Perempuan dan Robohnya Kebudayaan Minang

PEREMPUAN DAN ROBOHNYA KEBUDAYAAN MINANG
(Sisi Gelap dari Perempuan Minang)

OLEH F A D L I L L A H M A L I N S U T A N
[Dimuat di koran Singgalang, 03 Mei 2009. 08 Jumadil Awal 1430, hal. B-11]

S

pemikiran bahwa perempuan adalah tiang (baca:
esungguhnya
tokoh
tonggak utama) suatu bangsa, artinya ketika
perempuan
Minangkabau
runtuhnya tonggak tua maka runtuhlah bangsa itu.
tidak hanya Sabai nan Aluih
Dengan demikian kaba ini adalah kaba tentang
atau Bundo Kanduang dalam
keruntuhan bangsa Minangkabau.
dunia sastra. Ada tokoh satu lagi, tetapi agak jarang
Keruntuhan itu bukan berada pada pihak

dibicarakan, yakni Amai Cilako (= Ibu celaka). Kaba
laki-laki, yang dikenal dengan mamak, ninik
ini tulis oleh penulis kaba Minang yang cukup
mamak, para penghulu. Banyak mamak yang
terkenal yakni Sjamsuddin St. Radjo Endah, sejak
menjual dan menggadaikan harta, banyak ninik
tahun 1927 sampai sekarang masih diterbitkan.
mamak dan penghulu yang berprilaku ‘anak
Kaba ini menceritakan seorang perempuan
dijinjing, kemenakan dilapang, orang kampung
bernama Rombok (tokoh utama; mungkin ada
dipatungganglangangkan’, namun kebudayaan
hubungannya dengan kata rampok) punya dua
Minang tidak runtuh. Akan tetapi ketika perempuan
anak perempuan (Upiek dan Aminah) dan seorang
yang celaka maka kebudayaan Minang berada
anak lelaki (Sutan Babangso). la sangat
dalam keruntuhan.
mementingkan uang dan harta, sehingga ia sampai
Hal

itu
menekankan,
atau
punya tujuh suami. Setiap anak punya ayah yang
menggarisbawahi
bahwa
posisi
perempuan
berbeda. Ia dengan mudah 'menceraikan' suaminya
sangatlah penting
sekali,
bila
tak
lagi
merupakan
posisi
kunci.
menguntungkannya.
Posisi ini bukanlah berada
Sikap

ini
juga
pada
luasnya
ilmu
dilakukannya
terhadap
... laki-laki Minang yang pada akhirnya
pengetahuan
(kognitif)
menantu-menantunya. la tak
mengambil keputusan merantau dan
seorang perempuan, juga
menyukai suami Aminah yang
tidak pulang-pulang ke kampung
bukan hebatnya sepak terjang
miskin. Dipaksanya Aminah
halaman (marantau cino) diakibatkan
perempuan
dalam

'menceraikannya'
supaya
oleh karena cilakonya saudara
aktifitasnya
(psikomotorik)
dapat kawin dengan Sutan
perempuannya (ketika orang tua
sebagaimana
Sabai
nan
Sati, suami dari Upiek yang
Aluih, tetapi dalam kaba ini
telah meninggal. Tapi Sutan
sudah tidak ada lagi).
ternyata lebih tertuju kepada
Sati
menolak
untuk
persoalan
afektif,

yakni
mengawini Aminah setelah ia
moral, etika, akhlak, atau watak perangai
cerai dari suaminya. Aminah akhirnya hidup
perempuan Minangkabau itu sendiri. Di sinilah
sengsara, malah jadi gila, karena sikap dan
epistemologi
cilako.
Epistemologi
(baca:
perbuatan ibunya.
pengetahuan) berada pada tataran EQ bukan pada
Rombok juga mencoba menceraikan Sutan
IQ.
Babangso dari isterinya, sehingga ia juga terpaksa
Dengan demikian keruntuhan itu bukanlah
hidup menderita. Hidupnya baru menjadi baik
akibat tidak sarjana, master, doktor atau
setelah kembali ke isterinya, karena perdagangan
profesornya seorang perempuan Minang. Hal ini

lebih dijalankan oleh isterinya.
dapat dilihat dengan sudah banyak perempuan
Sutan Babangso tak dapat bertindak
Minang yang sudah jadi doktor dan profesor, tetapi
sebagai seorang mamak. Malahan ia terpaksa
apakah mereka masih jadi perempuan Minang?
mengikuti kehendak ibunya. Hal ini disebabkan
Jangan-jangan sudah menjadi perempuan barat,
karena ia tak memberikan sumbangan apa-apa
masihkah ada raso jo pareso pada dirinya? (janganterhadap kesejahteraan ibu dan adik-adiknya, ia
jangan banyak perempuan Minang tidak punyo
terikat kepada hasil usaha isterinya. Segala
raso) Bahkan dikabarkan mereka sedang berjuang
keputusan ada di tangan ibunya, juga tentang masa
keras (terutama istri pejabat pemerintah)
depan anak-anaknya.
menggantikan budaya Minang dengan feminisme
dan kesataraan gender (baca; basis yang berbeda
Buruknya Budi Alamat Roboh Kebudayaan
dari kebudayan matrilineal Minangkabau), gerakan

ini sangat marak pada sarjana perempuan Minang
Kaba Amai Cilako agaknya sangat perlu
pada hari ini. Tidak perlulah berbantahan, hanya
dibicarakan
oleh
pemerhati
kebudayaan
perlu dipertanyakan apakah mereka paham dan
Minangkabau. Karena ia berada pada titik
berwatak perangai budaya Minang sesungguhnya?
permasalahan
keruntuhan
kebudayaan
Apakah bahasa yang keluar dari mulutnya adalah
Minangkabau. Mengapa begitu? Hal itu disebabkan,
bahasa elok tutur budinya, tidak nyelekit kata orang
kebudayaan Minangkabau merupakan kebudayaan
jawa, atau sinikal (sinis), cipeh bahasa Minangnya.
matrilineal. Memang hal ini sejalan dengan


1|Page

Salah satu motivasi banyak saudara lakiApakah mereka bangga dengan budaya Minang
laki mengambil keputusan untuk merantau adalah
daripada budaya Barat?
Dikhawatirkan mereka sudah tercerabut
akibat tersinggung harga dirinya oleh saudara
dari budaya Minang, karena mereka dididik pada
perempuannya. Kemudian banyak juga laki-laki
sekolah dasar dan menengah yang bukan sekolah
Minang yang pada akhirnya mengambil keputusan
berparadigma dan berfilosofi
merantau dan tidak pulangbudaya
Minangkabau,
pulang ke kampung halaman
berpendidikan
budaya
(marantau Cino) diakibatkan
Minang. Terlepas dari semua
oleh

cilako-nya
saudara
Laki-laki dilahirkan oleh perempuan
itu, persoalan keruntuhan itu
perempuannya (ketika orang
dan dididik oleh perempuan
berada pada moral, ketika
tua sudah tidak ada lagi).
sebagaimana Siti Jauhari yang
perempuan
Minangkabau
Menurut mereka, untuk apa
mendidik anaknya (bukan mamak)
sudah tidak bermoral, sudah
pulang kalau hanya untuk
dalam kaba Rancak di Labuah.
durhaka kepada kebudayaan
bertemu dengan perempuan
Minangkabau,
maka

cilako (bukan tidak mau
kebudayaan Minangkabau sudah runtuh.
memperbaiki, sudah tidak ada cara lagi, sebab pada
Kedurhakaan bukanlah saja pada Malin
dasarnya yang bisa memperbaiki adalah perempuan
Kundang tetapi juga kepada ibu Malin Kundang
itu sendiri). Akibatnya, laki-laki sebagai mamak,
yang mendidik Malin Kundang menjadi durhaka,
tidak ada lagi, inilah yang disebut orang dengan
salah asuhan, kepada Amai yang cilako. Laki-laki
kondisi ‘lurah tidak lagi berbatu’.
Dengan
dilahirkan oleh perempuan dan dididik oleh
demikian orang akan ‘bersilantasangan’ karena
perempuan sebagaimana Siti Jauhari yang
tidak ada perlu ditakuti. Kemudian terjadilah
mendidik anaknya (bukan mamak) dalam kaba
kepunahan, peristiwa ini sudah banyak terjadi.
Rancak di Labuah.
Adapun perempuan Minangkabau pada

hari ini, agaknya tidak perlu diurai bagaimana
kenyataannya, jika didapati kenyataan yang
mengecewakan, maka hal itu disebabkan mereka
memang dididik bukanlah oleh lembaga pendidikan
Minangkabau. Mereka banyak diajar dan cerdas
tetapi hanya IQ saja, sedangkan emosionalnya (EQ)
kosong dan kekosongan itu diisi oleh budaya Barat
dari sekolah-sekolah pemerintah yang broker
Barat.
Terakhir, di sini perlu diingat bahwa masih
banyak perempuan Minang yang bermoral baik,
walapun ia berpendidikan rendah, di samping ada
yang berpendidikan tinggi. Tapi seberapakah?
Agaknya semua berpulang kepada bangsa Minang
itu sendiri. ***
*)

Fadlillah,
gelar
Malin
Sutan,
mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya
Universitas Udayana, Denpasar, Bali, dan
staf pengajar Fak. Ilmu Budaya Univ.
Andalas, Padang.
**)

Artikel ini dimuat Singgalang, 03 Mei 2009. 08
Jumadil Awal 1430, hal. B-11, dengan judul
Perempuan Minang; dan Keroposnya Sandi
Budaya (Epistemologi “Amai Cilako”).

2|Page