BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Parametrik Kinerja Dinding Pengisi Bata Merah pada Struktur Beton Bertulang Akibat Beban Gempa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Perencanaan Struktur Bangunan Tahan Gempa

  Dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa, diperlukan standar dan peraturan perencanaan bangunan untuk menjamin keselamatan penghuni terhadap gempa besar yang mungkin terjadi serta menghindari dan meminimalisasi kerusakan struktur bangunan dan korban jiwa terhadap gempa bumi yang sering terjadi (Budiono dan Supriatna, 2011).

  Oleh karena itu, struktur bangunan tahan gempa harus memiliki kekuatan, kekakuan, dan stabilitas yang cukup untuk mencegah terjadinya keruntuhan bangunan. Filosofi dan konsep dasar perencanaan bangunan tahan gempa adalah (Budiono dan Supriatna, 2011): 1.

  Pada saat terjadi gempa ringan, struktur bangunan dan fungsi bangunan harus dapat tetap berjalan (servicable) sehingga struktur harus kuat dan tidak ada kerusakan baik pada elemen struktural dan elemen nonstruktural bangunan.

  2. Pada saat terjadi gempa moderat atau medium, struktur diperbolehkan mengalami kerusakan pada elemen nonstruktural, tetapi tidak diperbolehkan terjadi kerusakan pada elemen struktural.

  3. Pada saat terjadi gempa besar, diperbolehkan terjadi kerusakan pada elemen struktural dan nonstruktural, namun tidak boleh sampai menyebabkan bangunan runtuh sehingga tidak ada korban jiwa atau dapat meminimalkan jumlah korban jiwa.

  Pelaksanaan konsep desain kapasitas struktur adalah memperkirakan urutan kejadian dari kegagalan suatu struktur berdasarkan beban maksimum yang dialami struktur. Sehingga kita merencanakan bangunan dengan elemen-elemen struktur tidak dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain dengan harapan di elemen atau titik itulah kegagalan struktur terjadi pada saat beban gempa maksimum bekerja (Wibisono dan Lie, 2008).

  Dalam hal ini kita merancang supaya sendi-sendi plastis terjadi pada daerah- daerah yang dapat menunjang tujuan desain bangunan tahan gempa. Konsep desain kapasitas ini dikenal dengan konsep “strong column weak beam”, yaitu merancang supaya sendi-sendi plastis terjadi pada balok-balok dan kaki kolom bawah. Hal ini dilakukan supaya sejumlah besar sendi plastis terbentuk pada struktur secara daktail yang dapat memencarkan energi melalui proses pelelehan struktur dan diharapkan dapat menyerap beban gempa. Secara matematis konsep “strong column weak beam” ini dapat dituliskan sebagai berikut:

  5 < (2.1)

  6

2.2 Dinding Pengisi

  Dinding pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dinding batu bata merah, karena sangat banyak digunakan hampir di seluruh bangunan-bangunan pada wilayah negara Indonesia. Hal ini dikarenakan bata merah memiliki sifat harga yang ekonomis, mudah didapat, dan tahan terhadap cuaca.

  Bata merah (clay brick) adalah bahan bangunan yang digunakan untuk pembuatan konstruksi bangunan, dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa campuran bahan-bahan lainnya yang dibentuk persegi panjang, dibakar pada suhu yang tinggi hingga tidak dapat hancur lagi bila direndam dalam air.

  Dinding pengisi bata biasa digunakan pada struktur bangunan beton bertulang ataupun struktur bangunan baja. Dinding dapat menutupi tembok bangunan secara keseluruhan dan ada juga yang memiliki bukaan untuk pintu dan jendela. Namun dalam perencanaan struktur bangunan, dinding pengisi hanya diperlakukan sebagai sekat atau partisi tanpa fungsi struktural. Padahal apabila terjadi gempa dinding pengisi dapat mempengaruhi kekakuan dan kekuatan struktur yang efeknya kadang tidak menguntungkan pada struktur tersebut sehingga dapat menimbulkan kerusakan (Dewobroto, 2005).

Gambar 2.1 menunjukkan salah satu efek yang tidak menguntungkan pada struktur akibat perilaku dinding bata, yaitu terjadinya keruntuhan soft-storey akibat

  gempa yang terjadi di padang tahun 2009. Keruntuhan soft-storey ini terjadi karena penggunaan dinding pengisi yang sangat minim pada bagian dasar bangunan. Ketika terjadi gempa akan menimbulkan pergerakan lateral pada tanah sehingga lantai di atas yang lebih berat merespon gaya lateral yang lebih besar. Karena kolom di bawah yang lebih lemah, maka terjadi keruntuhan pada kolom bawah (soft-storey

  mechanism ). Dan telah kita ketahui bersama bahwa tujuan utama sebuah kolom

  adalah memikul gaya aksial desak dan juga menopang balok, lantai dan seluruh beban di lantai sehingga kolom seharusnya tidak boleh runtuh sebelum balok.

  Bangunan dengan perilaku soft storey tidak memenuhi kaidah “kolom kuat balok lemah” (strong column weak beam). Struktur gedung harus memenuhi persyaratan “kolom kuat balok lemah” ini agar ketika struktur memikul pengaruh gaya gempa, sendi-sendi plastis di dalam struktur tersebut hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom saja.

Gambar 2.1 Keruntuhan soft-storey yang terjadi di kota Padang tahun 2009

  Sumber : https://wiryanto.wordpress.com/2009/10/26/foto-foto-gempa-di-padang/

  Dinding pengisi ini bersifat getas, selain itu juga dapat hancur jauh lebih awal, berat struktur jadi bertambah dan base shear desain menjadi bertambah. Dalam analisa tidak linear elemen dinding pengisi ini dimodelkan melalui sebuah elemen garis yang disebut dengan elemen tekan (strut atau compressional member). Elemen ini memiliki sifat kekuatan dan simpangan yang getas (brittle).

  Perilaku portal dengan dinding bata terhadap pembebanan lateral telah lama diselidiki, misalnya oleh Holmes (1961), Smith (1966), Dawe dan Sheah (1989), Mehrabi et al (1996), Mehrabi dan Shing (1997), Madan et al (1997) dan lain-lain. Dari beberapa penelitian yang ada, pemodelan dinding bata sebagai bracing tekan yang diteliti oleh Saneinejad dan Hobbs (1995) dinilai paling sederhana namun representatif. Metode ini telah memperhitungkan perilaku elastis dan plastis portal isi dengan mempertimbangkan adanya daktilitas yang terbatas dari material dinding pengisi. Metode ini lebih dikenal dengan nama metode Equivalent Diagonal Strut. Dalam tesis ini untuk penentuan perilaku dinding pengisi menggunakan metode

  Equivalent Diagonal Strut yang diusulkan oleh Saneinejad dan Hobbs (1995), FEMA 273, dan formula yang diusulkan oleh Asteris (2003).

2.3 Diagonal Tekan Ekivalen (Equivalent Diagonal Strut) Saneinejad-Hobbs

2.3.1 Prinsip Analisis

  Portal-Isi dapat dianggap sebagai portal tidak bergoyang (braced framed), dimana dinding pengisi akan berfungsi sebagai diagonal tekan ekivalen (equivalent

  diagonal strut ). Diagonal tekan ekivalen hanya kuat terhadap gaya tekan saja.

  Pengaruh beban lateral bolak-balik akibat gempa dapat diatasi dengan terbentuknya diagonal tekan pada arah lain yang juga mengalami tekan (lihat Gambar 2.2). Apabila properti mekanik (luas penampang, Ad dan modulus elastisitas, Ed) dari diagonal tekan ekivalen dapat dicari maka portal- isi dapat dianalisis sebagai “portal terbuka dengan diagonal tekan ekivalen”, tentu saja “diagonal” harus ditempatkan sedemikian agar hanya mengalami tekan saja (compressional member).

  Properti mekanik yang dicari dengan metode tersebut didasarkan pada kondisi keruntuhan yang bersifat non-linier dan sekaligus diperoleh juga resistensi atau kuat nominal dari diagonal tekan ekivalen. Dengan konsep perencanaan berbasis kuat batas atau beban terfaktor, selanjutnya portal berpenopang ekivalen (equivalent

  braced frame ) dapat dianalisis dengan cara manual atau komputer sebagai portal berpenopang biasa (ordinary braced frame) (Dewobroto, 2005).

  ′ ′ θ θ’

  −

  (b) (a)

Gambar 2.2 a) Portal isi; b) Penopang diagonal bolak-balik (Saneinejad dan Hobbs,

  1995)

2.3.2 Asumsi Dasar

  Untuk mendapatkan properti mekanik dari diagonal tekan ekivalen yang bersifat lowerbound yang konsisten dan rasional, Saneinejad dan Hobbs (1995) berdasarkan tes percobaan dan penelitian analitis “m.e.h” mengambil asumsi berikut sebagai dasarnya: 1.

  Deformasi lateral terjadi sebanding dengan besarnya beban lateral yang ada sampai suatu batas dimana dinding pengisi secara bertahap hancur dan kekuatannya akan drop akibat daktilitas dinding yang terbatas. Ada tiga mode kehancuran yang teridentifikasi secara jelas pada portal-isi akibat pembebanan lateral, yaitu: a.

  Corner crushing (CC); bagian sudut hancur, minimal salah satu ujung diagonal.

  b.

  Diagonal compression (DC); dinding pengisi hancur pada bagian tengah diagonal.

  c.

  Shear (S); keruntuhan geser arah horizontal pada nat sambungan dinding.

  Timbulnya retak diagonal sejajar arah gaya bukan indikasi kehancuran tetapi hanya digunakan sebagai sebagai persyaratan batas untuk kondisi layan.

  2. Panjang blok tegangan desak yang diusulkan tidak lebih dari 0,4 tinggi panel pengisi:

  ′ ′

  (2.2) ≤ 0,4 ≤ 0,4 dimana α adalah prosentase panjang bidang kontak dari tinggi atau lebar panel, sub-skrip c = kolom dan b = balok. Notasi h atau l untuk jarak as-ke- as portal; sedangkan

  h’ dan l’ adalah jarak bersih panel, lihat Gambar 2.2.

  3. Interaksi panel / dinding pengisi dengan portal ditunjukkan dengan besarnya gaya geser yang diperoleh dari rumus berikut:

  2

  = =

  2.3 dimana μ = koefisien gesek panel-portal; C = gaya normal pada bidang kontak; F = gaya geser (lihat Gambar 2.3); subskrip c = kolom dan b = balok; r = h/l < 1,0 4. Terjadinya sendi plastis pada bagian sudut yang dibebani umumnya terjadi pada beban puncak (peak load) dan dapat dituliskan sebagai berikut:

  = =

  2.4 dimana M dan M = bending momen pada sudut yang dibebani (titik A

  A C

  dan C pada Gambar 2.3); Mpj = tahanan momen plastis paling kecil dari balok, kolom atau sambungan, disebut joint plastic resisting moment.

  b l α b τ Blok tegangan usulan

  σ b Diagram momen Blok tegangan sebenarnya

  M = M H

  V N j pj c c τ σ F b A B h F S c c α C c M 4 = M j C b w’ M E C

  h

  Diagonal Tekan Ekivalen θ H S D M

4 N C M 4 = M j

  l

  V Gambar 2.3 Keseimbangan gaya pada portal isi (Saneinejad dan Hobbs, 1995) 5.

  Karena dinding pengisi mempunyai daktilitas yang terbatas, maka deformasi portal pada beban puncak juga terbatas kecuali pada bagian sudut yang dibebani, dengan demikian portal masih dalam kondisi elastis.

  = = <

  2.5 = = (2.6) dimana M dan M = bending momen pada sudut yang tidak dibebani (titik

  B D

  B dan D pada Gambar 2.3); Mj = merujuk pada salah satu nilai tersebut;

  Mc dan Mb = momen elastis terbesar yang ada pada kolom (c) dan balok (b); dan Mpc dan Mpb = tahanan momen plastis dari kolom dan balok.

  Saneinejad dan Hobb, (1995) menetapkan:

  = 0,2 = 0,2 ≤ ≤

  2.7 dimana β = nominal atau batas atas (upper-bound), nilai dari faktor reduksi β.

2.3.3 Penurunan Rumus

2.3.3.1 Kondisi Keseimbangan

Gambar 2.3 memperlihatkan keseimbangan gaya balok atas dan kolom kiri dari portal-isi dengan beban diagonal sampai beban puncak (peak). Dalam analisanya,

  dianggap bagian tepi dinding berada pada garis netral portal, sehingga h ’ ≅ h dan l’ ≅

  l. Gaya interaksi dianggap terdistribusi merata sepanjang panjang bidang kontak

  ekivalen yang diusulkan, yaitu dan . Panjang bidang kontak aktual harus

  c h b l

  α α diatur agar sesuai dengan blok tegangan persegi yang diusulkan. Keseimbangan gaya pada portal-isi menjadi:

  = tan 2.8

  • 2

  2.8

  • 2 =
  • sedangkan keseimbangan rotasi dari portal-isi akan memenuhi persamaan berikut:

  =

  2.8

  − − − −

  • = 0

  2.9

  2

  2

  2

  2

  2

  2 dimana = =

  ; 2.10 , = =

  ; 2.11 , dimana H dan V adalah komponen horizontal dan vertikal dari gaya luar; S dan N adalah gaya geser dan gaya aksial berturut-turut sepanjang bidang kontak dari kolom; ζ dan η adalah tegangan kontak normal dan geser merata yang diusulkan dari dinding pengisi; dan

  θ adalah sudut diagonal tekan.

2.3.3.2 Gaya-Gaya Portal

  Jika statis momen gaya-gaya yang beraksi pada kolom dan balok diambil terhadap titik A (lihat Gambar 2.3) dan diselesaikan untuk geser dan gaya aksial kolom akan menghasilkan:

  • 2

  = −0,5 +

  2.12

  2

  = −0,5

  2.12 Catatan, S dan N juga mewakili gaya aksial dan geser diluar bidang kontak dari balok, untuk mendapatkan keseimbangan dari nodal yang tidak dibebani. Pengaruh Mj terhadap beban runtuh umumnya kecil yaitu kurang dari 2% sehingga dapat diabaikan.

  2.3.3.3 Beban Runtuh

  Jika gaya kontak C c & F b dan juga gaya geser kolom S dari Pers.(2.10a), (2.11b) dan (2.12a) disubstitusikan Pers.(2.8b) maka dihasilkan beban runtuh (collapse load) sebagai berikut:

  • = 1 − + 2

  2.13

  2.3.3.4 Tegangan Kontak Nominal

  Pada beban puncak, dinding pengisi yang mengalami kerusakan (failure) akibat kombinasi tegangan normal dan geser beraksi pada bidang kontak dibagian sudut yang dibebani. Kriteria leleh terkenal Tresca Hexagonal yang dijelaskan Chen (1982) secara matematik mencukupi untuk menunjukkan kombinasi tegangan tersebut, sebagai berikut:

  2

  2

  2

  • 3 =

  2.14 Dimana fc adalah tegangan tekan efektif dari dinding pengisi, bilamana tegangan tersebut dapat dianggap sebagai blok tegangan persegi seperti terlihat pada Gambar 2.3, maka Pers.(2.3) dapat juga ditulis dalam terminologi tegangan kontak sebagai berikut:

  2

  = =

  2.15 Dengan mengkombinasikan Pers.(2.14) dan (2.15) dapat diperoleh nilai batas atas (upperbound) nominal dari tegangan normal kontak sebagai berikut: = ; =

  2.16

  2

  4

  2

  1 + 3 1 + 3

2.3.3.5 Panjang Bidang Kontak Portal - Dinding Isi

  • – Solusi eksak matematik untuk menghitung panjang bidang kontak portal dinding isi relatif kompleks dan perlu trial-error, sehingga perlu cara pendekatan tetapi relatif teliti. Pada Gambar 2.3, tanda slope dari diagram momen pada kolom terletak pada lokasi yang relatif berdekatan dengan daerah pemisahan portal dengan dinding-isi yang diusulkan yaitu titik E. Dengan demikian, gaya geser pada titik E relatif kecil dan dapat diabaikan. Statis momen dari gaya-gaya yang bekerja pada kolom sepanjang E-A adalah:

  

2

  • Hubungan yang sama juga dapat dituliskan untuk komponen balok yaitu:

  − 0,5 = 0 2.17

  

2

  − 0,5 = 0 2.17

Substitusikan Mc dan Mb dari Pers.(2.6) ke Pers.(2.17), sehingga panjang bidang kontak dapat diperoleh sebagai berikut: 2 + 2

  ′

  = ≤ 0,4

  2.18 2 + 2

  ′

  = ≤ 0,4

  2.18 Jika salah satu, apakah = 0.2,

  βc atau βb akan mendekati nilai batas atas, β pada saat bidang kontak yang dimaksud mengembangkan tegangan normal nominal yang berkaitan, sehingga panjang bidang kontak dapat dianggap bernilai sembarang. Substitusikan nilai nominal dan dikombinasikan dengan Pers.(2.2) akan menghasilkan:

  2 + 2

  ′

  = ≤ 0,4

  2.19 2 + 2

  ′

  = ≤ 0,4

  2.19

2.3.3.6 Tegangan Kontak

  Kerusakan (failure) dinding pengisi pada sudut yang dibebani tidak perlu terjadi pada bidang pertemuan balok dan kolom secara bersamaan. Maka Pers.(2.16) hanya menjadi batas atas nominal tegangan kontak. Masukkan Pers.(2.10) dan (2.11) ke Pers.(2.9) akan memberikan:

  

2

  1 − − = 1 − − 2.20 Hubungan diatas hanya akan terpenuhi pada bidang kontak yang sebenarnya, dihasilkan dari tegangan kontak nominal pada Pers.(2.16) sebagai berikut:

  > = =

  2.21 < = =

  2.21 dimana

  2

  2

  = = 1 − − 1 − − 2.22 ,

2.3.3.7 Beban Runtuh Ultimate

  Ketika lendutan portal bertambah setelah melampui beban puncak, dinding pengisi akan kehilangan kekuatannya karena sifatnya alaminya getas (brittle).

  Meskipun demikian, Mj akan meningkat sampai tahanan momen plastis pada sambungan Mpj. Karena pada Pers.(2.13) sumbangan tahanan dari dinding pengisi dan portal diberikan secara terpisah maka beban runtuh ultimate menjadi:

  4 =

  2.23 Nilai ini menunjukkan kekuatan portal tanpa dinding pengisi.

  2.3.3.8 Beban Lateral Penyebab Retak pada Dinding Pengisi

  Beban lateral penyebab retak pada dinding dapat didekati dengan: 2

  ′

  = 2

  2.24

  2 Selanjutnya kontribusi portal dipertimbangkan dengan menganggap bahwa prosentasi yang diterima portal pada waktu meninjau retak nilainya sama dengan prosentasi yang diterima portal pada waktu beban runtuh total sehingga dapat ditulis:

  = ≥ 1,0 2.24

  2.3.3.9 Perpindahan Lateral

  Membandingkan dengan diagram beban-lendutan yang dihasilkan dalam analisa NLFE maka Saneinejad dan Hoob (1995) mencari hubungan empiris untuk memprediksi perpindahan lateral pada beban puncak dan menghasilkan:

  

2

2 0,333

  = 5,8 ∆

  2.25

2.3.3.10 Kekakuan (Stiffness)

  Kekakuan sekan dari portal-isi pada saat beban puncak didefinisikan sebagai: =

  2.26 ∆

  Diagram beban-lendutan portal-isi adalah berbentuk parabolik, sedangkan kekakuan awal (initial) dari portal-isi didekati sebagai dua kali nilai kekakuan secant dan hal tersebut sudah dibuktikan dengan NLFE (Saneinejad dan Hoob, 1995).

  = 2

  2.26 ∆

  Perpindahan lateral portal-isi dipengaruhi oleh adanya celah atau gap antara panel dan portal, sedangkan nilai-nilai diatas dianggap tidak ada celah (rapat), kalaupun ada dianggap cukup kecil sehingga relatif diabaikan.

2.3.4 Perencanaan Umum

2.3.4.1 Metode Dasar

  Portal-isi tunggal yang dibebani secara diagonal sampai tahap puncak ternyata tidak mengalami mekanisme keruntuhan plastis, tetapi hanya mengalami lentur yang besarnya tidak terlalu signifikan yaitu pada sudut yang tidak dibebani. Selanjutnya diketahui bahwa perilaku portal-isi yang terdiri dari panel ganda hampir sama dan disimpulkan bahwa perilaku portal-isi dengan panel tunggal sama dengan perilaku portal-isi dengan banyak panel seperti yang terdapat pada gedung bertingkat.

  Konklusi yang dapat diambil bahwa apabila properti mekanik dinding pengisi diperoleh maka selanjutnya dapat dimodelkan sebagai batang diagonal tekan pengganti dan dianalisis seperti struktur rangka umumnya.

2.3.4.2 Diagonal Tekan Ekivalen

  Dikaitkan dengan struktur portal bertingkat dengan dinding pengisi, Mj dapat dihilangkan dari Pers.(2.13), sehingga daya dukung horizontal dari portal isi adalah

  2

  2.27 = + + 1 −

  Term ke-1 dan ke-2 adalah tahanan dinding pengisi, lalu term ke-3 adalah tahanan portal yang dibebani sampai kondisi batas. Dengan demikian bagian dinding pengisi dapat digantikan dengan tahanan diagonal penopang ekivalen sebagai berikut:

  2 = cos +

  2.28 dimana R tergantung dari tiga macam keruntuhan yang terjadi dan dipilih yang paling kecil (menentukan).

  a.

  Keruntuhan Sudut / Ujung Diagonal (CC = Corner Crushing)

  Mode keruntuhan sudut atau ujung diagonal (CC = corner crushing) maka tahanan diagonal dapat dihitung dari: 1 −

  • =

  = 2.29 cos b.

  Keruntuhan Tekan Diagonal (DC = Diagonal Compression) Dinding pengisi yang langsing dapat mengalami keruntuhan tekan diagonal ditengah panel. Kehancuran tersebut akibat ketidak-stabilan dinding pengisi akibat timbulnya diagonal tekan yang besarnya dapat dihitung dari:

  ′

  0,5 =

  = 2.30 cos

  Kuat tekan aktual dinding masonri tergantung dari arah tegangan tetapi pendekatan dengan kuat prisma fm ’dari ACI 530-88 dapat digunakan sehingga

  2 ′

  = = 0,6 ; 1 − , ∅ ∅ = 0,65 2.31

  40 Panjang efektif pita diagonal tergantung dari panjang bidang kontak dan geometri panel pengisi dan secara konservatif dapat diambil sebagai berikut:

  2 ′ 2 ′ 2

  • =

  2.32 1 − c.

  Keruntuhan Geser (S = Shear)

  Dinding pengisi dari masonri dapat mengalami retak horizontal sepanjang panel akibat gaya geser yang berlebihan. Gaya geser horizontal total yang menyebabkan keruntuhan (S) dapat dihitung sebagai berikut:

  ′ ′

  = < 0,83

  2.33

  1 − 0,45 tan

  Gaya diagonal tekan yang berkesuaian dengan gaya horizontal tersebut adalah

  ′ ′

  0,83 = <

  2.34 =

  ′

  cos 1 − 0,45 tan tan

  ′ ′

  tan = 2.35 1 −

  ′ Properti Luas Penampang Diagonal Tekan Ekivalen

  Diagonal gaya dengan tegangan tekan merata ekivalen, fc, dapat diproporsikan dengan menggabung Pers. (2.29), (2.30), (2.32) dan (2.34) lalu dibagi dengan fc untuk mendapatkan luas penampang batang tekan ekivalen sebagai berikut:

  ′

  1 −

  = ≤ 0,5

  ′

  cos cos ≤ 1 − 0,45 tan

  ′

  0,83

  2.36 ≤ cos

2.3.4.3 Kekakuan Diagonal Tekan Ekivalen

  Modulus elastisitas sekan dari diagonal tekan ekivalen pada kondisi beban puncak dihitung sebagai berikut: = =

  2.37 ∆

  d h dimana ∆ = ∆ cos θ dan d = panjang diagonal panel.

  Dengan mengganti ∆y dan d maka rumus diatas dapat ditulis dalam bentuk lendutan horizontal puncak sebagai berikut: =

  2.38

  

2

  ∆ Modulus elastisitas (initial) yang digunakan pada analisis dapat diambil dua kali nilai modulus secant sebagai berikut:

  2 =

  2.39

  2

  ∆

2.4 Diagonal Tekan Ekivalen (Equivalent Diagonal Strut) berdasarkan FEMA 273

  Lebar efektif diagonal compression strut yang digunakan untuk menganalisis kekuatan dan kekakuan dinding pengisi bata berdasarkan model FEMA 273 dihitung dengan rumus:

  

−0,4

  = 0,175

  1

  2.40

  1

  4

  sin 2 =

  1

  2.41

  4 dimana: h col = tinggi kolom di antara as-balok h inf = tinggi dinding pengisi E fe = modulus elastisitas material portal E = modulus elastisitas material dinding pengisi

  me

  I col = inersia penampang kolom L inf = panjang dinding pengisi r inf = panjang diagonal dinding pengisi t inf = tebal dinding pengisi

  = sudut yang dibentuk antara tinggi dan panjang dinding pengisi θ

  1 = koefisien yang digunakan untuk menentukan lebar efektif strut

  λ a = lebar efektif strut

2.5 Diagonal Tekan Ekivalen (Equivalent Diagonal Strut) Berdasarkan Asteris (2003)

  Asteris (2003) mengajukan sebuah formula dalam penentuan lebar efektif

  diagonal compression strut

  dengan menambahkan sebuah faktor koreksi λ ke model FEMA 273 yang merupakan faktor reduksi kekakuan akibat adanya bukaan pada dinding pengisi (pintu, jendela, dan lain-lain) sesuai persamaan:

  =

  2.42 dimana = faktor reduksi kekakuan dengan menggunakan Gambar 2.6 dan Gambar

  λ

  2.7 a = lebar efektif strut sesuai dengan FEMA 273, sesuai Pers. (2.40) dan (2.41)

Gambar 2.4 menunjukkan faktor reduksi kekakuan dinding pengisi λ untuk

  case

  B, Gambar 2.5 menunjukkan faktor reduksi kekakuan dinding pengisi λ dengan posisi bukaan yang berbeda, sedangkan untuk posisi bukaan dengan persentase yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.4 Faktor reduksi kekakuan dinding pengisi

  λ yang berhubungan dengan persentase bukaan (case B) (lihat Gambar 2.7) (Asteris, 2003)

Gambar 2.5 Faktor reduksi kekakuan dinding pengisi λ yang berhubungan dengan persentase bukaan dengan posisi bukaan yang berbeda (lihat Gambar

  2.7) (Asteris, 2003)

  Fakt or reduks i ke kaku an λ

  Fakt or reduks i ke kaku an λ

  Persentase bukaan (%) Persentase bukaan (%)

Gambar 2.6 Posisi bukaan (case A, B, dan C) dan persentase bukaan (Asteris, 2003)

2.6 Portal-Isi Hasil Riset Eksperimen Mehrabi et al (1996)

  Portal-isi yang akan dianalisis adalah konfigurasi yang digunakan pada penelitian eksperimen Universitas Colorado (Mehrabi et al., 1996) yang akan dibandingkan dengan analisis portal-isi diagonal tekan ekivalen yang diajukan Saneinejad-Hobbs (1995). Portal-isi memakai struktur beton bertulang. Penelitian tersebut juga menguji portal terbuka tanpa dinding pengisi. Konfigurasi portal-isi ditunjukkan pada Gambar 2.7.

  Pelat beton pengikat pada sampel uji diatas diikat dengan baut baja khusus pada lantai kaku laboratorium sehingga kolom dapat dianggap terjepit penuh. Untuk mensimulasi adanya beban gravitasi dari lantai diatasnya (bangunan sebenarnya) maka pada kedua kolom sampel uji diberikan beban vertikal konstan Pv sebesar 294 kN. Sedangkan beban lateral Ph diberikan secara bertahap monotonik sampai terjadi runtuh (Dewobroto, 2005).

  Dinding pengisi Pv Pv

  Ph Lantai Kaku laboratorium

Gambar 2.7 Portal-isi universitas colorado (Mehrabi et al, 1996) Untuk dinding pengisi digunakan masonri dari blok beton padat ukuran 194 x 92 x 92 mm yang dilekatkan dengan mortar. Masonri diuji secara individu maupun dalam bentuk terpasang (bentuk prisma masonri tiga lapis). Parameter-parameternya sebagai berikut:

1. Parameter individu masonri dan mortar: a.

  Kuat tekan unit bata 15,57 Mpa b.

  Kuat tekan rata-rata mortar 15,98 Mpa 2. Parameter dinding pengisi: a.

  Kuat tekan prisma dinding pengisi (fm’) 15,09 Mpa b.

  Modulus secant dinding pengisi 9515 Mpa c. Kuat Lekat/ bond pasangan bata 0,39 MPa d.

  Regangan pada tegangan maksimum, ε

  c = 0,0029

  Dari hasil uji eksperimen portal-isi dan portal-terbuka yang dilakukan oleh Mehrabi et al (1996) kemudian akan dibandingkan hasilnya dengan analisis portal-isi diagonal tekan ekivalen yang diajukan Saneinejad-Hobbs (1995). Perbandingan hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa metode diagonal tekan ekivalen memberikan prediksi numerik yang berada diantara struktur portal terbuka dan portal isi dan hasilnya dalam batas-batas yang mencukupi (lower bound ).

Tabel 2.1 Hasil eksperimen Mehrabi et al (1996) dan analisis portal-isi diagonal tekan ekivalen Saneinejad-Hobbs (1995)

  Hasil pengujian maks Secant Sampel Stiffnes Beban Selisih Lendutan Selisih (kN/mm) (kN) (%) (mm) (%)

  • Portal terbuka 4,21 106,31 65,28 hasil eksperimen

  Portal isi hasil 129,65 277,68 161 3,3

  95 eksperimen Analisis Diagonal 40,327 211,729 99 10,5

  84 Tekan Ekivalen

2.7 Daktilitas Struktur Bangunan (

  μ)

  Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Perilaku ini sangatlah penting, sebab selama proses pelelehan, elemen struktur tersebut mengalami proses dissipasi energi gempa.

  Terkait dengan desain rancangan untuk suatu struktur bangunan, akan menjadi tidak ekonomis apabila desain struktur bangunan tersebut direncanakan memiliki respon elastis terhadap gempa kuat. Hal ini dikarenakan gempa kuat tersebut jarang sekali terjadi. Oleh sebab itu, agar ekonomis, struktur bangunan yang direncanakan diharapkan berespon inelastis dengan tingkat daktilitas tertentu (Wibisono dan Lie, 2008).

  Struktur dengan tingkat daktilitas tertentu akan memungkinkan terjadinya sendi plastis secara bertahap pada elemen-elemen struktur yang telah ditentukan.

  Dengan terbentuknya sendi plastis pada elemen struktur, maka struktur akan mampu menahan beban gempa maksimum tanpa memberikan kekuatan yang berlebihan pada elemen struktur sebab energi kinetik akibat gerakan tanah dasar yang diterima akan dipencarkan pada sendi plastis tersebut. Semakin banyak terbentuk sendi plastis pada elemen struktur, semakin besar pula energi gempa yang dipencarkan. Setelah terjadi sendi plastis pada suatu elemen, defleksi struktur serta rotasi plastis masih terus bertambah (Yuliari dan Suhelda, 2008).

  Pada struktur rencana, daktilitas struktur tersebut digambarkan dengan faktor modifikasi respon yang turut mewakili faktor kuat lebih (overstrenght factor) serta kapasitas komponen struktur secara keseluruhan dalam kondisi daktail. Faktor modifikasi respon ini dilambangkan dengan simbol

  μ. Batasan-batasan terkait dengan

  kriteria perencanaan desain daktilitas bangunan dengan menggunakan faktor modifikasi respon dipaparkan sebagaimana berikut (Wibisono dan Lie, 2008):

  1. Kekakuan dan kekuatan struktur ketika direncanakan untuk memenuhi kondisi di atas pun perlu direncanakan agar dapat memberikan kemampuan yang cukup kepada struktur bangunan untuk melakukan deformasi yang bersifat elastoplastik tanpa runtuh, bila mengalami gempa rencana maksimum.

  2. Untuk memperoleh daktilitas yang tinggi pada struktur gedung tinggi yang direncanakan, harus diupayakan agar sendi-sendi plastis yang terbentuk akibat beban gempa maksimum hanya terjadi di dalam balok-balok dan tidak terjadi dalam kolom-kolom, kecuali pada kaki kolom yang paling bawah dan pada bagian atas kolom penyangga atap. Hal ini dapat terpenuhi apabila kapasitas (momen leleh) kolom lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas (momen leleh) balok yang bertemu pada kolom tersebut.

  3. Perlu dilakukan pembatasan terkait besarnya perpindahan (displacement) yang terjadi. Hal ini tidak lain untuk menjaga integritas bangunan serta untuk menghindari jatuhnya korban jiwa pada saat gempa rencana maksimum terjadi.

  Pada Tabel 2.2 di bawah ini disajikan nilai R untuk berbagai nilai

  μ yang

  bersangkutan. Nilai faktor daktilitas struktur gedung

  μ dalam perencanaan struktur

  dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan tetapi tidak boleh melampaui nilai faktor daktilitas maksimum yang dapat dikerahkan oleh masing-masing subsistem

  μ m struktur gedung tersebut.

Tabel 2.2 Parameter daktilitas struktur gedung berdasarkan SNI 03-1726-2002

  Taraf kinerja struktur gedung

μ

R

  Elastis penuh 1,0 1,6 Daktail parsial 1,5

  2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

  2,4 3,2 4,0 4,8 5,6 6,4 7,2 8,0

  Daktail penuh 5,3 8,5

2.8 Gempa Nominal Statik Ekivalen

  Apabila kategori gedung memiliki Faktor Keutamaan I dan strukturnya untuk suatu arah sumbu utama denah struktur dan sekaligus arah pembebanan gempa rencana memiliki faktor reduksi gempa R menurut Tabel 2.2 dan waktu getar alami fundamental T

  1

  , dihitung menurut Pers. (2.43) berikut: =

  1

  2.43 dimana:

  C

1 = nilai faktor respons gempa yang didapat dari spektrum respons gempa rencana

  menurut Gambar 2.8 untuk waktu getar alami fundamental T 1.

  Wt = berat total gedung, termasuk beban hidup yang sesuai.

  Beban geser dasar nominal V menurut pasal 6.1.2 harus dibagikan sepanjang tinggi struktur gedung menjadi beban-beban gempa nominal statik ekivalen Fi yang menangkap pada pusat massa lantai tingkat ke-i menurut Pers. (2.44) berikut:

  =

  2.44

  =1

  Persamaan diatas berlaku jika,

  3

  2.45 ≤ dimana:

  Wi = berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai. zi = ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, dimana struktur

  atas dapat dianggap terjepit lateral pada taraf lantai dasar, selanjutnya struktur bawah dapat dianggap struktur tersendiri yang berada di dalam tanah.

  n = nomor lantai tingkat paling atas. H = tinggi bangunan. B = lebar bangunan.

  Dan jika,

  3

  2.46 ≥ Untuk lantai paling atas,

  • = 0,1 0,9

  2.47 )

  (

  =1

  Selain lantai paling atas ditentukan = 0,9

  2.48

  −1 =1

  2.9 Analisis Ragam Spektrum Respons

  Perhitungan respons dinamik struktur gedung tidak beraturan terhadap pembebanan gempa nominal akibat pengaruh gempa rencana, dapat dilakukan dengan metoda analisis ragam spektrum respons dengan memakai spektrum respons gempa rencana menurut Gambar 2.8 yang nilai ordinatnya dikalikan faktor koreksi I/R, di mana I adalah faktor keutamaan, sedangkan R adalah faktor reduksi gempa representatif dari struktur gedung yang bersangkutan. Dalam hal ini, jumlah ragam vibrasi yang ditinjau dalam penjumlahan respons ragam menurut metoda ini harus sedemikian rupa, sehingga partisipasi massa dalam menghasilkan respons total harus mencapai sekurang-kurangnya 90%.

  2.10 Simpangan Antarlantai

  Berdasarkan SNI 03-1726-2002 Pasal 8, simpangan antarlantai ditentukan berdasarkan 2 kinerja, yaitu kinerja batas layan dan kinerja batas ultimit.

Gambar 2.8 Respons spektrum gempa rencana (SNI 03-1726-2002) a.

  Kinerja batas layan struktur gedung ditentukan oleh simpangan antartingkat akibat pengaruh gempa rencana, yaitu untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan, disamping untuk mencegah kerusakan nonstruktur dan ketidaknyamanan penghuni.

  Simpangan antar tingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung tersebut akibat pengaruh gempa nominal yang telah dibagi faktor skala.

  Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan berdasarkan SNI 03- 1726-2002, struktur gedung dalam segala hal simpangan antartingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui dari Pers.

  (2.49) dan (2.50) di bawah ini.

  0,03 <

  2.49 ∆

  1

  < 30

  1

  ∆

  2.50 dimana :

  Δi = simpangan antartingkat yang telah dibagi faktor skala R = faktor reduksi gempa struktur gedung berdasarkan Tabel 2.1 hi = tinggi tingkat yang bersangkutan b.

  Kinerja batas ultimit struktur gedung ditentukan oleh simpangan dan simpangan antartingkat maksimum struktur gedung akibat pengaruh gempa rencana dalam kondisi gedung di ambang keruntuhan, yaitu untuk membatasi kemungkinan terjadinya keruntuhan struktur gedung yang dapat menimbulkan korban jiwa manusia dan untuk mencegah benturan berbahaya antargedung antarbagian struktur gedung yang dipisah dengan sela pemisah (sela dilatasi). Simpangan dan simpangan antartingkat ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung akibat pembebanan gempa nominal yang dikalikan dengan suatu faktor pengali

  ζ sebagai berikut: 1.

  Untuk struktur gedung beraturan ditentukan dengan Pers. (2.51) berikut: ζ = 0,7 R (2.51) 2. Untuk gedung tidak beraturan ditentukan dengan Pers. (2.52) berikut:

  0,7 ζ =

  2.52 dimana: Faktor skala = seperti yang ditetapkan pada pasal 7.2.3 SNI 03-1726-2002. Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas ultimit struktur gedung, dalam segala hal simpangan antartingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melebihi Pers. (2.53) di bawah ini.

  (2.53)

  i

  ∆ . ζ ≤ 0,02 . h dimana:

  Δ = simpangan antartingkat

  ζ = faktor pengali berdasarkan Pers. (2.51) atau (2.52)

  hi = tinggi tingkat yang bersangkutan

2.11 Analisa Beban Dorong Statik (Static Pushover Analysis)

  Analisa beban dorong statik adalah suatu cara analisis statik 2 dimensi atau 3 dimensi linier dan non-linier, di mana pengaruh gempa rencana terhadap struktur gedung dianggap sebagai beban-beban statik yang menangkap pada pusat massa masing-masing lantai, yang nilainya ditingkatkan secara berangsur-angsur sampai melampaui pembebanan yang menyebabkan terjadinya pelelehan (sendi plastis) pertama di dalam struktur gedung, kemudian dengan peningkatan beban lebih lanjut mengalami perubahan bentuk elasto-plastis yang besar sampai mencapai kondisi di ambang keruntuhan (SNI 03-1726-2002).

  Analisa pushover menghasilkan kurva kapasitas (Capasity Curve) yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dengan perpindahan (displacement) titik acuan pada atap. Untuk mengetahui perilaku struktur yang akan ditinjau terhadap intensitas gempa yang diberikan, kurva kapasitas ini dibandingkan dengan kurva kebutuhan (demand) berupa response spectrum berbagai gempa.

  Bila kapasitas struktur lebih besar dari kebutuhan, maka kinerja yang disyaratkan dapat dicapai. Dalam proses membandingkan kapasitas dan kebutuhan, ada beberapa cara yang dapat digunakan. Dalam penelitian ini cara yang digunakan adalah Capacity Spectrum Method (CSM). Seluruh proses evaluasi ini dapat dilakukan secara dengan menggunakan bantuan program.

  Adapun tahapan utama dalam analisa pushover adalah:

  1. Tentukan kurva kapasitas pushover, yang menggambarkan hubungan antara gaya geser dasar (base shear) dengan perpindahan (displacement) titik acuan pada atap.

  2. Buat spektrum respon percepatan-simpangan (ADRS) berdasarkan spektrum desain elastis (tanpa pengurangan akibat R-factor) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Konversi spektrum desain elastis menjadi format ADRS ATC-40 3.

  Ubah kurva kapasitas pushover menjadi spektrum kapasitas (Gambar 2.10).

  4. Kemudian cari titik performance point sehingga diperoleh titik perpindahan atap maksimum. Dari perpindahan atap maksimum tersebut kemudian cari Spektrum desain elastis

  Sa Vs T Spektrum ADRS

  Sa Vs Sd nilai gaya geser dasar maksimum (base shear maximum), perpindahan tiap lantai (floor displacement) dan lain-lain.

  Spektrum ADRS Sa Vs Sd

  Kurva kapasitas pushover

Gambar 2.10 Konversi kurva kapasitas menjadi spektrum kapasitas ATC-40

  Dengan melakukan analisis pushover kita dapat mengetahui perilaku/kinerja struktur (terutama perilaku nonlinier) dengan lebih baik seperti dapat mengidentifikasi elemen yang tidak kuat, dapat memperkirakan apa yang diperlukan elemen sehingga menjadi lebih sesuai dengan kenyataan dan dapat memahami dengan baik akibat dari kriteria hasil yang dipilih.

2.12 Capasity Spectrum Method

  menyajikan secara grafis dua buah grafik

  Capasity Spectrum Method

  (spektrum), yaitu spektrum kapasitas (capasity spectrum) dan spektrum kebutuhan (demand)(lihat Gambar 2.11). Spektrum kapasitas menggambarkan hubungan gaya geser dasar (base shear) dan perpindahan lateral struktur (biasanya di atap bangunan) sedangkan spektrum demand menggambarkan besarnya kebutuhan (demand) akibat gempa dengan periode ulang tertentu.

  Sa Demand spectrum Performance point Capacity spectrum

  Sd

Gambar 2.11 Performance point pada capasity spectrum method

  Spektrum kapasitas didapatkan dari kurva kapasitas (capasity curve) yang diperoleh dari analisis pushover. Karena kurva kapasitas merupakan hubungan antara gaya dorong total yang diberikan ke suatu struktur berderajat kebebasan banyak (multi degree of freedom system, MDOF) terhadap perpindahan yang dipilih sebagai referensi (umumnya puncak bangunan) sedangkan spektrum demand dibuat untuk struktur dengan kebebasan satu (single degree of freedom system, SDOF), maka kurva kapasitas dengan cara tertentu harus diubah menjadi spektrum kapasitas dengan satuan yang sama dengan spektrum demand.

  Spektrum demand didapatkan dengan mengubah spektrum respon yang biasanya dinyatakan dalam spektral kecepatan (S a ) dan periode (T) menjadi format spektral percepatan (S a ) dan spektral perpindahan (S d ). Format yang baru ini disebut

  Acceleration Displacement Responce Spectra (ADRS). Kurva kapasitas yang

  merupakan produk dari analisis pushover dinyatakan dalam satuan gaya (kN) dan

  2

  perpindahan (m), sedangkan demand spectrum memiliki satuan percepatan (m/detik ) dan perpindahan (m). Satuan dari kedua kurva tersebut perlu diubah dalam format yang sama, yaitu spektral percepatan (S a ) dan spektral perpindahan (S d ) agar dapat ditampilkan dalam satu tampilan (Wibisono dan Lie, 2008).

  Capasity Spectrum Method ini telah built-in dalam program seperti SAP2000,

  proses konversi kurva pushover ke format ADRS dan kurva respon spektrum yang direduksi dikerjakan otomatis dalam program. Data yang perlu dimasukkan cukup memberikan kurva respons spektrum rencana.