BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan - Studi Altitudinal Vegetasi Pohon dan Pole Serta Potensi Karbon Tersimpan di Jalur Pendakian Sigarang-Garang Hutan Gunung Sinabung, Kabupaten Karo

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

  Hutan adalah suatu wilayah luas yang ditumbuhi pepohonan, termasuk juga tumbuhan kecil lainnya seperti, lumut, semak belukar, herba dan paku-pakuan. Pohon merupakan bagian yang dominan diantara tumbuh-tumbuhan yang hidup di hutan. Sesuai letak dan kondisi suatu hutan terdapat perbedaan jenis dan komposisi pohon pada hutan tersebut. Sebagai contoh adalah hutan di daerah tropis memiliki jenis dan komposisi pohon yang berbeda dibandingkan dengan hutan pada daerah

  temperate (Rahman, 1992).

  Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang sedang berbuah, ada yang dalam perkecambahan atau berada dalam tingkatan kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh- tumbuhan tersebut. Hutan hujan tropis memiliki vegetasi yang khas daerah tropis basah dan menutupi semua permukaan daratan yang memiliki iklim panas, curah hujan cukup banyak serta tersebar secara merata (Irwan, 1992).

  Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut Food and Agriculture Organization (2006) jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia dan setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon (Forest Watch Indonesia, 2003). Selanjutnya Departemen Kehutanan (2010) menyatakan bahwa dari 104 jenis pohon di Indonesia, baru 11 jenis pohon yang sudah diketahui cadangan karbonnya. Saat ini sumber data yang komprehensif tentang cadangan karbon di berbagai tipe ekosistem hutan dan penggunaan lahan lain masih terbatas.

2.2 Zonasi Elevasi Hutan Pegunungan

  Penurunan suhu karena bertambahnya elevasi akan menimbulkan efek zonasi atau efek lingkar yang secara kasar dalam posisi tegak meniru zonasi menurut garis lintang dari khatulistiwa sampai kutub-kutub utara dan selatan. Reaksi dunia tumbuhan terhadap zona suhu ini mengakibatkan suatu pengelompokan menurut perbedaan kepekaan atau toleransi ekologi. Tampaknya banyak terjadi keselarasan antara reaksi terhadap elevasi, garis lintang yang menyebabkan bahwa penyebab mendasarnya adalah suhu (Steenis, 2006).

  Hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian > 1.000 meter di atas permukaan air laut (Arief, 1994). Menurut Damanik et al.(1992), ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera kira- kira adalah sebagai berikut: a.

  Daerah ketinggian 0 - 1.200 diatas permukaan laut, disebut dataran rendah b.

  Daerah ketinggian 1.200 - 2.100 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian bawah c.

  Daerah ketinggian 2.100 - 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian atas d.

  Daerah ketinggian diatas 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan subalpin Mintakat dasar dalam suatu deretan gunung-gunung pada umumnya mempunyai curah hujan yang lebih tinggi daripada daratan-daratan rendah di dekatnya, dan sebagai akibatnya sering ditempati oleh komunitas-komunitas yang mirip dengan komunitas-komunitas yang suka kelembaban yang terdapat di dataran-dataran rendah. Hutan basah dapat tersebar sangat luas dan sering kali sangat lebat pada lereng-lereng bagian bawah di gunung-gunung. Tipe vegetasi mintakat gunung lebih mirip dengan daerah iklim sedang, atau dengan kata lain lebih sesuai dengan hutan basah daerah iklim sedang (Polunin, 1990).

  Perbedaan ketinggian memberikan efek yang nyata terhadap kekayaan jenis, dimana setiap keanekaragaman semakin menurun setiap naiknya ketinggian 100 m, komposisi spesies juga berubah seiring dengan perubahan ketinggian tersebut, hal ini dapat dilihat dari jumlah pohon per hektar pada plot-plot yang dibuat di setiap ketinggian yang berbeda (Sheikh et al., 2009).

  Sifat tanah pegunungan berubah dengan pertambahan ketinggian tempat, umumnya menjadi lebih masam dan miskin zat hara, terutama ditempat-tempat dimana terdapat gambut asam. Tanah di puncak gunung, dibagian atas pungung- punggung gunung, dan di bukit-bukit kecil, yang hanya menerima air dari atmosfer, kering dan lebih miskin zat hara daripada tanah-tanah di dalam cekungan atau di lereng-lereng yang lebih rendah, yang menerima masukan air tanah yang tertapis dari atas. Selain itu kemiringan lereng dan keterbukaan vegetasi penutup juga merupakan factor-faktor yang penting. Suhu rendah memperlambat proses pembentukan tanah karena evapotranspirasi menurun, reaksi kimia lebih lambat dan kerapatan organisme tanah lebih rendah (Mackinnon et al., 2000).

2.3 Struktur dan Komposisi Hutan

  Studi tentang komposisi dan struktur hutan merupakan bagian dari analisis vegetasi. Data komposisi jenis dan struktur hutan tersebut berguna untuk mengetahui kondisi keseimbangan komunitas hutan menjelaskan interaksi di dalam dan antar jenis (Odum, 1971), dan memprediksi kecendrungan komposisi tegakan dimasa mendatang (Whittaker, 1974).

  Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan (Syahbudin, 1987). Struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas tajuk (Daniel et al., 1992). Sementara itu Sorianegara & Indrawan (1980) menyatakan bahwa struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter.

  Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan (Wirakusuma, 1980). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan bibit. Pada daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi (Damanik et al., 1992).

  2.4 Diagram Profil Hutan Kondisi lingkungan dimasa depan dapat diprediksi dari komposisi dan struktur biota pada saat ini. Spesies atau komunitas tertentu yang interaksinya unik dalam ekosistem dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui kualitas lingkungan, mengidentifikasi permasalahan kawasan, dan memberikan peringatan awal berbagai perubahan yang kemungkinan terjadi pada masa depan (Setyawan, 2008).

  Stratifikasi kanopi merupakan salah satu konsep tertua dalam ekologi hutan

tropis. Konsep ini telah dikembangkan sejak permulaan abad ke-19, namun masih

menjadi perdebatan (Whitmore, 1985). Beberapa peneliti menyatakan bahwa adanya strata pada kanopi hutan, namun peneliti lain tidak menemukannya. Penyebab utama kerancuan ini adalah subyektifitas, defenisi dan metode yang digunakan. Istilah stratifikasi digunakan untuk tiga hal yang saling terkait, yaitu: stratifikasi vertikal biomassa, stratifikasi vertikal kanopi dan stratifikasi vertikal spesies (Ashton dan Hall, 1992).

  Diagram profil hutan dibuat dengan meletakkan plot, biasanya dengan panjang 40-70 m dan lebar 10 m, tergantung densitas pohon. Ditentukan posisi setiap pohon, digambar arsitekturnya berdasarkan skala tertentu, diukur tinggi, diameter setinggi dada, tinggi cabang pertama, serta dilakukan pemetaan proyeksi ke tanah. Profil hutan menunjukkan situasi nyata posisi pepohonan dalam hutan secara visual dan kulaitatif. Dalam kasus tertentu, histogram kelas ketinggian atau biomassa dibuat sebagai pelengkap profil hutan (Ashton dan Hall, 1992).

  2.5 Degradasi Hutan dan Pemanasan Global

  Pemanasan global merupakan isu penting di awal abad ke 21 yang penyebab utamanya adalah peningkatan kadar CO di atmosfer sebagai akibat pembakaran

  2

  bahan bakar fosil (Yuliasmara et al., 2009). Menurut Watson et al. (2000) selama 150 tahun terakhir telah terjadi peningkatan konsentrasi CO

  2 sebesar ± 28% sehingga suhu bumi meningkat 0,5 C dibandingkan zaman pra-industri.

  Konsentrasi CO

  2 di atmosfer telah meningkat 35% semenjak era pra-

  industri, dimana 21,8% dari jumlah peningkatan tersebut disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan. Sekitar 75% deforestasi dan degradasi hutan terjadi di wilayah negara-negara berkembang dengan hutan tropis yang luas, seperti Brazil, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Gabon, Kosta Rika, Kamerun, Republik Kongo dan Republik Demokratik Kongo (IPCC, 2007). Menurut FAO (2006), 13 juta hektar hutan tropis hilang setiap tahunnya, sementara 7,3 juta hektar telah mengalami berbagai tingkat degradasi hutan per tahunnya. Emisi global dari penggunaan lahan, perubahan lahan dan kehutanan telah mencapai 1,65 Gt karbon per tahun.

  Peranan pohon-pohon dalam komunitas hutan semakin sulit dipertahankan mengingat tekanan masyarakat terhadap kelompok tumbuhan dari waktu ke waktu terus meningkat (Yusuf et al., 2005). Pembakaran hutan banyak dilakukan untuk mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian baik monokultur maupun polikultur menyebabkan hilangnya sebagian dari fungsi hutan yaitu fungsi hidrologi, penyerap CO

  2 di atmosfer,

  mempertahankan biodiversitas, dan mempertahankan produktivitas tanah (Van Noordwijk et al., 2002). Hutan alami merupakan penyimpan karbon (C) tertinggi bila dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan (SPL) pertanian, dikarenakan keragaman pohonnya yang tinggi, dengan tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah yang banyak.

  Hutan hujan tropis merupakan penyerap karbon terbesar serta memiliki kontribusi secara kuantitatif terhadap perubahan karbon global (Chave et al., 2005). Berdasarkan semua tipe penggunaan lahan, dilaporkan bahwa hutan gambut memiliki potensi yang besar dalam menyimpan carbon. Menurut Murdiyarso

  (2004), hutan gambut adalah tempat pemendaman karbon yang telah berlangsung ribuan tahun. Secara global biomassa pada lahan gambut menyimpan sekitar 329-

525 Gt C atau 15-35% dari total karbon daratan. Sekitar 86% (455 Gt) dari karbon

di lahan gambut tersebut tersimpan di daerah temperate atau beriklim sedang

(Kanada dan Rusia), sedangkan sisanya sekitar 14% (70 Gt) terdapat di daerah tropis. Jika diasumsikan bahwa kedalaman rata-rata lahan gambut di Indonesia adalah 5 m, bobot isi biomassa 114 kg/m , dengan kadar karbon 50% dan luas lahan tersebut 16 juta ha, maka stok massa karbon di lahan gambut Indonesia adalah sebesar 46 Gt. Jadi sekitar 65 % stok massa karbon di daerah tropis tersimpan di hutan gambut di Indonesia.

  Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu kontributor yang cukup besar bagi total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) karena adanya aktifitas deforestasi, degradasi dan perambahan hutan. Meningkatkan cadangan karbon dan mengurangi emisi GRK hasil aktifitas manusia merupakan cara mitigasi efektif dalam menekan perubahan iklim global (Bakhtiar et al., 2008)

2.6 Mitigasi dan Penyelamatan

  Ketika negara-negara maju berjuang mengurangi tingkat emisi mereka yang tinggi melalui berbagai teknologi baru dan pembangunan bersih, negara-negara berkembang dapat berkontribusi dalam upaya mitigasi melalui pemilihan sistem pembangunan ekonomi yang tidak lagi bergantung terhadap konversi hutan. Indonesia, sebagai pemimpin dari koalisi 18 tahun negara-negara hutan hujan (Rain Forest Countries), dan menjadi tuan rumah dari 13 Convention of the Parties (COP 13) UNFCCC di Bali pada bulan Desember 2007, telah menerima tanggung jawab untuk mempersiapkan berbagai analisa teknis substansial Reducing Emissions from

  Deforestation and forest Degradation (REDD) dalam rangka implementasi konsep

  REDD setelah periode komitmen pertama Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012 (Maulana, 2009).

  Mitigasi merupakan upaya mengurangi sumber GRK maupun menekan peningkatan GRK agar bumi tetap dalam batas tidak membahayakan kehidupan dan agar proses pembangunan tidak terhambat sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan dapat tercapai. Menekan tingkat deforestasi sehingga memperkecil bahaya degradasi hutan merupakan salah satu upaya efektif yang dapat diterapkan. Hardjana (2008) menyatakan bahwa untuk menurunkan dampak dari pemanasan global ini adalah dengan upaya mitigasi, yaitu berupa upaya untuk menstabilkan konsentrasi CO di atmosfer yang salah satunya dengan cara melakukan

  2

  penanaman jenis tanaman berkayu pada areal-areal hutan dan lahan yang terdegradasi. Untuk itu diperlukan kegiatan yang dapat mengkuantifikasi pertumbuhan tegakan dan simpanan karbon dalam hutan maupun lahan yang terdegradasi, dimana hasilnya dapat menjadi pertimbangan dalam kebijakan managemen pengelolaan hutan. Salah satu cara adalah dengan melakukan pengukuran karbon yang tersimpan pada tanaman untuk mengetahui kemampuan tanaman dalam menyerap CO

  2 dan menyimpannya ke dalam organ-organ pohon (daun, cabang, batang, dan akar).

2.7 Biomassa dan Karbon Tersimpan

  Biomassa didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Brown 1997). Biomassa vegetasi merupakan berat bahan vegetasi hidup yang terdiri dari bagian atas dan bagian bawah permukaan tanah pada suatu waktu tertentu (Yuniawati, 2011). Biomassa hutan dapat digunakan untuk menduga potensi serapan karbon yang tersimpan dalam vegetasi hutan karena 50% biomassa tersusun oleh karbon (Brown, 1997).

  Selama proses fotosintesis hutan mengabsorpsi gas CO

  2 dari atmosfer dan kemudian menyimpannya sebagai materi organik dalam bentuk biomassa tanaman.

  Banyaknya materi organik yang tersimpan dalam biomassa hutan per unit luas dan per unit waktu merupakan pokok dari produktivitas hutan. Produktivitas hutan merupakan gambaran kemampuan hutan dalam mengurangi emisi CO di atmosfer melalui aktivitas fisiologinya. Pengukuran produktivitas hutan dalam sudut pandang penelitian ini relevan dengan pengukuran biomassa hutan yang menyediakan informasi penting dalam menduga besarnya potensi penyerapan CO

  2 dan karbon yang tersimpan dalam tanaman pada umur tertentu (Hardjana, 2008).

  Pengurangan CO

  2 di udara oleh tanaman hidup tersebut dinamakan proses

  sekuentrasi (C-sequentration). Proses sekuentrasi C ini terjadi untuk kelangsungan hidup tumbuhan, dimana diperlukan sinar matahari, gas asam arang (CO ) yang

  2

  diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah. Melalui proses fotosintesis, CO

  2 diudara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat,

  selajutnya disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun diseluruh bagian tubuh tanaman. Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO di atmosfir yang diserap oleh tanaman. Sedangkan pengukuran C

  2

  yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO

  2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat

  pembakaran. Oleh karena itu untuk mengetahui peran lahan dalam mengurangi gas

  CO

  

2 di atmosfir, dapat dilakukan dengan jalan mengukur jumlah C yang tersimpan

  dalam biomassa pohon dan tumbuhan bawah, C dalam lapisan organik dan C di dalam tanah (Monde, 2009).

  Pengukuran biomassa sangat dibutuhkan untuk menduga besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam hutan dan pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia (Tresnawan, 2002). Besarnya karbon tersimpan mencapai 50% dari nilai biomassanya (Brown, 1997). Mengukur besarnya biomassa tersimpan di atas permukaan tanah dapat dilakukan dengan membuat plot-plot pada daerah yang akan diduga karbonnya (Chave et al., 2005) dengan cara mengukur diameter tegakan setinggi dada (Sujarwo & Darma, 2011), serta menghitungnya dengan menggunakan persamaan allometrik ataupun dengan cara destruktif. Menurut Tresnawan & Rosalina (2002), keunggulan menggunakan persamaan allometrik diantaranya dapat mempersingkat waktu pengambilan data di lapangan, tidak membutuhkan banyak sumber daya manusia, mengurangi biaya dan mengurangi kerusakan pohon.

  Karbon tersimpan dapat diartikan banyaknya karbon yang mampu diserap oleh tumbuhan dalam bentuk biomassa. Jumlah emisi karbon yang semakin meningkat saat ini harus diimbangi dengan jumlah penyerapannya., hal tersebut perlu dilakukan untuk mengurangi dampak dari pemanasan global dengan cara menanam pohon sebanyak-banyaknya, karena melalui proses fotosintesis pohon dapat mengubah CO

  2 menjadi O

2. Dari kenyataan tersebut maka dapat diperkirakan

  banyak pohon yang harus ditanam pada suatu kawasan untuk mengimbangi jumlah karbon yang terbebas di udara (Sujarwo, 2011).