Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial di Kota Medan

(1)

1

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI

PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA MEDAN

Skripsi

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Disusun oleh:

Guster Chandro Parluhutan Sihombing 110902021

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Guster Chandro Parluhutan Sihombing

NIM : 110902021

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA MEDAN

Pada masa sekarang, banyak anak baik laki-laki maupun perempuan yang bagaimanapun caranya menjadi pekerja seks komersial. Mereka mendapatkan penghasilan (layaknya orang dewasa) atas kerja keras mereka berupa uang atau barang. Sering kali anak dianggap udah bisa menanggung hidup sendiri dan mengabaikan hak-hak anak. Orang dewasalah yang menganggap bahwa anak sudah dewasa. Meskipun dalam beberapa kasus justru sesama anak yang menjadi pelakunya. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan apa faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menggambarkan data yang di dapat dari lapangan dan kemudian menganalisanya dengan kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi ke lapangan dan wawancara mendalam. Data yang diperoleh kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan mengadakan kategorisasi dan menganalisisnya.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan dikategorikan atas dua faktor, yaitu faktor internal (berasal dari dalam diri anak) dan faktor eksternal (berasal dari luar diri anak). Faktor dominan yang menjadi penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan adalah faktor gaya hidup dan pengaruh teman sebaya.


(3)

ii

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Guster Chandro Parluhutan Sihombing NIM : 110902021

ABSTRACT

FACTORS THAT CAUSE THE CHILD BEING COMMERCIAL SEX WORKERS IN MEDAN

Nowdays, many children both boy and girl who somehow become commercial sex workers. They earn (like adults) for their hard work in the form of money or goods. Often children can already bear the thought of living alone and ignore the rights of the child. Adults who assume that the child is an adult. Although in some cases even fellow children who become perpetrators. But no one can ascertain what factors cause children to become commercial sex workers. Is the environment also play an active role, they cause children to become a commercial sex worker.

This study is a descriptive study with qualitative approach, namely to describe the data obtained from the field and then analyze it with words. This study aims to look at the factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan. Data collected by field observation and in-depth interviews. The data obtained and in Narrate qualitatively by holding categorization and analyze it.

Based on the data that has been collected and analyzed, it can be concluded that the factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan categorized on two factors, namely internal factors (originating from within the child) and external factors (derived from outside child). The dominant factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan is lifestyle factors and the influence of peers.


(4)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat yang selalu melimpah di dalam kehidupan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah “Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial di Kota Medan”. Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang membahagiakan ini, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak bisa terselesaikan tanpa dorongan semangat dari banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, maka dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani, S.Sos, MSP, selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Mastauli Siregar, S.Sos, M.Si, selaku Sekretaris Departemen Ilmu

Kesejahteraan Sosial , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara dan sekaligus Dosen Pembimbing Akademik dan Pembimbing Skripsi penulis. Terima kasih atas bimbingan dan dorongan semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Amang Parsinuan, St.Mangatur Sihombing dan Inang Pangittubu, Corry Sihite atas cinta yang selalu melimpah dalam kehidupan penulis. Semoga kita selalu berbahagia.


(5)

iv

5. Oppung tersayang, Op. Sekdam br Saragih dan Op. Marbuhal br Sianturi atas doa-doa oppung, penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat waktu.

6. Abang satu-satunya, Lamtota Maradona Sihombing yang selalu mengingatkan penulis untuk sesegera mungkin menyusul sarjana. Juga kepada kedua adik, kakak Margaretha Pratiwi Sihombing dan pudan Rekha Elyzabeth Sihombing untuk selalu mengingatkan penulis untuk tidak lupa bahagia. Semangat kuliah!

7. Seluruh staf dan pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial , Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan mengajar penulis selama masa perkuliahan.

8. Keluarga besar “Rumah Tanpa Jeda” Pers Mahasiswa SUARA USU atas kesempatan berbagi kehidupan selama masa perkuliahan.

9. Teman-teman angkatan 2011 Kessos, terima kasih untuk 4 tahun masa perkuliahan yang luar biasa.

10.Semua teman-teman di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak.

11.Adik-adik Pekerja Seks Komersial di Kota Medan, kalian luar biasa!

Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima saran dan kritik demi kemajuan literasi ilmu kesejahteraan sosial. Demikianlah penulisan skripsi ini, semoga bermanfaat dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini.

Medan, Juni 2015


(6)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Anak ... 8

2.1.1 Pengertian Anak ... 8

2.1.2 Hak Anak ... 10

2.1.3 Perlindungan Anak ... 13

2.2 Eksploitasi Seksual Komersial Anak ... 18

2.2.1 Pelacuran Anak ... 24

2.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial 27

2.3.1 Faktor Internal ... 28

2.3.2 Faktor Eksternal ... 31

2.4 Kerangka Pemikiran ... 36


(7)

vi BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian ... 39

3.2 Lokasi Penelitian ... 39

3.3 Informan Penelitian ... 40

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.5 Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Pengantar ... 43

4.2 Kondisi Geografis ... 44

4.3Kondisi Demograis ... 46

4.4 Kondisi Ekonomi ... 47

4.5 Kondisi Sosial ... 50

4.6 Kondisi Penduduk ... 50

BAB V ANALISA DATA 5.1 Pengantar ... 53

5.2 Hasil Temuan ... 54

5.2.1 Informan I ... 54

5.2.2 Informan II ... 57

5.2.3 Informan III ... 62

5.2.4 Informan IV... 66

5.2.5 Informan V ... 68

5.3 Analisis Data ... 72

5.3.1 Faktor Internal ... 73


(8)

vii BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 87 6.2 Saran... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 92


(9)

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Nama : Guster Chandro Parluhutan Sihombing

NIM : 110902021

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANAK MENJADI PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI KOTA MEDAN

Pada masa sekarang, banyak anak baik laki-laki maupun perempuan yang bagaimanapun caranya menjadi pekerja seks komersial. Mereka mendapatkan penghasilan (layaknya orang dewasa) atas kerja keras mereka berupa uang atau barang. Sering kali anak dianggap udah bisa menanggung hidup sendiri dan mengabaikan hak-hak anak. Orang dewasalah yang menganggap bahwa anak sudah dewasa. Meskipun dalam beberapa kasus justru sesama anak yang menjadi pelakunya. Tetapi tidak ada yang bisa memastikan apa faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menggambarkan data yang di dapat dari lapangan dan kemudian menganalisanya dengan kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi ke lapangan dan wawancara mendalam. Data yang diperoleh kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan mengadakan kategorisasi dan menganalisisnya.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan dikategorikan atas dua faktor, yaitu faktor internal (berasal dari dalam diri anak) dan faktor eksternal (berasal dari luar diri anak). Faktor dominan yang menjadi penyebab anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan adalah faktor gaya hidup dan pengaruh teman sebaya.


(10)

ii

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

Name : Guster Chandro Parluhutan Sihombing NIM : 110902021

ABSTRACT

FACTORS THAT CAUSE THE CHILD BEING COMMERCIAL SEX WORKERS IN MEDAN

Nowdays, many children both boy and girl who somehow become commercial sex workers. They earn (like adults) for their hard work in the form of money or goods. Often children can already bear the thought of living alone and ignore the rights of the child. Adults who assume that the child is an adult. Although in some cases even fellow children who become perpetrators. But no one can ascertain what factors cause children to become commercial sex workers. Is the environment also play an active role, they cause children to become a commercial sex worker.

This study is a descriptive study with qualitative approach, namely to describe the data obtained from the field and then analyze it with words. This study aims to look at the factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan. Data collected by field observation and in-depth interviews. The data obtained and in Narrate qualitatively by holding categorization and analyze it.

Based on the data that has been collected and analyzed, it can be concluded that the factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan categorized on two factors, namely internal factors (originating from within the child) and external factors (derived from outside child). The dominant factors that cause children to become commercial sex workers in the city of Medan is lifestyle factors and the influence of peers.


(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Berkembangnya industri seks di beberapa negara, termasuk Indonesia meningkatkan permintaan pasar terhadap anak-anak, sehingga anak-anak banyak yang dipaksa menjadi pekerja seks komersial (PSK). Di indonesia sekitar 40.000 hingga 70.000 anak menjadi korban dalam prostitusi. Praktik-praktik tersebut berlangsung di pusat-pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain (Harian Kompas, 2008) di Semarang, Jogjakarta, dan Surabaya terdapat sekitar 5.000 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan dan panti pijat (ILO-IPEC, 2004).

Medan sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dan ibu kota Provinsi Sumatera Utara sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara geografis dengan 21 kecamatan dan 151 kelurahan, Kota Medan berbatasan langsung dengan Selat Malaka bagian Utara, sehingga dekat dengan Pulau Penang, Malaysia dan Singapura. Namun, Medan adalah kota transit menuju beberapa negara tetangga dan destinasi pariwisata Sumatera Utara. Dalam penelitian Pusat Kajian Perlindungan Anak yang dipublikasikan pada tahun 1999 menyebutkan pelacuran sudah dikenal di Kota Medan secara luas sejak dekade 1970-an. Memasuki sepuluh tahun terakhir, pelacuran anak secara terselubung kian marak, bahkan sampai merambah ke sekolah-sekolah yang melibatkan siswa-siswi yang masih di bawah umur.


(12)

2

Beberapa jalan di Kota Medan menjadi lokasi diadakannya prostitusi. Dan hal ini sudah menjadi rahasia umum. Setiap malam di sepanjang Jalan Gajah Mada digunakan menjadi tempat menjajakan diri bagi pekerja seks komersial (PSK). Biasanya mereka beroperasi mulai jam sepuluh malam hingga subuh. Tukang becak akan setia menunggu PSK sampai mendapatkan pelanggan. Selain Jalan Gajah Mada, pemandangan yang sama akan terlihat di Jalan Darussalam setiap malamnya. Di sepanjang Jalan Darussalam ada banyak hotel kelas melati. Hotel Sibayak di Jalan Nibung juga menjadi pusat prostitusi berkedok hotel melati. Siang hari kondisi Jalan Nibung sangat berbeda dengan malam harinya. Siang hari Jalan Nibung terkenal sebagai pusat penjualan mobil bekas di Kota Medan. Malam hari Jalan Nibung terkenal dengan hotel-hotel kelas melati. Selain Hotel Sibayak, ada beberapa ruko yang digunakan sebagai rumah bordil di sekitar Pajak Petisah. Di sini, PSK menunggu pelanggan dan dijaga ketat oleh petugas keamanan. Tak jauh dari sini, di belakang Toko Buku Gramedia Jalan Gajah Mada malam harinya di isi dengan waria yang menjajakan diri di pinggir jalan hingga sekitar Pardede Hall. Jalan Darussalam, Jalan Gajah Mada, Jalan Nibung adalah lokasi yang sangat berdekatan dan semua tempat ini ketika malam hari menjadi salah satu pusat prostitusi di Kota Medan. Selain di lokasi tersebut, sekitar Pusat Pasar atau Pajak Sambu juga merupakan lokasi prostitusi di Kota Medan, yaitu di sepanjang Jalan Bintang.

Prostitusi tak hanya terjadi di kalangan orang dewasa saja, tren PSK Muda juga terjadi di Medan. Beberapa sekolah sudah terkenal menjadi pemasok PSK-PSK muda. Sekolah-sekolah yang berada di sekitar Jalan STM dan Jalan Sisingamangaraja merajai asal PSK anak ini. Menurut Rere, seorang germo yang dulu juga bersekolah di sekitar lokasi ini, biasanya anak-anak SMA/SMK ini berasal


(13)

3

dari daerah di Sumatera Utara. Mereka tinggal di kos-kosan yang tak jauh dari sekolahnya. Seperti Rere, ia menjadi germo sejak duduk di bangku SMP kelas tiga. Ia menjual teman-temannya sendiri kepada tubang (tua bangka) yang cukup dikenalnya. Alasan ekonomi sering dianggap orang banyak menjadi penyebab anak sekolah menjajakan diri. Selain itu masih cerita lama, anak-anak orang kaya yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Anak-anak sekolah ini biasanya tak menjajakan diri di jalanan seperti PSK dewasa. Mereka dijual germo yang juga teman sekolahnya. atau paling tidak, anak-anak sekolah ini akan nongkrong di KFC-KFC atau mal-mal yang ada di Medan. Biasanya mereka nongkrong di KFC-KFC Titi Kuning dan KFC Glugur Jalan Adam Malik.

Selain itu, gaya hidup perkotaan menjadi salah satu tuntutan yang tak dapat dihindari anak-anak yang beranjak remaja di kota besar seperti Medan. Beberapa diskotik di Medan menjadi tempat transaksi pelacuran. New Zone atau yang sering disebut NZ yang berlokasi di Jalan Kolonel Sugiono biasanya digunakan untuk anak joged (ajog). Selain NZ, masih ada Elegant dan KTV-KTV lainnya. Tempat-tempat tadi adalah lokasi transaksi pelacuran yang biasa di lakukan anak-anak.

Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan memaparkan data-data hasil razia gelandangan, pengemis, PSK, dan pasangan di luar nikah rentang 2012 hingga 2014. Dari data tersebut pada tahun 2012 ada sebanyak 70 orang Pekerja Seks Komersial (PSK) dan pasangan diluar nikah yang di razia, dan 35 orang diantaranya berusia di bawah 17 tahun. Pada tahun 2013, ada sebanyak 64 orang PSK dan pasangan di luar nikah yang di razia, dan 24 orang diantaranya berusia dibawah 17 tahun. Sementara itu pada tahun 2014, ada sebanyak 56 orang PSK dan pasangan di


(14)

4

luar nikah yang di razia, dan 16 orang diantaranya berusia dibawah 17 tahun (Pemerintah Kota Medan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Januari 2015).

Razia Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan dilakukan di beberapa tempat hiburan dan taman di Kota Medan. Menurut Ahmad Sofian, di Kota Medan tempat bermain billiard, pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel kelas melati, diskotik, kafetaria, kos-kosan, warkop (sejenis kafe pinggir jalan) dan taman di Kota Medan adalah tempat transaksi pelacuran anak (Ahmad Sofian, 2008: 14). Melalui razia-razia yang dilakukan oleh dinas-dinas terkait, PSK yang ditangkap akan diberikan pengarahan, dan pelaku dilepaskan. Untuk PSK d ibawah umur dalam hal ini disebut anak akan memanggil orang tua. Apabila tidak ada tanggapan, anak anak diserahkan ke Panti Parawangsa. (Pemerintah Kota Medan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, 2015). Selain Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, razia juga dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Narkotika Nasional, dan beberapa lembaga negara lainnya.

Pembeli seks anak umumnya sudah berusia dewasa dan sudah berumah tangga. Sehingga anak ayam (PSK anak) sering menyebutnya tubang. Bahkan pembeli seks anak tersebut tak jarang berusia lanjut. Pembeli seks anak ini berasal dari beragam profesi, baik PNS, swasta, maupun pengusaha. Daerah asal pembeli seks anak di Kota Medan pun beragam. Untuk Sumatera Utara, biasanya berasal dari Langkat dan Siantar. Untuk sumatera, biasanya pembeli seks anak berasal dari Aceh. Pelanggan yang berasal dari luar negeri, diantaranya dari Malaysia dan Singapura.

Faktor penyebab anak menjadi PSK bukan menjadi perhatian penting bagi pemerintah. Hal ini terbukti dengan tidak adanya penelitian yang dilakukan pemerintah terkait PSK anak dan indikasi sindikat predator seks anak yang banyak


(15)

5

terjadi saat ini. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kini di revisi menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, baik anak laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan hak dasarnya sebagai seorang anak, yaitu: hak untuk bertahan hidup (survival rights), hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights), hak atas perlindungan (protection rights) dan hak untuk berpartisipasi (participation rights). Tidak ada poin yang memperbolehkan anak menjadi objek eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual.

Ironisnya, dengan banyaknya kasus prostitusi anak yang terjadi, pada tahun 2012 Kota Medan mendapatkan penghargaan Kota Layak Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, kategori Pratama dari menteri saat itu Linda Gumelar pada 3 Oktober 2012 di Jakarta (Okezone.com, 2012). Hal ini berdasar pada Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak Nomor 03 Tahun 2009 tentang Kota Layak Anak. Dengan penghargaan ini, seharusnya sejalan dengan visi dan misi kota layak anak, yaitu hunian terbaik untuk tumbuh kembang anak, bukan prostitusi anak. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial di Kota Medan.”


(16)

6 1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh penulis pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan: Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memetakan serta menganalisis faktor-faktor penyebab seorang anak menjadi pekerja seks komersial, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah preventif di keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, bahkan di tengah-tengah masyarakat luas. Selain itu, penelitian ini bermanfaat sebagai literasi rujukan bagi lembaga maupun pemerintah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial khususnya di Kota Medan.


(17)

7 1.4Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran dan definisi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB VI : PENUTUP


(18)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak

2.1.1 Pengertian Anak

Terdapat berbagai ragam pengertian tentang anak di Indonesia, dimana dalam berbagai perangkat hukum berlaku penentuan batas anak yang berbeda-beda pula. Batas usia anak merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum. Hal tersebut mengakibatkan beralihnya status usia anak menjadi usia dewasa atau menjadi subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukum yang dilakukannya.

Beberapa pengertian anak yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain adalah :

1. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 330 KUHP Perdata : “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa.”

2. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 1 angka 2 : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”


(19)

9

3. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

4. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 5 : “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

5. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Pasal 1 angka 1 : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

6. Menurut Hukum Adat : “Ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi dari ukuran yang dipakai adalah : dapat bekerja sendiri; cakap melakukan yang diisyaratkan dalam kehidupan masyarakat; dapat mengurus kekayaan sendiri.”

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak adalah konsekuensi penerapannya dikaitkan dengan berbagai faktor seperti kondisi ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat.


(20)

10 2.1.2 Hak Anak

Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak (Delaney, 2006: 95-101) dapat dikelompokan menjadi:

1. Hak Terhadap Kelangsungan Hidup (Survival Rights)

Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut Konvensi Hak Anak negara harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Di samping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa di jangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).

Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak, (2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh informasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6) mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.

Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa (1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan (Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati


(21)

11

diri anak (nama, kewarganegaraan dan ikatan keluarga) (Pasal 8), (3) hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20), (5) adopsi anak hanya diperbolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disable) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak Terhadap Perlindungan (Protection Rights)

Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus, dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam kehidupan masyarakat negara.

Perlindungan dari eksploitasi, meliputi (1) perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan


(22)

12

seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak Untuk Tumbuh Berkembang (Development Rights)

Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.

Hak anak atas pendidikan di atur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2) mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah di jangkau oleh setiap anak, (3) membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan keterampilan bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak untuk mengembangkan kepribadian,(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.


(23)

13

4. Hak Untuk Berpartisipasi (Participation Rights)

Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekspresikan, (3) hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh imformasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat.

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

2.1.3 Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut secara wajar, baik fisik, mental, maupun sosial. Hal tersebut adalah sebagai perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat (ECPAT International, 2010: 15).

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak menjadi berakibat negatif. Perlindungan anak harus dilaksanakan secara rasional, bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efisien terhadap perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.


(24)

14

Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, kreativitas dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali. Sehingga anak menjadi tidak memiliki kemampuan dan kemauan dalam menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut di dukung dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang mengatur tentang tujuan perlindungan anak, yaitu untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara menyediakan pengembangan diri bagi anak.


(25)

15

Sedangkan yang di maksud dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak langsung ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut. Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Jadi yang mengusahakan perlindungan bagi anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.

Hukum Perlindungan Anak merupakan sebuah aturan yang menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang berupa : hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, maupun peraturan lain yang berhubungan dengan permasalahan anak.

Perlindungan khusus terhadap anak yang berada dalam situasi darurat, misalnya anak yang sedang berhadapan dengan hukum serta anak dari kelompok minoritas dan terisolasi diatur secara terperinci dalam Bab VIII Bagian Kelima Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal


(26)

16

59 adalah meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, yang merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat.

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, meliputi :

a. non diskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Usaha perlindungan terhadap anak telah cukup lama dibicarakan baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena di samping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu di isi oleh anak-anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan.


(27)

17

Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. Bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 November 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak anak).

Sementara itu masalah anak terus dibicarakan dalam kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Pada kongres ke I di Jenewa tahun 1955 dibicarakan topic Prevention of Juvenile Delinquency. Pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional, Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak.

Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November. Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan Amerika Serikat. C. Instrumen Hukum Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak di atur dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak ( Convention on The Rights of The Child ) tahun 1989 (Convention on The Right of The Child, UNICEF, 1990 ), telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara.

Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia. Lahirnya


(28)

18

Konvensi Hak Anak Gagasan mengenai hak anak pertama kali muncul pasca berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktivis perempuan melakukan protes dengan menggelar pawai.

Dalam pawai tersebut, mereka membawa poster-poster yang meminta perhatian publik atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Salah seorang di antara aktivis tersebut, Eglantyne Jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 di adopsi oleh Save the Children Fund International Union. Untuk pertama kalinya, pada tahun 1924, Deklarasi Hak Anak di adopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Selanjutnya, deklarasi ini juga dikenal dengan sebutan Deklarasi Jenewa Konvensi Hak-hak Anak merupakan instrumen hukum yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak.

Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.

2.2 Eksploitasi Seksual Komersial Anak

Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan istilah umum yang mencakup berbagai tingkah laku yang berbahaya dan salah secara seksual. Ruang lingkup ESKA adalah semua bentuk penyalahgunaan seksual, kekerasan seksual,


(29)

19

pornografi, pelacuran, trafficking untuk tujuan seksual, pariwisata seks, kawin paksa dan pernikahan dini serta perbudakan.

Hal yang penting diingat adalah bahwa wujud kekerasan seksual dan kekerasan seksual tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Eksploitasi seksual komersial sering dilakukan oleh seseorang yang di kenal oleh anak. Kadang-kadang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga, bahkan orang tua kandung (Delaney, 2006: 9). Anak tidak pernah memberi izin terhadap semua bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual terhadap mereka. Tidak ada seorang anak pun yang pernah memberi izin ungtuk menjadi korban kekerasan. Anak mungkin dibohongi, ditipu, atau dipaksa oleh situasi-situasi yang berada di luar kendali mereka seperti kemiskinan atau akibat-akibat dari kondisi masyarakat, termasuk teman-teman sebaya (peer groups) yang dapat memaksa anak secara tidak terlihat tetapi bagaimanapun anak-anak tersebut tetap merupakan korban penderaan. Anak-anak berhak atas perlindungan dan membutuhkan perlindungan dan merupakan tanggung jawab orang dewasa untuk menjamin agar anak-anak tidak menjadi korban ESKA.

Dalam (Delaney, 2006: 9) defenisi eksploitasi seksual menurut anak-anak adalah:

“Ketika laki-laki dewasa bercinta dengan anak perempuan yang masih kecil untuk mendapatkan uang. Laki-laki dewasa tersebut dapat bercinta dengan anak-anak perempuan yang masih kecil. Mereka bisa memanggil anak-anak perempuan tersebut ketika dia sedang berjalan di sepanjang jalan, dan kemudian anak perempuan tersebut pergi dan mereka masuk kedalam rumah dan mengunci pintunya. Dan


(30)

20

ketika laki-laki yang sudah dewasa tersebut sudah menyelesaikan urusannya, maka dia akan memberi uang atau hadiah kepada anak perempuan tersebut.”

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan bujukan kepada seorang anak untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas seksual terlepas dari apakah anak tersebut sadar atau tidak dengan apa yang sedang terjadi. Kekerasan seksual didefenisikan sebagai serangkaian hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak yang lebih berpengetahuan atau orang dewasa (orang asing, saudara kandung atau orang yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara anak tersebut seperti orang tua atau pengasuh) dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi kebutuhan seksual mereka. ‘Kebutuhan seksual’ yang tidak terkendali dan tidak dapat dikendalikan sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan kekerasan seksual.

Aktivitas-aktivitas tersebut dapat berupa kontak fisik, termasuk seks penetratif (seperti pemerkosaan) atau perbuatan non-penetratif dan bisa berupa aktivitas-aktivitas non-kontak seperti melibatkan anak-anak untuk melihat atau melibatkan anak dalam pembuatan bahan-nahan pornografi, menonton aktivitas-aktivitas seksual atau menyuruh anak bertingkah laku yang tidak wajar secara seksual. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dalam kekerasan tersebut merahasiakannya.

Eksploitasi seksual komersial dapat didefenisikan sebagai kekerasan seksual terhadap anak untuk mendapatkan bayaran atau kebaikan. Bayaran ini bisa berupa uang, kebaikan atau keuntungan-keuntungan lain seperti makanan, perlindungan atau tempat tinggal. Ada tiga bentuk dasar ESKA yang saling berkaitan antara yang satu


(31)

21

dengan lainnya, yaitu: pelacuran, pornografi dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak dipergunakan untuk tujuan-tujuan seksual. Beberapa orang yang mendapat keuntungan dari transaksi komersial tersebut adalah mucikari atau germo, perantara atau agen, orang tua dan sektor-sektor bisnis terkait seperti hotel, kafe, dan tempat hiburan lainnya.

Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Khusus dalam situasi gawat darurat, anak-anak dilacurkan oleh orang-orang dewasa yang tak bermoral demi mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar atau uang untuk membeli kebutuhan-kebutuhan tersebut atau agar mereka dapat melewati daerah perbatasan atau masuk ke dalam daerah-daerah yang aman atau daerah-daerah terlarang.

Pornografi anak berarti pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. Ciri-ciri utama pornografi anak adalah bahwa pornografi anak dibuat untuk mendapatkan kepuasan seksual. Yang termasuk pornografi anak adalah foto, negatif film, slide, majalah, buku, gambar, rekaman, film, kaset video, USB atau file komputer dan foto-foto atau video yang disimpan dalam telepon genggam.


(32)

22

Trafficking adalah perekrutan, pemindahan, pengiriman, atau penerimaan anak-anak (dan orang dewasa) untuk tujuan eksploitasi. Anak-anak yang diperdagangkan dengan izin dari keluarga mereka dan kadang-kadang mereka ditipu, dipaksa atau diculik. Tapi sama dengan semua bentuk kekerasan seksual dan eksploitasi seksual, persoalan tentang pemberian izin dari anak merupakan sesuatu yang tidak relevan.

Pariwisata Seks Anak (PSA) merupakan ESKA yang dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, baik di negara lain maupun di dalam wilayah yang berbeda di negaranya sendiri, dan di tempat tersebut mereka melakukan hubungan seks dengan anak-anak. Para wisatawan seks anak secara khusus memiliki pilihan untuk menjadikan anak-anak sebagai pasangan seks mereka atau mereka mungkin hanya sekedar memanfaatkan sebuah situasi dimana seorang anak memang tersedia untuk mereka untuk melakukan eksploitasi seksual.

Dalam situasi gawat darurat atau bencana, eksploitasi seksual anak dapat terjadi karena masuknya berbagai macam pengunjung yang sekali-sekali maupun secara teratur mendatangi daerah tersebut untuk memberikan bantuan atau pertolongan. Salah satunya adalah supir truk yang membawa bantuan atau pertolongan atau mengirimkan bahan-bahan yang sangat penting. Para pengunjung tersebut kemudian memanfaatkan situasi tersebut untuk mendapatkan akses terhadap anak-anak yang kurang mendapat pengawasan dan anak-anak yang lebih rentan terhadap kekerasan seksual.

Dalam tahap rekonstruksi, tanpa adanya pilihan mata pencaharian alternatif yang menjanjikan, remaja dapat menjadi korban para wisatawan seks yang


(33)

23

mengunjungi daerah tersebut untuk tujuan seksual dan rekreasi ketika situasinya sudah stabil atau menjadi korban para pengunjung sementara lain seperti orang-orang yang bekerja untuk pembangunan (konstruksi). Sangat sulit untuk memisah-misahkan berbagai bentuk kekerasan seksual tersebut yang berbeda-beda, khususnya karena bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut terjadi secara terpisah dan arena mereka saling terkait. Tidak semua anak-anak yang diperdagangkan di eksploitasi secara seksual dan begitu juga tidak semua anak-anak yang mengalami kekererasan seksual (seperti di perkosa) di eksploitasi secara komersial dan seksual. Tetapi setiap anak yang telah mengalami bentuk kekerasan apapun pasti akan lebih rentan terhadap kekerasan berikutnya, baik kekerasan yang memiliki sifat yang sama ataupun sifat yang berbeda dengan kekerasan sebelumnya.

Gambar 1: Kekerasan Seksual dan Eksploitasi Seksual (Catatan: ukuran sektor tidak menjunjukkan rasio atau besaran dari fenomena tersebut, tetapi hanya dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara berbagai sektor tersebut).

Keterangan: A= Populasi anak-anak yang mengalami semua bentuk kekerasan

B= Anak-anak yang mengalami kekerasn seksual

C= Anak-anak yang dieksploitasi secara seksual komersial


(34)

24

Baik anak perempuan maupun anak laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual dan eksploitasi seksual walaupun sifat resiko dan jenis kekerasannya berbeda. Bagi anak perempuan, kekerasan seksual merupakan sebuah bentuk kekerasan berbasis gender dan sering terkait erat dengan posisi lemah mereka dalam masyarakat. Sedangkan bagi anak laki-laki, kekerasan seksual dipergunakan secara khusus terkait dengan isu-isu kejantanan dan seksualitas, juga turut memberikan kontribusi terhadap sulitnya bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan tentang pengalaman-pengalaman mereka dan bagi orang-orang dewasa untuk menyadari bahwa anak laki-laki juga membutuhkan perlindungan.

2.2.1 Pelacuran Anak

Pelacuran anak terjadi ketika seseorang mengambil keuntungan dari sebuah transaksi komersial dimana seorang anak disediakan untuk tujuan-tujuan seksual. Anak-anak tersebut dikendalikan oleh seorang perantara yang mengatur atau mengawasi transaksi tersebut atau oleh seorang pelaku eksploitasi yang bernegosiasi langsung dengan anak tersebut.

Anak-anak tersebut juga dilibatkan dalam pelacuran ketika mereka melakukan hubungan seks dengan imbalan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal atau keamanan atau bantuan untuk mendapatkan nilai yang tinggi di sekolah atau uang saku ekstra untuk membeli barang-barang konsumtif. Semua perbuatan ini dapat terjadi diberbagai tempat yang berbeda seperti lokalisasi, bar, klub malam, rumah, hotel, atau di jalanan. Pelacuran anak kadang-kadang bukan sebuah aktivitas yang terorganisir (tetapi biasanya memang sebuah aktivitas yang terorganisir) baik dalam skala kecil melalui germo perorangan atau dalam skala besar melalui jaringan kriminal.


(35)

25

Komite Hak Anak telah menemukan bahwa banyak negara yang belum memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang layak untuk mendefenisikan dan mengkriminalkan pelacuran anak sesuai dengan defenisi yang ada dalam Protokol Operasional KHA tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak, dan Pornografi Anak.

Ketika istilah ‘pelacur anak’ atau ‘pekerja seks anak’ dipergunakan, kesannya adalah bahwa seorang anak seolah-olah telah memilih pelacuran sebagai sebuah pekerjaan atau profesi. Garis pemikiran ini menutupi kenyataan bahwa orang-orang dewasalah yang sebenarnya menciptakan permintaan atas anak-anak sebagai objek seks dan mereka siap untuk menyalahgunakan kekuasaan dan keinginan mereka untuk mengambil keuntungan. Setiap negara yang telah meratifikasi KHA harus menyadari bahwa anak-anak yang terlibat dalam pelacuran merupakan korban kejahatan eksploitasi seksual.

Perbedaan ini harus tercermin dalam hukum nasional. Di negara-negara dimana pelacuran dilegalkan atau tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan, hukum nasional harus berisi ketentuan-ketentuan yang berbeda yang melarang pelacuran anak dan memberikan hukuman terhadap orang-orang yang melakukan eksploitasi terhadap anak-anak.

Pelacuran anak dan perdagangan anak sangat erat kaitannya. Anak-anak bisa berakhir dengan dilacurkan karena proses trafficking jika mereka di angkut di dalam atau melintasi batas negara untuk tujuan eksploitasi seksual. Pelacuran anak juga bisa menjadi tujuan sebuah proses trafficking.


(36)

26

Anak-anak yang dieksploitasi dalam pelacuran juga bisa dimanfaatkan dalam pembuatan bahan-bahan pornografi atau semakin dieksploitasi dengan dimandaatkan dalam pertunjukan-pertunjukan pornografi (KONAS PESKA, 2010:58).

Tindakan yang ada dalam Protokol Opsional KHA tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak

Penafsiran

Menawarkan Menanyakan kepada seseorang apakah

dia ingin melakukan hubungan seks dengan seseorang anak; mengiklankan ketersediaan anak-anak sebagai mitra seks. Sebuah tawaran bisa terjadi dengan berbagai cara, termasuk secara verbal atau melalui surat kabar, internet, handphone atau bentuk komunikasi lain.

Mendapatkan Larangan untuk mendapatkan seorang

anak untuk pelacuran ditujukan bagi klien atau pelanggan seorang anak yang dilacurkan. Hal ini merujuk pada transaksi dimana seseorang mendapatkan layanan seksual dari seorang anak.

Membeli Mengatur seorang korban anak agar


(37)

27

misalnya dengan ‘membeli’ seorang anak untuk seseorang, atau mengatur seorang anak untuk di bawa ke sebuah tempat khusus untuk mereka. Aktivitas ini merujuk pada ‘penggermoan’.

Memberi Untuk membuat seorang anak tersedia

bagi seseorang yang meminta. Itu dapat digambarkan dengan orang tua atau sanak keluarga yang menjual seorang anak untuk tujuan pelacuran atau kepada seorang pemilik lokalisasi yang memberikan akses kepada seorang pelanggan untuk mendapatkan seorang anak.

2.3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial

Perdagangan manusia bukanlah fenomena yang sederhana dan faktor-faktor yang membuat anak semakin rentan terhadap perdagangan bersifat kompleks dan saling terkait satu sama lain. Dalam menganalisis faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial, ada dua faktor dominan yang menjadi penyebabnya. Yakni faktor internal (dalam diri anak) dan faktor eksternal (luar diri anak).

Berikut faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi perkerja seks komersial (Rosenberg,2003:24) :


(38)

28 2.3.1 Faktor Internal

Faktor internal adalah datang dari diri anak, yang berkenaan dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Kondisi psikologis anak berperan penting yang menyebabkan anak terjebak dalam situasi prostitusi. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak terpuaskan secara sosial dapat menimbulkan efek psikologis sehingga mengakibatkan situasi kritis pada diri anak tersebut. Dalam keadaan kritis ini akan timbul konflik batin, yang secara sadar atau tidak sadar anak akan mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang dialaminya.

Dengan keadaan demikian, anak akan mudah terpengaruh apabila dalam keadaan jiwa yang labil, mengingat usia anak masih muda. Berbagai faktor internal secara psikologis yang menyebabkan anak terjebak dalam situasi prostitusi, antara lain moralitas yang tidak berkembang (tidak bisa membedakan baik buruk, benar salah, boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan tingkat pendidikan anak yang rendah.

Rasa penasaran menjadi pemicu anak terjebak dalam situasi prostitusi. Pada usia anak, keingintahuan anak begitu besar terhadap seks, apalagi jika teman-teman sepergaulannya mengatakan bahwa terasa nikmat, ditambah informasi yang tidak terbatas masuknya, juga iming-iming imbalan. Maka rasa penasaran tersebut mendorong anak untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai percobaan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Pelampiasan diri, sebagai runtutan kegagalan psikologis positif yang tidak hanya datang dari dalam diri sendiri. Misalnya karena terlanjur berbuat, seorang remaja perempuan biasanya berpendapat sudah tidak ada lagi yang dapat


(39)

29

dibanggakan dari dirinya, maka dalam pikiriannya tersebut ia akan merasa putus asa dan mencari pelampiasan yang akan menjerumuskan anak dalam dunia prostitusi.

1. Gangguan Kepribadian

1.a Gangguan Cara Berpikir

Gangguan cara berpikir ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain; pandangan atau cara berpikir yang keliru atau menyimpang dari pandangan umum yang menjadi norma atau nilai-nilai hakiki dari apa yang dianggap benar oleh komunitasnya. Membuat alasan-alasan yang dianggap benar menurut penalarannya sendiri guna membenarkan perilakunya yang menyalahi norma-norma yang berlaku. Dapat juga berupa pandangan-pandangan negatif atau selalu berpikir negatif dan pesimis. Dengan cara pandang dan cara berpikirnya yang keliru, biasanya individu yang mengalami cara berpikir distorsi ini akan menghalalkan segala tindakannya dengan mengemukakan alasan-alasan yang tidak wajar. Mengabaikan norma yang ada dan membenarkan dirinya atas perilakunya yang salah itu berlandaskan alasan-alasan yang dibuat-buat sekehendak hatinya. Prinsip asal ada alasan-alasan, maka tindakannya dapat dibenarkan.

1.b Gangguan Emosi

Adanya gangguan emosi, antara lain emosi labil, mudah marah, mudah sedih dan sering kali putus asa, ingin menuruti gejolak hati, maka kemampuan pengontrolan atau penguasaan dirinya akan terhambat. Gangguan emosi juga dapat terwujud melalui perasaan rendah diri, tidak mencintai diri sendiri mmaupun orang lain, tidak mengenal cinta kasih dan simpati, tidak dapat berempati, rasa kesepian


(40)

30

dan merasa terbuang. Tidak jarang orang yang mengalami gangguan emosi menjadi takut kehilangan teman walau tahu temannya memiliki niat jahat.

1.c Gangguan Kehendak dan Perilaku

Kehendak dan perilaku seseorang selain dipengaruhi oleh fungsi fisiologis fisik, juga dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan. Jadi, kalau pikiran dan emosinya sudah mengalami gangguan, maka dapat dipastikan perilaku atau keinginannya juga mengalami dampak dari gangguan pada pikiran dan emosinya, sikap dan perilakunya akan terpengaruhi dan biasanya dapat terjadi kehilangan kontrol, sehingga bertindak tidak terkendali atau bertindak sesuai dengan norma yang ada di dalam lingkungan.

2. Pengaruh Usia

Dengan mencapai usia mendekati masa remaja, maka kelenjar kelamin mulai menghasilkan hormon yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seksual anak yang meningkat pada usia remaja. Dalam akil baliqh ini banyak perubahan yang terjadi. Perubahan secara fisik jelas terlihat dari bertambah tinggi, besar badan, tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara pada wanita dan tumbuhnya jakun pada pria. Di ikuti oleh perubahan emosi, minat, sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh perkembangan kejiwaan anak remaja itu. Pada saat-saat ini, remaja mengalami perasaan ketidakpastian, di satu sisi, merasa sudah bukan kanak-kanak lagi, akan tetapi belum mampu menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa karena memang masih sangat muda dan kurang pengalaman. Pada masa ini remaja lebih senang bergaul dengan teman-teman sebayanya, ingin jadi anak gaul yang di terima di dalam lingkungannya dan mulai mencari identitas dirinya. Ingin nge-tren dan mendapat pengakuan dari lingkungannya. Rasa ingin tahu


(41)

31

besar, dan suka coba-coba hal baru, kurang mengerti resiko disebabkan kurangnya pengalaman dan penalaran. Dalam keadaan demikian, biasanya remaja mudah terjebak ke dalam kenakalan remaja dan dunia prostitusi.

3. Pandangan atau Keyakinan yang Keliru

Banyak remaja yang mempunyai keyakinan yang keliru dan menganggap enteng akan hal-hal yang membahayakan, sehingga mengabaikan pendapat orang lain, mengganggap dirinya pasti dapat mengatasi bahaya itu, atau merasa yakin bahwa pendapatnya sendirilah yang benar, akibatnya mereka dapat terjerumus ke dalam tindakan kenakalan remaja dan dunia prostitusi.

4. Religiusitas yang Rendah

Anak yang bertumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang religiusitasnya rendah, bahkan tidak pernah mendapat pengajaran dan pengertian mengenai Tuhan-nya secara benar maka biasanya memiliki kecerdasan spiritual yang rendah. Dengan demikian tidak ada patokan akan nilai-nilai yang dianutnya untuk bertindak, sehingga berperilaku sesuka hatinya, tidak tahu masalah yang baik dan buruk dan tidak takut akan berbuat dosa.

2.3.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah penyebab yang datang bukan secara langsung dari dalam diri anak, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pendidikan yang rendah, pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan kegagalan percintaan. Berikut faktor-faktor eksternal yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial:


(42)

32 1. Ekonomi

Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja membuat seseorang melakukan hal yang nekat, oleh sebab itu seorang anak terjebak dalam prostitusi dikarenakan adanya tekanan ekonomi. Yaitu kemiskinan yang dirasakan secara terus menerus dan adanya kesenjangan penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah.

Penduduk yang miskin mungkin akan lebih rentan terhadap perdagangan, tidak hanya karena lebih sedikitnya pilihan yang tersedia untuk mencari nafkah, tetapi juga karena memegang kekuasaan sosial yang lebih kecil. Sehingga mereka tidak mempunyai terlalu banyak akses untuk memperoleh bantuan dan ganti rugi.

Sebuah studi mengenai perdagangan manusia di 41 negara menunjukkan bahwa keinginan seseorang untuk memperbaiki status ekonominya dan kurangnya kesempatan untuk mewujudkan hal itu di tempat asalnya merupakan satu dari sejumlah alasan utama mengapa perempuan memilih untuk bermigrasi untuk memperoleh pekerjaan (Wijers dan Lap-Chew, 1999: 61).

Meskipun demikian, sebuah pengkajian mengenai kondisi ekonomi di Indonesia juga memperlihatkan bahwa meski beberapa massyarakat daerah pengirim terbesar memiliki rata penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional, sejumlah masyarakat daerah pengirim besar lainnya memiliki media penghasilan yang relatif tinggi. Sehingga jelas bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor yang mempunyai andil dalam menciptakan kerentanan terhadap prostitusi.

Tetapi keinginan untuk menikmati penghasilan yang lebih tinggilah yang mendorong orang memasuki siklus migrasi, menghadapi resiko diperdagangkan.


(43)

33

Dengan status sosial mereka yang lebih rendah, penduduk miskin juga mempunyai kekuatan yang lebih sedikit untuk menyuarakan keluhannya, atau untuk mendapatkan bantuan dari pihak yang berwenang.

2. Gaya Hidup

Gaya hidup adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pergeseran norma selalu terjadi di mana saja apalagi dalam tatanan masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan (Gunarsa, 2003:20). Kecenderungan melacurkan diri pada banyak anak untuk menghindari kesulitan hidup. Selain itu untuk menambah kesenangan melalui jalan pintas. Menjadi pekerja seks komersial dapat terjadi karena dorongan hebat untuk memiliki sesuatu. Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi sesuatu yang ingin di miliki.

Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari penghasilan sebagai seorang pekerja seks. Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan semakin jauhnya norma-norma dari orang-orang yang terlibat dalam praktek prostitusi. Pergeseran sudut pandang mengenai nilai-nilai budaya yang seharusnya di anut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus dimiliki.

3. Kegagalan Kehidupan Keluarga

Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang perannya besar dalam perkembangan sosial, terlebih pada fase awal perkembangan yang


(44)

34

menjadi landasan bagi perkmebangan kepribadian selanjutnya. Di dalam keluarga ditemukan berbagai elemen dasar yang membentuk kepribadian seseorang. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang. Perilaku negatif dan sebagainya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang dialami anak dalam keluarga. Hubungan antara pribadi dalam keluarga yang meliputi hubungan antara orang tua , saudara, menjadi faktor yang penting munculnya perilaku yang tidak baik.

4. Teman Sebaya

Kelompok bermain atau yang sering disebut teman sebaya (peer groups) memiliki peran penting dalam tumbuh kembang anak. Teman sebaya berfungsi memberikan informasi dan perbandingan tentang dunia di luar keluarga. Sebagai contoh, dalam sebuah studi, hubungan teman sebaya yang buruk pada masa kanak-kanak berhubungan dengan di keluarkannya si anak dari sekolah dan perilaku buruk selama masa remaja anak tersebut (Roff, Sells & Golden, 1972). Sebaliknya, dalam sebuah studi yang lain hubungan teman sebaya yang harmonis pada masa remaja dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif pada usia paruh baya (Hightower, 1990).

Kontribusi sebuah persahabatan pada status teman sebaya memberikan banyak manfaat. Antara lain manfaat pertemanan, dalam persahabatan memberikan anak seorang teman yang akrab yang bersedia untuk menghabiskan waktu dan bergabung dalam aktivitas kolaboratif. Selain itu juga, seorang sahabat dapat memberikan bantuan kapanpun dibutuhkan, sahabat dapat memberikan dukungan sosial, dapat memberikan suatu hubungan yang hangat, penuh kepercayaan, sehingga timbul rasa nyaman dan adanya keterbukaan untuk berbagi informasi pribadi.


(45)

35

Namun ada hal yang perlu diperhatikan perihal yang tidak menguntungkan dari persahabatan teman sebaya. Karena teman sebaya memiliki peran yang dominan, pengaruh apapun baik positif maupun negatif akan direspon anak sebagai bentuk dukungan atas nama solidaritas teman sebaya. Pengaruh inilah yang menyebabkan anak terjerumus dalam dunia prostitusi. Selain teman sebaya, lingkungan lain yang memiliki faktor dominan yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial adalah pacar. Atas nama cinta dan kesetiaan, hubungan seks akan menjadi lumrah dilakukan pada pasangan remaja. Bahkan di zaman sekarang, seks bebas menjadi tren yang di ikuti banyak remaja. Hubungan individu inilah yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial. Bahkan tak jarang pasangannya-lah yang akan menjual anak ke pada pelanggan.


(46)

36 2.4 Kerangka Pemikiran

Anak adalah anugerah yang di beri oleh Tuhan Yang Maha Esa dimana dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Tidak ada yang bisa memungkiri hal tersebut, bahkan negara mengamininya dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Anak seharusnya memiliki empat hak dasar, yaitu: hak untuk bertahan hidup (survival rights), hak untuk tumbuh dan berkembang (development rights), hak atas perlindungan (protection rights) dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).

Ironisnya, kini banyak anak baik laki-laki maupun perempuan yang bagaimanapun caranya menjadi pekerja seks komersial. Mereka mendapatkan penghasilan (layaknya orang dewasa) atas kerja keras mereka berupa uang atau barang. Seringkali anak dianggap sudah bisa menanggung hidup sendiri dan mengabaikan hak-hak dasar anak tersebut. Orang dewasalah yang seringkali menganggap bahwa anak sudah dewasa. Meskipun di beberapa kasus, justru sesama anak yang menjadi pelaku perdagangan anak.

Tetapi tidak ada yang bisa memastikan apa faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial anak. Apakah lingkungan berperan aktif menjadi faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial anak. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab anak menjadi pekerja seks komersial.

Untuk mempermudah memahami kerangka pemikiran ini, maka peneliti membuat bagan alur pemikiran, sebagai berikut:


(47)

37 BAGAN ALUR PEMIKIRAN

Pekerja Seks Komersial Anak

Kota Medan

Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Pekerja Seks Komersial

Anak

Faktor Internal

1. Gangguan Kepribadian

a. Gangguan Cara Berpikir b. Gangguan Emosi

c. Gangguan Kehendak dan Perilaku

2. Pengaruh Usia

3. Pandangan atau Keyaninan yang Keliru

4. Religiusitas yang Rendah

Faktor Eksternal

1. Ekonomi

2. Gaya Hidup

3. Kegagalan Kehidupan Keluarga


(48)

38 2.5 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan di kaji. Perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian ilmiah merupakan proses dan upaya penegasan, dan penegasan makna konsep dalam suatu penelitian.

Dalam hal ini, perumusan defenisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang di teliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring pembaca dari penelitian tersebut untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh peneliti. Jadi, defenisi konsep ialah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang di anut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 136-138).

Berdasarkan pada kerangka teori, maka peneliti merumuskan konsep penelitian sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial, seperti: faktor internal dan faktor eksternal.

2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3. Pekerja seks komersial anak adalah anak baik laki-laki maupun perempuan yang mendapatkan penghasilan berupa uang atau barang dari orang dewasa yang mendapatkan kepuasan seksual dari anak tersebut.


(49)

39 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe dari penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu. Kemudian menarik ke permukaan sebagai suatu ciri atau penggambaran tentang kondisi, situasi ataupun variabel tertentu (Bungin, 2013: 48).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasar pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Peneliti membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terperinci dari pandangan informan dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswel, 2008: 15).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia sudah lama dikenal akan geliat dunia malam. Bahkan, dalam penelitian PKPA pada tahun 1999 menyebutkan, pelacuran sudah dikenal luas sejak dekade 1970-an. Memasuki tahun 2000-an, pelacuran anak secara terselubung kian marak terjadi bahkan sampai memasuki sekolah-sekolah yang melibatkan siswa-siswi yang masih anak-anak. Oleh karena itu penulis tertarik mengadakan penelitian di Kota Medan.


(50)

40 3.3 Informan Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, maka dalam penelitian ini tidak mengenal populasi dan sampel. Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditemukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian ini (Idrus, 2009: 24).

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Sugiono (2008:53-54), yang dimaksud dengan purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Informan adalah orang yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Informan penelian ini terdapat dua jenis, yaitu:

a. Informan Utama, yaitu orang yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang di teliti dalam penelitian. Informan Utama dalam penelitian ini adalah empat orang pekerja seks komersial anak.

b. Informan Tambahan, yaitu orang yang dianggap mengetahui dan memiliki berbagai informasi tambahan yang diperlukan dalam penelitian. Informan tambahan dalam penelitian ini yaitu seorang germo.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut

1. Studi Kepustakaan

Studi pustaka dalam pengumpulan data yang diperlukan, dilakukan melalui penelitian kepustakaan. Data akan diolah dari berbagai sumber kepustakaan, antara lain buku-buku ilmiah, jurnal, surat kabar, dan bahan lainnya yang erat kaitannya dengan subjek penelitian.


(51)

41 2. Studi Lapangan

Studi lapangan yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui penelitian dengan turun langsung ke lokasi penelitian untuk mencari fakta yang berkaitan dengan subjek penelitian, yakni:

a. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, direncanakan dan di catat secara sistematis, serta dapat dikontrol keandalan dan kesahihannya. Observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi karena penelitian terlibat langsung secara aktif dalam objek yang diteliti. b. Wawancara

Wawancara mendalam yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara tatap muka dengan informan yang bertujuan untuk melengkapi data dan menganalisa masalah yang ada dan diperlukan dalam penelitian ini.

3.5 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengkaji data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang terkumpul, mempelajari data, menyusun dalam satu satuan yang kemudian dikategorikan pada tahap berikutnya dan memeriksa kesahihan data serta mendefenisikannya dengan analisis sesuai dengan kemampuan daya peneliti untuk membuat kesimpulan dan saran peneliti (Moeloeng, 2007: 247).


(52)

42

Kutipan hasil wawancara dan observasi sejauh mungkin akan ditampilkan untuk mendukung analisis yang disampaikan sehingga pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.


(53)

43 BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Pengantar

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, di mulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutanya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya di ubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915. Secara historis, perkembangan kota medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. Sedang dijadikanya Medan sebagai ibukota Deli juga telah medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus ibukota Provinsi Sumatera Utara.

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah


(54)

44

daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota / negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain-lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi).

4.2 Kondisi Geografis

Sesuai dengan dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/III/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat. Melaui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota


(55)

45

Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.

Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Kabupaten Deli Serdang merupakan salah satu daerah yang kaya dengan Sumber Daya alam (SDA), Khususnya di bidang perkebunan dan kehutanan. Karenanya secara geografis kota Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya.


(56)

46

Di samping itu sebagai daerah yang pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, maka Kota Medan memiliki posisi strategis sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun kuar negeri (ekspor-impor). Posisi geografis Kota Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam 2 kutub pertumbuhan secara fisik , yaitu daerah terbangun Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.

4.3 Kondisi Demografis

Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan social ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian.

Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian


(57)

47

disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun cultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

4.4 Kondisi Ekonomi

Pembangunan ekonomi daerah dalam periode jangka panjang (mengikuti pertumbuhan PDRB), membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern yang di dominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri pengolahan dengan increasing retunrn to scale (relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) yang dinamis sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Ada kecenderungan, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi membuat semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, dan semakin cepat pula perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain mendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku, dan teknologi, relatif tetap.

Perubahan struktur ekonomi umumnya disebut transformasi struktural dan didefinisikan sebagai rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya


(58)

48

dalam komposisi permintaan agregat (produksi dan pengangguran faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal) yang diperlukan guna mendukung proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan perbandingan peranan dan kontribusi antar lapangan usaha terhadap PDRB pada kondisi harga berlaku tahun 2005-2007 menunjukkan, pada tahun 2005 sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 70,03 persen, sektor sekunder sebesar 26,91 persen dan sektor primer sebesar 3,06 persen. Lapangan usaha dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran menyumbang sebesar 26,34 persen, sub sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen dan sub sektor industri pengolahan sebesar 16,58 persen.

Kontribusi tersebut tidak mengalami perubahan berarti bila dibandingkan dengan kondisi tahun 2006. Sektor tertier memberikan sumbangan sebesar 68,70 persen, sekunder sebesar 28,37 persen dan primer sebesar 2,93 persen. Masing-masing lapangan usaha yang dominan yaitu perdagangan, hotel dan restoran sebesar 25,98 persen, sektor transportasi dan telekomunikasi sebesar 18,65 persen, industri jasa pengolahan sebesar 16,58 persen dan jasa keuangan 13,41 persen. Demikian juga pada tahun 2007, sektor tertier mendominasi perekonomian Kota Medan, yaitu sebesar 69,21 persen, disusul sektor sekunder sebesar 27,93 persen dan sektor primer sebesar 2,86 persen. Masing masing lapangan usaha yang dominan memberikan kontribusi sebesar 25,44 persen dari lapangan usaha perdagangan/hotel/restoran, lapangan usaha transportasi/telekomunikasi sebesar 19,02 persen dan lapangan usaha industri pengolahan sebesar 16,28 persen.

Pertumbuhan Ekonomi Kota Medan tahun 2009 berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 terjadi peningkatan sebesar 6,56 persen terhadap tahun 2008. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh sektor


(1)

89

kolaboratif. Selain itu juga, seorang sahabat dapat memberikan bantuan kapanpun dibutuhkan, sahabat dapat memberikan dukungan sosial, dapat memberikan suatu hubungan yang hangat, penuh kepercayaan, sehingga timbul rasa nyaman dan adanya keterbukaan untuk berbagi informasi pribadi.

Selain pengaruh teman sebaya, faktor gaya hidup juga menjadi faktor dominan yang menyebabkan anak menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan. Gaya hidup mewah sangat mudah ditemui pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri bagi anak ketika memiliki uang banyak, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari penghasilan sebagai seorang pekerja seks. Gaya hidup yang semakin elit menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan semakin jauhnya norma-norma sosial bagi anak yang menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan. Pergeseran sudut pandang mengenai nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus dimiliki.


(2)

90 6.2Saran

Sangat disadari bahwa masalah prostitusi anak ini tidak bisa di tangani oleh negara saja. Diperlukan kerja sama yang baik antara orang tua, guru (sekolah), pihak swasta dan pemerintah dalam mengurangi jumlah anak yang menjadi pekerja seks komersial di Kota Medan.

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian, beberapa saran yang dapat dipertimbangkan untuk mengurangi jumlah anak-anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersial di Kota Medan adalah sebagai berikut :

1. Orang tua berperan memberikan kasih sayang (afeksi) dan hubungan yang erat agar anak tidak terlibat dalam dunia prostitusi. Orang tua tidak hanya berperan sebagai pemberi nafkah, namun juga memberikan perhatian penuh terhadap proses tumbuh kembang anak. Kesempatan yang besar serta akses bagi seluruh anak untuk melangsungkan dan menyelesaikan pendidikan dasar menjadi salah satu upaya pencegahan yang penting.

2. Sekolah berperan membimbing anak-anak dalam penelusuran minat dan bakat agar tidak ada kesempatan memikirkan hal lain di luar konteks pengembangan diri. Sudah saatnya pendidikan konseling ditingkatkan dengan menghadirkan tenaga ahli yang profesional dalam menelusuri kepribadian anak. Sebab, biasanya anak yang menjadi pekerja seks komersial tidak mengambil peranan penuh di sekolah.perlu dilakukan pelatihan dan penyadaran agar siswa tercegah dari praktek prostitusi dengan kampanye-kampanye sederhana.


(3)

91

3. Pihak swasta dalam hal ini pemilik hotel, kafe, bar, diskotik, dan KTV agar tidak memperkenankan tamu untuk check-in bersama anak-anak. Perlu diadakan pendidikan, pelatihan, dan penyadaran kepada pengelola tempat-tempat hiburan tentang bahaya eksploitasi seksual pada anak.

4. Negara dalam hal ini pemerintah seharusnya berperan penting sejak anak dilahirkan. Pencatatan kelahiran sebagai bukti legal atas identitas dan kewarganegaraan seseorang dan mempergunakan akta kelahiran di dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi penghalang bagi upaya pemalsuan usia anak sehingga bisa memberikan perlindungan terhadap anak agar terhindar dari dunia prostitusi. Kepolosian juga harus bersikap pro-aktif untuk mengidentifikasi para pelaku dan jaringan-jaringan predator seks anak.


(4)

92

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta

Delaney, Stephanie. 2006. Melindungi Anak-anak dari Eksploitasi Seksual dan Kekerasan Seksual dalam Situasi Bencana dan Gawat Darurat. Medan: Restu Printing

Ginott, Haim G. 2005. Antara Orangtua dan Anak. Jakarta: Pustaka Tangga

Hurlock, E.B. 1990. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga

IPEC Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak. 2004. Perdagangan Anak untuk tujuan Pelacuran di Jakarta dan Jawa Barat Sebuah Kajian Cepat. Jakarta: International Labour Office

Jurnal Perempuan. 2007. Mengapa Mereka Diperdagangkan?. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Koalisi Nasional Pengapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak . 2010. Memperkuat Hukum Penanganan Eksploitasi Seksual Anak Panduan Praktis. Medan: Restu Printing

Moeloeg, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Rosdakarya

Pusat Kajian Perlindungan Anak, 2008. Waspadalah! ESKA Mengintai Anak-Anak Kita. Tanya Jawab Seputar ESKA di Sumut.Medan: Restu Printing


(5)

93

Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 2001. Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan. Yogjakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada

Rosenberg, Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: ICMC

Shalahuddin, Odi. 2004. Anak Bukanlah Pemuas Nafsu. Semarang: Yayasan Setara

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: Grasindo Monoratama

Sofyan, Ahmad. 2008. Eksploitasi Seksual Komersia Anak di Indonesia. Medan: Restu Printing

UNICEF. 2003. Perlindungan Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Harapan Prima

Warman, E. 2006. Peradilan Anak di Persimpangan Jalan dalam Perspektif Victimology. Jurnal Makalah. Volume 18 (1). Bandung

Sumber Lain:

Keputusan Presiden No.129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (RAN-HAM)

Konvensi PBB tahun 1989 tentang Hak Anak

Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak


(6)

94

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak