BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : Psk Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Semakin majunya zaman yang disebut sebagai hasil dari pembangunan telah menyisakan berbagai perubahan gaya hidup dan memunculkan banyak masalah sosial dalam masyarakat. (Kartono,2001:206) menyampaikan, berlangsungnya perubahan-perubahan yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan menyebabkan adaptasi atau penyesuaian diri menjadi hal yang tidak mudah, sehingga berakibat pada ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Kesulitan melakukan penyesuaian diri menyebabkan kebingungan, kecemasan dan konflik-konflik, baik yang terbuka dan eksternal sifatnya maupun yang tersembunyi dan internal batin sendiri sehingga banyak orang mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum atau berbuat semau sendiri demi kepentingan sendiri, mengganggu dan merugikan orang lain.

  Ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri mengakibatkan timbulnya disharmoni dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan pola-pola responsi/reaksi yang inkonvensional dan menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Salah satunya adalah pola pelacuran untuk mempertahankan hidup ditengah hiruk pikuk alam pembangunan di Indonesia (Kartono,2001:207).

  Di Indonesia, pelacuran telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu yang menunjukkan hal ini adalah kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab-kitab Mahabrata. Pada zaman kerajaan mataram pelacuran semakin meningkat. Label daerah plesiran yang disandangkan pada Wonogiri dan Wonosari dapat dijadikan sebagai bukti. Pelacuran di Indonesia semakin berkembang pada masa kolonial (Koentjoro,2004:61-62).

  Prostitusi atau pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua kehidupan manusia itu sendiri. Pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-stauree, yang membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Pekerja seks komersial (PSK) adalah bagian dari dunia pelacuran yang termasuk dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Pekerja seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran (Kartono, 2013:207-208).

  Di kalangan masyarakat Indonesia, pelacur dianggap negatif dan mereka yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sampah masyarakat. Adapula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, cenderung jahat, namun tetap dibutuhkan. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadirian pelacur bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkan (biasanya kaum lelaki) tanpa penyaluran itu dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa kaum perempuan yang baik-baik.

  Dilihat dari segi sosiologisnya, pekerja seks komersial dipandang rendah oleh masyarakat sekitar, dicemooh, dihina, diusir dari tempat tinggalnya dan lain-lain sebagainya.

  Mereka seakan-akan sebagai makhluk yang tidak bermoral dan meresakan warga sekitar serta mencemarkan nama baik daerah tempat mereka berasal. Masalah prostitusi tidak ubahnya sama dengan manusia pada umumnya, secara garis besar prostitusi tentunya juga mempunyai suatu makna hidup. Sama halnya dengan manusia atau individu lainnya. Proses penemuan makna hidup bukanlah merupakan suatu perjalanan yang mudah bagi seorang pekera seks komersial, perjalanan untuk dapat menemukan apa yang dapat mereka berikan dalam hidup mereka, apa saja yang dapat diambil dari perjalanan mereka selama ini, serta sikap yang bagaimana yang diberikan terhadap ketentuan atau nasib yang bisa mereka rubah, yang kesemuanya itu tidak bisa lepas dari hal-hal apa saja yang diinginkan selama menjalani kehidupan serta kendala apa saja yang dihadapi oleh mereka dalam mencapai makna hidup.

  Dalam masyarakat, kehidupan seorang pekerja seks komersial merupakan suatu hal yang kurang dapat diterima. Sampai sekarang PSK dipandang sebagai mahluk yang menyandang stereotype negatif, dan tidak dianggap pantas menjadi bagian dari masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kaum PSK selalu mendapat tekanan dari masyarakat, bahkan menjadi bahan olokan dan ejekan. Tekanan dan perlakuan negatif dari lingkungan ini biasanya muncul dari perilaku masyarakat yang selalu ingin memojokkan mereka. Pandangan masyarakat ini hanya dikhususkan kepada para perempuan pekerja seks komersial yang menjalani pekerjaan ini karena murni akibat tekanan ekonomi. Kesan pertama akan perempuan pekerja seks ini adalah para perempuan jalang yang amoral. Tidak tahu malu, penggoda lelaki. Tidak layak bagi para perempuan pekeja seks untuk dihargai. Kenapa masyarakat bisa memiliki kesan seperti itu, karena sejak kecil ditanamkan oleh orang-orang tua bahwa perempuan pekerja seks menyebutnya pelacur, adalah perempuan yang tidak benar kelakuannya.Apalagi digambarkan para pekerja seks Komersial (PSK) tersebut kehidupannya glamour tetapi norak. Juga ditunjukkan jenis parfum yang di botolnya bergambar putri duyung, yang namanya minyak si nyong nyong, yang pakai minyak wangi itu adalah para pelacur. Akhirnya tertanamlah di benak masyarakat selama bertahun-tahun bahwa PSK itu memang perempuan jalang (http://www.pikiran rakyat.com/ diakses pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 20.13 WIB).

  Pelacuran atau prostitusi bukan merupakan jalan bagi kebanyakan perempuan untuk bisa mendapatkan materi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dalam memenuhi kebutuhan materi, banyak perempuan yang dengan terpaksa menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks komersial. Ini dikarenakan semakin sempitnya lapangan kerja yang membuat banyak masyarakat khususnya perempuan melakukan pekerjaan ini, ditambah dengan tidak adanya keahlian atau keterampilan sesuai bidang lapangan pekerjaan. Banyak perempuan beranggapan bahwa dengan melakukan pekerjaan ini, mereka bisa mendapatkan keuntungan yang lumayan besar untuk dapat digunakan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Bukan hanya faktor ekonomi saja, banyak dari para perempuan yang rela menjadi pekerja seks komersial hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat saja atau materialistis. Banyak juga perempuan yang ingin mendapatkan apa yang dia inginkan misalnya ingin memiliki barang- barang yang mewah atau barang yang lainnya yang dia rasa ingin dimilikinya harus menjualkan dirinya untuk orang lain yang terpenting baginya bisa memiliki barang-barang mewah.

  Prostitusi berkembang dan tumbuh dengan berbagai kedok dalam berbagai rupa misalnya: salon kecantikan, panti pijat, warung remang-remang, ruko-ruko fiktif serta tak luput juga dari pusat perbelanjaan atau mall dan tempat pendidikan pun juga sudah menjadi tempat berkembangan prostitusi. Para pekerja seks komersial atau pelacur merupakan wanita yang tertindas dengan keliaran nafsu para laki-laki pemuja kenikmatan duniawi tak akan jera walaupun berulang kali kena razia.

  Pada saat ini, pekerja seks komersial bukan hanya dari kalangan perempuan yang sudah dewasa saja, melainkan pekerja seks komersial sekarang sudah rata-rata berasal dari kalangan remaja putri atau sering disebut Anak Baru Gede (ABG) yang menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia prostitusi. Hal ini disebabkan karena adanya faktor permintaan sebagai faktor yang menarik dan faktor perantara sebagai faktor yang mendorong (Koentjoro, 2004). Banyaknya permintaan dari konsumen terhadap jasa pelayanan kegiatan seksual yang dilakukan pada remaja putri sehingga semakin banyak pula tingkat penawaran yang ditawarkan. Para perempuan biasanya lebih mudah menjadi pekerja seks komersial karena adanya motif berkuasa, budaya atau kepercayaan seperti hegomoni laki-laki diatas perempuan.

  Kajian cepat yang baru dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2007 memperkirakan jumlah pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung 2.511, Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata. Lebih lanjut, data yang ada memperlihatkan daerah-daerah pemasok anak-anak untuk kegiatan pelacuran meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Sementara daerah-daerah penerimanya terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau, Batam, Ambon, Manado, Makasar, dan Jayapura. Beberapa diantaranya bahkan diperdagangkan di luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, Taiwan, dan diakses pada tanggal 7 Mei 2014 pada pukul 17:51).

  Beberapa kota di Indonesia memiliki banyak panggilan khusus untuk pekerja seks perempuan ABG, seperti di Taksimalaya dikenal dengan sebutan “anyanyah”, di Yogyakarta dikenal dengan ciblek atau cilikan betah melek sedangkan di Medan dikenal dengan istilah

  bronces atau onces. Di kalangan pekerja seks remaja sendiri, dikenal istilah ‘tubang’ (tua

  bangka) atau ‘om senang’ yaitu laki-laki yang umumnya memiliki uang dan mencari jasa palayanan atau service dari pekerja seks. Di Medan para pekerja seks komersial biasanya dapat dijumpain di sejumlah diskotik, karaoke, tepi-tepi jalan yang menjadi tempat lokalisasai serta di pusat perbelanjaan.

  Koentjoro (2004:68) mengatakan bahwa secara umum terdapat lima alasan yang paling mempengaruhi dalam menuntun seorang perempuan menjadi seorang pekerja seks komersial diantaranya adalah materialisme, modeling, dukungan orangtua, lingkungan yang permisif, dan faktor ekonomi. Mereka yang hidupnya berorientasi pada materi akan menjadikan banyaknya jumlah uang yang dikumpulkan dan kepemilikan sebagai tolak ukur keberhasilan hidup. Banyaknya pekerja seks komersial yang berhasil mengumpulkan banyak materi atau kekayaan akan menjadi model pada orang lain sehingga dapat dengan mudah ditiru.

  Masa remaja berada pada rentang usia 13-18 tahun dengan pembagian 13 hingga 16 atau 17 tahun masa remaja awal dan16 atau 17 sampai 18 tahun masa remaja akhir (Hurlock, 2004:187). Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap perkembangan ke tahap berikutnya.

  Pada masa remaja terjadi perubahan yang besar baik secara fisik, kognitif, emosi maupun sosial (Hurlock, 2004:187). Rangkaian perubahan fisik yang dialami remaja nampak jelas pada perubahan biologis dan fisiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal remaja. Seperti pertumbuhan yang pesat pada anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa, dimana perubahan yang terjadi pada masa remaja terjadi pada tinggi, berat badan serta organ seksual (Hurlock, 2004:188). Pada remaja putri ditandai dengan menstruasi yang pertama, sedangkan pada remaja pria ditandai dengan mimpi basah (Santrock, 2007:98).

  Organ-organ seksual yang matang pada remaja akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual. Dorongan seksual dimulai dari adanya rasa ketertarikan, berkencan, bercumbu dan bersenggama. Remaja mulai tertarik terhadap lawan jenis yang sifatnya kodrat dialami oleh remaja. Remaja pun mulai ingin berkenalan, bergaul dengan teman-temannya dari jenis kelamin lain dan mengenal pacaran. Dalam kondisi demikian, remaja merupakan sosok yang mudah untuk terjerumus kedalam situasi yang kurang menguntungkan bagi remaja sendiri. Salah satunya adalah ketika remaja terjebak dunia seks bebas.

  Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa dari 100 remaja terdapat 51 remaja telah melakukan hubungan seksual dilakukan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Selain di Jabotabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain di Indonesia seperti, di Surabaya remaja yang melakukan hubungan seks mencapai 54 persen, Bandung 47 persen, dan Yogyakarta 37 persen (Kompas, 2010). Dari hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKN) tahun 2010 menunjukkan bahwa 52 persen remaja di Medan sudah tidak perawan. Itu artinya, lebih separuh remaja di ibukota Propinsi Sumatera ini melakukan seks bebas sebelum menikadiakses pada 7 Mei 2014 pada pukul 22:39).

  Banyak remaja yang terlibat dengan seks bebas diakibatkan karena dikecewakan oleh pasangannya. Hal ini sering dialami oleh remaja putri dimana mereka akan merasa sakit hati karena ditinggal pasangannya dan hilangnya keperawannya menjadi salah satu penyebab seseorang menjadi pekerja seks komersial. Remaja hampir selalu mengalami luapan emosi yang tinggi dalam kesehariannya. Hal ini yang kemudian menjadikan kehidupan remaja dipenuhi dengan gejolak kehidupan. Hurlock (2004:199) menyebut gejolak tersebut dengan istilah ‘badai dan tekanan’, yang terjadi sebagai akibat dari perubahan fisik, kelenjar, serta munculnya tekanan sosial dan kondisi-kondisi baru yang harus dihadapi remaja. Pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bemacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja identik dengan lingkungan sosial tempat beraktifitas, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.

  Di sisi lain, seseorang remaja menjadi pekerja seks komersial karena adanya dukungan orangtua atau keluarga yang menggunakan anak perempuan mereka sebagai sarana untuk mencapai aspirasi mereka akan materi. Jika sebuah lingkungan yang permisif memiliki kontrol yang lemah dalam komunitasnya maka pelacuran akan berkembang di dalam komunitas tersebut. Selain karena alasan di atas, terdapat juga orang yang memilih menjadi pekerja seks komersial karena faktor ekonomi, yang memiliki kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya untuk mempertahankan kelangsungan hidup.

  Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok teman sebaya dimana remaja menghabiskan lebih banyak waktu dengan kelompok teman sebaya daripada dengan keluarganya. Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya. Dengan demikian, teman sebaya memberikan pengaruh yang kuat pada diri remaja seperti sikap, pembicaraan, minat, dan perilaku.

  Kelompok teman sebaya tidak menjadi hal yang berbahaya, jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya dipenuhi, seperti kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan, kebutuhan harga diri dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh remaja di rumah maupun di sekolah. Namun kelompok teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti meminum minuman keras, merokok maupun melakukan seks bebas (Hurlock, 2004:203). Hal ini disebabkan karena kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berperilaku.

  Peranan pemerintah untuk memperhatikan para pekerja seks komersial sangatlah penting khususnya pekerja seks komersial yang masih remaja. Pemerintahlah yang paling berperan aktif dalam hal ini, walaupun tidak terlepas juga kerjasama dari pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Melihat persoalan yang dihadapi para pekerja seks yang ingin bertobat namun terpaksa terjun ke dunia pelacuran karena keadaan ekonominya yang sangat minim, maka pemerintah harus lebih serius dalam melihat hal ini. Salah satu program yang dilakukan pemerintah dan pihak swasta ataupun lembaga swadaya masyarakat adalah program pendampingan.

  Pendampingan sebagai suatu strategi yang umum digunakan oleh pemerintah dan lembaga non profit dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas dari sumber daya manusia, sehingga mampu mengindentifikasikan dirinya sebagai bagian dari permasalahan yang dialami dan berupaya untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.

  Kemampuan sumber daya manusia sangat dipengaruhi oleh keberdayaan dirinya sendiri.

  Kaitannya dengan pekerja seks komersial, sebagai satu komunitas lokalisasi dan memiliki berbagai macam karakteristik ketergantungan yang bervariasi terhadap satu dengan yang lainnya, berbagai potensi-potensi yang dimiliki tertimbun oleh ketidakmampuan mengatasi masalahnya sendiri, akhirnya banyak mengakibatkan ketidaktahuan terhadap resiko pekerjaan yang dilakukan. Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai upaya strategis sangat menarik untuk dikembangkan kepada wanita pekerja seks komersial di lokalisasi. Keterlibatan pekerja seks komersial sebagai dampingan yang membutuhkan pengetahuan dan informasi tentang resiko dari pekerjaannya, sangat dipengaruhi oleh tenaga pendamping (Outreach worker) di lapangan yang berperan sebagai fasilitator, komunikator dan dimanisator.

  Dan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang melakukan program pendampingan terhadap pekerja seks komersial adalah lembaga Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M).

  Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) berdiri pada tanggal 21 April 2012 yang diinisiasi oleh 3 (tiga) orang, satu ODHA ( Orang Dengan HIV/AIDS dan 2 OHIDHA ( Orang Yang Hidup Dengan HIV/AIDS ) yang mana dua diantaranya adalah mantan pekerja seks. Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) memandang bahwa kehadiran wanita pekerja seks (WPS) bukanlah hasil pilihan pribadi ataupun berkaitan dengan moral seseorang, namun keberadaan perempuan pada dunia pelacuran merupakan korban dari industri seks yang membutuhkan tubuh perempuan dan anak sebagai barang yang didagangkan.

  Dalam menangani masalah pekerja seks komersial, Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) melakukan program pendampingan dan penjangkauan. Program pendampingan ini dengan cara memberikan motivasi kesadaran diri dari unsur luar pribadi pekerja seks komersial sehingga melalui pendampingan ini dampingan dapat mengembangkan potensi dalam dirinya menjadi manusia utuh, menumbuhkan rasa kesetiakawanan pada sesama pekerja seks komersial dan akhirnya memampukan diri untuk berperan dalam lingkungan masyarakat. Dengan cara ini, Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) secara perlahan-lahan menarik para pekerja seks komersial agar segera bertobat dan meninggalkan pekerjaan haramnya tersebut. Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) juga memberikan solusi bahkan tawaran pekerjaan yang tepat kepada si pekerja seks komersial sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimiliki si pekerja seks komersial.

  Sampai saat ini ada 42 wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) di kota Medan. Dan salah satu wilayah dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan (P3M) adalah Losmen Cibulan Jl. Rupat Sambu Medan. Losmen Cibulan adalah satu dari tujuh losmen di Sambu yang dijadikan tempat lokalisasi pelacuran sekaligus menjadi salah satu lokalisasi terlama yang ada di daerah Sambu. Jumlah pekerja seks komersial yang ada di Losmen Cibulan sampai saat ini adalah 27 orang yang terdiri dari beragam usia mulai dari 17 tahun hingga 40 tahun, dan rata-rata telah berkeluarga.

  Pekerja seks komersial yang masih remaja juga banyak di Losmen Cibulan. Ada beberapa faktor yang memengaruhi remaja di Losmen Cibulan menjadi pekerja seks komersial. Salah satu faktornya adalah ekonomi. Keadaan ekonomi keluarga yang buruk membuat beberapa dari mereka hanya bersekolah sampai tingkat SMP. Hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki wawasan dan keahlian khusus untuk mencari pekerjaan. Sehingga para remaja ini terpaksa memilih menjadi pekerja seks komersial agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Ada juga yang diakibatkan karena korban pemerkosaan/pelecehan seksual. Remaja korban pemerkosaan tidak lagi merasa berharga di mata masyarakat, keluarga, suami, calon suami. Dan tempat pelacuran dijadikan sebagai tempat pelampiasan diri untuk membalas dendam pada laki-laki dan mencari penghargaan.

  Beranjak dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam lagi untuk mengidentifikasi dan menganalisis apa saja faktor-faktor yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial. Untuk itu peneliti membuatnya dalam suatu karya tulis yaitu skripsi untuk bisa mengetahui dengan lebih jelas lagi.

  Penelitian skripsi ini berjudul “Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Remaja

  

Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : PSK Dampingan Perempuan

Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan)”.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut ” Faktor-Faktor Apa Yang Memengaruhi Remaja Menjadi Pekerja Seks Komersial (Studi Deskriptif : PSK Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).”

  1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  1.3.1 Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa yang memengaruhi remaja menjadi pekerja seks komersial (Studi Deskriptif : PSK Dampingan Perempuan Peduli Pedila Medan Lokalisasi Losmen Cibulan Sambu Medan).

  1.3.2 Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat dari penelitian ini adalah 1. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan kajian serta studi komparasi bagi peneliti atau mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seorang perempuan menjadi pekerja seks komersial.

  2. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka membantu program-program yang dibuat pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat guna meberdayakan pekerja seks komersial agar berfungsi sosial kembali.

1.4 Sistematika Penulisan

  Penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: