Konsep dan Eksistensi Hadis Dalam Islam

KONSEP DAN EKSISTENSI HADIS

Pendahuluan
Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi ajaran
Islam—bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi
kalangan ulamanya. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai
sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami>) setelah al-Qur’a>n.1
Bahkan, hadis merupakan ‚sumber mata air‛ yang menghidupkan peradaban Islam,
menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.
Imam Al-Nawawi rahimah}ullah menjelaskan posisi strategis studi hadis ini
sebagai berikut: ‚Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang
berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari
aspek sahi>h, hasan dan d}o’i>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi’, mu’d}ol, maqlu>b,

masyhu>r, ghari>b, ‘azi>z, mutawa>tir, dstnya.‛ Al-Nawawi berargumen bahwa syari’at
Islam dilandaskan atas al-Qur’a>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di atas
sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-ayat
yang mengatur masalah furu‘ (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global) sementara
penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian hukumnya secara
tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para ulama sepakat
bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qad{i (hakim pengadilan)

maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki kompetensi keilmuan
tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan ini—menurut an-Nawawi—menegaskan
bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang kebaikan yang paling
utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada Allah karena ilmu
tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang makhluk Allah SWT
yang paling mulia—yaitu Nabi Muhammad SAW. 2
Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka
ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis,
mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan
cabang-cabang keilmuannya, mengaplikasikannya dalam ketetapan hukum syari’at,
1

DR. Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005), 3
2
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala> Shahi>h Muslim, Juz
1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), 3-4

1


menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk
mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek
kehidupannya.3
Intensitas kajian dalam aspek al-riwa>yah, al-dira>yah dan fiqh hadis dari
zaman ke zaman diorientasikan untuk menjaga otentisitas hadis dan mengeksplorasi
makna dan kandungan hukum dan hikmahnya. Para ulama hadis meletakkan kaidahkaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan
dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan
melakukan dokumentasi dan kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk
memudahkan akses terhadap hadis.
Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis, eksistensi serta
otoritas (hujjiyah)-nya dalam syari’at Islam sebagai pengantar mengkaji berbagai
aspek dan cabang ilmu hadis.

Ontologi dan eksistesi hadis dalam perspektif kajian keilmuan
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana
ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu
yang berwujud (yang ada). 4 Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang
jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda. Adapun epistemologi merupakan
gabungan dari dua kata yaitu episteme dan logos yang keduanya berarti teori ilmu

pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dapat didefiniskan sebagai ilmu yang
membahas pengetahuan dan cara atau teknik dan prosedur untuk memperolehnya.
Landasan epistemologi ilmu adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan
prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara ilmiah yang disebut ilmu atau
pengetahuan ilmiah.5 Sementara itu, aksiologi atau juga disebut teori nilai,6 adalah
ilmu yang menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu.7

3

Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah al‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6
4
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan ,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69
5
Ibid., 74-75
6
Ibid., 78
7
Ibid., 79


2

Landasan penelaahan suatu ilmu terdiri dari ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Ketiganya perlu diuraikan dalam upaya menggambarkan hakikat
keberadaan ilmu.8 Dalam konteks ini, ilmu hadis9 sebagai suatu pengetahuan ilmiah,
tentunya harus memenuhi syarat ontologis, epitemologi dan aksiologi tersebut.
Secara ontologis, ilmu hadits adalah ilmu yang membahas mengenai sesuatu
yang datang dari Nabi baik ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat fisik dan
kepribadiannya. Objek yang diteliti adalah sanad dan matan hadits.10 Ilmu ini dibagi
menjadi dua, yaitu ilmu al-hadith dirayah atau ilmu dirayah al-hadith dan ilmu al-

hadith riwayah atau ilmu riwayah al-hadith.11 Ilmu hadits riwayah adalah ilmu yang
mencakup informasi tentang perkataan Nabi SAW, perbuatan, taqrir maupun s}ifat
beliau, tentang cara periwayatan dengan penukilan redaksi secara teliti. Termasuk
di dalamnya juga informasi tentang sahabat dan tabi’in menurut mayoritas ahli
hadis.12 Topik pembahasan ilmu riwayat hadis adalah perkataan, perbuatan dan sifatsifat dari segi penukilan. Ilmu ini mencakup pembahasan tentang segala yang
berpautan dengan lafal dan periwayatan. Adapun, Ilmu hadits dirayah adalah ilmu
untuk mengetahui hakikat riwayat yang mencakup syarat, macam dan hukumnya
serta keadaan perawi yang mencakup syarat, jenis yang diriwayatkan dan segala
yang berkaitan dengannya. Obyek pembahasan ilmu ini adalah sanad dan matan

hadits. Jadi hakikatnya ilmu hadits adalah ilmu yang dirancang untuk mengetahui
keorisinilan dan tata cara periwayatan hadits yang benar dari Rasulullah.13
Adapun dari aspek epistemologi, menurut Ibnu Sholah, Ilmu hadis mencakup
pembahasan 75 cabang ilmu, diantaranya ma’rifah as-sahih min al-hadith, ma’rifah

al-hasan, ma’rifahal-dha’if, ma’rifah al-marfu’, ma’rifah mukhtalaf al-hadith,
ma’rifah t}abaqat al-ruwah wa al-‘ulama.14 DR. Hamzah al-Malibary meringkas
bahwa ilmu hadis mencakup empat bagian utama yaitu ‘ilm al-riwayah, qawa’id al-

8

Adib, Filsafat Ilmu, 67
Disebut juga ilmu mus}t}alah al-H}adi>th atau ’ Ilm Us}u>l al-H}adi>th.
10
Mahmud Thahhan. Taisir Mustalah al-Hadith (Iskandariyah: Dar al-Huda> li al-Dirasah, 1415), 15
11
Nuruddin ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997
M), 30
12
Ibid., 31

13
Abu Mu’adz Tariq bi ‘Iwad{allah, al-Madkhal ila ‘Ilm al-Hadith (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar
Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M), 22. Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat alHadith al-Nabawy (Kairo : Dar al-Fadhilah, tt), 80
14
Ibnu Salah, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif al-Hamum dan Mahir Yasin Fahl
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423/2002), 78
9

3

tashih wa al-ta’lil, ‘ilm jarh wa al-ta’dil dan fiqh al-hadith.15 Namun, perlu
ditambahkan juga cabang ilmu hadis yang penting dewasa ini yaitu sejarah
perkembangan ilmu hadis.
Dari aspek aksiologi, nilai guna ilmu hadis merujuk kepada kedudukan hadis
sebagai marja’iyah al-‘ulya fi al-Islam ba’da al-Quran (referensi/acuan nilai yang
tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang termuat dalam
hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum (syari’ah), dan
etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.16 Nilai guna ilmu hadis,
antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk


istidla>l dan istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai persoalan agama, (2) menguatkan
ke-thiqoh-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah diverifikasi
validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW, (3) sebagai
keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam menyeleksi riwayatriwayat hadis dan informasi sejarah,17 (4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari
upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan
penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi
berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.18

Terminologi yang berkembang seputar Hadis
Dalam referensi ilmu hadis, term yang berkembang dan dipakai luas seputar
hadis tidak hanya satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah, al-khabar dan al-athar.
Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula yang mengartikan
berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi maknanya sesuai
dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak menimbulkan
kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).
a. Hadis

15

Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au’ Tatbi>qa>t Muhadithin al-Nuqa>d (Beirut: Dar Ibn

Hazm, cet. 1, 1423 H/2003),16
16
Lihat Israr Ahmad Khan, Authentication of Hadith –Redefining the Criteria (London: The
International Institute of Islamic Thought, 1431 HH/2010 CE), XIII
17
Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah}
li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt), 18
18
Itr, 29-30

4

Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki empat macam
arti,19 yaitu:
1. Hadis berarti khabar dan berita (al-Khabar wa al-naba>’), seperti tersebut
dalam QS. An-Nazi’at: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.
2. Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah
SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}san al-h}adi>th dalam ayat ini artinya ah}san al-

kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50

3. Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari al-qadi>m (lama). Makna
ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk

al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan
berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai
sesuatu yang baru.20
Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari
makna etimologis di atas. Hadis merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar

wa al-naba>’) dari kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d bila dibandingkan dengan
kala>m Allah SWT. 21
Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi
pendapat tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:
(1). Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—dan perbuatan, taqrir, dan sifat-sifat
khususnya, termasuk gerak dan diamnya, bangun dan tidurnya.22 Dengan demikian
hadis hanya terbatas pada hadis marfu’ saja. Hadis sinonim dengan sunah Nabi.
(2). Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari
sunah dimana sunah adalah amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani
(t}ariqah ‘amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi SAW tentang ajaran Al19


Lihat Ibnu Mandhur. Lisan al-‘Arab. (Mesir, maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004
M) juz 2/hlm 507. Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah al-Idarah al-‘At wa ihya’ alTuroth, al-Mu’jam al-Was>it} (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 190 .
20
lihat As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 1/hlm. 42. Makna al-h}adi>th sebagai
al-jadi>d, merupakan pasangan kata al-qadi>m untuk al-Qur’an, lihat Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa
Must}alahuhu; ‘Ard{un wa Dirasatun, h. 5
21
Dalam Al-Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata hadith seperti dalam QS. AlThur: 34, Thoha : 9, Al-Dzariyat : 24, Al-Mursalat : 50, Al-Nazi’at : 15, dll. Sementara di dalam
hadis Rasulullah SAW, kata hadith misalnya dapat ditemui dalam riwayat al-Bukhari no. 771 AlBukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet.
1, 1400 H) Juz 1, 250.
22
Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm al-Athar, ed. Abdullah bin
Muhammad Abdurrahim al-Bukhary (Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H), 1/10. AlSakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, ed. ‘Abdul Karim al-Khudhair dan Muhammad
bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H), 1/10

5

Quran dan bersifat mutawatir.23 Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa
(etimologis) hadis yang berarti al-kalam (perkataan). Dalam atsar salaf di kalangan
ulama hadis terdapat indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika

ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auza’y dan Sufyan bin ‘Uyainah menjawab: ‚alAuza’y adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah hadis.
Sufyan adalah Imam dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah sunah.
Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal tersebut‛.24
(3). Perkataan Nabi SAW—selain Al-Quran—,perbuatan, persetujuan Nabi atas
sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh
informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabla

al-bi’tsah) atau sesudahnya (ba’da al-bi’tsah), termasuk pula biografi (sirah) dan
peperangan (ghazawa>t) yang terkait kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula,
hadis mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabi’in. Dengan
demikian hadis meliputi riwayat yang marfu’, mawqu>f dan maqt}u’> . 25
Menurut DR. Nuruddin ‘Itr, definisi yang ketiga adalah definisi yang paling
tepat.26 Hal ini dapat dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada
yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu’ kepada Nabi, namun juga
hadis yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u>’ (perkataan tabi’in).27 Bahkan
dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis seperti almuwatho’, al-jami’ ash-sahih, as-sunan, terkandung di dalamnya hadis nabawi,
perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabi’in. 28

23

As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, hlm. 5
Manahij Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah. Ad-Difa’ ‘an as-Sunnah. (Kode bahan. GUHD5303).
Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah. Hlm. 14
25
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith, hlm. 15-16, As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi
Syarh Taqrib an-Nawawy,. 1/43 . Pengertian yang luas semacam inilah yang dipilih oleh DR.
Nuruddin ‘Itr dalam Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet.
3, 1418 H/1997 M), hlm. 26 dan Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam al-Wasith fi ‘Ulum
wa Mustholah al-Hadits, hlm. 16. Dalam konteks penyebutan umum (mutlaq), al-hadis diasosiasikan
dengan khobar marfu’ dari Nabi SAW. Kemudian akan mempunyai makna khusus (muqayyad) jika
disertai qari>nah (indikasi lain) tertentu seperti dalam kalimat ‚Hadis Abubakar‛, ‚hadis Qotadah‛
yang bermakna atsar. (ta’liq Abu Mu’azd Thariq bin ‘Audhillah dalam As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi
Syarh Taqrib an-Nawawy, hlm. 42-3), Ali Hasan al-Halaby, An-Nukat ‘ala Nuzhat al-Nadzar, hlm. 52
(footnote)
26
Nuruddin ‘itr, Manh}aj al-Naqd, hlm. 26
27
Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith hlm. 16
28
Adapun dalam penyebutan secara umum dan kebiasaan para ahli hadis, konteks pemakaian istilah
hadis adalah segala hlm yang terkait dengan yang bersumber dari Rasulullah SAW dan tidak
digunakan kepada orang lain selain beliau kecuali jika penyebutannya dalam konteks yang bersifat
khusus dan tertentu (muqoyyad). Lihat catatan kaki dari Ali Hasan al-Halaby al-Atsary. An-Nukat
‘ala Nuzhat an-Nadzar. Hlm. 25.
24

6

b. Sunnah
Secara etimologis, Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah.

29

yang berarti

jalan, cara atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis
dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang selalu diikuti dan
dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian.30 Sunnah mencakup juga jalan yang
dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian diikuti orang
lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup, kebiasaan (tradition)
dalam hal yang positif ataupun negatif.31 Rasulullah SAW bersabda: ....Man sanna fi

al-Islam sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man ‘amila biha ba’dahu min
ghair an yanqus}a min ujurihim shai’un.32
Para ulama fiqh menyebutkan istilah sunnah sebagai sesuatu perbuatan yang
berpahala jika dikerjakan dan diberikan sanksi dosa bila meninggalkannya.33 Dalam
istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan dengan Nabi SAW
saja, namun mayoritas ulama hadis menetapkan bahwa sunnah mencakup pula apa
yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.34 Dengan demikian, sunnah
menurut ulama hadis sinonim dengan hadis.
Adapun para ulama disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam perspektif
keperluan bidang keilmuanya seperti ahli Us}ul> adalah segala hal yang datang dari
Nabi (selain al- Qur’an), baik perkataan, perbuatan maupun taqri>r yang pantas
menjadi dalil hukum shara.` Menurut ahli Fiqih adalah segala hal yang datang dari

29

Al-Jurjany, Mu’jam al-Ta’rifa>t, 105Al-Qa>mus al-Muhi>t}, materi sunan h. 1558 dan Lisa>n al-‘Arab
Juz 3 h. 2124
30
Lisa>n al-‘Arab Juz 3 h. 2124
31
Di dalam ayat-ayat Al-Quran, terdapat beragam penggunaan kata dimaksud seperti; Sunan
alladhi>na min qablikum atau jalan orang-orang sebelum kamu (QS. An-Nisa : 26), sunnat al-awwalin
(QS. Al-Anfal : 38), wa la>> tajidu li sunnatina> tah{wi>lan (QS. Al-Isra’ : 77), sunnah Allah (QS. Al-Fath
: 23), dll. Secara umum, penggunaan kata sunnah dalam Al-Quran menunjukkan makna al-t}ariqah wa
al-‘adah (jalan yang ditempuh dan kebiasaan yang berlaku). Sementara dalam hadis Rasululah,
terdapat dalam hadis Rasulullah SAW : latattabi’unna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin..
(HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya’ Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456
dari Abu Sa’id al-Khudry RA), juga dalam hadis : ............ fa man raghiba ‘an sunnaty fa laisa minny
(HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063
dari Anas bin Malik RA), Hadis : S{allu qabla al-Maghrib—qala fi al-thalithah—liman sha’a,
karahiyatan an yattakhidhaha al-nas sunnatan (HR. Al-Bukhari dalam al-Fath 3/60, Kitab al-Tauhid,
bab al-S{alah qabl al-Maghrib, hadis nomor 1183 dari Ibnu Buraidah RA). Ibnu al-Hajar menjelaskan
maksud sunnah dalam hadis ini adalah shari’atun wa t{ariqatun la>zimah.(ibid).
32
HR. Muslim 4/2059 Kitab al-‘Ilm Bab Man Sanna sunnah hasanah aw sayyi’ah hadis no. 15 (1017).
33
Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 138
34
Itr, Manhaj al-Naqd, 28. Namun istilah sunnah lebih banyak berkaitan dengan Nabi SAW dan para
sahabat khususnya al-khulafa ar-rashidin.

7

Nabi yang tidak berkaitan dengan fard}u dan wajib. Sunnah merupakan lawan

bid`ah.35
Sebagaimana pendapat‘Itr, bahwa term sunnah lebih banyak dipakai oleh para
ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih banyak dipakai oleh ulama hadis.
Menurut ulama ushul fiqh, sunnah adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW
yang meliputi perkataan atau perbuatan atau ketetapan (taqrir) saja. Hal ini karena
konteks pembahasan mereka terkait sunnah sebagai sumber penetapan syari’at
(masdar tashri’). 36 Sementara ulama hadis, mengkategorikan ‚sifat‛ sebagai bentuk
sunnah. 37
Penulis sependapat dengan S{ubhi S{aleh yang menolak adanya klaim sinonim
antara sunnah dan hadith, menurut tinjauan etimologis maupun terminologis.38
Sunnah lebih berkaitan dengan perbuatan (af’a>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi
aplikatif-fiqhy (living tradition) dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi
kebiasaannya (al-‘adah). Hal ini didukung keumuman konteks penggunaan term ini
dalam hadis-hadis Nabi SAW.39
c. Khabar
Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran atau
pendustaan.40 Menurut S{ubhi S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim
dengan hadis karena tahdith adalah bentuk ikhbar dan hadis Rasulullah SAW adalah
jenis khabar yang marfu’ kepada Rasulullah SAW.41 Sejalan dengan pendapat
tersebut, ‘Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki arti yang
sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan,
perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat kepribadian (akhlak),
termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.

35

Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Usul, 186
Idem, 28
37
Menurut penulis, memasukkan istilah ‚sifat khilqiyah‛ ke dalam definisi ‚sunnah‛ tidak tepat
karena akan janggal jika dipahami dalam konteks hadis ‘alaikum bi sunnatiy..
38
Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; ‘Ard{un wa Dirasatun, h. 6
39
Di antaranya hadis Rasulullah SAW : latattabi’unna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin..
(HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya’ Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456
dari Abu Sa’id al-Khudry RA), juga dalam hadis : ............ fa man raghiba ‘an sunnaty fa laisa minny
(HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063
dari Anas bin Malik RA).
40
Khabar Ahad fi al-Hadith al-Nabawy, 29
41
Subhi Salih, 10
36

8

Menurut penulis, ruang lingkup term khabar adalah yang paling luas. Secara
bahasa, domain conten khabar mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait
Nabi SAW. Dalam praktek para perawi pun, mereka tidak membatasi periwayatan
hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW.

d. Athar
Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian

muhadithin yang mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar yang mawqu>f dan
maqthu’.42 Menurut An-Nawawi khabar yang marfu’ ataupun mawqu>f semuanya
disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh negeri Khurasan
yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f.43 ‘Itr sepakat pendapat
al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis yang bukan
hanya marfu’, tapi juga mawqu>f dan maqthu’.44
Menurut penulis, walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r bersifat global
yang mencakup hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan dengan
penyebutan istilah hadis, maka atha>r lebih menunjukkan makna perkataan sahabat,

tabi’in dan tabi’ al-tabi’in (al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).45
Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari
yang paling luas cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;
Khabar

Atha>r

Hadis

Sunnah

Namun sejalan dengan pendapat S{ubhi S{a>lih, diskursus tentang perbedaan
antara istilah (hadis, khabar, sunnah dan athar) tidak terlalu urgen dan substansial.46

42

Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu a’waj (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1,
2006 M) h. 326
43
As-Suyuthi, Tadrib al-Rawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431H), 147
4444
Itr, 29
45
Atha>r dari tiga generasi ini menjadi penting dalam wacana keislaman dengan adanya persaksian
Rasulullah SAW terhadap mereka sebagai generasi terbaik. Lihat Shahih al-Bukhari Juz 2 hlm. 251,
hadis nomor 2651, 2652.
46
Ibid, 11

9

Macam-macam Kategori hadis :47

hadis

dari aspek
kuantitas
periwayatan

dari aspek
informasi matan

Fi'ly

Mutawatir

dari aspek
kualitas

Ahad

Sahih

Hasan

dari aspek
narasumber

Da'if

maudu

Qudsy

dari aspek

aplikatif

non-aplikatif

Qauly

Lafdhi

Mashhur

Li dhatihi

Li dhatihi

shadid

Nabawy (marfu')

nasikh

mansukh

Taqriry

Maknawi

Aziz

li Ghairihi

li Ghairihi

khafif

mauquf

rajih

marjuh

Sifat

Amaly

Gharib

maqtu'

muhkam

mutawaqqaf fih

Hammy

Kehujjahan/otoritas hadis (H{u{ jjiyah al-Hadith)
Kata hujjjah menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu sesuatu yang
menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga hujjah
dengan dalil.48 Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis
sebagai mas}dar (sumber) dan marja’ (rujukan) bagi ajaran Islam adalah sebagai
berikut;
a. Al-Quran


Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk
menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.49 Allah SWT mewajibkan manusia
untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan
pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai
pewahyuan Al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri.50 Kalau

47

Lihat Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasa>t,
cet. 7, 1405 H), Ima>d ‘Ali Jum’ah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar (Riyad} : Maktabah al-Malik Fahd
al-Wataniyah, cet. 1, 2005)
48
Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp),
73
49
QS. 16: 44
50
Imam al-Shafi’i berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Qur’an dan alhikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2
:129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafi’i, Al-Risalah, 73-76

10

al-Qur’an adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu ghair


al-matluw 51.
Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri’) kepada Rasulullah
disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.52 Perintah untuk
berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat
dan perselisihan.53 Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang
beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>’) itu.54 Menurut alShafi’i, adalah keputusan (qad}a’> ) Rasulullah dalam bentuk sunnah
yang tidak disebutkan secara tekstual dalam Al-Quran.55 Penegasan
otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman56, penetapan
sifat

hipokrit

dalam

keimanan

(nifa>q)

bagi

mereka

tidak

mengakuinya,57 serta ancaman keras berupa pembiaran dalam
kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah


SAW.58
Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat
tersebut sebagaimana kewajiban ta’at kepada Allah SWT.59
Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang



terdokumentasikan dalam hadis.
Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh
dan diikuti peri kehidupannya,60 disertai penegasan bahwa Beliau
adalah pribadi agung yang layak diteladani.61 Mengikutinya
merupakan manifestasi cinta kepada Allah .62

b. Hadis


Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib
dipegang teguh.

51

Al-Qur’an, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97
Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7
53
Ibid., 4: 59
54
Ibid., 33:36
55
Ibid, 83
56
Ibid., 3: 65
57
Ibid., 3: 61
58
Ibid., 3:115
59
Lihat al-Qur’an, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll.
60
Ibid., 33:21
61
Ibid., 68:4
62
Ibid., 3: 31
52

11

63 ِ



ِ ‫تَرْك‬
ِ ِِ
ِ
‫اب الل ِ َو ُس ةَ نَبِي‬
ُ َ
َ َ‫ت في ُك ْم أ َْمَريْ ِن لَ ْن تَضلوا َما َََس ْكتُ ْم ِ َما كت‬

Prediksi Rasulullah tentang munculnya mungkir al-hadith dan
penegasan tentang otoritas beliau dalam persoalan hukum (tashri’).

ِ
ِ ‫يث عِ و و م‬
‫ول بَْي َ َا‬
ُ ‫تك ٌئ َعلَى أَ ِري َكتِ ِ فَيَ ُق‬
ُ َ ُ َ َ ُ ‫أَََ َ ْل َع َسى َر ُج ٌل يَْب لُغُ ُ ا َْْد‬
ِِ
ِِ
ِ
ِ
ُ ‫استَ ْحلَْلَا ُ َوَما َو َج ْدنَا في َحَر ًاما َحرْمَا‬
ْ ًَََ ‫اب الل فَ َما َو َج ْدنَا في َح‬
ُ َ‫َوبَْي َ ُك ْم كت‬


.64ُ ‫الل‬

ِ ُ ‫وإِن ما حرم رس‬
‫صلى الل ُ َعلَْي ِ َو َسل َم َك َما َحرَم‬
َ ‫ول الل‬
َُ َ َ َ َ

Kedudukan sunnah yang setara dengan Al-Quran sebagai wahyu
Allah.
65



.ُ ‫َم َع‬

ِ َ‫أَََ إِِ أُوتِيت الْ ِكت‬
ُ
ُ َ‫اب َومثْ ل‬
َ

Penjelasan tentang konsekwensi ta’at dan maksiat terhadap ajaran
(sunnah) Rasulullah SAW.



ِِ ‫اع‬
َ َ‫ول الل ِ َوَم ْن يَأْ ََ ق‬
َ ‫ُكل أُم ِِ يَ ْد ُخلُو َن ا َْْ ةَ إَِ َم ْن أ َََ قَالُوا يَا َر ُس‬
َ َ‫ال َم ْن أَط‬
66
.ََ
َ ‫ص ِاِ فَ َق ْد أ‬
َ ‫َد َخ َل ا َْْ ةَ َوَم ْن َع‬

Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya dan sunnah para al-khulafa’ al-Rashidin.



ِ
ِ
ِ ‫ُوصي ُكم بِتَ ْقوى الل ِ والسم ِع والط‬
ِ ‫أ‬
‫ش ِمْ ُك ْم‬
َ َ ْ َ
ْ ‫اعة َوإِ ْن َعْب ًدا َحبَشيا فَِإن ُ َم ْن يَع‬
َ ْ
ِ ْ ‫ب ع ِدي فَسي رى اختِ ََفًا َكثِرا فَعلَي ُكم بِس ِِ وس ِة‬
ِِ
ِ
‫ين‬
ْ َََ
َ ‫اُْلَ َفاء الْ َم ْهدي‬
َْ
َُ ُ ْ َْ ً
َ ‫ن الراشد‬
ِ َ‫َََس ُكوا ِِا وعضوا علَي ها بِال و ِاج ِ وإِيا ُكم و ُْْ َدا‬
ٌ‫ات ْاُ ُُموِر فَِإن ُكل ُْْ َداٍَة بِ ْد َعة‬
َ ْ َ َ َْ َ ََ َ
67
ٍ
. ٌ‫ض ََلَة‬
َ ‫َوُكل بِ ْد َعة‬
Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak mengimplementasikan
petunjuk dan sunnah Rasulullah.

63

HR. Malik dalam al-Muwatha (2/899) secara mursal, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/93)
secara mutashil marfu’ dan disahihkan al-Albani dalam Sahih al-Jami’ no. 2937. Merujuk takhrij
Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar alMinhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15
64
HR. Ibn Majah (1/6) hadis no. 12, disahihkan al-Albany dalam Sahih Ibn Majah hadis no. 12, juga
al-Tirmidzi dalam hadis no. 2664. Merujuk takhrij Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah
Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15
65
HR. Ibn Majah nomor. 4604
66
HR. al-Bukhari dalam al-Jami’ al-Sahih, Kitab al-I’tisam hadis no. 7280.
67
HR. Abu Dawud no. 3991

12

ِ ‫ول الل ِ إِنا ُك ا بِ َشٍر فَجاء الل ِِ ٍر فََحن فِي‬
ِ
َ ‫ت يَا َر ُس‬
َ َ‫ق‬
ُ ‫ال ُح َ يْ َفةُ بْ ُن الْيَ َمان قُ ْل‬
ُ ْ َْ ُ َ َ
ِ
‫ال نَ َع ْم‬
ْ ‫فَ َه ْل ِم ْن َوَر ِاء َ َ ا‬
َ َ‫ك الشر َخْي ٌر ق‬
َ َ‫اَِْْر َشر ق‬
َ ‫ت َ ْل َوَراءَ َذل‬
ُ ‫ال نَ َع ْم قُ ْل‬
ِ
ََ ٌ‫ال يَ ُكو ُن بَ ْع ِدي أَمِمة‬
ْ ‫ك‬
َ َ‫ت َكْي َ ق‬
َ َ‫اَِْْر َشر ق‬
َ ‫ت فَ َه ْل َوَراءَ ذَل‬
ُ ‫ال نَ َع ْم قُ ْل‬
ُ ْ‫قُل‬
ِ ‫ي هت ُدو َن ِِ َداي وََ يست و َن بِس ِِ وسي ُق‬
ِ ‫ال قُلُوب هم قُلُوب الشي‬
ِ ‫اط‬
‫ن‬
َْ َ َ َ ُ
َْ َ
ُ ََ َ ُ
َ ُ ْ ُ ُ ٌ ‫وم في ِه ْم ِر َج‬
ِ ‫ول الل ِ إِ ْن أَدرْك‬
ِ ‫ِِ جثْم‬
ٍ ْ‫ان إِن‬
‫ال تَ ْس َم ُع‬
َ َ‫ك ق‬
َ ‫َصَ ُع يَا َر ُس‬
َ َ‫س ق‬
َ ‫ت ذَل‬
ُ َْ
ُ ‫ال قُ ْل‬
ْ ‫ت َكْي َ أ‬
َُ
68 ِ
ِ ِ ‫وتُ ِط‬
‫اَْ ْع َوأَط ْع‬
ْ َ‫ك ف‬
َ ُ‫ب ظَ ْه ُرَك َوأ ُِخ َ َمال‬
ُ ‫يع ل َْْم ِر َوإِ ْن‬
َ ‫ض ِر‬
ُ َ
c. Al-Ijma’
Ijma’ (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat
Islam.69mereka sepakat bahwa

al-sunnah al-mutahharah memiliki independensi

dalam penetapan hukum syari’at dan produk hukumnya berkedudukan sama dengan
al-Qur’an dalam penetapan hal dan haram.70 Demikian pula, adanya realitas ijma’
kaum muslimin sepanjang masa untuk meneladani Nabi SAW

dan menjadikan

sunnah sebagai landasan berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat,71
tabi’in dan generasi berikutnya sampai dewasa ini.72
d. Logika (al-Ma’qu>l)
Dalil al-Ma’qu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari
sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya
mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Qur’an tanpa
penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan
pembacaan al-Qur’an dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup
mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.73 Bahkan, menurut al-Auza’y al68

HR. Muslim no. 3435
S{ubhi S{a>lih, 291
70
Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1,
1421 H/2000), 1/187
71
Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma’ mereka tentang
kewajiban ittiba’ kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para
sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa inzal, Umar
menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah
melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para sahabat lainnya. Demikian
pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa seandainya dia tidak melihat Rasulullah
mencium Hajar aswad maka dia tidak akan melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul alAhkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar Al-S{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206
72
Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir, 1419 H/1999 M), 40
73
Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wajiz, 40
69

13

Qur’an lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya (al-Kitab

ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kitab).74 (2) Jika perbuatan Nabi
mengandung probabilitas hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib.
Maka mengambil kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati (ikhtiyat}) dari
perbuatan meninggalkan kewajiban, hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang
lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat fardhu atau belum. (3) Martabat

nubuwwah adalah level yang tinggi dan mulia dan yang terpilih adalah pemilik
sifat-sifat yang agung. Mengikuti perbuatannnya adalah bentuk pengagungan dan
pemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran adalah suatu keniscayaan,
maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan kebatilan. 75
Perlu ditegaskan bahwa, kewajiban ta’at kepada Rasul bukan hanya ketika
beliau hidup, namun juga setelah wafatnya. Sebab, perintah ta’at bersifat universal
dan mutlaq tanpa dibatasi waktu dan tempat tertentu.

76

Di dalam hadis-hadis di

atas, secara eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada
sunnahnya setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW memotivasi
umatnya untuk memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang disampaikannya baik
perhatian berbentuk riwa>yah maupun dira>yah.77 Rasulullah SAW bersabda:

» ‫ضر الل ُ ْامَرأً َِْ َع ِم ا َشْيئًا فَبَ لغَ ُ َك َما َِْ َع فَ ُرب ُمبَ ل ٍغ أ َْو َعى ِم ْن َس ِام ٍع‬
َ َ‫« ن‬
‚Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami
kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang
disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya
(langsung dari sumber).‛78
Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para
ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam
‚matan-matan riwayat‛. Rasulullah SAW bersabda:

74

Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy,
cet.3, 1402 H/1982 M), 387
75
Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/ 203-207
76
Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah, 55
77
Ilmu riwa>yah al-hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan proses dan mekanisme transmisi
(periwayatan) hadis. Sedangkan Ilmu dira>yah hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan dengan cara
mengetahui kondisi dan kualitas sanad (perawi) hadis dan matan (yang diriwayatkan)nya. Lihat
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah :
‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403 H/1983 M), hlm. 24-25. Nuruddin ‘itr,
Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), hlm. 30-32
78
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5, ed. Ahmad Muhammad Syakir, dkk.
(Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats al-‘Araby, tanpa tahun), hlm. 34

14

ِِ
ِ
ِ ِ
ِ
ِ
‫يل‬
َ ‫ َوانْتِ َح‬، ‫ن‬
َ ‫ال الْ ُمْبطل‬
َ ‫ يَْ ُفو َن َعْ ُ ََْ ِري َ الْغَال‬، ُ ُ‫ََْم ُل َ َ ا الْع ْل َم م ْن ُكل َخ ْل ٍ عُ ُدول‬
َ ‫ َوتَأْو‬، ‫ن‬
ِِ
‫ن‬
َ ‫ا َْْا ل‬
‚Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka
menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan
yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang
bid’ah dan interpretasi (ta’wi>l) dari orang-orang bodoh‛.79

Diskursus tentang Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama
Kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi
kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut, sementara
sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang

z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai bayan bagi Al-Quran, sementara
kedudukan penjelas (al-bayan) adalah adjektif (ta>bi’) bagi yang dijelaskan (almubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal
tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman.80
Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadis memiliki beberapa
fungsi yaitu:
1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis
Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu,
durhaka kepada orang tua81 menegaskan dan memperkuat larangan tersebut
dalam Al-Quran.82

79

Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy
(Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), hlm. 344. Hadis Hasan ghorib, lihat catatan
Abu Mu’adz dalam Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (alRiyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H), hlm. 511
80
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38
81
Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;

ِ ِ ِِ
ِ ٍِ ِ
ٍِ
‫يم قَ َاَ َحداََا ُش ْعبَةُ َع ْن عُبَ ْي ِد الل ِ بْ ِن أَِِ بَ ْك ِر بْ ِن‬
َ ْ‫َحداََا َعْب ُد الل بْ ُن ُم ر َْ َع َو‬
َ ‫ب بْ َن َجرير َو َعْب َد الْ َملك بْ َن إبْ َرا‬
ِ َ َ‫س ر ِضي الل عْ ق‬
ِْ ‫ال‬
ٍ َ‫أَن‬
‫وق الْ َوالِ َديْ ِن َوقَ ْت ُل‬
َ َ‫صلى الل ُ َعلَْي ِ َو َسل َم َع ْن الْ َكبَامِِر ق‬
ُ ‫اْ ْشَر ُاك بِالل ِ َوعُ ُق‬
ُ َ ُ َ َ ٍ َ‫س َع ْن أَن‬
َ ِِ ‫ال ُسئ َل ال‬
ِ ‫ال ْف‬
‫س َو َش َه َادةُ الزوِر‬

82

Sebagai contoh al-Qur’an, 31: 13 dan 4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang
larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan 47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang tua,
4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa.

15

2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu
(a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global
(mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat83 yang
diperintahkan dalam Al-Quran84, (b) mengkhususkan (lex specialis)
petunjuk yang bersifat umum (‘a>m) dari Al-Quran. Seperti hadis larangan
menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa85 sebagai
pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa’ ayat 2486. Dan yang
ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu
yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan
tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah
telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid kata ‘yad’ dalam AlQuran 5:38.
3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Qur’an, seperti hadis ‚La

was{iyyah li wa>rith‛ sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.87
4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-Qur’an.
Seperti; hukuman rajam bagi pezina muhsan, keharaman perhiasan emas
dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai
jinak, dll.88

83

Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami’ pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu’ sampai Kitab as-Sahwi
al-Qur’an, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll
85
Al-Bukhari, al-Jami’ al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109

84

86

87
88

ِ
ِ ‫ول الل ِ صلى الل علَي‬
ِ ‫اصم عن الشعِِ َِْع جابِرا ر‬
ِ
َ َ‫ض َي الل ُ َعْ ُ ق‬
ُ ‫ال نَ َهى َر ُس‬
ْ ‫َخبَ َرنَا َعْب ُد الل أ‬
ْ ‫َحداََا َعْب َدا ُن أ‬
ْ ْ َ ٌ ‫َخبَ َرنَا َع‬
َْ ُ
َ
ًَ َ َ
‫َو َسل َم أَ ْن تُْ َك َح الْ َم ْرأَةُ َعلَى َعمتِ َها أ َْو َخالَتِ َها‬

Di antara penggalan ayatnya :

‫َوأ ُِحل لَ ُك ْم َما َوَراءَ ذَلِ ُك ْم‬

Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafi’i
Idem., 39

16

Kesimpulan
1. Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek
ontologi, epistomologi dan aksiologi.
2. Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap
sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan
bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtama’a iftaraqa). Perbedaan definisi
juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing bidang.
3. Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada
tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber
yang menjadi sandaran informasi, dll.
4. Kedudukan hadis sebagai sumber tashri’ sangat kuat secara normatif,
konsensus maupun secara rasional.

17

Daftar Rujukan
Abdullah Hasan al-Haditsi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f alFuqaha>. (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005)
Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ‘ala>
Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matba’ah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1,
1347 H/1929 M)
Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-‘Afify (Riya>d} : Dar AlS{ami’y, cet. 1, 1424 H/2003 M) Juz 1
Al-Bukhari. Al-Jami’ As-Shohih. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: AlMaktabah as-Salafiyah, cet. 1, 1400 H) Juz 1
Al-Jurjany. Mu’jam Al-Ta’rifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar alFad{ilah, ttp)
Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi ‘Ilm al-Athar, ed.
Abdullah bin Muhammad Abdurrahim al-Bukhary (Saudi: Maktabah Us}ul alSalaf, cet. 1, 1418 H) Juz 1
Al-Sakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, ed. ‘Abdul Karim alKhudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul
as-Salafh, Cet.1, 1418 H) Juz 1
Ash-Shauka>ny. Irsha>d al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Us}ul (Riyadh: Dar
Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000) Juz 1
As-Suyuthi, Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy (Kairo: Dar al-Hadith,
1431 H)
Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au’ Tatbi>qa>t Muhadithin al-Nuqa>d
(Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 1423 H/2003)
Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu a’waj (Beirut: Dar Ibn
Hazm, cet. 1, 2006 M)
Ibnu Mandhur. Lisan al-‘Arab. (Mesir, maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425
H/2004 M) juz 2
Ibnu Salah, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif al-Hamum dan Mahir
Yasin Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1423/2002)
Ima>d ‘Ali Jum’ah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar (Riyad} : Maktabah al-Malik
Fahd al-Wataniyah, cet. 1, 2005)
Israr Ahmad Khan, Authentication of Hadith –Redefining the Criteria (London: The
International Institute of Islamic Thought, 1431 HH/2010 CE)
Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (alRiyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H)
Mah}mu>d al-T{ah}h}an> , Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li alDirasa>t, cet. 7, 1405 H)
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah al-Idarah al-‘At wa ihya’ alTuroth, al-Mu’jam al-Was>it} (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4,
1425 H/2004 M)
Manahij Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah. Ad-Difa’ ‘an as-Sunnah. (Kode bahan.
GUHD5303). Jami’ah al-Madinah al-‘Alamiyah
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5, ed. Ahmad Muhammad
Syakir, dkk. (Beirut: Dar Ihya’ Al-Turats al-‘Araby, tanpa tahun)

18

Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi ‘Ulu>m wa Must}ola>h alH{adi>th (Jeddah : ‘Alam al-Ma’rifah li an-Nasyr wa at-Tauzi’, Cet. 1, 1403
H/1983 M), hlm. 24-25.
Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: AlRi’asah al-‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa
al-Iryad, 1404 H/1984 M)
Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat al-Hadith al-Nabawy (Kairo :
Dar al-Fadhilah, tt)
Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy
(tp: Dar al-Malah} li al-Taba’ah wa al-Nashr, ttt)
Mustafa al-Siba’i, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri’ al-Islamy (Beirut: al-maktab
al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M)
Nuruddin ‘Itr, Manh}aj al-Naqd fi ‘Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3,
1418 H/1997 M) Abu Mu’adz Tariq bi ‘Iwad{allah, al-Madkhal ila ‘Ilm alHadith (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M)
Rabi’ bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa alAhkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M)
Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul
Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M)
Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Mu’as}ir, 1419
H/1999 M)

19