Manusia citra fotografis dan pembentukan

Manusia , citra fotografis dan pembentukan opini dalam nilai
kebudayaan visual
Kebudayaan merupakan rangkaian dari aktivitas yang berulangulang sehingga pada akhrinya membentuk kebiasaan yang membentuk
pola dalam masyarakat, pola dalam masyarakat itu meliputi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat. Selo Soemarjan
dan Soleiman Soemardi1 mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari kegiatan yang berpola inilah,
kemudian menghasilkan wujud-wujud dalam kebudayaan. Wujud dari
kebudayaan ini merupakan hasil karya, rasa dan cipta dari masyarakat
yang berupa benda-benda atau pola-pola perilaku.
J.J. Hoenigman2 membedakan wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu
gagasan, aktivitas dan artefak. Gagasan (wujud ideal) adalah kebudayaan
sifatnya abstrak berupa ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan
peraturan; tidak dapat diraba, atau disentuh. Aktivitas adalah wujud
kebudayaan yang sering disebut dengan sistem sosial, sifatnya konkret
karena dapat diamati dan didokumentasikan. Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari gagasan dan aktivitas manusia
dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat dan
didokumentasikan.
Menurut Koentjaraningrat (1994:14-15), Suatu sistem kelakuan khas
dari


kelakuan

berpola

(wujud

dari

kebudayaan

yang

berupa

aktivitas/kelakuan) beserta komponen-komponennya, ialah: sistem norma
(wujud ideal dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud fisik dari
kebudayaan)

ditambah


dengan

manusia

atau

personel

yang

melaksanakannya kelakuan berpola, merupakan suatu pranata atau
institution. Pranata atau institution inilah membuat kelakuan berpola dari
manusia dalam kebudayaannya.

1 http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
2 ibid.

Bagan 1.1. Bagan komponen-komponen dari pranata Sosial
Bagan diatas menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,

semua wujud-wujud kebudayaan tidak bisa terpisahkan dan saling
berkaitan. wujud kebudayaan yang berupa aktivitas/kelakuan mengaitkan
semua wujud kebudayaan dengan manusia yang kemudian membentuk
sistem

nilai

yang

membuat

suatu

kelakuan

yang

berpola

dalam


masyarakat.
Keterkaitan

komponen-komponen

tersebut

dalam

kebudayaan

modern sekarang sangat terkait dengan pembentukan budaya visual
dalam kehidupan manusia modern. Karena budaya visual merupakan
salah satu wujud kebudayaan yang berupa konsep (nilai) dan materi
(artefak/benda) yang ditangkap oleh panca indera visual manusia
kemudian dapat dipahami sebagai tautan pikiran untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Wujud dari kebudayaan visual yang berupa artefak
inilah


yang

diapresiasikan

manusia

kemudian

membentuk

sebuah

aktivitas komunikasi non-verbal yang akhirnya memunculkan pemaknaanpemaknaan terhadap artefak tersebut. Dalam studi ilmu komunikasi
(Mulyana, 2003:380), artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan
kecerdasan manusia. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan

hidup

manusia


dan

mengandung makna-makna tertentu.

dalam

interaksi

manusia,

sering

Dengan demikian, budaya visual meliputi berbagai aspek dalam
wujud kebudayaan yang berupa gagasan yang kemudian menciptakan
wujud akhir yang berupa karya atau benda, Karya atau benda-benda
sebagai wujud akhir budaya visual meliputi berbagai bentuk media
komunikasi visual seperti foto, film, iklan, siaran televisi, media cetak
hingga mode pakaian; karya desain dan karya senirupa. Benda-benda
dalam kebudayaan visual tersebut memiliki kekuatan-kekuatan tersendiri,

sehingga kebudayaan visual menjadi sangat dinamis. Karena budaya
visual merupakan budaya yang bermuatan nilai, serta amat terpengaruh
oleh situasi sosial yang terjadi di zamannya.
Media komunikasi visual yang berupa foto dapat dipandang sebagai
budaya visual yang sangat fungsional serta telah menjadi bagian
kehidupan sehari-hari di masyarakat. Di dalam kehidupan masyarakat
modern foto merupakan hasil kebudayaan yang menyentuh sisi kehidupan
manusia

tentang

arti

dan

makna

dalam

sebuah


kehidupan.

Foto

merupakan wujud dari pencapaian kreatifitas serta kecerdasan manusia
yang dapat segera diserap secara visual oleh panca indera manusia. Oleh
karena

itu

foto

merupakan

fenomena

visual

yang


mengalami

perkembangan teknologi cukup pesat.
Kehadiran fotografi disebut sebagai alat perekam dan penghadir
ulang sebuah kenyataan yang ampuh. Fotografi disebut-sebut mempunyai
kepekaan

dalam

merekam

detail

membuat

manusia

modern


mengagungkannya sebagai kemajuan manusia dalam merekam kenyataan
yang ada, baik dari sejarah sampai dengan foto-foto yang sifatnya
dokumentasi sampai dengan foto-foto yang bersifat komersial. Serbuan
budaya populer membuat fotografi menggiring pada anggapan sebagai
media

penghadir

masyarakat

kenyataan

modern

yang

yang

objektif.


membutuhkah

Dengan

kecepatan

perkembangan
dan

ketepatan

informasi membuat fotografi menjadi salah satu media yang paling
handal.
“What is true of the pen is equally true of the camera.”(Don Slater,
1999:289). Sebuah foto biasanya menggambarkan sebuah realitas yang
sebenarnya kedalam bentuk gambar. Dan karena fungsi itulah, banyak
masyarakat menggunakan foto kedalam berbagai aktivitas mereka seharihari. Sebagian besar masyarakat saat ini telah mengenal kamera dan foto
dan menjadikannya sebagai satu kegiatan dalah kehidupan mereka

masing-masing. Banyak masyarakat memanfaatkan fungsi kamera dan
foto untuk mengabadikan atau merekam berbagai kegiatan dan momenmomen penting mereka, mulai dari kelahiran, wisata, kegiatan rutinitas,
ataupun saat menghabiskan waktu dengan keluarga. Sehingga dapat
dikatakan bahwa foto telah masuk kedalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat.
Fotografi

sudah

menjadi

bagian

yang

sangat

penting

bagi

masyarakat. Penelitian yang diadakan di Inggris tentang jumlah orang
yang mempunyai kamera bisa menjadi representasi bagi masyarakat di
dunia. Ini menunjukan bagaimana kebudayaan visual dalam bidang
fotografi membuat pola dalam perilaku masyarakat. Walaupun sebenarnya
mereka hanya menggunakan fotografi sebagai keperluan dokumentasi,
tetapi penelitian ini menunjukan bahwa foto dan fotografi sangat dekan
dengan kehidupan masyarakat.
Ada anggapan bahwa kepercayaan pada budaya visual yang
berasal dari budaya lensa ini lahir pada abad ke-19 ketika kamera
ditemukan. Saat Revolusi Industri dengan teknologinya tengah marak,
tatanan masyarakat kapitalisme di Barat tentu mulai mengenal dan
terpengaruh budaya baru ini. Tetapi anggapan tadi sesungguhnya terlalu
sederhana. Sebab jauh sebelumnya, di tahun 1285, telah ditemukan kaca
pembesar sederhana yang mengawali wawasan baru pada pandangan
ilmuwan.3 Sekitar tahun 1550, Girolamo Cardano tercatat sebagai orang
pertama yang memasang lensa yang memungkinkan adanya bukaan
(aperture) pada camera obscura (kamera lubang jarum). Lensa dari kaca-berbentuk bikonveks seperti butir buah lentil (miju-miju), sebuah kata
yang menyebabkan kita menyebutnya lensa--yang dipasang pada kotak
kedap cahaya (kamera lubang jarum) telah menjadi alat bantu sangat
penting bagi para pelukis di zaman itu. 4
Penggunaan fotografi dan media visual lainnya banyak digunakan
untuk propaganda politik oleh berbagai pihak yang berebut pengaruh.
Berbagai macam bentuk propaganda visual digunakan dalam kampanye
pro demokrasi dan sosialis kiri melawan fasisme dan Nazi di Eropa.
Propaganda visual itu dikemas dalam berbagai macam, baik secara artistik
dengan menggunakan montase seperti John Heartfield atau Hanna Hoch

3
4 jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57

maupun jurnalistik-dokumenter seperti Robert Capa, Cartier-Bresson,
Centelless, dan teman-temannya. Mereka membuat karya-karya foto yang
membawa berbagai macam akibat, baik karena citra yang dirancang
dengan penuh kesadaran maupun hal-hal yang terjadi di luar kehendak
mereka.
Dihadirkannya kembali kenyataan dalam bentuk visual berperan
besar pada pembentukan opini publik. Para fotografer jurnalistik maupun
fotografer seni dalam dunia sosialis sangat meyakini bahwa fotografi
dapat berperan dan bertanggung jawab dalam pembentukan masyarakat
yang ideal, berlawanan dengan mereka yang mengagungkan obyektivitas
dalam

fotografi,

yang

akhirnya

menggunakan

fotografi

untuk

memanipulatif. David Ogilvy--tuhan di dunia periklanan--sejak awal 1940an menyatakan bahwa untuk mempengaruhi masyarakat, lebih baik
menggunakan foto daripada seribu sketsa gambar tangan. Meskipun itu
kiri atau kanan, ideal atau komersial, dapat disadari foto memiliki daya
pengaruh yang begitu besar untuk membentuk opini masyarakat sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa siapapun yang menghadirkan kembali
kenyataan melalui foto sebenarnya tengah mempengaruhi pandangan
tentang pemirsanya.
Menurut Susan Sontag (1999:87): “Photography, which has so many
narcissitic uses, is also a powerful instrument for depersonalizing our
relation to the world; and the two uses are complementary….In the real
world, something is happening and no one knows what is going to happen.
In the image-world, it has happened, and it will forever happen in that
way.” Fotografi selain mempunyai kegunaan dalam kegiatan narsisme diri,
fotografi juga mampu menjadi sebuah alat yang mengurangi karakter
hubungan kita dengan lingkungan sosial, dan kedua peranan fotografi
tersebut merupakan sesuatu yang saling melengkapi satu sama lain.
Karena saat kita masuk kedalam dunia fotografi, hidup kita akan semakin
terpisahkan dengan realitas yang sedang terjadi karena kita hanya melihat
pada realitas yang terbentuk didalam sebuah gambar foto dan makna
yang terdapat pada realitas dalam foto dan dunia nyata dapat dikatakan
berbeda. Dalam dunia nyata, saat sebuah fenomena sedang berjalan, tak
seorangpun tahu akan apa yang terjadi kedepannya atas fenomena
tersebut. Sedangkan pada dunia gambar foto, realitas yang terdapat

didalamnya merupakan sebuah realitas yang telah terjadi sebelumnya dan
akan selalu terjadi seperti yang terdapat pada gambar tersebut.
Sebuah kisah menarik ketika Roland Barthes membawa skandal
fotografis dalam peristiwa Komune Paris. Berawal dari sebuah foto yang
menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan
kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai
salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif.
Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah
ideologi. Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan
cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam
kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena
foto inilah hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil
membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu.
Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan
mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga
Paris

berubah

pikiran

dan

memberi

mandat

kepada

polisi

untuk

menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari
foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu
demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak
tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu,
bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai. 5
Skandal fotografis Roland Barthes di Paris menunjukan fotografi
dalam sebuah kebudayaan menunjukan nilai tersendiri yaitu free value.
Free value merupakan sebuah nilai bebas atau mempunyai banyak arti.
Nilai ini terlihat ketika pada saat foto bisa menunjukan arti dan makna
yang berbeda bagi setiap orang yang melihatnya. Bagi kaum revolusioner
Paris, foto yang diambil Rolan Barthes merupakan foto kejayaan dan
kemenangan. Di lain pihak bagi kaum borjuis koservatif di Paris, foto yang
diambil Barthes merupakan foto yang membuat mereka malu dan mereka
melihat tokoh-tokoh di balik pemberontakan dari foto itu. Kebebasan
dalam memaknai foto inilah akhirnya bisa menjadi kelemahan sebuah foto
saat orang tidak tahu bagaimana cara memaknainya dan jatuh ke tangan
orang yang bertentangan opini. Baik atau buruknya makna yang dibawa
oleh foto tergantung dengan kepentingan yang digunakan seseorang saat
mempublikasikan foto tersebut.

5 http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

Di Indonesia keberadaan budaya visual sangat bisa dirasakan.
Mulainya periode pemilu di tahun 2009 membuat banyak politisi dan
partai-partai menggunakan media komunikasi visual untuk mempengaruhi
masyrakat agar saat pemilihan nanti masyarakat memilih mereka. Mediamedia visual yang banyak dilatar belakangi foto-foto tokoh atau aktivitasaktivitas yang pernah mereka lakukan membentuk opini tersendiri di
masyarakat tentang pandangan calon pemimpinnya. Kesadaran akan
sebuah kebudayaan visual di Indonesia membuat para pelaku marketing
politik berlomba-lomba mencitrakan tokoh politik atau partai politik
melalui visualisasi menggunakan media massa. budaya visual yang ada di
Indonesia sebenarnya sudah ada sejak masa lalu, di mana siswa-siswi di
sekolah diperlihatkan foto-foto bung Karno dan bung Tomo pada masa
perebutan kemerdekaan. Dengan adanya foto-foto tersebut akhirnya
masyarakat dapat menyadari betapa berwibawanya para pemimpinpemimpin kita pada masa perebutan kemerdekaan.
Berkembangnya teknologi membuat media-media komunikasi yang
ada dalam budaya visual menjadi berkembang dan sangat beragam. Di
mulai dari media yang hanya mempunyai sisi visual saja seperti foto,
sampai dengan media yang mempunyai sisi audio dan visual yang biasa
disebut dengan film. Perbandingan kedua kekuatan media ini sangatlah
menarik, karena foto hanya mempunyai kekuatan visual saja dibandingkan
dengan film. Jika dibandingkan secara linear kekuatan foto memang kalah
dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh film. Film dengan
kekuatan audio visualnya lebih mudah mempengaruhi masyarakat.
Kekuatan audio visualnya bisa membentuk atmosfer tersendiri di benak
masyarakat dan makna yang disampaikannya menjadi lebih jelas, karena
ada kekuatan audio dan visual.
Kekuatan yang dimiliki oleh film memang menjadikan film lebih
unggul dalam membentuk retorika di masyarakat. Akan tetapi, untuk
memproduksi sebuah film haruslah dengan biaya yang sangat mahal
dibanding memproduksi sebuah foto. Sifat-sifat yang dimiliki oleh film
tidak

se-fleksibel foto ketika ingin mempublikasikannya. Film tidak

memiliki sifat spaceless, karena untuk mempublikasikannya dibutuhkan
peralatan khusus yang bisa menayangkannya. Walaupun sudah memasuki
era

multimedia,

foto

masih

mempunyai

ruang

tersendiri

dalam

kebudayaan visual. Di mana foto dan film mempunyai dan bergerak di
ruang masing-masing untuk mempengaruhi masyarakat.
Kekuatan foto dalam kebudayaan visual dapat dibuktikan dengan
banyaknya konsumsi masyarakat terhadap kamera foto. Dalam melihat
hasil foto tidak dibutuhkan sebuah peralatan khusus, seperti saat
masyarakat ingin melihat hasil yang diproduksi dari kamera video. Foto
bisa dilihat setiap saat dan di mana saja. Ini yang menjadikan media
komunikasi yang disebut dengan foto ini mempunyai sifat timeless. Foto
merupakan media komunikasi yang tidak akan lekang oleh waktu, karena
tidak membutuhkan perawatan yang khusus untuk menyimpan dokumendokumen yang berbentuk foto. Sifat foto yang sangat fleksible membuat
media ini banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di
media massa.
Pada abad ke-19 para ilmuwan mengira bahwa apa yang ditangkap
pancaindra kita sebagai sesuatu yang nyata dan akurat. Para psikolog
menyebut mata sebagai kamera dan retina sebagai film yang merekam
pola-pola cahaya yang jatuh di atasnya. Para ilmuan modern menantang
asusmsi itu: kebanyakan percaya bahwa apa yang kita amati dipengaruhi
sebagian oleh citra retina mata dan terutama kondisi pikiran pengamat
(zannes, 1982:27). Oleh karena itu gambar-gambar dalam media visual
tersebut mengkonstruksi pikiran manusia melalui suatu proses aktif dan
kreatif yang biasa disebut presepsi. Presepsi adalah proses internal yang
memungkinkan
rangsangan

kita

dari

memilih,

lingkungan

mengorganisasikan,
kita,

dan

proses

dan

menafsirkan

tersebut

akhirnya

mempengaruhi perilaku kita (Baron, Paulus, 1991:34). Pada akhirnya
kebudayaan visual melalui pencitraan fotografis mempunyai pengaruh
yang sangat kuat dalam kehidupan kebuadayaan visual manusia.
Reference
Taylor, Lucien., et al. Visualizing Theory. New York and London. Routledge.
1994.
Evans, Jessica and Stuart Hall., et al. Visual Culture: The Reader. London.
SAGE Publications. 2004.
Berger,

Arthur

A.

Seeing

is

Believing:

an

Introduction

to

Communication. San Fransisco. San Fransisco State University. 2008.

Visual

Mlauzi, Linje M., “Reading Modern Ethnographic Photography: Semiotic
Analysis of Kalahari Buhsmen Photograph by Paul Weinberg and Sian
Dunn”.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta, PT
Gramedia Pustaka Utama. 1994.
http://jurnalkalam.org/index-php/articles/view/57

(diakses

tanggal

12

Maret 2009)
http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html

(diakses

tanggal 12 Maret 2009)
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya (diakses tanggal 12 Maret 2009)
http://www.dikti.org/files/active/0/TENTANG%20BUDAYA%20VISUAL.doc
(diakses tanggal 12 Maret 2009)
http://en.wikipedia.org/wiki/Photography (diakses tanggal 12 Maret 2009.