasila inilah, para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar

etis bernegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar Pancasila
yang dituangkan dalam UUD 1945 dan disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945,
tidaklah hadir hanya sebagai intuitif dan tiba-tiba jatuh dari langit, melainkan
melewati

proses

penggalian

mendalam.

Meskipun

baru

dibahas

dan

dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdeka, pemikiran

mengenai prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara sebenarnya telah
muncul dan dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, berbagai pemikiran yang mengarah
kepada kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik, fundamen etis dan
moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian bersintesis dalam
karakter keindonesiaan. Akhirnya, para penyusun UUD berhasil menggali dan
mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain
untuk dituangkan ke dalam UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945, nilai
etika dan moral terdapat di seluruh Pokok Pikiran3, yang kemudian nilai-nilai itu
dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya
merupakan sintesa nilai etika dan moral yang diangkat dari nilai-nilai luhur
bangsa

Indonesia

yang

dikenal


religius,

berperikemanusiaan,

persatuan,

demokrasi, dan keadilan. Hal ini sangat simetris dan sinergis dengan tujuan
bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahkan kepada moral kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang lebih baik.
Nilai-nilai luhur itu kemudian disepakati untuk diformalisasi dengan
sebutan Pancasila. Di dalam Pancasila itu, nilai ketuhanan ditempatkan sebagai

3 Pembukaan UUD 1945 memuat 4 (empat) pokok pikiran. Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara
Indonesia adalah negara persatuan, yaitu negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa
negara hendak mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara
berkewajiban mewujudkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok
pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan

permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa negara Indonesia demokrasi, yaitu
kedaulatan ditangan rakyat. Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

3

sumber etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat penting sebagai
fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia
bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia
melindungi hidupnya semua agama dan keyakinan serta mengembangkan
agama untuk bisa memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan etika
sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang
bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga
meruapakan fundamen penting

bagi

etika

politik


kehidupan bernegara.

Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara secara adil dan beradab
merupakan prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam bernegara.
Pancasila

juga

menekankan

prinsip

persatuan

kebangsaan

yang

mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan itu dikelola dalam
konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan
keragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi, ada
ruang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perlu
diketahui, negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga
perbedaan itu bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam
Pancasila terkandung pula prinsip bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan
persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat

melalui

prinsip

musyawarah

mufakat.

Nilai-nilai

ketuhanan,

kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya
mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan. Intinya, melalui
Pancasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara yang
dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan kepentingan
umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, penghormatan
terhadap

kemanusiaan,

mengedepankan

persatuan,

mengembangkan

demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip
mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan demokratis
berbasis etika dan moralitas.
Dalam berpolitik misalnya, meskipun identik dengan cara meraih
kekuasaan,

UUD

menggariskan

politik

sebagai

seni

yang

mengandung

kesantunan dan etika yang diukur dari pengutamaan moral. Pilihan para pendiri
negara untuk menyandarkan politik pada prinsip demokrasi deliberatif yang
mengedepankan pemusyawaratan dan bukan menang-menangan, merupakan
keputusan

terbaik

untuk

mengatasi

segala

paham

golongan

maupun

4

perseorangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam
hal ini tetap dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah.
Terkait dengan implementasi hak asasi manusia (HAM), Pembukaan UUD
1945 menyelaraskannya dengan filosofi, budaya, serta struktur kemasyarakatan
Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM akan terpenuhi manakala manusia juga
menunaikan kewajiban asasinya. Karena itu, tegaknya HAM harus diartikan
sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan kewajiban asasi.
Demikian halnya dengan bidang ekonomi. UUD 1945 mengepankan
prinsip

kesejahteraan

sosial

dalam

setiap

aktifitas

perekonomian

yang

berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan ekonomi harus bermuara pada
peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tolok ukur keberhasilan
pembangunan. Interaksi antar pelaku dalam ekonomi dilandasi oleh semangat
keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang dalam rangka
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Problem Implementasi Etika Dewasa Ini
Yang terjadi di masyarakat belakangan ini, pengabaian moral dan etika
berlangsung secara massif di hampir semua segi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Etika mengalami proses marginalisasi secara serius sedemikian rupa.
Pergeseran nilai akibat transaksi informasi global dan pola pikir pragmatismaterialisme telah berimbas pada peminggiran etika, dalam arti, etika seringkali
tak lagi dijadikan acuan tindakan dan perilaku. Drama yang kita lihat
belakangan ini, baik di pentas politik, panggung sosial, maupun di arena
penegakan hukum, hampir semua mementaskan aktor dengan perilaku miskin
etika.
Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti
pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic
exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-bangku
kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik sekedar
pemanis bibir saja. Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan kalah dan
menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas, politik
tanpa

etika

melahirkan

sinetron

demokrasi,

yang

hanya

menyuguhkan

kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam
demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa
politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan
akhlak bangsa.
5

Di bidang pemerintahan, etika aparat pemerintahan semakin merosot.
Aparat pemerintahan saat ini kebanyakan melihat status dan jabatan yang
disandang bukan sebagai amanat untuk mengabdi pada bangsa dan negara
sehingga harus bekerja keras dalam menjalankan amanat tersebut. Sebaliknya,
status dan jabatan yang dikuasai adalah peluang untuk mencari keuntungan
pribadi sehingga tidak akan bekerja dengan baik jika tidak menerima imbalan
dan akan selalu mempresepsikan setiap tugas dan fungsi yang diemban dari sisi
materi. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari uang rakyat dilihat sebagai
lahan untuk menambah pendapatan sehingga sebanyak mungkin dikeruk untuk
keuntungan pribadi. Hilanglah kejujuran digantikan dengan manipulasi untuk
pertanggungjawaban keuangan. Hilanglah semangat kerja keras, digantikan
dengan prinsip mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan kerja
sesedikit mungkin.
Karena persepsi kegiatan dan anggaran untuk keuntungan pribadi
tersebut, berlomba-lombalah para pejabat pemerintahan mengajukan dan
mendapatkan anggaran sebanyak-banyaknya walaupun tidak rasional jika
dibandingkan dengan kemampuan jabatan dan organisasi yang dimiliki untuk
menjalankan program tersebut. Bahkan untuk memperoleh anggaran itupun
sudah dilakukan dengan ketidakjujuran data serta melakukan penyuapan
terhadap lembaga yang menentukan anggaran. Jika di hulu anggaran sudah
dilakukan

dengan

menghalalkan

pertanggungjawabannya

pasti

cara,

dipenuhi

tentu
dengan

dalam

pelaksanaan

kebohongan,

yang

dan
pada

akhirnya merugikan rakyat.
Saat ini, banyak pejabat negara yang berperilaku tidak etis atau
melanggar etika. Banyak pejabat negara yang sedang mendapat sorotan
masyarakat karena diduga terlibat dalam kasus hukum tertentu, dengan enteng
menjawab, buat apa mundur, bukankah pengadilan belum membuktikan kalau
saya bersalah. Padahal, seseorang yang melanggar etika seharusnya merasa
lebih berdosa daripada melanggar hukum karena

pada dasarnya etika

merupakan dasar hukum. Hukum itu ada karena etika, hukum merupakan nilai
etik yang diundangkan. Karena itu, jika ada seorang pemimpin atau pejabat
negara sudah terbukti melanggar etika, maka seharusnya ia malu dan lalu
mengundurkan diri tanpa perlu menunggu putusan pengadilan. Pelajar ilmu
hukum pasti paham bahwa hukum itu adalah formalisasi dari nilai-nilai agama,
etika, dan kesusilaan yang semua menjadi kaidah-kaidah dalam bermasyarakat

6

untuk kemudian diformalkan menjadi aturan hukum. Oleh sebab itulah,
kaidah-kaidah itu harus dijadikan landasan dalam penegakan hukum.
Di bidang sosial, etika dalam pergaulan antar sesama warga semakin
tergerus

oleh berbagai

hal, mulai dari pergeseran nilai sebagai imbas

modernitas, derasnya arus informasi yang tak terbendung, sampai dengan
menyeruaknya kembali politik identitas. Perbedaan latar belakang, apakah itu
agama, keyakinan, suku, aliran, atau perbedaan lainnya, mudah sekali
menyulut konflik meski dipicu oleh persoalan-persoalan sepele. Terlebih lagi,
perbedaan pendapat lebih sering diselesaikan dengan menggunakan ”okol”
ketimbang

akal.

Akibatnya,

alih-alih

menyelesaikan

masalah,

yang

ada

persoalan makin rumit dan kian meruncing. Kecenderungan lebih menggunakan
”okol”

ketimbang

akal

menunjukkan

melemahnya

penghargaan

dan

penghormatan terhadap nilai dan martabat manusia.
Tak berhenti sampai di situ, etika di dunia pendidikan juga nyata-nyata
semakin dipinggirkan. Sekarang ini banyak orang yang suka melanggar etika
akademis dan etika keilmuan, misalnya orang membeli gelar akademik dan suka
mencuri karya keilmuan orang lain (plagiasi). Pada kasus lain, ada akademisi
yang suka ”menjual” keahlian untuk menuliskan tesis atau disertasi orang lain
dengan imbalan tertentu. Ada pula pakar dari perguruan tinggi yang diminta
menyampaikan pendapat ahli di persidangan tetapi pendapatnya tidak mengacu
pada pakem ilmiah-akademis melainkan bergantung pesanan dan pendapatan.
Dulu, orang menulis buku dan menerbitkan merupakan prestasi akademik luar
biasa yang membanggakan. Tetapi sekarang, orang bisa punya artikel, buku,
atau bahkan karya ilmiah tanpa harus memiliki tradisi berpikir ilmiah dengan
cara menyewa ghost writer lalu mengklaim hasil tulisan itu sebagai karyanya,
padahal ia tak paham substansinya. Mereka yang mengabaikan etika ilmiah
akademik itu merupakan orang yang tidak keberatan membohongi diri sendiri.
Dan apabila seseorang sudah bisa membohongi diri sendiri, maka dia tidak
sungkan untuk membohongi orang lain, itulah ciri koruptor atau calon koruptor.
Artinya, kemerosotan etika di dunia pendidikan turut berkontribusi banyak
dalam keterpurukan moral dan etika bangsa.
Dewasa ini, ukuran etis atau tidak, menjadi sangat lentur karena sikap
permisif masyarakat terhadap hal-hal yang sesungguhnya merupakan bentuk
penyimpangan sosial. Korupsi di negeri ini kian mengerikan dan merajalela,
salah satunya karena dianggap wajar. Sebagian lain malah menganggap korupsi
sebagai budaya. Orang korupsi itu hanya soal kesempatan, kalau pun ada
7

kesempatan tapi tak korupsi, dianggap sebagai orang yang sok bersih. Alhasil,
kita sendiri tidak tahu bagaimana cara memberantasnya. Seperti sering saya
katakan, teori pemberantasan korupsi dari gudang sudah habis. Semua teori
dan cara sudah disarankan namun seolah tak ada yang mempan, sementara
negara terus menerus digerogoti.
Di bidang hukum, yang terjadi sekarang adalah hukum dibuat dan
ditegakkan tanpa bertumpu pada etika, moral, dan hati nurani sehingga
menjauhi rasa keadilan. Aturan hukum yang dibuat seringkali tak membawa
perbaikan yang diinginkan. Salah satu sebabnya karena terjadinya pelanggaran
etika melalui politik kompromistis-transaksional saat pembahasan di lembaga
legislatif. Di ranah penegakan hukum, para penegak hukum sering berhenti
pada keinginan menegakkan bunyi pasal-pasal undang-undang itu sendiri tanpa
melibatkan

moral

dan

etika.

Penegakan

hukum

yang

hanya

sekedar

menekankan dan mengedepankan formalitas-prosedural di atas etika dan moral
keadilan publik sebagai sukma hukum, menyebabkan keadilan seringkali gagal
diwujudkan.
Hal serupa terjadi di bidang ekonomi. Ekonomi tidak bisa dilepaskan dari
etika dan moral, karena ekonomi tanpa etika sama halnya dengan kejahatan.
Namun demikian, saat ini kita melihat bagaimana aktivitas ekonomi yang
dijalankan justru mengesampingkan etika. Maraknya kasus korupsi berupa
suap dalam bentuk commitment fee atau kick back dalam proyek misalnya,
menujukkan bagaimana aktivitas ekonomi telah mengesampingkan etika.
Padahal, jika saja etika untuk memperoleh proyek pemerintah dipegang teguh,
korupsi dan suap akan bisa dicegah. Saat ini kita juga dapat melihat
dikesampingkannya etika aktivitas ekonomi terhadap lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian terhadap masyarakat saat ini dan di masa yang akan
datang. Pelanggaran-pelanggaran atas etika terjadi pula dalam bidang ekonomi
terkait dengan lemahnya etika pemerintahan di birokrasi. Saya pernah bertemu
dengan pengusaha yang mengaku terpaksa menyuap pejabat karena pejabatnya
yang minta disuap sehingga kalau tidak menyuap dia akan kalah atau
dikalahkan oleh orang lain yang berani menyuap lebih tinggi.
Tentu kita miris dengan fenomena ini. Manakala etika tidak lagi dijadikan
sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka ini bukan lain
adalah suara sirine tanda bahaya bagi negara ini. Saya sering menyebut kondisi
negara saat ini sedang dalam bahaya. Di dalam konstitusi memang ada
ketentuan tentang negara dalam bahaya dalam arti serangan dari luar, dari
8

negara lain, sehingga negara dapat menyatakan perang, namun keadaan
sekarang ini lebih bahaya karena ancaman itu justru datang dari dalam negara.
Ancaman bahaya itu ialah terjadinya penggerogotan dan pembusukan dari
dalam negara ini sendiri. Krisis etika telah membuat kita sulit menemukan
orang-orang dengan perangai santun, tulus, toleran, mengapresiasi orang lain
secara berkeadaban dan manusiawi, dalam segala hal. Itu sesuatu yang ironis
mengingat jati diri bangsa Indonesia sesungguhnya dibingkai oleh nalar untuk
memberikan

penghormatan

terhadap

nilai

kebaikan,

kemanusiaan,

dan

keadilan.

Solusi Menguatkan Etika
Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor
penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang
dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan
pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula
pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan
meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR
Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini
sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan
oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan
Etika Kehidupan Berbangsa meliputi:
1. Etika Sosial Budaya
Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam
dengan

menampilkan

kembali

sikap

jujur,

saling

peduli,

saling

memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di
antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan
kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang
bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang
harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun
informal pada setiap lapisan masyarakat.

2. Etika Politik dan Pemerintahan
9

Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat
dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur
dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara
moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam
perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari
sikap

munafik

serta

tidak

melakukan

kebohongan

publik,

tidak

manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.

3. Etika Ekonomi dan Bisnis
Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja
ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya
suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada
rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini
mencegah

terjadinya

praktik-praktik

monopoli,

oligopoli,

kebijakan

ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di
bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya
dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian
bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan
kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi.
Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusialah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada
batasan

terhadap

kebebasan

keserakahan

manusia

ini,

terutama

kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala
cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurangkurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan
menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan
atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang
dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih
besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan,
pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi
tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun
terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua,
perekonomian

kapitalisme

tidak

berpijak

pada

perekonomian

riil.
10

Pertumbuhan

ekonomi

dan

peningkatan

pendapatan

tidak

selalu

berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang
dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada
pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan
mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan
jumlah uang yang beredar “seolah-olah” semakin besar dan bertambah
nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu
akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas
ekonomi

riil

sebagai

dasarnya.

Ketiga,

sistem

yang

mengumbar

keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah
merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya
praktik korupsi.

4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial,
ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan
dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak
pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya
supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa
keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini
meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan
tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan
menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan
dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya..

5. Etika Keilmuan
Etika ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga
harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai
kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.
Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta,
dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan
komunikatif

dalam

kegiatan

membaca,

belajar,

meneliti,

menulis,

berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.

11

6. Etika Lingkungan
Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan
melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara
berkelanjutan dan bertanggungjawab.

Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku
yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga
persoalan

sesungguhnya

adalah

bagaimana

menanamkan

etika,

mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan
bernegara.

Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui

pendidikan

ajaran

nilai

dan

moral

yang

aktualisasinya dalam kehidupan bernegara.

menjadi
Di

sumber

etika

serta

dalam Ketetapan Nomor

VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika
bernegara adalah:
1. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui
pendidikan

formal,

informal,

dan

nonformal

dan

pemberian

contoh

keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin
masyarakat.
2. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan
menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika
yang bersumber dari ajaran agama dan budaya luhur bangsa serta
pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara
kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal
kebajikan.
3. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas
kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi.

Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari
situasi dan lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari
kehancuran

akibat

perilaku

minim

etika,

sebaiknya

kita

harus

segera

mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang
kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa
semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan
mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi12

dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari
kultur dan jati diri bangsa.
Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara.
Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan
etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai
transfer pengetahuan. Dalam proses pendidikan karakter ini peran keteladanan
jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan
perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan etika
mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam
menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan
akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting
untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan
aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap
upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan
model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan.
Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh
negara dan para aparatnya. Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang
juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika
bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah
model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus
dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki
peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu
memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini,
tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta
organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan
bernegara.
Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di
dalam sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber
atau dilandasi oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan
masa depan dan menggagalkan tujuan kita mewujudkan kehidupan bangsa dan
negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.

*****

13

Daftar Bacaan
A.B. Kusuma, Lahirnya Undang Dasar: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan
Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Unibersitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta, 1988.
____________________, Etika Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,1991.
____________________, Memantapkan
Filosofis, Jakarta, 1994.

Demokrasi

Pancasila:

Sebuah

Telaah

J. Kristiadi, Demokrasi dan Etika Bernegara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2008.
Kartohadiprodjo, S., Pancasila dan/dalam Undang-Undang Dasar 1945, Bina
Cipta, Bandung 1986.
Mohammad Noor Syam, Sistem Filsafat Pancasila: Tegak sebagai Sistem
Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 1945, Makalah yang disajikan dalam
Kongres Pancasila yang diselenggarakan UGM-MKRI pada 30-31 Mei dan 1
Juni 2009 di Kampus UGM, Yogyakarta.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007.
______________, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pers,
Jakarta, 2009.
______________, Hukum, Moral, dan Politik, Materi Studium Generale untuk
Matrikulasi Program Doktor Ilmu Huku Universitas Diopnegoro, Semarang,
23 Agustus 2008.
Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Andi Publisher , Yogyakarta,
2006.
Soekarno, Lahirnja Pantja Sila, dalam Tjamkan Pantja Sila, Departemen
Penerangan, 1964.
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011.

14