Potensi Seed Bank Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang Pasca Letusan Tahun 2010

(1)

POTENSI SEED BANK HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG PASCA LETUSAN TAHUN

2010

TESIS

Oleh

ZULFAN ARICO 117030017/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

POTENSI SEED BANK HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG PASCA LETUSAN TAHUN

2010

TESIS

Oleh

ZULFAN ARICO 117030017/BIO

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Biologi pada Program Pascasarjana Fakultas

Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : POTENSI SEED BANK HUTAN GUNUNG

SINABUNG JALUR PENDAKIAN SIGARANG- GARANG PASCA LETUSAN TAHUN 2010

Nama Mahasiswa : ZULFAN ARICO

Nomor Induk Mahasiswa : 117030017 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

NIP. 19621214 199103 2 001 NIP. 19690919 199903 1 002 Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

NIP. 19660209 199203 1 003 NIP. 19631026 199103 1 001 Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

POTENSI SEED BANK HUTAN GUNUNG SINABUNG JALUR

PENDAKIAN SIGARANG-GARANG PASCA LETUSAN TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya di jelaskan

sumbernya dengan benar.

Medan, 31 Juli 2013

117030017 Zulfan Arico


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Zulfan Arico

NIM : 117030017

Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive

Free Right) atas Tesis saya yang berjudul:

Potensi Seed Bank Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang Pasca Letusan Tahun 2010

Beserta Perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih data, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 31 Juli 2013


(6)

Telah diuji pada Tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS Anggota : 1. Dr. T. Alief Aththorick, M.Si

2. Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc 3. Dr. Suci Rahayu M.Si


(7)

RIWAYAT HIDUP DATA PRIBADI

Nama : Zulfan Arico, S.Si

Tempat dan Tanggal Lahir : Perlanaan, 20 Januari 1988

Alamat Rumah : Jl. Alumunium I, Link. XV No. 2 Tg. Mulia

Medan

Telepon : 085211710812

e-mail : arico_zulfan@yahoo.co.id

Instansti tempat Bekerja : -

Alamat Kantor : -

Telepon : -

DATA PENDIDIKAN

SD : SDN 060863 Tamat : 2000

SMP : SMP Pertiwi Medan Tamat : 2003

SMA : SMA Dharmawangsa Medan Tamat : 2006

Strata-1 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2010


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Manfaat penelitian 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Biodiversitas 3

2.2 Hutan 3

2.3 Hutan Pegunungan 4

2.4 Pengaruh Debu Vulkanik Terhadap Kesuburan Tanah 5

2.5 Bank Biji (Seed Bank) 6

2.6 Benih Hutan dan Produksi Biji 7

2.7 Viabilitas 7

2.8 Dormansi dan Pencahayaan Dormansi 8

2.9 Kondisi Komunitas Tumbuhan 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 12

3.2 Deskripsi Area 12

3.3 Metode Penelitian 12

3.3.1 Di Lapangan 12

3.3.1 Di Dalam Rumah Kasa dan Laboratorium 13

3.3 Analisis Data 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 19

4.1 Jumlah Jenis dan Individu 19

4.2 Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh Pada Setiap Ketinggian

22 4.3 Jenis Biji yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian 29 4.4 Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh Pada Setiap

Kedalaman Tanah

32 4.5 Pengaruh Kedalaman Tanah dan Ketinggian Terhadap

Ketersedian Kecambah

35 4.6 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Keseragaman 37

4.7 Indeks Similaritas 39


(9)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesmpulan 43

5.2 Saran 44

DAFTAR PUSTAKA 45


(10)

DAFTAR TABEL Nomor

Tabel

Judul Halaman

1 Pemberian Label Kotak Berdasarkan Kelompok Perlakuan 14 2 Jumlah dan Jenis Biji yang Berkecambah pada Bak

Pengamatan

19 3 Jenis Kecambah Dengan Nilai Kepadatan Relatif (KR),

Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Pada Setiap ketinggian

22

4 sil Uji ANOVA RAL Faktorial Untuk Jumlah Jenis 27 5 nis Biji yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian 29

6 Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh 33

7 Jumlah Biji yang Berkecambah pada Bak Penelitian 35 8 Hasil Uji ANOVA RAL Faktorial untuk Jumlah Individu

yang Berkecambah

37 9 Nilai Indeks Keanekaragaman dan Keseragaman

Kecambah yang Tumbuh pada Bak-bak penelitian pada Setiap ketinggian.

38

10 Nilai Indeks Similaritas Kecambah Pada Bak-bak Penelitian di Rumah Kasa.

39 11 Hasil Analisis Tanah dan Faktor Fisik-Kimia Lingkungan 40


(11)

DAFTAR GAMBAR Nomor

Gambar

Judul Halaman

1 Sebaran Famili Untuk Setiap Kecambah Pada Setiap Ketinggian

27


(12)

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

Lampiran

Judul Halaman

1 Titik Pengambilan Sampel Tanah 50

2a Peta Lokasi Penelitian 51

2b Gambar Titik Pengambilan Sampel 52

3 Foto Penelitian 53

4 Jenis-Jenis Tumbuhan yang Berada di Hutan Gunung Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang

54


(13)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan. Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc. atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara. Ketua Program Studi Magister Biologi, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed beserta seluruh staf pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS selaku dosen Pembimbing I dan Dr. T. Alief Aththtorick, M.Si selaku dosen pembimbing II serta Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku dosen penguji I serta Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku dosen penguji II yang dengan penuh kesabaran menuntun dan membimbing penulis hingga selesainya tesis ini. Terima kasih tidak lupa pula penulis ucapkan kepada Dr. Kansih Sri Hartati, M.Si yang sudah merelakan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

Kepada Papa dan Mama terima kasih atas segala doa dan pengorbanan kalian baik berupa moril dan materil, budi baik ini tidak dapat dibalas hanya diserahkan kepada Allah SWT. Kepada Sri Jayanthi terima kasih atas segala pengorbanan dan dukungan semangat untuk menyelesaikan Tesis. Kepada teman-teman Mahya Ihsan, Rivo H.D, Aini Qomariah atas segala tenaga dan waktu yang diberikan. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Juhardi S, Marzuki S, Gilang P, Mario, Kalvin dan teman-teman yang sudah banyak membantu penulis dalam menjalankan penelitian di lapangan semoga sukses untuk kalian.

Penulis


(14)

POTENSI SEED BANK HUTAN JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG GUNUNG SINABUNG PASCA LETUSAN TAHUN 2010

ABSTRAK

Potensi seed bank hutan jalur pendakian Sigarang-garang Gunung Sinabung pasca letusan tahun 2010 telah diteliti dari bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Mei 2013. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan memperhatikan faktor topografi dan kemiringan. Penentuan lokasi pengambilan sampel tanah menggunakan metode jalur. Pada jalur pengamatan diambil cuplikan sampel tanah sesuai dengan kondisi dan ketinggian lokasi penelitian yang dibagi menjadi 8 titik berdasarkan ketinggian, kemudian masing-masing ketinggian diambil sampel tanah secara random sebanyak 5 kali ulangan dengan menggunakan kotak besi berukuran 25 x 25 cm sedalam: (i) 0-5 cm, (ii) 5-10 cm, (iii) 5-10-15 cm. Data dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Kemudian dari hasil Penelitian didapatkan 17 famili dengan jumlah 26 jenis tumbuhan yang terdiri dari 16 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis pohon. Jumlah biji yang berkecambah tertinggi terdapat pada kedalaman 0-5 cm. Indeks Nilai Penting untuk jenis kecambah pada setiap ketinggian tempat berkisar antara 2,143 % - 98,273 %. Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl sedangkan Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl. Nilai Indeks Similaritas tertinggi terdapat antara ketinggian 2300-2400 mdpl dengan 2400-2450 mdpl yaitu sebesar 75,00 %.


(15)

POTENTIAL OF SEED BANK IN FOREST SIGARANG-GARANG LINE AFTER ERUPTION OF SINABUNG MOUNTAIN IN 2010

ABSTRACT

Potential of seed bank in forest Sigarang-garang line after the eruption of Sinabung Mountain in 2010 has been studied from December 2012 to May 2013. Location research is purposive sampling with respect to topography and slope factor. Determination of soil sampling sites using the path method. At the observation point shots taken soil samples in accordance with the conditions and altitude study sites were divided into 8 points based on the height, then the height of each soil sample taken randomly repeated 5 times using a metal box measuring 25 x 25 cm depth: (i) 0-5 cm, (ii) 5-10 cm, (iii) 10-15 cm. Data were analyzed using a completely randomized design (CRD) factorial. Then results of the research obtained from 17 families with a number of 26 species of plants consisting of 16 species of plants and 10 species of ground cover. Number of germinated seeds was highest at a depth of 0-5 cm. Important Index Value for any type of seeds at altitudes ranging between 2.143% - 98.273%. Diversity index was highest at an altitude of 1700-1800 mdpl while the uniformity index is highest at an altitude of 1700-1800 mdpl. Similarity Index value is highest between altitudes of 2300-2400 mdpl at 2400-2450 mdpl that is equal to 75.00%. Keywords: Seed Bank, Sigarang-garang, Sinabung Mountain


(16)

POTENSI SEED BANK HUTAN JALUR PENDAKIAN SIGARANG-GARANG GUNUNG SINABUNG PASCA LETUSAN TAHUN 2010

ABSTRAK

Potensi seed bank hutan jalur pendakian Sigarang-garang Gunung Sinabung pasca letusan tahun 2010 telah diteliti dari bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Mei 2013. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan memperhatikan faktor topografi dan kemiringan. Penentuan lokasi pengambilan sampel tanah menggunakan metode jalur. Pada jalur pengamatan diambil cuplikan sampel tanah sesuai dengan kondisi dan ketinggian lokasi penelitian yang dibagi menjadi 8 titik berdasarkan ketinggian, kemudian masing-masing ketinggian diambil sampel tanah secara random sebanyak 5 kali ulangan dengan menggunakan kotak besi berukuran 25 x 25 cm sedalam: (i) 0-5 cm, (ii) 5-10 cm, (iii) 5-10-15 cm. Data dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial. Kemudian dari hasil Penelitian didapatkan 17 famili dengan jumlah 26 jenis tumbuhan yang terdiri dari 16 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis pohon. Jumlah biji yang berkecambah tertinggi terdapat pada kedalaman 0-5 cm. Indeks Nilai Penting untuk jenis kecambah pada setiap ketinggian tempat berkisar antara 2,143 % - 98,273 %. Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl sedangkan Indeks Keseragaman tertinggi terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl. Nilai Indeks Similaritas tertinggi terdapat antara ketinggian 2300-2400 mdpl dengan 2400-2450 mdpl yaitu sebesar 75,00 %.


(17)

POTENTIAL OF SEED BANK IN FOREST SIGARANG-GARANG LINE AFTER ERUPTION OF SINABUNG MOUNTAIN IN 2010

ABSTRACT

Potential of seed bank in forest Sigarang-garang line after the eruption of Sinabung Mountain in 2010 has been studied from December 2012 to May 2013. Location research is purposive sampling with respect to topography and slope factor. Determination of soil sampling sites using the path method. At the observation point shots taken soil samples in accordance with the conditions and altitude study sites were divided into 8 points based on the height, then the height of each soil sample taken randomly repeated 5 times using a metal box measuring 25 x 25 cm depth: (i) 0-5 cm, (ii) 5-10 cm, (iii) 10-15 cm. Data were analyzed using a completely randomized design (CRD) factorial. Then results of the research obtained from 17 families with a number of 26 species of plants consisting of 16 species of plants and 10 species of ground cover. Number of germinated seeds was highest at a depth of 0-5 cm. Important Index Value for any type of seeds at altitudes ranging between 2.143% - 98.273%. Diversity index was highest at an altitude of 1700-1800 mdpl while the uniformity index is highest at an altitude of 1700-1800 mdpl. Similarity Index value is highest between altitudes of 2300-2400 mdpl at 2400-2450 mdpl that is equal to 75.00%. Keywords: Seed Bank, Sigarang-garang, Sinabung Mountain


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gunung Sinabung meletus pada tanggal 29 Agustus 2010 setelah 400 tahun tidak aktif. Pada tanggal 3 September 2010 kembali meletus, dan 7 September 2010 terjadi letusan terbesar sejak gunung tersebut menjadi aktif. Suara letusan ini terdengar sampai jarak 8 km, debu vulkanik tersebut tersembur hingga 5.000 meter di udara mulai dari berukuran besar sampai berukuran yang lebih halus.

Letusan Gunung Sinabung berdampak hebat bagi vegetasi dan lingkungan hutan gunung Sinabung. Rusaknya vegetasi akan sangat berdampak terhadap habitat berbagai organisme sehingga biodiversitas akan menurun dan keseimbangan ekologis menjadi terganggu. Namun seiring dengan perubahan waktu, hutan dengan segala kemampuannya akan membentuk kembali suatu ekosistem yang baru yang memiliki variasi tipe komposisi jenis pohon yang ada. Hal tersebut dapat terjadi karena jenis-jenis dominan pada lapisan utama hutan klimaks tidak selalu dominan pada lapisan di bawahnya. Menurut Utomo (2006a) jenis hutan klimaks memiliki benih yang beradaptasi untuk perkecambahan di lantai hutan yang lembab. Umumnya jenis ini sangat sensitif terhadap suhu lingkungan. Sebagian besar jenis-jenis benih di hutan klimaks memiliki produksi benih yang tidak menentu. Benih dapat berkecambah karena berbagai mekanisme yang dipengaruhi faktor-faktor di dalam benih seperti ukuran biji, jenis biji dan penghambat perkecambahan serta faktor-faktor lingkungan di luar benih seperti suhu, intensitas cahaya, tutupan kanopi dan ketinggian tempat.

Penelitian mengenai bank biji sudah banyak dilakukan, antara lain pada penelitian Sawaliyah tahun 2011 ditemukan 20 jenis biji yang tumbuh pada


(19)

bak-bak penelitian di rumah kasa dan dari jenis tersebut didapatkan 9 jenis pohon dan 11 jenis tumbuhan bawah. Selain itu, pada penelitian Zuhri tahun 2011 ditemukan 37 jenis biji yang dapat berkecambah untuk jumlah individu terbanyak terdapat pada jenis paku-pakuan. Studi mengenai potensi cadangan biji di dalam tanah

(soil seed bank) dapat menjadi salah satu upaya untuk mengetahui ketersediaan

biji di dalam tanah dalam rangka regenerasi vegetasi di atasnya (Zobel et al., 2007). Informasi tentang cadangan biji di dalam tanah penting dalam studi ekologi komunitas karena dapat menggambarkan vegetasi yang ada di atasnya dan juga untuk mengetahui potensi jenis tanaman lain yang akan tumbuh di habitat tersebut (Wang et al., 2009; Zobel et al., 2007).

1.2 Permasalahan

Letusan Gunung Sinabung pada tahun 2010 telah merusak kawasan hutan Gunung Sinabung khususnya jalur Sigarang-garang. Dalam upaya regenerasi hutan perlu diketahui ketersediaan biji di dalam tanah pasca letusan tahun 2010. Sejauh ini belum pernah ada dilakukan penelitian untuk mendapatkan informasi dan data mengenai potensi seed bank pasca letusan di hutan Gunung Sinabung khususnya di jalur pendakian Sigarang-garang.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi seed bank di hutan jalur pendakian Sigarang-garang Gunung Sinabung pasca letusan tahun 2010.

1.4 Manfaat penelitian

Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang potensi bank biji dalam regenerasi hutan dan informasi awal bagi peneliti dan instansi dalam rangka pengelolaan dan pengembangannya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiversitas

Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah yang terkandung di dalamnya (Mackinnon et al., 2000). Keanekaragaman hayati baik langsung atau tidak, berperan dalam kehidupan manusia baik dalam bentuk sandang, pangan, papan, obat-obatan, wahana wisata dan pengembangan ilmu pengetahuan. Peran tak kalah penting lagi adalah dalam mengatur proses ekologi sistem penyangga kehidupan termasuk penghasil oksigen, pencegahan pencemaran udara dan air, mencegah banjir dan longsor, penunjang keseimbangan hubungan mangsa dan pemangsa dalam bentuk pengendalian hama alami (Utomo, 2006a).

Keanekaragaman hayati merupakan sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan hidup manusia. Keanekaragaman hayati juga menjadi penentu kestabilan ekosistem. Organisme, populasi, komunitas dan ekosistem merupakan sebagian dari tingkatan organisasi makhluk hidup, sehingga jenis dan sifat organisme, populasi dan komunitas akan mempengaruhi tipe dan karakteristik suatu ekosistem hutan (Indriyanto, 2005).

2.2 Hutan

Hutan adalah suatu kumpulan atau asosiasi pohon-pohon yang cukup rapat dan menutupi areal yang cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan areal luarnya. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang mendominasi jenis pepohonan dalam per


(21)

sekutuan dengan lingkungan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain (Irwanto, 2007).

Hutan berfungsi secara alami sebagai dasar kehidupan di atas permukaan bumi ini. Hutan di samping menghasilkan kayu, juga hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan non kayu berupa damar, rotan, bahan obat-obatan, dalan lainnya, sedangkan jasa lingkungan seperti menampung air, menahan banjir, mengurangi erosi dan sedimentasi, sumber keaneka ragaman hayati dan menyerap karbon sehingga mengurangi pencemaran udara, serta sebagai tempat dan sumber kehidupan satwa dan makhluk hidup lainnya (Uluk et al., 2001).

2.3 Hutan Pegunungan

Menurut Damanik et al., (1987) hutan pegunungan adalah hutan yang tumbuh di daerah ketinggian di atas 1.000 meter di atas permukaan air. Ketinggian rata-rata tempat dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera kira-kira adalah sebagai berikut:

a. Daerah ketinggian 0-1.200 diatas permukaan laut, disebut dataran rendah b. Daerah ketinggian 1.200-2.100 meter diatas permukaan laut, disebut hutan

pegunungan bagian bawah

c. Daerah ketinggian 2.100-3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan pegunungan bagian atas

d. Daerah ketinggian diatas 3.000 meter diatas permukaan laut, disebut hutan subalpin.

Hutan pegunungan memiliki zona-zona vegetasi dengan jenis, struktur dan penampilan yang berbeda. Semakin tinggi suatu tempat, iklim menjadi sejuk dan lebih lembab. Untuk setiap kenaikan ketinggian sebesar 1000 meter, suhu akan turun kira-kira 50 C, faktor lain yang mempengaruhi penyebaran dan bentuk tumbuhan di gunung adalah kelembaban, curah hujan dan pengaruh angin. Curah hujan biasanya lebih tinggi di sisi gunung yang berhadapan dengan arah tiupan


(22)

angin di lereng-lereng gunung sampai ketinggian 1500 mdpl dari pada di dataran rendah disekitarnya (Mackinnon et al., 2000).

Hutan Gunung Sinabung merupakan hutan tropis yang memiliki ketinggian 2450 mdpl. Gunung Sinabung memiliki keanekaragaman vegetasi yang tinggi. Jenis vegetasi juga berbeda pada setiap ketinggian, semakin naiknya ketinggian maka jenis vegetasi semakin berkurang. Zona bawah Gunung Sinabung memiliki vegetasi yang sangat rapat dengan banyaknya jenis pohon seperti Lithocarpus bancana, Neocinnamomum sp dan Aglaia sp. Pada zona pegunungan atas, jenis vegetasi pohon mulai jarang ditemukan. Vegetasi yang paling mendominasi pada zona pegunungan atas adalah seedling dari jenis

Vaccinium sp dan Rhododendron sp serta jenis paku-pakuan.

2.4 Pengaruh Debu Vulkanik Terhadap Kesuburan Tanah

Menurut Sudaryo & Sutjipto (2009) Allophan adalah aluminosilikat amorf yang terbentuk dari bahan organik yang dapat membentuk ikatan kompleks. Tanah yang berkembang dari abu vulkanik yang umumnya dicirikan oleh kandungan mineral liat allophan yang tinggi. Di daerah yang kering, tanah dari abu vulkanik tersebut memiliki warna tanah yang tidak sehitam dari daerah lain. Debu vulkanik yang terbentuk dari lapukan materi dari letusan gunung berapi yang subur mengandung unsur hara N, P, S, unsur mikro yang tinggi. Sifat-sifat tanah allophan adalah:

a. Profil tanahnya dalam.

b. Lapisan atas maupun permukaannya gembur serta berwarna hitam.

c. Lapisan subsoil berwarna kecoklatan dan terasa licin bila digosok diantara tangan

d. Bulk densitynya sangat rendah (< 0,85). e. Daya tahan terhadap air tinggi.

f. Perkembangan struktur tanah baik.


(23)

h. Sukar dibasahi kembali bila sudah kering serta dapat mengapung di atas permukaan air.

Sifat tanah pegunungan berubah dengan pertambahan ketinggian tempat, umumnya menjadi lebih masam dan miskin zat hara, terutama ditempat-tempat dimana terdapat gambut asam. Tanah di puncak gunung, dibagian atas pungung-punggung gunung, dan di bukit-bukit kecil, yang hanya menerima air dari atmosfer, kering dan lebih miskin zat hara daripada tanah-tanah di dalam cekungan atau di lereng-lereng yang lebih rendah, yang menerima masukan air tanah yang tertapis dari atas. Perbedaan dalam komposisi batuan dasar dan iklim merupakan faktor-faktor utama yang mempengaruhi pembentukan tanah pada ketinggian yang berbeda di atas gunung. Selain itu kemiringan lereng dan keterbukaan vegetasi penutup juga merupakan faktor-faktor yang penting. Suhu rendah memperlambat proses pembentukan tanah karena evapotranspirasi menurun, reaksi kimia lebih lambat dan kerapatan organisme tanah lebih rendah (Mackinnon et al., 2000).

2.5 Bank Biji (Seed Bank)

Bank biji didefinisikan sebagai jumlah biji viabel yang tersimpan di permukaan tanah dan di dalam tanah, kerapatan biji yang tersimpan di tanah menurun dengan bertambahnya altitude, latitude dan semakin bertambahnya usia proses suksesi serta menurunnya intensitas gangguan (Rochadi, 2004). Secara umum terbentuknya vegetasi dapat melalui dua cara yaitu melalui biji (secara generatif) atau pembiakan secara vegetatif. Beberapa jenis tumbuhan dapat berkembang melalui tunas-tunas yang tumbuh dari bulbus, dan tunas rizome dan umbi seperti kebanyakan dari famili Liliaceae, Amaryllidaceae dan Oxalidaceae. Berbeda dengan seed bank, bud bank biasanya telah ada secara vegetatif. Namun tumbuhan yang terbentuk dari biji, propagul-propagul vegetatifnya dapat tersebar melalui ruang dan waktu dan memerlukan faktor-faktor lingkungan tertentu untuk memecahkan dormansinya seperti kelembaban atau temperatur (Utomo, 2006b).


(24)

Bank Biji adalah kumpulan dari biji yang belum tumbuh dan memiliki kemampuan potensial untuk menggantikan tanaman-tanaman dewasa baik itu tanaman semusim ataupun tahunan yang dapat mati oleh penyakit, atau gangguan lainnya. Bank biji dapat ditemukan pada berbagai habitat, seperti rumput musiman, padang rumput, tanah pertanian, lahan terlantar, di dalam hutan bahkan dapat pula ditemukan di rawa (Alessio et al., 1989).

2.6 Benih Hutan dan Produksi Biji

Hutan hujan tropis dicirikan oleh curah hujan tahunan yang tinggi, variasi iklim yang kecil, lantai hutan lembab dengan variasi iklim mikro yang kecil. Pembukaan kanopi merubah secara drastis iklim mikro demikian pula dengan pola regenerasinya. Regenerasi dan tipe benihnya dapat dikelompokan kedalam jenis hutan klimaks dan jenis pionir. Jenis hutan klimaks memiliki benih yang beradaptasi untuk perkecambahan di lantai hutan lembab. Umumnya jenis ini sangat rekalsitran (sensitif terhadap pengeringan dan memiliki viabilitas yang sangat pendek) dan berkecambah sangat cepat pada kondisi pencahayaan yang rendah (Utomo, 2006b). Selain itu Faktor lingkungan utama yang dapat mempengaruhi produksi benih dimulai dengan riwayat lahan, iklim (cahaya, suhu, curah hujan dan angin), tanah (kesuburan dan kelembaban), serta faktor biologis seperti hama, penyakit dan gulma (Sukarman, 2007).

2.7 Viabilitas

Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang ditunjukan oleh fenomena pertumbuhan benih, gejala metabolisme dan kinerja kromosom (Utomo, 2006b). Benih didalam hutan sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan seperti suhu, kelembaban, intensitas cahaya yang dipengaruhi oleh tutupan tajuk dan ketinggian. Menurut Robi’in (2007) kadar air juga merupakan faktor yang paling mempengaruhi kemunduran benih. Selain itu rendah dan lambatnya perkecambahan dapat disebabkan oleh ketidakcocokan suhu perkecambahan, kadar air biji yang tidak memadai, umur fisiologis biji belum cukup, kemunduran viabilitas biji atau biji dalam keadaan dorman. Biji yang rendah viabilitasnya


(25)

apabila ditanam akan rendah juga hasilnya dan pendek periode simpannya. Sebagai upaya meningkatkan hasil perkecambahan dan mempertahankan daya simpan yang memadai perlu diteliti kepekaan bijinya terhadap suhu perkecambahan dan pengeringan biji

2.8 Dormansi dan Pencahayaan Dormansi

Dormansi didefinisikan sebagai benih yang mengalamai istirahat total dalam keadaan tumbuh optimal dan tidak menunjukan gejala tumbuh. Benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan yang secara umum dianggap telah memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Dormansi biji dalam tanah dapat rusak oleh berbagai faktor yang biasanya dipengaruhi oleh kedalaman tanah, hal ini mencakup kesesuaian suhu, ketersediaan oksigen, kebebasan dari penghambat kimia (etilen dan karbon dioksida), cahaya seperti fotoperiode, kualitas spectrum serta intensitasnya. Suplai air harus cukup dan pH serta salinitas harus pula berada pada batas-batas tertentu. Rusaknya dormansi akan mendorong proses pematangan embrio, pengaktifan enzim-enzim dalam embrio dan peningkatan permebilitas kulit biji yang menyangkut masuknya air dan gas-gas yang diperlukan bagi perkecambahan (Utomo, 2006b).

Menurut Sahupala (2007) ada beberapa tipe dormansi, yaitu: A.Dormansi Fisik

Pada tipe dormansi ini yang menyebabkan pembatas struktural terhadap perkecambahan adalah kulit biji yang keras dan kedap sehingga menjadi penghalang mekanis terhadap masuknya air atau gas pada berbagai jenis tanaman. Yang termasuk dormansi fisik adalah:

- Impermeabilitas kulit biji terhadap air

Benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini disebut benih keras contohnya seperti pada famili Leguminoceae, disini pengambilan air terhalang kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel berupa palisade yang berdinding tebal, terutama dipermukaan paling luar


(26)

dan bagian dalamnya mempunyai lapisan lilin. Di alam selain pergantian suhu tinggi dan rendah dapat menyebabkan benih retak akibat pengembangan dan pengkerutan, juga kegiatan dari bakteri dan cendawan dapat membantu memperpendek masa dormansi benih.

- Resistensi mekanis kulit biji terhadap pertumbuhan embrio

Pada tipe dormansi ini, beberapa jenis benih tetap berada dalam keadaan dorman disebabkan kulit biji yang cukup kuat untuk menghalangi pertumbuhan embrio. Jika kulit ini dihilangkan maka embrio akan tumbuh dengan segera. Tipe dormansi ini juga umumnya dijumpai pada beberapa genera tropis seperti Pterocarpus, Terminalia, Eucalyptus, dll. Pada tipe dormansi ini juga didapati tipe kulit biji yang biasa dilalui oleh air dan oksigen, tetapi perkembangan embrio terhalang oleh kekuatan mekanis dari kulit biji tersebut. Hambatan mekanis terhadap pertumbuhan embrio dapat diatasi dengan dua cara mengekstrasi benih dari pericarp atau kulit biji.

- Adanya zat penghambat

Sejumlah jenis mengandung zat-zat penghambat dalam buah atau benih yang mencegah perkecambahan. Zat penghambat yang paling sering dijumpai ditemukan dalam daging buah. Untuk itu benih tersebut harus diekstrasi dan dicuci untuk menghilangkan zat-zat penghambat.

B. Dormasi fisiologis (embrio)

Penyebabnya adalah embrio yang belum sempurna pertumbuhannya atau belum matang. Benih-benih demikian memerlukan jangka waktu tertentu agar dapat berkecambah (penyimpanan). Jangka waktu penyimpanan ini berbeda-beda dari kurun waktu beberapa hari sampai beberapa tahun tergantung jenis benih. Benih-benih ini biasanya ditempatkan pada kondisi temperatur dan kelembaban tertentu agar viabilitasnya tetap terjaga sampai embrio terbentuk sempurna dan dapat berkecambah


(27)

Menurut Sutarno (1997) menyatakan bahwa keadaan benih terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Ortodoks

Ortodoks adalah benih yang pada masak panen/ fisiologi memiliki kandungan kadar air yang relatif rendah. Biji kelompok ortodoks dicirikan oleh sifatnya yang bisa dikeringkan tanpa menglami kerusakan. Viabilitas biji ortodoks tidak mengalami penurunan yang berarti dengan penurunan kadar air hingga di bawah 20%, sehingga biji tipe ini bisa disimpan dalam kadar air yang rendah. Benih ortodok tidak mati walaupun dikeringkan sampai kadar air yang relatif sangat rendah dengan cara pengeringan cepat dan juga tidak mati kalau benih itu disimpan dalam keadaan suhu yang relatif rendah.

b.

Rekalsitran adalah benih yang sangat peka terhadap pengeringan dan akan mengalami kemunduran pada kadar air dan suhu yang rendah. Pada saat masa panen/ fisiologi memiliki kandungan air yang relatif tinggi. Biji tipe ini memiliki ciri-ciri antara lain hanya mampu hidup dalam kadar air tinggi (36-90 %). Penurunan kadar air bada biji tipe ini akan berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian, sehingga biji tipe ini tidak bisa disimpan dalam kadar air rendah. Benih yang bersifat rekalsitran, akan mati kalau kadar airnya diturunkan sebelum mencapai kering dan tidak tahan di tempat yang bersuhu rendah.

Rekalsitran

2.9 Kondisi Komunitas Tumbuhan

Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktifitas alam maupun manusia. Aktifitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktifitas manusia di dalam hutan dapat bersifat merusak, juga berifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan, yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan pohon, pencurian hasil hutan,


(28)

peladangan liar, pengembalaan liar, pembakaran hutan dan perambahan dalam kawasan hutan. (Indriyanto, 2009).

Kemampuan regenerasi alam yang ada (dalam bentuk coppice, tunas-tunas akar dan biji-biji/ benih yang berada di tanah) sangat mempengaruhi jalannya suksesi. Bila potensi regenerasi yang ada habis atau rusak, maka permudaan alam menjadi sangat penting. Dalam hal ini jarak, struktur dan keanekaragaman jenis dari hutan-hutan primer dan sekunder yang lebih tua yang letaknya berdekatan meminkan peranan yang sangat penting. Selain itu, fauna yang masih ada (sebagai media terpenting dalam penyebaran benih-benih dari jenis-jenis pohon klimaks) juga memiliki peranan yang sangat penting. Jika biji/ benih tidak dapat disebarkan melalui binatang-binatang, maka permudaan dari jenis-jenis klimaks yang memiliki biji-biji yang berat hanya dapat berlangsung disekitar pohon-pohon induk (Irwanto, 2006)

Anakan spesies pohon yang tumbuh di hutan, dapat diduga berasal dari biji-bijian atau buah-buahan. Keberadaan anakan spesies pohon dalam hutan akan mencerminkan kemampuan hutan untuk beregenerasi, sedangkan banyaknya spesies pohon akan mencerminakan potensi keanekaragaman hayati sekaligus potensi plasma nutfah dalam kawasan hutan (Indriyanto, 2005). Selanjutnya untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan pemantauan vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi komunitas tumbuhan hutan dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang diperlukan dan dianalisis untuk menginterpretasikan perubahan yang terjadi (Indriyanto, 2009).


(29)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Secara keseluruhan penelitian dilakukan selama 5 bulan yaitu dari bulan Desember 2012 sampai dengan bulan Mei 2013, di kawasan hutan Gunung Sinabung jalur pendakian Sigarang-garang dan rumah kasa di Depaertemen Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.

3.2 Deskripsi Area

Hutan Gunung Sinabung secara administratif termasuk Desa Lau Kawar, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo dengan luas areal 13.844 ha. Dari Berastagi berjarak lebih kurang 27 km atau berjarak 86 km dari kota Medan. Secara geografis, hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang terletak pada N 03010’49,3” dan E 098024’11,1”. Curah hujan di Kabupaten Karo tertinggi pada bulan Nopember sebesar 265 mm dan terendah pada bulan Pebruari sebesar 63 mm, sedangkan jumlah hari hujan tertinggi pada bulan Nopember sebanyak 22 hari dan terendah pada bulan Juni sebanyak 6 hari dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 15,8 ºC sampai dengan 23,9 ºC dengan kelembaban udara rata-rata setinggi 87,38 % (Statistik Daerah Kabupaten Karo, 2012).

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Di Lapangan

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling dengan memperhatikan faktor topografi dan kemiringan. Tempat pengambilan sampel tanah menggunakan metode jalur (Kusmana, 1995). Pada jalur pengamatan diambil cuplikan sampel tanah sesuai dengan kondisi dan ketinggian lokasi penelitian yang dibagi menjadi 8 titik berdasarkan ketinggian yaitu : (A)


(30)

1700-1800 mdpl, (B) 1700-1800-1900 mdpl, (C) 1900-2000 mdpl, (D) 2000-2100 mdpl, (E) 2100-2200 mdpl, (F) 2200-2300 mdpl, (G) 2300-2400 mdpl, dan (H) 2400-2460 mdpl. Menurut Gerold (2008) dengan meningkatnya ketinggian tempat dan penurunan tekanan udara maka akan mempengaruhi jumlah pohon. Kemudian masing-masing ketinggian diambil sampel tanah secara random sebanyak 5 kali ulangan dengan menggunakan kotak besi berukuran 25 x 25 cm sedalam: (i) 0-5 cm, (ii) 5-10 cm, (iii) 10-15 cm. Pada umumnya kepadatan biji tertinggi terdapat pada permukaan tanah dan akan menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah (Espinar et al., 2005; Forella et al., 2000). Tanah kemudian dimasukkan kedalam kantong plastik dengan menggunakan cangkul kemudian diberi label sesuai kondisi hutan dan ketinggian lokasi tempat sampel tanah diambil.

Bersamaan dengan itu dilakukan pengukuran faktor fisik yang meliputi ketinggian tempat dengan altimeter, suhu udara dengan termometer udara, suhu tanah dengan soil termometer, kelembaban udara dengan higrometer, pH tanah dengan soil pH meter dan intensitas cahaya dengan lux meter. Untuk pengukuran faktor kimia tanah yang diamati adalah kandungan hara berupa N (Nitrogen), P (Posfor), K (Kalium), C Organik, Mg (Magnesium), Al (Almunium) dan S (Sulfur). Tekstur tanah yang diamati dihomogenkan kemudian diambil cuplikan tanah sebanyak 1 kg untuk dianalisis di laboratorium Riset Fakultas Pertanian USU.

3.3.2 Di Dalam Rumah Kasa dan Laboratorium

Untuk analisis bank biji, teknik pengambilan data dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Cara langsung, yaitu dengan mengidentifikasi dan menghitung langsung biji yang ada dalam sampel tanah, untuk biji-biji berukuran besar yang mudah diidentifikasi dan sudah dikenal jenisnya.


(31)

b. Cara tidak langsung, yaitu untuk biji yang berukuran mikroskopis, karena tidak semua biji berukuran makroskopis maka dilakukan analisis seed bank secara tak langsung dengan prosedur sebagai berikut:

Sampel tanah dari hutan gunung Sinabung ditempatkan dalam bak-bak plastik berukuran 30 x 25 cm setebal 7 cm dan diberi label sesuai Tabel 1, sampel tanah kemudian disimpan di dalam rumah kasa untuk selanjutnya dilakukan uji perkecambahan (Forella et al., 2000). Selama empat bulan biji dibiarkan berkecambah. Biji yang berkecambah kemudian dicabut setiap dua minggu dan diidentifikasi nama jenis, jumlah jenis, jumlah individu serta golongan tumbuhan apakah sebagai pohon atau herba sampai semua biji yang berkecambah berhasil diidentifikasi (Zuhri, 2011). Tanah dibalik untuk memberikan peluang tumbuhnya biji yang mungkin terpendam. Kecambah kemudian diidentifikasi di herbarium Meda Universitas Sumatera Utara. Kemudian di analisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan bantuan SPSS Versi20.

Tabel 1. Pemberian Label Kotak Berdasarkan Kelompok Perlakuan

Perlakuan

Ulangan

Nomor Kotak Ketinggian mdpl Kedalaman

Tanah

(A) 1700-1800 0 – 5 cm 1 A1(5)

2 A2(5)

3 A3(5)

4 A4(5)

5 A5(5)

5 – 10 cm 1 A1(10) 2 A2(10) 3 A3(10) 4 A4(10) 5 A5(10) 10 – 15 cm 1 A1(15) 2 A2(15) 3 A3(15) 4 A4(15) 5 A5(15) (B) 1800-1900 0 – 5 cm 1 B1(5)

2 B2(5)

3 B3(5)

4 B4(5)

5 B5(5)


(32)

2 B2(10) 3 B3(10) 4 B4(10) 5 B5(10)

10 – 15 cm 1 B1(15)

2 B2(15) 3 B3(15) 4 B4(15) 5 B5(15) (C) 1900-2000 0 – 5 cm 1 C1(5)

2 C2(5)

3 C3(5)

4 C4(5)

5 C5(5)

5 – 10 cm 1 C1(10) 2 C2(10) 3 C3(10) 4 C4(10) 5 C5(10) 10 – 15 cm 1 C1(15) 2 C2(15) 3 C3(15) 4 C4(15) 5 C5(15) (D) 2000-2100 0 – 5 cm 1 D1(5)

2 D2(5)

3 D3(5)

4 D4(5)

5 D5(5)

5 – 10 cm 1 D1(10) 2 D2(10) 3 D3(10) 4 D4(10) 5 D5(10) 10 – 15 cm 1 D1(15) 2 D2(15) 3 D3(15) 4 D4(15) 5 D5(15) (E) 2100-2200 0 – 5 cm 1 E1(5)

2 E2(5)

3 E3(5)

4 E4(5)

5 E5(5)

5 – 10 cm 1 E1(10) 2 E2(10) 3 E3(10) 4 E4(10) 5 E5(10) 10 – 15 cm 1 E1(15) 2 E2(15) 3 E3(15) 4 E4(15) 5 E5(15) (F) 2200-2300 0 – 5 cm 1 F1(5)


(33)

2 F2(5)

3 F3(5)

4 F4(5)

5 F595)

5 – 10 cm 1 F1(10) 2 F2(10) 3 F3(10) 4 F4(10) 5 F5(10) 10 – 15 cm 1 F1(15) 2 F2(15) 3 F3(15) 4 F4(15) 5 F5(15) (G) 2300-2400 0 – 5 cm 1 G1(5)

2 G2(5)

3 G3(5)

4 G4(5)

5 G5(10) 5 – 10 cm 1 G1(10) 2 G2(10) 3 G3(10) 4 G4(10) 5 G5(10) 10 – 15 cm 1 G1(15) 2 G2(15) 3 G3(15) 4 G4(15) 5 G5(15) (H) 2400-2450 0 – 5 cm 1 H1(5)

2 H2(5)

3 H3(5)

4 H4(5)

5 H5(5)

5 – 10 cm 1 H1(10) 2 H2(10) 3 H3(10) 4 H4(10) 5 H5(10) 10 – 15 cm 1 H1(15) 2 H2(15) 3 H3(15) 4 H4(15) 5 H5(15)

3.3 Analisis Data

Jenis dan jumlah biji viabel yang terdapat dalam seed bank tanah diestimasi melalui identifikasi kecambah yang muncul pada bak-bak pengamatan di rumah kasa. Jumlah biji yang tumbuh selanjutnya diasumsikan mewakili jumlah biji viabel yang ada dalam tanah (Utomo, 2006a).


(34)

Biji dan kecambah yang telah teridentifikasi selanjutnya dianalisis untuk menentukan:

a. Jumlah jenis, diamati dengan menghitung jumlah jenis kecambah yang tumbuh pada bak-bak penelitian, selama 3 bulan.

b. Jumlah individu, dari setiap jenis diamati dengan menghitung jumlah individu yang tumbuh pada bak-bak penelitian selama 3 bulan.

c. Golongan tumbuhan, sebagai tumbuhan bawah atau pohon.

d. Kerapatan, jumlah rata-rata biji yang tumbuh pada bak pengamatan. Jumlah individu suatu jenis Kerapatan Mutlak (KM) =

Luas plot contoh/ plot pengamatan Kerapatan mutlak suatu jenis

Kerapatan Relatif (KR) = x 100 %

Jumlah total kerapatan seluruh jenis e. Frekuensi

Jumlah plot yang ditempati suatu jenis Frekuensi Mutlak (FM) =

Jumlah seluruh plot pengamatan Frekuensi suatu jenis

Frekuensi Relatif (KR) = x 100 %

Frekuensi total seluruh jenis f. Indeks Nilai Penting

INP = KR + FR (Kusmana, 1996)

g. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) s

H’ = -

pi ln pi I=1

Dengan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

Pi = ni/N (perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan seluruh jenis)


(35)

Ln = Logaritma natural (Suin, 2002)

Menurut Mason (1980) jika nilai indeks keanekaragaman, H’ < 1 : keanekaragaman jenis rendah

1<H’<3 : kenakeragaman jenis sedang H’>3 : Keanekaragaman jenis tinggi.

h. Indeks Keseragaman

H’

E =

H

max

Keterangan : E = Indeks keseragaman ; H’= indeks keragaman H maks = Indeks keragaman maksimum, sebesar Ln S

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (HI) S = Jumlah Genus/ jenis (Suin, 2002).

i. Indeks Similaritas 2C

IS= X 100 % A + B

Keterangan: IS = Indeks Similaritas

A = Jumlah jenis yang terdapat pada lokasi A B = Jumlah jenis yang terdapat pada lokasi B

C = Jumlah jenis yang terdapat pada kedua lokasi yang dibandingkan (Ceska, 1966)

Menurut Suin (2002) pengelompokan nilai indeks similaritas adalah sebagai berikut:

Kesamaan ≤ 25 % : Sangat tidak mirip Kesamaan 25–50 % : Tidak mirip Kesamaan 50-75 % : Mirip


(36)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Jumlah Jenis dan Individu

Dari hasil penelitian di rumah kasa selama 4 bulan didapatkan jenis biji yang tumbuh pada bak-bak penelitian seperti Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Jumlah dan Jenis Biji yang Berkecambah pada Bak Pengamatan

NO Famili Jenis Golongan

Jumlah

PH TB

1 Achantaceae Asystasia intrusa √ 115 Strobilanthes paniculata √ 18 2 Amaranthaceae Amaranthus sp √ 37

3 Araceae Scheflera sp √ 3

Scindapsus sp √ 1

4 Araliaceae Aralia sp* √ 5

5 Asteraceae Ageratum sp √ 26

Mikania micrantha √ 64

Wedelia sp √ 3

6 Caesalpiniaceae Cassia sp √ 1

7 Cyperaceae Cyperus sp √ 31

8 Euphorbiaceae Homalanthus sp √ 2

Macaranga tanaria √ 8

9 Ericaceae Vaccinium ovatum √ 2

Vaccinium sp √ 37

10 Celastraceae Perottetia alpestris √ 4 11 Melastomaceae Melastoma malabathricum* √ 735 12 Melastomataceae Mediniela sp √ 3 13 Menispermaceae Cocculus hirsutus √ 3

14 Piperaceae Peperomia sp √ 2

15 Poaceae Axonophus sp √ 6

16 Urticaceae Boehmeria sp √ 3

Urtica Urens √ 1

17 Verbenaceae Clerodendrum sp √ 5 Stachytarpheta mutabilis √ 1

Vitex coriacea √ 44

JUMLAH 10 16 1160

Ket: PH= Pohon, TB= Tumbuhan Bawah, * = Ditemukan untuk vegetasi di atasnya

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa jenis tumbuhan bawah sangat mendominasi. Dari 26 jenis terdapat 16 jenis tumbuhan bawah dan 10 jenis pohon dengan jumlah invidu secara keseluruhan adalah 1160 individu. Keanekaragaman


(37)

tumbuhan bawah sangat dipengaruhi oleh sinar matahari yang masuk ke lantai hutan. Hutan dengan tutupan tajuk yang tidak rapat biasanya memberikan peluang masuknya sinar matahari lebih banyak yang memungkinkan tumbuhan bawah untuk dapat menerima sinar matahari. Hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-Garang merupakan hutan dengan tutupan tajuk yang tidak rapat atau jarang, hal ini terjadi akibat letusan gunung Sinabung yang terjadi pada tahun 2010 mengakibatkan rusaknya sebagian besar pohon akibat erupsi abu vulkanik yang menjadikan sinar matahari lebih banyak masuk ke lantai hutan.

Hasil pengamatan pada penelitian di rumah kasa menunjukkan untuk jumlah kecambah tertinggi terdapat pada jenis Melastoma malabathricum yang masuk kedalam golongan tumbuhan bawah dengan jumlah 735 jenis dan untuk jumlah kecambah terendah terdapat pada jenis Scindapsus sp, Urtica Urens dan

Stachytarpheta mutabilis masuk kedalam golongan tumbuhan bawah, serta Cassia

sp yang masuk kedalam golongan pohon dengan jumlah masing-masing 1 jenis.

Melastoma malabathricum memiliki sifat khusus karena banyak tumbuh di

tempat-tempat yang terbuka yang memiliki struktur tanah lebih keras dan sedikit ternaungi oleh tumbuhan di atasnya. Ini berbanding terbalik untuk jenis

Scindapsus sp, urtica urens dan Stachytarpheta mutabilis merupakan tanaman

yang dapat tumbuh baik di bawah naungan. Menurut Polunin (1994) di bagian-bagian hutan dengan lapisan pohon yang tidak begitu lebat, sehingga cukup cahaya matahari yang dapat menembus ke dasar hutan. Oleh karena itu di hutan tropik basah umumnya vegetasi tanah yang tumbuh subur terutama ditemukan di hutan terbuka dan dekat aliran-aliran air.

Menurut Hutasuhut (2011) jika penetrasi cahaya tidak cukup maka tumbuhan bawah tidak dapat berkembang dengan baik, sehingga tumbuhan ini lebih subur di tempat hutan terbuka atau di tempat lain yang tanahnya lebih banyak mendapat cahaya. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Sawaliyah (2011) yang menunjukan bahwa tumbuhan bawah lebih mendominasi dengan 11 jenis dan pohon dengan 9 jenis. Selain itu menurut (Utomo, 2006b) tumbuhan


(38)

bawah juga mempunyai karakter khusus yang menyebabkan mampu mendominasi tempat tumbuhnya seperti pertumbuhannya yang cepat, cepat mengalamai fase dewasa sehingga cepat menghasilkan biji, memiliki biji yang lebih ringan sehingga mudah terbawa angin dan air serta mampu menggunakan penyerbukan lokal sehingga dapat memproduksi biji lebih cepat.

Dari Tabel 2 menunjukkan dari 26 jenis biji yang berkecambah di rumah kasa hanya biji dari jenis Aralia sp dan Melastoma malabathricum yang kehadirannya juga ditemukan dalam bentuk vegetasi yang tumbuh di atasnya dalam lokasi penelitian dengan jumlah 61 jenis (Lampiran 4). Salah satu faktor yang menghambat perkembangan biji menjadi suatu vegetasi di atasnya adalah predator atau pemangsa biji-bijian. Seperti dikatakan Viera & Aldicir (2006) di dalam hutan tropis banyak biji yang dimangsa oleh predator seperti tikus setelah biji tersebut tersebar di dalam hutan. Pada umumnya biji yang dimangsa adalah biji yang berukuran 0,2 – 4 gram karena biji tersebut berukuran cukup besar untuk dapat dilihat oleh pemangsa dari pada biji yang berukuran kecil seperti jenis

Aralia sp dan Melastoma malabathricum yang memiliki ukuran biji <0,2 gram.

Menurut Elliot et al., (2006) jenis tumbuhan dengan biji yang berukuran kecil seperti Melastoma malabathricum, Eurya acuminata, Aralia sp, Debregeasia

longifolia dan Saurauia roxburghii memiliki jumlah lebih banyak tersebar karena

memiliki tingkat pemangsaan yang rendah.

Tingginya jenis herba atau tumbuhan bawah juga mempengaruhi regenerasi jenis pohon di sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan jumlah herba pada lokasi penelitian lebih mendominasi dari pada jenis pohon (Tabel 2). Menurut Elliot et al., (2006) herba yang sangat membutuhkan cahaya dapat secara cepat mengeksploitasi tanah dan membentuk kanopi yang rapat dan menyerap hampir semua cahaya yang tersedia untuk fotosintesis. Diantara jenis herba, anakan pohon yang kecil akan mengalami kekurangan cahaya, kelembaban dan nutrisi. Akibatnya, anakan pohon tidak dapat menjadi pohon dewasa dan akan


(39)

mati karena mereka tidak dapat energi dan karbon untuk memproduksi bahan kayu serta lignin untuk mendukung ukuran mereka agar menjadi pohon dewasa.

4.2 Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh Pada Setiap Ketinggian

Indeks nilai penting menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta memperlihatkan peranannya dalam komunitas, dimana nilai penting itu didapat dari hasil penjumlahan Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR). Dari hasil penelitian didapatkan nilai KR, FR dan INP seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Kecambah Dengan Nilai Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Pada Setiap ketinggian

NO

Ketinggian 1700 – 1800 mdpl

Jenis Famili

Jumlah KR

(%)

FR (%)

INP (%)

1 Ageratum sp** Asteraceae 21 11,602 7,937 19,539 2 Amaranthus sp** Amaranthaceae 34 18,785 9,524 28,308 3 Aralia sp* Araliaceae 4 2,210 3,175 5,385 4 Asystasia intrusa** Achantaceae 7 3,867 6,349 10,217 5 Axonophus sp** Poaceae 6 3,315 3,175 6,490 6 Boehmeria sp** Urticaceae 3 1,657 1,587 3,245 7 Clerodendrum sp* Verbenaceae 5 2,762 3,175 5,937 8 Cassia sp* Caesalpiniaceae 1 0,552 1,587 2,140 9 Perottetia alpestris** Celastraceae 4 2,210 1,587 3,797 10 Homalanthus sp* Euphorbiaceae 2 1,105 3,175 4,280 11 Macaranga tanaria* Euphorbiaceae 6 3,315 6,349 9,664 12 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 15 8,287 12,698 20,986 13 Mikania micrantha** Asteraceae 5 2,762 6,349 9,112 14 Scindapsus sp** Araceae 1 0,552 1,587 2,140 15 Stachytarpheta mutabilis ** Verbenaceae 1 0,552 1,587 2,140 16 Strobilanthes paniculata** Achantaceae 17 9,392 3,175 12,567 17 Urtica Urens ** Urticaceae 1 0,552 1,587 2,140 18 Vaccinium ovatum* Ericaceae 1 0,552 1,587 2,140 19 Vaccinium sp* Ericaeeae 6 3,315 6,349 9,664 20 Vitex coriacea* Verbenaceae 38 20,994 15,873 36,867 21 Wedelia sp** Asteraceae 3 1,657 1,587 3,245

TOTAL 181 100 100 200

Ketinggian 1800 – 1900 mdpl

1 Ageratum sp** Asteraceae 5 4,348 4,348 8,696 2 Amaranthus sp** Amaranthaceae 3 2,609 6,522 9,130 3 Aralia sp* Araliaceae 1 0,870 2,174 3,043 4 Asystasia intrusa** Achantaceae 22 19,130 23,913 43,043 5 Cocculus hirsutus** Menispermaceae 3 2,609 6,522 9,130 6 Cyperus sp** Cyperaceae 2 1,739 4,348 6,087 7 Macaranga tanaria* Euphorbiaceae 1 0,870 2,174 3,043 8 Mediniela sp** Melastomataceae 1 0,870 2,174 3,043 9 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 63 54,783 28,261 83,043 10 Mikania micrantha** Asteraceae 7 6,087 10,870 16,957 11 Vaccinium ovatum* Ericaceae 1 0,870 2,174 3,043 12 Vaccinium sp* Ericaceae 3 2,609 4,348 6,957


(40)

13 Vitex coriacea* Verbenaceae 3 2,609 2,174 4,783

TOTAL 115 100 100 200

Ketinggian 1900 – 2000 mdpl

1 Asystasia intrusa** Asteraceae 18 10,056 24,324 34,380 2 Cyperus sp** Cyperaceae 4 2,235 5,405 7,640 3 Mediniela sp** Melastomataceae 2 1,117 5,405 6,523 4 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 130 52,626 32,432 85,058 5 Mikania micrantha** Asteraceae 4 2,235 8,108 10,343 6 Scheflera sp* Araliaceae 1 0,559 2,703 3,261 7 Vaccinium sp* Ericaceae 19 10,615 18,919 29,533 8 Vitex coriacea* Verbenaceae 1 0,559 2,703 3,261

TOTAL 179 100 100 200

Ketinggian 2000 – 2100 mdpl

1 Asystasia intrusa** Achantaceae 13 7,065 21,622 28,687 2 Cyperus sp** Cyperaceae 7 3,804 10,811 14,615 3 Macaranga tanaria* Euphorbiaceae 1 0,543 2,703 3,246 4 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 148 60,435 37,838 98,273 5 Mikania micrantha** Asteraceae 7 3,804 16,216 20,021 6 Peperomia sp** Piperaceae 2 1,087 2,703 3,790 7 Vaccinium sp* Ericaceae 6 3,261 8,108 11,369

TOTAL 184 100 100 200

Ketinggian 2100 – 2200 mdpl

1 Asystasia intrusa** Achantaceae 18 10,056 37,931 47,987 2 Cyperus sp** Cyperaceae 5 2,793 3,448 6,242 3 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 152 44,916 48,276 93,192 4 Mikania micrantha** Asteraceae 4 2,235 10,345 12,579

TOTAL 179 100 100 200

Ketinggian 2200 – 2300 mdpl

1 Asystasia intrusa** Achantaceae 16 7,921 25,641 33,562 2 Cyperus sp** Cyperaceae 12 5,941 5,128 11,069 3 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 133 55,842 35,897 91,739 4 Mikania micrantha** Asteraceae 37 18,317 25,641 43,958 5 Scheflera sp* Araliaceae 2 0,990 2,564 3,554 6 Strobilanthes panniculata** Amaranthaceae 1 0,495 2,564 3,059 7 Vitex coriacea* Verbenaceae 1 0,495 2,564 3,059

TOTAL 202 100 100 200

Ketinggian 2300 – 2400 mdpl

1 Asystasia intrusa** Achantaceae 13 24,074 33,333 57,407 2 Cyperus sp** Cyperaceae 1 1,852 4,762 6,614 3 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 37 58,519 47,619 96,138 4 Vaccinium sp* Ericaceae 2 3,704 9,524 13,228 5 Vitex coriacea* Verbenaceae 1 1,852 4,762 6,614

TOTAL 54 100 100 200

Ketinggian 2400 – 2450 mdpl

1 Asystasia intrusa** Achantaceae 8 12,121 35,294 47,415 2 Melastoma malabathricum** Melastomaceae 57 46,364 48,824 95,187 3 Vaccinium sp* Ericaceae 1 1,515 5,882 7,398

TOTAL 66 100 100 200

Keterangan: * Pohon ** Tumbuhan Bawah

Nilai INP tertinggi pada ketinggian 1700-1800 mdpl terdapat pada jenis

Vitex coriacea dengan nilai 20,994 % dan untuk jenis terendah terdapat pada jenis


(41)

ovatum dengan nilai INP masing-masing 0,552 %. Dari Tabel 3 Vitex coriacea memiliki jumlah terbanyak pada ketinggian 1700-1800 mdpl dengan jumlah 38 individu dan menyebar secara merata pada setiap ketinggian. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang berada di atasnya (Lampiran 5), jenis-jenis Vitex coriacea tidak ditemukan pada seluruh ketinggian, bahkan biji pada jenis Vitex coriacea juga tidak ditemukan di permukaan tanah pada lokasi penelitian. Akan tetapi, dalam penelitian Ihsan (2010) jenis Vitex coriacea ini ditemukan pada hutan Gunung Sinabung jalur Lau Kawar, hal ini mungkin terjadi karena biji dari jenis Vitex

coriacea yang ditemukan berasal dari daerah lain yang dipancarkan oleh hewan

atau angin kemudian menyebar secara merata pada setiap ketinggian di Gunung Sinabung untuk jalur Sigarang-garang.

Biji Vitex coriacea merupakan tanaman hutan yang berbuah sepanjang tahun dengan jumlah biji 10.500 biji/kg dan memiliki berat biji yang sangat ringan 0,2-0,3 gram (Benih Tanaman Hutan Indonesia, 2010). Menurut Willson & Anna (2000) biji yang ditemukan jauh dari pohon asalnya adalah biji yang disebarkan oleh angin dan hewan seperti burung dan kalelawar. Sebuah studi yang dilakukan Whittaker dan Jones (1994) menunjukkan 30% flora di Gunung Krakatau memiliki penyebaran yang sangat luas bahkan meliputi seluruh area pegunungan yang disebabkan oleh angin. Selanjutnya Elliott et al., (2006) menambahkan sebagian besar anak pohon yang tumbuh pada daerah yang awalnya tidak berhutan, dapat dipastikan bahwa jenis tersebut berkecambah dari biji yang tertiup angin ke lokasi tersebut atau dibawa oleh burung, kelelawar atau jenis hewan lainnya.

Selanjutnya Willson & Anna (2000) menambahkan ada beberapa perbedaan penyebaran biji oleh hewan yang mempengaruhi laju perkecambahan yaitu berdasarkan ukuran dan jenis biji. Penyebaran biji berdaging akan sangat berbeda dengan penyebaran biji yang tidak berdaging dan relatif lebih ringan. Penyebaran buah berdaging akan sangat disukai oleh jenis burung, sehingga penyebarannya relatif lebih jauh. Untuk biji yang berukuran sangat ringan akan


(42)

mudah dibawa oleh angin yang menyebar jauh dari sumber biji. Akan tetapi pola penyebaran ini berbeda dengan biji-biji yang dibawa oleh tikus, tupai dan hewan pengerat lainnya yang pola penyebarannya tidak akan jauh dari sumber biji.

Faktor lain yang menyebabkan tingginya jumlah jenis Vitex coriacea ini adalah faktor lingkungan seperti Jumlah sinar matahari, jumlah air, keadaan tanah dan keadaan jenis tanah sangat mempengaruhi suatu jenis tanaman untuk mampu bertahan pada suatu habitat. Hal ini sesuai dengan Resosoedarmo et al., (1989) karakteristik dari hutan hujan tropis adalah mempunyai keanekaragaman jenis yang tinggi dan hanya jenis-jenis tertentu saja yang dapat toleran dan mampu hidup pada habitat yang sangat ekstrim (tempat terbuka, cahaya matahari penuh, temperatur tinggi, dampak air hujan tinggi, tekstur tanah padat dan keras, dan hara makanan masih terikat pada batu-batuan). Bagi vegetasi yang memang membutuhkan kondisi lingkungan yang demikian untuk pertumbuhannya akan tumbuh dengan baik dan bagi jenis yang tidak toleran tidak akan ditemui.

Pada ketinggian 1800-1900 mdpl sampai dengan ketinggian 2400-2450 mdpl INP tertinggi ditemukan pada jenis Melastoma malabathricum dengan rata-rata nilai INP berkisar antara 83,043%-98,273%. Jenis Melastoma malabathricum memiliki jumlah individu yang besar pada setiap ketinggian. Hal ini juga didukung oleh Lampiran 4, jenis Melastoma malabathricum merupakan jenis yang memiliki jumlah terbanyak dan tumbuh pada setiap ketinggian. Biji

Melastoma malabathricum berukuran sangat kecil dan keras berwarna coklat

muda dan berkembang biak dengan biji serta dapat tumbuh hingga ketinggian 2500 mdpl di tempat terbuka (Nasution, 1986). Hal inilah yang menyebabkan penyebaran biji Melastoma malabathricum sangat mudah di hutan Gunung Sinabung. Di hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang merupakan jalur erupsi letusan pada tahun 2010 yang mengakibatkan hilangnya sebagian vegetasi tumbuhan khususnya pohon yang mengakibatkan hilangnya tutupan tajuk hutan tersebut, terbukanya hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang memungkinkan jenis Melastoma malabathricum tumbuh baik dan menyebar


(43)

secara merata. Melastoma malabathricum merupakan tumbuhan bawah yang banyak tumbuh pada hutan terbuka yang memiliki struktur tanah keras dan berbatu. Menurut Rifai (1993) untuk tempat-tempat yang tidak ternaungi biasanya akan banyak tumbuh jenis-jenis Melastomaceae dan Poaceae.

Melastoma malabathricum mempunyai sifat khusus yaitu dapat tumbuh

baik pada kisaran pH yang rendah dan cekaman Al. Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang memiliki pH berkisar 4,2 – 5,4 dan kadar Al sebesar 22,5 – 45,0 m.e/100 (Tabel 11). Faktor inilah yang menyebabkan jenis Melastoma

malabathricum dapat tumbuh baik di daerah tersebut. Berdasarkan analisis tanah

di laboratorium, kandungan alumunium pada tanah di ketinggian 2400-2450 mdpl sangat tinggi yaitu sebesar 40,00 m.e/100. Faktor inilah yang menyebabkan tumbuhan Melastoma malabathricum dapat tumbuh karena jenis Melastoma

malabathricum dapat tumbuh baik pada pH rendah dan cekaman Al. Menurut

Muhaemin (2008) Melastoma malabathricum dapat tumbuh pada pH yang rendah, bahkan Tanaman ini tahan terhadap cekaman Al dan mampu mengakumulasi Al mencapai 14.4 g.kg-1 berat kering daunnya tanpa mengakibatkan kematian. Kemampuan tumbuh pada pH rendah dan aluminium yang tinggi, memungkinkan Melastoma dapat dijadikan indikator lahan kritis, khususnya yang mempunyai pH rendah. Kemampuan Melastoma menyerap alumunium dapat dijadikan landasan pemanfaatan tumbuhan ini sebagai alat fitoremediasi.

Pada Gambar 1 terlihat sebaran famili berdasarkan ketinggian tempat di Gunung Sinabung Jalur Sigarang-garang. Semakin naiknya ketinggian, maka semakin menurun jumlah famili yang ditemukan, hanya jenis-jenis dari famili tertentu saja yang ada pada setiap ketinggian yaitu famili dari Melastomaceae. Jenis Melastomaceae adalah famili yang memiliki jenis yang dapat tumbuh di hutan terbuka dan dapat bertahan pada pH rendah serta tahan terhadap cekaman Al. Hutan Gunung Sinabung jalur Sigarang-garang merupakan jenis hutan terbuka


(44)

yang diakibatkan oleh letusan gunung tersebut pada tahun 2010. Letusan tersebut juga mengakibatkan naiknya pH dan kadar Al yang dibawa oleh abu vulkanik.

Gambar 1. Sebaran Famili Untuk Setiap Kecambah Pada Setiap Ketinggian

Pada hasil uji ANOVA RAL Faktorial antara jumlah jenis dan ketinggian tempat menunjukan bahwa jumlah jenis kecambah tidak dipengaruhi oleh kedalaman tanah, melainkan dipengaruhi oleh ketinggian tempat (Tabel 4)

Tabel 4. Hasil Uji ANOVA RAL Faktorial Untuk Jumlah Jenis

Source Type III Sum

of Squares

df Mean

Square

F Sig.

Corrected Model 114,367a 23 4,972 4,931 ,000

Intercept 700,833 1 700,833 695,041 ,000

Faktor_A 95,833 7 13,690 13,577 ,000

Faktor_B 2,067 2 1,033 1,025 ,363

Achantaceae Amaranthaceae Araceae Araliaceae Asteraceae Caesalpiniaceae Euphorbiaceae Ericaeeae

Achantaceae Araliaceae Asteraceae Amaranthaceae

Cyperaceae Euphorbiaceae Ericaceae M l

1700-1800 mdpl

Asteraceae Araliaceae Cyperaceae Ericaceae Melastomaceae Melastomataceae Verbenaceae

1800-1900 mdpl

Achantaceae Asteraceae Cyperaceae Euphorbiaceae

i l i 2000-2100 mdpl

2100-2200

Achantaceae Asteraceae Cyperaceae

2200-2300 mdpl

Achantaceae Amaranthaceae Araliaceae Asteraceae Cyperaceae Melastomaceae Verbenaceae

2300-2400 mdpl

Achantaceae Cyperaceae Ericaceae Melastomaceae Verbenaceae

2400-2450 mdpl


(45)

Faktor_A * Faktor_B 16,467 14 1,176 1,166 ,313

Error 96,800 96 1,008

Total 912,000 120

Corrected Total 211,167 119

Keterangan:

R Squared = ,542 (Adjusted R Squared = ,432) A = Ketinggian Tempat

B = Kedalaman Tanah

Tabel 4 menunjukkan signifikansi ketinggian tempat terhadap jumlah jenis menunjukkan angka 0,000 pada taraf 5% yang berarti berbeda nyata (Sig < 0,05 %). Sedangkan pada kedalaman tanah angka signifikansi menunjukan 0,363 pada taraf 5% yang berarti tidak berbeda nyata (Sig > 0,05). Angka tersebut menunujukan bahwa jumlah jenis kecambah sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat, karena masing-masing jenis tanaman memiliki karakteristik tempat tumbuh yang berbeda. Distribusi jenis-jenis tumbuhan sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan perubahan jenis tanah. Perubahan penting pada tanah diakibatkan karena dengan meningkatnya ketinggian maka akan terjadi penurunan pH, peningkatan karbon organik dan penurunan kedalaman perakaran.

Dalam hubunganya dengan faktor fisik kimia lingkungan, pH semakin menurun dengan naiknya ketinggian tempat. Pada hutan Gunung sinabung jalur Sigarang-garang pH di ketinggian 1700-1800 mdpl tercatat 5,4 sedangkan pH di ketinggian 2400-2450 mdpl terjadi penurunan sebesar 4,2. Selain itu, kandungan C-organik menunjukan jumlah yang besar yaitu 1`3,07 % dengan N-total 0,45 %. Kandungan C-organik dan N-total pada ketinggian 2400-2450 mdpl merupakan jumlah terbesar dibandingkan dengan di ketinggian lainya (Tabel 11). Menurut Yasin et al., (2010) bahwa faktor yang mempengaruhi tersedianya P yang terpenting adalah pH tanah, dimana P paling mudah diserap oleh tanaman pada pH netral (pH 6-7). Dalam tanah masam banyak unsur P yang telah berada dalam tanah yang terikat oleh Fe dan Al sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Disamping itu tingginya kandungan P pada topografi puncak juga disebabkan oleh sumbangan asam-asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi bahan organik. Asam-asam organik tersebut akan mengikat Al dengan membentuk senyawa komplek dengan Al sehingga P yang terikat oleh Al akan terlepas dan


(46)

menjadi tersedia. Semakin besar kandungan bahan organik di dalam tanah maka akan semakin besar pula kandungan P- tersedia di dalam tanah.

4.3 Jenis Biji yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian

Pada lokasi penelitian di hutan Gunung Sinabung jalur pendakian sigarang-garang, ditemukan 7 jenis biji yang tersebar di lantai hutan (Tabel 5). Tabel 5. Jenis Biji yang Ditemukan Pada Lokasi Penelitian

Jenis Biji Famili Jumlah Biji

1700-1800 mdpl

Aglaia sp Meliaceae 19

Castanopsis sp Fagaceae 34

Eugenia sp Myrtaceae 15

Ficus sp Moraceae 31

Lithocarpusschlechteri Fagaceae 29 Villebrunearubescens Urticaceae 32

1800-1900 mdpl

Aglaia sp Meliaceae 19

Eugenia sp Myrtaceae 15

Lithocarpusschlechteri Fagaceae 15

1900-2000 mdpl

Eugenia sp Myrtaceae 18

2000-2100 mdpl

Vaccinium sp Ericaceae 19

2100-2200 mdpl

Vaccinium sp Ericaceae 25

2200-2300 mdpl

Vaccinium sp Ericaceae 19

2300-2400 mdpl

Vaccinium sp Ericaceae 17

2400-2450 mdpl

- - -

Dari Tabel 5 didapatkan 7 jenis biji yang ditemukan pada lokasi penelitian, dan dari jenis biji tersebut ditemukan juga jenis yang sama untuk vegetasi yang tumbuh di atasnya, kecuali untuk biji jenis Eugenia sp yang dijumpai pada ketinggian 1900-2000 mdpl sementara jenis vegetasi yang tumbuh di atasnya hanya ditemukan pada ketinggian 1700-1800 mdpl (Lampiran 4). Hal tersebut dikarenakan biji yang ditemukan jauh dari sumber biji tersebut dipancarkan oleh hewan seperti burung dan kalelawar. Menurut Elliot et al., (2006) karena kemampuannya untuk terbang, burung dan kelelawar dapat juga menjadi pemencar biji dalam jarak yang jauh. Burung dan kalelawar sangat sering


(47)

dijumpai di dalam hutan dan mereka memencarkan biji tumbuhan sampai yang berdiameter 14 mm dalam jarak yang jauh, karena mereka menyimpan biji tersebut di dalam system pencernaannya selama 41 menit. Burung dan kalelawar merupakan faktor penting dalam menyebarkan biji pada hutan sekunder, karena mereka juga terbang dan tanpa sengaja menjatuhkan biji pada hutan sekunder tersebut.

Dari Tabel 5 biji jenis Castanopsis sp memiliki jumlah terbanyak pada ketinggian 1700-1800 mdpl yaitu berjumlah 34 biji. Keberadaan biji Castanopsis sp tidak diikuti dengan munculnya benih yang ditemukan dalam penelitian ini, selain itu, jenis Castanopsis sp hanya ditemukan pada ketinggian 1700-1800 mdpl (Lampiran 5). Berdasarkan hasil penelitian Heriyanto et al., (2007) Anakan dan pohon Castanopsis sp di lokasi penelitian tersebar pada berbagai ketinggian tempat. Penyebaran terbanyak dari pohon dan anakan Castanopsis sp terdapat pada ketinggian tempat 1.400 mdpl. Hal ini sesuai dengan habitat Castanopsis sp pada daerah dengan ketinggian tempat yang berkisar antara 200-1.600 mdpl. Ketinggian tempat merupakan faktor yang menentukan ketepatan tempat bagi habitat untuk suatu jenis vegetasi. Topografi dan ketinggian tempat yang bervariasi berpengaruh terhadap sifat dan sebaran komunitas tumbuhan.

Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran biji

Castanopsis sp adalah ukuran biji yang relatif besar. Ukuran tersebut tidak

memungkinkan biji Castanopsis sp untuk menyebar jauh dari sumber biji. Berdasarkan hasil penelitian Chou et al., (2011) biji Castanopsis sp tidak dapat memencar jauh, bahkan sebagian biji hanya ditemukan 20 m dari sumber biji. Berdasarkan hasil penelitian penyebaran dari Castanopsis sp hanya berkisar antara 0-21 m dari sumber biji. Selain itu, jenis biji Castanopsis sp yang berduri menyebabkan hewan yang berfungsi memencarkan biji kesulitan dalam membawa biji tersebut.


(48)

Pada ketinggian 1800-1900 mdpl jumlah biji terbanyak adalah Aglaia sp dengan jumlah 19 biji. Keberadaan suatu biji di atas tanah sangat bergantung pada keberadaan jenis tersebut dalam bentuk pohon yang berada di atasnya. Untuk jenis

Aglaia sp memiliki jumlah terbanyak pada ketinggian 1800-1900 mdpl, tetapi jika

dilihat dalam Lampiran 5, jenis Aglaia sp terbanyak pada ketinggian 1700-1800 mdpl. Beberapa faktor yang menyebabkan keberadaan suatu biji di atas tanah adalah pemencaran yang dilakukan oleh faktor angin maupun hewan. Menurut Clark (1998) kurang lebih 10% dari biji pohon memencar sejauh 10 km dari asalnya. Hal ini memungkinkan biji Aglaia sp ditemukan jauh berada jauh dari sumber biji.

Pada ketinggian 1900-2000 mdpl sampai dengan ketinggian 2000-2450 mdpl hanya ditemukan jenis Vaccinium sp. Berdasarkan jenis tumbuhan yang tumbuh, Vaccinium sp terdapat pada ketinggian 2000-2450 mdpl (Lampiran 5).

Vaccinium sp merupakan tanaman yang dapat tumbuh pada pH rendah. Hal ini

sesuai dengan penyebaran biji Vaccinium sp mendominasi pada ketinggian 2000-2450 mdpl dengan pH berkisar antara 5,2-4,2. Penyebaran biji pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh kemampuan biji tersebut untuk tumbuh pada suatu lingkungan. Letusan Gunung Sinabung pada tahun 2010 mengakibatkan rusaknya habitat yang menghilangkan sebagian biji akibat erupsi. Selain itu, kadar sulfur yang meningkat pasca erupsi mengakibatkan hanya sebagian biji yang dapat tumbuh. Dari hasil analisis tanah, kadar sulfur di hutan Gunung Sinabung meningkat berdasarkan ketinggian.

Pada ketinggian 1700-1800 mdpl kadar sulfur berjumlah 82,18 ppm lalu meningkat secara drastis pada ketinggian 2400-2450 mdpl dengan jumlah 247,24 ppm. Hal inilah yang mengakibatkan semakin meningkat ketinggian maka hanya jenis biji tertentu yang dapat tumbuh karena dipengaruhi oleh kadar sulfur yang tinggi. Menurut Hanafiah (2004) unsur Sulfur (belerang) merupakan unsur hara makro esensial yang diserap tanaman dalam jumlah yang hampir sama dengan unsur P (0,1-0,3%). Unsur ini diambil tanaman dalam bentuk SO42- dan sedikit


(49)

dalam bentuk gas belerang (SO2) diserap melalui daun dari atmosfer. Bentuk kedua ini dalam jumlah yang sedikit berlebihan telah menjadi racun bagi tanaman. Sumber S bagi tanaman berasal dari pelapukan mineral tanah, gas belerang atmosfer dan dekomposisi bahan organik (Hanafiah, 2004).

Selanjutnya Zuhri (2011) ketiadaan sebagian besar jenis tumbuhan dalam bentuk cadangan biji kemungkinan disebabkan (1) kegagalan biji untuk tumbuh menjadi tanaman baru pada saat uji perkecambahan; (2) merupakan jenis biji yang tidak bisa bertahan lama di dalam tanah; dan (3) merupakan jenis biji yang pemencarannya melalui angin.

4.4 Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh Pada Setiap Kedalaman Tanah Kekayaan jenis kecambah yang tumbuh berdasarkan kedalaman tanah terlihat berbeda. Untuk jumlah kecambah tertinggi terdapat pada kedalaman 0-5 cm dengan jumlah 445 jenis, kemudian kedalaman 5-10 cm dengan jumlah 402 jenis dan jumlah terendah terdapat pada kedalaman tanah 10-15 cm dengan jumlah 313 jenis (Tabel 6). Pada permukaan tanah, jumlah biji akan lebih banyak dibandingkan dengan lapisan tanah di bawahnya dan jumlah biji akan menurun seiring dengan naiknya kedalaman tanah.

Banyaknya jumlah bank biji di dalam hutan juga tidak terlepas dengan keadaan yang tersusun dari biji-biji dorman dan tidak mampu memecahkan dormansinya pada kondisi lingkungan mikro di bawah kanopi. Menurut Rochadi (2004) keberadaan semai di lantai hutan bergantung pada ketersediaan biji, baik yang disimpan di dalam tanah sebagai bank biji maupun yang baru dipancarkan sebagai seed rain yang segera berkecambah. Namun, dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kesamaan antara jenis-jenis yang ada di bank biji dan yang hadir sebagai semai di hutan hujan sangatlah rendah hanya sebesar 21 %.


(50)

Tabel 6. Kekayaan Jenis Kecambah yang Tumbuh

Jenis I II III IV V VI VII VIII

Jumlah

5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15 5 10 15

Asystasia intrusa 4 3 9 11 2 3 11 4 4 4 5 6 4 8 5 7 4 6 1 6 3 3 2 115

Strobilanthes paniculata 11 6 1 18

Amaranthus sp 7 2 25 2 1 37

Scheflera sp 1 2 3

Scindapsus sp 1 1

Aralia sp 1 3 1 5

Ageratum sp 17 1 3 1 4 26

Mikania micrantha 3 2 3 2 2 2 1 1 5 1 1 3 1 13 8 16 64

Wedelia sp 3 3

Cassia sp 1 1

Cyperus sp 2 2 2 5 2 5 11 1 1 31

Homalanthus sp 2 2

Macaranga tanaria 3 3 1 1 8

Vaccinium ovatum 1 1 2

Vaccinium sp 1 3 2 1 2 5 9 5 2 4 1 1 1 37

Perottetia alpestris 4 4

Melastoma malabathricum 2 6 7 22 22 19 37 47 46 60 54 34 64 60 28 72 32 29 16 9 12 9 37 11 735

Mediniela sp 1 1 1 3

Cocculus hirsutus 1 1 1 3

Peperomia sp 2 2

Axonophus sp 6 6

Boehmeria sp 3 3

Urtica Urens 1 1

Clerodendrum sp 4 1 5

Stachytarpheta mutabilis 1 1

Vitex coriacea 16 16 6 3 1 1 1 44

Jumlah 75 48 58 36 43 36 52 68 59 79 65 40 73 70 36 94 58 50 24 10 20 12 40 14 1160

Keterangan:

I = 1700-1800 mdpl IV = 2000-2100 mdpl VII = 2300-2400 mdpl 5 = 0-5 cm

II = 1800-1900 mdpl V = 2100-2200 mdpl VIII = 2400-2450 mdpl 10 = 5-10 cm


(51)

Melastoma malabathricum juga mendominasi pada setiap kedalaman tanah 0-5 cm, 5-10 cm dan 10-15 cm. Melastoma malabathricum tersebar merata pada setiap kedalaman tanah, ini disebabkan karena Melastoma malabathricum dapat mudah tumbuh di berbagai tipe habitat. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Brearly (2004) yang menemukan jenis dari Melastoma

malabathricum menempati jumlah terbanyak kecambah yang tumbuh pada hutan

sekunder di kalimantan dengan jumlah 194 jenis dari total jenis sebesar 573 jenis. Menurut Indriyanto (2009) suatu jenis dapat tumbuh baik dan memiliki penyebaran yang luas apabila telah mengalami penyesuaian dengan lingkungan.

Sifat dari Melastoma malabathricum adalah dapat tumbuh dan mendominasi pada setiap kedalaman tanah dan menyebar secara merata pada setiap ketinggian. Melastoma merupakan tumbuhan perdu yang tegak dengan tinggi antara 0,5 m sampai 4 m. Daun melastoma merupakan daun tunggal, bertangkai, letak berhadapan dan jarang berkarang, bentuk daun lancet, ujung runcing, pangkal membulat, tepi rata dan permukaan bersisik. Bunga melastoma merupakan bunga majemuk berupa malai rata dengan jumlah 5-12 kuntum bunga, kelopak bunga (kaliks) dengan 5 sepal, mahkota (korola) dengan 5 petal tersusun secara menyirap (imbricate). Hipantium tertutup dan agak muncul. Bentuk mahkota membulat dengan warna ungu cerah. Benang sari lurus dan panjangnya tidak sama. Bakal buah terdiri atas 5 ruang yang dihubungkan oleh tabung kelopak, buah buni berbentuk periuk. Biji berukuran sangat kecil dan keras berwarna coklat muda. Berkembang biak dengan biji. Dapat tumbuh hingga ketinggian 2400 mdpl di tempat agak terbuka (Nasution, 1986).

Dari Tabel 6 di atas jenis Melastoma malabathricum ditemukan pada setiap kedalaman tanah dan ketinggian tempat. Hal ini sesuai dengan Lampiran 4 yang menunjukkan jenis Melastoma malabathricum hadir di setiap ketinggian untuk vegetasi di atasnya. Faktor inilah yang menyebabkan Melastoma

malabathricum memiliki jumlah yang banyak di lokasi penelitian. Selain itu,


(52)

terbuka dan banyak cahaya. Berdasarkan hasil penelitian Maycock & Robert (2000) Melastoma malabathricum adalah salah satu jenis herba yang tumbuh subur pada daerah yang banyak cahaya. Selain itu, jenis ini tumbuh subur pada daerah punggungan gunung dari pada daerah lembah yang mimiliki kelembaban yang tinggi.

4.5 Pengaruh Kedalaman Tanah dan Ketinggian Terhadap Ketersedian Kecambah

Hasil pengamatan pada bak-bak penelitian di rumah kasa selama 4 bulan, diperoleh jumlah biji yang berkecambah cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Jumlah biji pada masing-masing ketinggian cenderung menurun meskipun pada ketinggian 2200-2300 mdpl terjadi peningkatan yang tidak terlalu besar (Tabel 7).

Tabel 7. Jumlah Biji yang Berkecambah pada Bak Penelitian Ketinggian (mdpl)

Biji yang Berkecambah

Jumlah 0 - 5 cm 5 - 10 cm 10 - 15 cm

1700 - 1800 75 48 58 181

1800 - 1900 36 43 36 115

1900 - 2000 52 68 59 179

2000 - 2100 79 65 40 184

2100 - 2200 73 70 36 179

2200 - 2300 94 58 50 202

2300 - 2400 24 10 20 54

2400 - 2450 12 40 14 66

Jumlah 445 402 313 1160

Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa untuk jumlah biji yang berkecambah pada setiap kedalaman tanah terbanyak pada kedalaman 0-5 cm dengan jumlah 445 biji, sedangkan untuk jumlah biji paling sedikit pada kedalaman tanah 10-15 cm dengan jumlah 313 biji. Faktor yang mempengaruhi jumlah biji yang berkecambah dalam tanah adalah curah hujan yang dapat menimbun biji dalam tanah yang mengakibatkan jumlah biji berada pada setiap ketinggian. Menurut Moles et al., (2003) curah hujan memiliki pengaruh besar terhadap biji yang berkecambah dalam tanah. Curah hujan akan meningkatkan perkecambahan di atas permukaan tanah, sementara biji yang terkubur jauh di dalam tanah akan mengalami pembusukan karena terlalu lama tertimbun di dalam tanah. Menurut


(53)

Zuhri (2011) kepadatan biji yang terkubur di dalamtanah akan menurun seiring dengan meningkatnya ketinggian, garis lintang dan umur suksesi. Perbedaan jumlah biji pada setiap ketinggian dipengaruhi oleh kemampuan biji untuk dapat tumbuh pada lingkungannya serta vegetasi yang ada di atasnya.

Menurut Li et al., (2011) penurunan jumlah biji akan menurun seiring dengan naiknya kedalaman tanah dan ketinggian tempat. Hal ini disebabkan karena perbedaan suhu udara, kelembaban tanah dan faktor kesuburan tanah serta mikroorganisme yang ada di dalam tanah. Selanjutnya, dari hasil penelitian yang dilakukan Li et al., (2011) menunjukkan bahwa pada kedalaman tanah 0-5 cm terdapat 4187 biji yang berkecambah dan menurun pada kedalaman 5-10 cm sebanyak 654 biji. Untuk setiap ketinggian, pada ketinggian 2700-2850 mdpl jumlah biji sebesar 66 biji dan cenderung menurun pada ketinggian 2870-3005 mdpl dengan 26 biji. Menurut Maycock & Robert (2000) faktor yang mempengaruhi jumlah biji pada setiap kedalaman tanah dan ketinggian tempat adalah jumlah sinar matahari yang menembus permukaan tanah. Kebutuhan biji akan cahaya matahari sangat sensitif. Jumlah sinar matahari yang dibutuhkan biji untuk berkecambah adalah sekitar 20%, karena jika kelebihan sinar matahari maka biji akan mengalami kehilangan viabilitas. Untuk biji yang terkubur jauh di dalam tanah maka biji juga akan mati dikarenakan kurangnya intensitas cahaya matahari yang diterima.

Jumlah biji yang berkecambah pada setiap ketinggian cenderung menurun, meskipun pada ketinggian 2200-2300 mdpl mengalamai peningkatan. Dapat dilihat pada tabel di atas jumlah biji tertinggi terdapat pada ketinggian 2200-2300 mdpl dengan jumlah 202 biji dan jumlah biji terendah terdapat pada ketinggian 2300-2400 mdpl dengan jumlah 54 biji. Kepadatan biji akan cenderung menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman tanah. Semakin tinggi suatu tempat maka akan terjadi penurunan suhu yang mengakibatkan biji menjadi dorman dan terjadinya penurunan vegetasi. Pada hasil uji ANOVA RAL Faktorial


(54)

menunjukkan bahwa jumlah individu kecambah tidak dipengaruhi oleh kedalaman tanah melainkan dipengaruhi oleh ketinggian tempat (Tabel 8).

Tabel 8. Hasil Uji ANOVA RAL Faktorial untuk Jumlah Individu yang Berkecambah

Source Type III Sum

of Squares

df Mean

Square

F Sig.

Corrected Model 2330,592a 23 101,330 2,065 0,008

Intercept 11194,008 1 11194,008 228,139 0,000

Faktor_A 1581,925 7 225,989 4,606 0,000

Faktor_B 230,867 2 115,433 2,353 0,101

Faktor_A * Faktor_B 517,800 14 36,986 0,754 0,715

Error 4710,400 96 49,067

Total 18235,000 120

Corrected Total 7040,992 119

Keterangan: R Squared = ,331 (Adjusted R Squared = 0,171) A = Ketinggian Tempat

B = Kedalaman Tanah

Tabel 8 menunjukkan signifikansi ketinggian tempat terhadap jumlah individu yang berkecambah menunjukkan angka 0,000 pada taraf 5% yang berarti berbeda nyata (Sig < 0,05 %), sedangkan pada kedalaman tanah angka signifikansi menunjukan 0,101 pada taraf 5% yang berarti tidak berbeda nyata (Sig > 0,05). Hasil ini menunjukan jumlah individu kecambah sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat, karena semakin tinggi suatu tempat maka akan semakin sedikit jumlah individu kecambah. Selain itu, Jumlah biji di dalam tanah sangat dipengaruh pada sumber biji yang ada di atasnya. Menurut Rochadi (2004) kerapatan biji yang tersimpan di dalam tanah dan sumber biji menurun dengan bertambahnya ketinggian, garis lintang dan semakin bertambahnya usia proses suksesi dan menurunya intensistas gangguan dari lingkungan. Selain itu, Rendahnya kesamaan komposisi jenis pada cadangan biji dan vegetasi dapat disebabkan oleh kondisi hutan sudah dalam keadaan terganggu dan dipengaruhi oleh penyebaran tumbuhan pendatang.

4.6 Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E)

Nilai Indeks Keanekaragaman tertinggi terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl dengan nilai 2,475. Nilai Indeks Keseragaman tertinggi juga terdapat pada ketinggian 1700-1800 mdpl dengan 0,813 (Tabel 9).


(1)

(2)

(3)

Lampiran 3. Foto Penelitian

Gunung Sinabung Jalur Sigarang-garang Rumah Kasa

Kotak besi 25 x 25 cm Proses Pemanenan Kecambah


(4)

Lampiran 4. Jenis-Jenis Tumbuhan yang Berada di Hutan Gunung

Sinabung Jalur Pendakian Sigarang-garang

No Famili Spesies Lokasi

I II III IV V VI VII VIII 1 Anacardiaceae Buchanania sessifolia

2 Araliaceae Aralia sp

3 Brassaiopsis glomerulata √ √ √ √

4 Asteraceae Euphatorium odoratum √ √ √ √ √ √ 5 Ericaceae Lyonia ovalifolia

6 Rhododendron fenschiakum √ √ √ √ √

7 Vaccinium laurifolium √ √

8 Vaccinium lucidum √ √ √ √ √ √

9 Vaccinium rubescens √ √ √ √

10 Euphorbiaceae Antidesma sp √ √ √

11 Ashtonia sp

12 Baccaurea sp.

13 Biscofia javanica

14 Fagaceae Castanopsis sp

15 Lithocarpus bancana √ √

16 Lithocarpus schlechteri

17 Lithocarpus sp √ √ √

18 Lithocarpus sp.1 √ √

19 Lithocarpus sp.2 √ √

20 Quercus lineata

21 Guttiferae Garcinia cowa √ √ √ √ 22 Hammamelidaceae Symingtonia populnea

23 Lauraceae Actinodaphne sp. √ √

24 Beilschmieda sp

25 Cinnamomum sp √ √ √

26 Litsea angulata

27 Litsea sp √ √ √ √

28 Neocinnamomum sp √ √ √ √

29 Persea sp √ √ √ √

30 Magnoliaceae Magnolia sp √ √ √

31 Melastomaceae Melastoma malabatricum √ √ √ √ √ √ √ √

32 Meliaceae Aglaia sp √ √ √ √ √

33 Moraceae Ficus lepicarpa √ √ √

34 Ficus sp.1

35 Ficus sp.2

36 Myristicaceae Ardisia lurida √ √ √ √

37 Knema sp

38 Knema laurina √ √ √

39 Knema oblongata

40 Myrtaceae Eugenia inophylla √ √

41 Eugenia operculata √ √ √

42 Eugenia polyantha

43 Eugenia rugosa √ √

44 Eugenia Sp.1 √ √

45 Eugenia sp.2


(5)

47 Eugenia sp.4

48 Eugenia sp.5

49 Rosaceae Mycromeles corymbifera

50 Rubiaceae Paederia scandens √ √ √ √ √

51 Psycotria stipulacea √ √ √

52 Sapotaceae Diospyros sp √ 53 Styracaceae Styrax paralleloneurum

54 Theaceae Adinandra dumosa √ √ √ √ √ √ √

55 Anneslea sp

56 Eurya trichocarpa √ √ √ √

57 Gordonia imbricata

58 Gordonia sp √ √ √

59 Pyrenaria serrata √ √ √ √

60 Tiliaceae Grewia sp √ √ √ √

61 Urticaceae Villebrunea rubescens √ √ √ √ Keterangan:

I : 1700-1800 mdpl

II : 1800-1900 mdpl

III : 1900-2000 mdpl

IV : 2000-2100 mdpl

V : 2100-2200 mdpl

VI : 2200-2300 mdpl

VII : 2300-2400 mdpl


(6)