BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Parameter Pilar Jembatan Beton Bertulang dengan Metode Pushover

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan Pilar Jembatan

  Pilar jembatan merupakan struktur yang memberikan dukungan vertikal untuk rentang di antara dua poin.Pilar jembatan memiliki dua fungsi utama yaitu; mentransfer beban bangunan atas vertikal ke pondasi dan menahan kekuatan horisontal yang bekerja pada jembatan. Meskipun pilar secara umum dirancang untuk menahan beban vertikal, lebih dari pada itu pilar juga didesain untuk menahan beban lateral tinggi disebabkan oleh peristiwa seismik. Bahkan untuk beberapa daerah seismik yang rendah, biasanya perencanajuga memperhitungkan aspek daktilitas desain terhadap gempa.Pilar merupakan bagian dari jembatan yang dibangun menggunakan beton bertulang. Untuk kondisi tertentu biasanya material bajajuga digunakanuntuk sebagai pilar. Material baja yang didesain berbentuk silinder yang kemudian diisi campuran beton disebut dengan struktur komposit digunakan juga sebagai pilar jembatan atau pun kolom dari suatu struktur bangunan (Chen, 2000).

  Pilar atau pier biasanya digunakan sebagai istilah umum untuk semua jenis substruktur terletak antara rentang horizontal dan pondasi. Namun, dari waktu ke waktu, juga digunakan terutama untuk dinding yang solid dalam rangka untuk membedakannya dari kolom atau bents. Dari sudut pandang struktural, kolom adalah anggota yang menolak gaya lateral terutama oleh aksi lentur sedangkan pilar adalah anggota yang menolak gaya lateral terutamadengan mekanisme geser. Sebuah pilar yang terdiri dari beberapa kolom sering disebut bentsAda beberapa cara untuk mendefinisikan jenis pilar. Salah satunya adalah dengan konektivitas struktural ke bangunan atas Gambar 2.1 monolitik atau kantilever. Lain adalah dengan penampangnya Gambar 2.2 padat atau berongga, bulat, segi delapan, heksagonal, atau persegi panjang. Hal ini juga dapat dibedakan dengan konfigurasi framingnya; bengkok pilar tunggal atau ganda, martil atau pilar dinding.

Gambar 2.1 Bentuk typical cross-sectionpilar untuk overcrossings atau viaducts di darat (Chen, 2000)Gambar 2.2 Bentuk typical cross-sectionpilar untuk sungai dan penyeberangan jalur air (Chen, 2000)

2.2 Pemilihan Kriteria Pilar Jembatan

  Pemilihan jenis pilar untuk jembatan harus didasarkan pada fungsional, struktural, danpersyaratangeometris. Estetika juga merupakan faktor yang sangat penting didalam pemilihan kriteria sejakjembatan jalan raya di era modernmerupakan bagian dari lanskap kota. Gambar 2.1 menunjukkan koleksi khas bentuk cross section untukovercrossings dan viaducts di darat dan Gambar 2.2 menunjukkan beberapa bentuk bagian khas jembatan untukpilar sungai dan penyeberangan jalur air. Seringkali, jenis atau bentuk pilarbiasanya ditentukan oleh instansi pemerintah atau pihak swasta seperti PTPN dalam hal ini pemilik struktur jembatan. Di beberapa negara biasanya memiliki standar tersendiri untuk bentuk dan jenis dari kolom atau pilar suatu jembatan.

  Bentuk pilar berdinding padat, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan 2.4, yang sering digunakan di perlintasan air dapat didesain untuk proporsi yang baik, ramping dan efisien. Bentuk-bentuk seperti ini memberikan resistensi minimal terhadap aliran banjir.Hammerhead pilar, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.b, sering ditemukan di daerah perkotaan di mana keterbatasan pada ruang sering terjadi. Pilar- pilar tersebut digunakan untuk mendukung gelagar baja atau beton pratekan pracetaksuperstruktur. Mempunyai nilai estetika yang menarik. Umumnya pilar tersebut memerlukan ruang yang sedikit, sehingga memberikan ruang lainnya untuk lalu lintas di bawahnya (Chen,2000).

Gambar 2.3 Jenis pilar untuk Jembatan Baja (Chen, 2000)Gambar 2.4 Jenis pilar dan konfigurasi untuk penyeberangan sungai dan jalur air (Chen, 200)

  Sebuahkolom pilar bents terdiri dari balok dan kolom topi pendukung membentuk bingkai. Kolompilar bents, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.c dan Gambar 2.5, dapat digunakan untuk mendukung gelagar bajabangunan atas atau digunakan sebagai pilaruntuk konstruksi yang cor ditempat.Kolom pilar dapat berupa bentuk lingkaran atau empat persegi panjang. Bentuk pilar tersebut adalah bentuk yang paling populerdi sistem jalan raya modern.Sebuah pilar dengan perpanjangan tumpuan terdiri dari poros yang dibor sebagai dasar dan kolom melingkar diperpanjangdari poros untuk membentuk substruktur. Keuntungan yang jelas dari jenis pilar ini adalah bahwa hal itu menempatijumlah minimal ruang. Pelebaran jembatan yang ada dalam beberapa kasus mungkin memerlukan tumpuan ekstensi karena ruang terbatas menghalangi penggunaan jenis lain dari pondasi.

  Dalam menyeleksi jenis pilar yang tepat tergantung pada banyak faktor. Pertama-tama, itu tergantung pada jenissuprastruktur. Misalnya, baja girder superstruktur biasanya didukungoleh kantileverpilar, sedangkan cor dtempat superstruktur beton biasanya didukung oleh monolitikbents. Kedua, itu tergantung pada apakah jembatan lebih dari saluran air atau tidak. Untuk kondisi tertentu bentuk dinding pierdisukai pada jembatan penyeberangan sungai,hal ini disebabkan kekhawatiran jika sampah menyangkut dipilar jembatan. Bents ekstensi biasanya digunakan pada jembatan slab. Terakhir, ketinggian pilar juga menentukan jenispemilihan pilar. Bentuk pilar tinggi sering membutuhkan penampang berongga untuk mengurangi berat badandari substruktur. Hal ini kemudian mengurangi tuntutan beban pada pondasi mahal.

Gambar 2.5 Jenis pilaruntuk Jembatan Beton

2.3 Konsep Perencanaan Struktur Tahan Gempa

  Indonesia yang diantara 4 lempeng benua merupakan salah satu negara dikawasan rawan gempa. Akibat gempa yang sering terjadi mengakibatkan struktur bangunan yang ada mengalami pergerakan secara vertikal maupun secara lateral. Sehingga dalam perencanaan perhitungan struktur bangunannya harus menggunakan faktor keamanan yang cukup aman untuk menahan gaya vertikal daripada gaya gempa lateral. Gaya gempa lateral langsung bekerja pada bagian-bagian struktur yang tidak kuat sehingga menyebabkan keruntuhan elemen struktur.

  Dalam merencanakan struktur jembatan beton yang harus diperhitungkan adalah kemampuan struktur jembatan tersebut untuk memikul beban-beban yang bekerja pada struktur tersebut, seperti beban gravitasional dan beban lateral. Beban gravitasi adalah beban mati struktur sendiri dan beban hidup, sedangkan yang termasuk beban lateral adalah beban angin dan beban gempa.

  Mengacu kepada kode perencanaan bangunan tahan gempa amerika UBC 1997 perencanaan desain struktur bangunan tahan gempa adalah untuk mencegah terjadinya kegagalan pada setiap elemen struktur dan timbulnya korban jiwa. Tiga kriteria yang harus dipenuhi adalah:

1. Ketika terjadi gempa kecil, tidak terjadi kerusakan sama sekali, 2.

  Ketika terjadi gempa sedang, diperbolehkan terjadi kerusakan arsitektural tetapi bukan merupakan kerusakan struktural,

  3. Ketika terjadi gempa kuat, diperbolehkan terjadinya kerusakan struktural dan nonstruktural, namun kerusakan yang terjadi tidak sampai menyebabkan bangunan runtuh. Jadi, dalam perencanaan struktur bangunan tahan gempa harus diperhitungkan efek dari gaya lateral yang bersifat siklis (bolak-balik) yang dialami oleh elemen struktur selama terjadinya gempa bumi. Agar struktur dapat memikul gaya lateral yang terjadi, maka diperlukan beberapa kriteria seperti daktilitas yang memadai di daerah joint dan penggunaan elemen struktur yang tahan gempa. Oleh karenanya didalam merencanakan suatu struktur dapat dilakukan dengan mengetahui skenario keruntuhan dari struktur tersebut dalam memikul beban-beban ekstrim yang bekerja.

  Pelaksanaan konsep desain kapasitas struktur adalah memperkirakan urutan kejadian dari kegagalan suatu struktur berdasarkan beban maksimum yang dialami struktur. Sehingga kita merencanakan bangunan dengan elemen-elemen struktur tidak dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain dengan harapan di elemen atau titik itulah kegagalan struktur terjadi pada saat beban gempa maksimum bekerja (Wibisono, 2008).

  Berdasarkan hal tersebut, perencanaan struktur dapat direncanakan dengan mengetahui skenario keruntuhan dari struktur tersebut dalam menahan beban maksimum yang bekerja. Pelaksanaan konsep desain kapasitas struktur adalah memperkirakan urutan kejadian dari kegagalan suatu struktur berdasarkan beban maksimum yang dialami struktur. Sehingga kita merencanakan bangunan dengan elemen-elemen struktur tidak dibuat sama kuat terhadap gaya yang direncanakan, tetapi ada elemen-elemen struktur atau titik pada struktur yang dibuat lebih lemah dibandingkan dengan yang lain dengan harapan di elemen atau titik itulah kegagalan struktur terjadi pada saat beban gempa maksimum bekerja .

  Berdasarkan konsep mekanisme keruntuhan ini, pertama kali terbentuk sendi plastis pada struktur balok, baru pada tahap-tahap akhir plastis terjadi pada ujung-ujung bawah kolom (strong column weak beam). Hal ini dimaksudkan agar sejumlah besar sendi plastis yang terjadi pada struktur secara daktail. Struktur yang daktail dapat memencarkan energi melalui proses pelelehan struktur dan diharapkan dapat menyerap beban gempa. Secara matematis konsep “strong column weak beam” dapat dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut;

  5

  (2.1) Mn < Mn balok kolom

  ∑ ∑

  6 Bangunan tahan gempa didesain berdasarkan zona gempa, karakter lokasi, jenis tanah, okupansi bangunan, faktor kegunaan bangunan, periode natural struktur, dan lain- lain. UBC 1997 mensyaratkan seluruh elemen struktur didesain dengan tahanan yang sesuai untuk menahan perpindahan lateral yang terjadi akibat ground motion dengan memperhatikan respon inelastis struktur, faktor redundan, kuat lebih dan daktilitas struktur.

  Dalam melakukan analisa perencanaan suatu struktur bangunan tahan gempa terdapat berbagai metode dalam memodelkan gaya lateral akibat gempa. Respons suatu bangunan akibat beban gempa yang terjadi adalah sangat kompleks, sehingga metode- metode baru terus berkembang untuk mengetahui perilaku struktur akibat gempa yang terjadi. Analisis dinamik merupakan cara yang paling tepat saat ini untuk mengetahui kondisi struktur yang sebenarnya ketika terjadi gempa. Dengan analisis riwayat waktu

  (time history analysis), dapat diketahui respons struktur akibat gempa seperti simpangan, kecepatan dan percepatan untuk setiap segmen waktu yang ditentukan.

  Perencanaan struktur dapat pula dilakukan dengan menggunakan deformasi maksimum struktur akibat beban gempa rencana. Metode ini dikenal dengan cara spektrum respons. Gempa kuat yang pernah terjadi dibuat spektrum responsnya untuk struktur dengan satu derajat kebebasan. Sedangkan untuk struktur dengan banyak derajat kebebasan, respon maksimumnya diperoleh dengan menggunakan metode SRSS (Square Root of the Sum of Squares), yaitu menguadratkan respon maksimum dari masing-masing ragam, kemudian dijumlahkan semuanya, lalu diakarkan.

  Menurut UBC 1997, gedung-gedung yang diklasifikasikan sebagai gedung yang beraturan dapat dianalisis dengan menggunakan analisis statik ekivalen, cara yang jauh lebih mudah dibandingkan dengan analisis dinamik. Analisis ini mentransfer pergerakan tanah pada level fondasi menjadi beban-beban statik lateral yang bekerja pada setiap pusat massa lantai. Hasil perencanaan struktur yang diperoleh harus diverifikasi melalui analisis dinamik, yaitu dengan menggunakan time history analysis dan respon spektrum, untuk mendapatkan respon nyata struktur ketika terkena beban gempa. Tetapi, analisis dinamik bukanlah persoalan yang mudah sehingga para ahli mengembangkan metode yang lebih sederhana melalui analisis statik, yaitu dengan konsep desain kinerja struktur (Performance Based Design).

2.4 Hubungan Momen-Kurvatur

  Analisis momen kurvatur diperlukan untuk mengetahui daktilitas dari suatu elemen struktur yang erat kaitannya dengan redistribusi momen. Redistribusi momen ini berpengaruh dalam sebuah desain, yaitu dapat mengurangi besarnya tulangan baja yang diperlukan pada sebuah perletakan menerus. Hal ini dikarenakan dengan melakukan redistribusi momen, akan dapat mengurangi besarnya momen maksimum yang terjadi pada sebuah elemen struktur.

  Hal yang penting dalam suatu desain dengan beban gempa adalah daktilitas dari struktur, karena filosofi desain yang ada saat ini berdasarkan pada konsep penyerapan energi dan disipasi oleh deformasi plastis untuk bertahan terhadap sebuah gempa. Sehingga sebuah struktur yang tidak memiliki kemampuan daktilitas yang mencukupi harus didesain dengan beban gempa yang lebih besar untuk menghindari keruntuhan dari struktur tersebut.

Gambar 2.6 berikut ini memperlihatkan potongan sebuah elemen dari sebuah struktur beton bertulang dengan momen ujung dan gaya aksial yang sama besarnya.

  Jari-jari dari kurvatur R diukur sampai dengan garis netral dari penampang. Jari-jari dari kurvatur R, kedalaman garis netral kd, regangan beton pada serat tekan terluar ε

  c

  dan regangan tarik dari baja ε akan bervariasi sepanjang elemen struktur tersebut

  s

  karena diantara retak yang terjadi, beton akan mengalami tegangan akibat dari retak tersebut (Wigan, 2001).

  Dengan meninjau sebuah potongan kecil sepanjang dx dari sebuah elemen struktur, serta menggunakan notasi dari Gambar 2.6, maka putaran diantara kedua ujung dari potongan tersebut adalah seperti berikut ini;

  dx ε ε c s

  = = (2.2)

  R kd d

  1 − k

  ( )

  1 ε ε c s = = (2.3)

  R kd d

  1 k

  ( )

  ε ε ε ε + c sc s = = = (2.4)

  ϕ  

  kd d

  1 k d

  ( − )

    Maka 1/R adalah kurvatur pada potongan (putaran per satuan panjang dari

  ϕ. Sehingga terlihat bahwa kurvatur ϕ adalah elemen struktur) dan diberikan notai gradien dari distribusi regangan pada potongan seperti terlihat pada Gambar 2.6.

  R ε c steel kd d neutral axis

  P M P

  ϕ crack steel

  ε s element of member

Gambar 2.6 Deformasi dari sebuah elemen lentur struktur

  Kurvatur tersebut sebenarnya akan bervariasi sepanjang elemen karena fluktuasi dari kedalaman garis netral dan regangan diantara retak-retak yang terjadi. Bila panjang dari elemen adalah kecil pada sebuah retakan, maka kurvaturnya adalah seperti yang terlihat pada Persamaan 2.2, dengan ε c dan ε s adalah regangan pada penampang yang retak (Wigan, 2001).

  Bila regangan pada penampang yang kritis dari sebuah balok beton bertulang diukur secara teliti dengan momen lentur terus dinaikkan hingga runtuh, maka kurvatur dapat dihitung dari Persamaan 2.2, sehingga pada akhimya dapat diperoleh hubungan momen kurvatur dari penampang tersebut. Hubungan momen kurvatur pada sebuah balok beton bertulang tunggal yang mengalami keruntuhan pada tarik dan tekan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.7. Pada tahap awal, kurva adalah linier dan hubungan antara momen M dan kurvatur ϕ diberikan oleb Persamaan 2.5 berikut ini;

  M EI = M × R = (2.5)

  ϕ dengan El adalah kekakuan lentur dari penampang tersebut.

  moment M ϕ crushing of concrete commemce M b f l ld section unit length

  M unconfined concrete first yield of steel first crack first crack

  ϕ ϕ curvature curvature

  (a) (b)

  

G ambar 2.7 Hubungan momen kurvatur untuk beton dengan tulangan tunggal

  (a) Penampang runtuh akibat tarik ρ<ρ

  balance

  ρ>ρ (b) Penampang runtuh akibat tekan balance

  Seiring dengan meningkatnya momen, maka retak yang terjadi pada beton akan mengurangi kekakuan lentur dari penampang tersebut. Pengurangan kekakuan tersebut akan semakin besar pengaruhnya pada penampang beton dengan tulangan yang sedikit bila dibandingkan dengan penampang beton dengan tulangan yang lebih banyak. Sifat dari penampang setelah mengalami retak akan lebih banyak bergantung dari baja tulangannya.

  Seperti pada Gambar 2.7.a mcnunjukkan hubungan momcn kurvatur untuk penampang dengan tulangan yang lebih sedikit. Kurva tersebut dapat dikatakan hampir bersifat linier sampai dengan titik di mana baja mulai leleh. Setelah baja mulai leleh, maka kurvatur akan bertambah secara besar untuk suatu nilai momen lentur yang hampir sama, kemudian momen akan terus bertambah hingga maksimum akibat dari pertambahan pada jarak lengan momen, dan pada akhimya menurun kcmbali (Wigan, 2001).

  Sebaliknya, pada Gambar 2.7.b, hubungan momen kurvatur menjadi tidak linier (nonlinier) setelah titik di mana baja mulai memasuki keadaan plastis dari hubungan tegangan-regangannya. Akibat dari hal ini, maka keruntuhan dapat terjadi secara tiba-tiba, kecuali apabila beton tersebut diberikan perkuatan dengan sengkang pada bagian tengah atau intinya. Bila beton tersebut tidak diberikan sengkang, maka beton akan mengalami kehancuran pada kurvatur yang relatif kecil sebelum baja mulai leleh, yang tentunya akan menurunkan kapasitas momennya secara singkat.

  Untuk memastikan sifat daktilitas dari sebuah penampang dalam prakteknya, ρ rasio dari baja tulangan dibuat agar kurang dari nilai rasio seimbang ( balance ) pada sebuah balok beton. Hubungan momen kurvatur sccara praktisnya dapat diidealisasikan menjadi tiga macam kurva seperti yang terlihat pada Gambar 2.8. Kurva yang pertama menunjukkan adanya tiga fase; yaitu fase pertama pada saat beton mulai retak, fase kedua pada saat baja mulai leleh dan fase ketiga adalah pada saat baja sudah mencapai batas dari nilai regangan gunanya (Wigan, 2001).

  Pada Gambar 2.8.b dan Gambar 2.8.c menunjukkan kurva yang bilinier, yang pada umumnya cukup akurat untuk dapat dipergunakan. Setelah beton mengalami retak, maka hubungan antara momen kurvatur hampir linier dari titik awal nol sampai dengan titik di mana baja mulai leleh. Sehingga kedua kurva ini merupakan idealisasi yang cukup akurat untuk beton yang telah mengalami retak pertama.

  M M u M y

first yielding

first cracking

  ϕ

ϕ y ϕ u

(a)

  M M M M u u M y

  ϕ ϕ ϕ ϕ

ϕ y ϕ u y u

  (c) (b)

G ambar 2.8 Idealisasi hubungan momen kurvatur untuk penampang beton

dengan tulangan tunggal akibat kegagalan tarik.

2.5 Daktilitas Struktur Global (

  μ)

  Daktilitas adalah kemampuan suatu struktur untuk mengalami simpangan dalam kondisi pasca elastik hingga terjadinya keruntuhan (UBC 1997). Perlu digarisbawahi bahwa perilaku ini sangatlah penting, sebab selama proses pelelehan, elemen struktur tersebut mengalami proses dissipasi energi gempa. Selama terjadi gempa, daktilitas akan mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut dapat tetap berdiri meskipun telah berada pada kondisi di ambang keruntuhan.

  Terkait dengan desain rancangan untuk suatu struktur bangunan, akan menjadi tidak ekonomis apabila desain struktur bangunan tersebut direncanakan memiliki respon elastis terhadap gempa kuat. Hal ini dikarenakan gempa kuat tersebut jarang sekali terjadi. Oleh sebab itu, agar ekonomis, struktur bangunan yang direncanakan diharapkan berespon inelastis dengan tingkat daktilitas tertentu (Wibisono, 2008).

  Struktur dengan tingkat daktilitas tertentu akan memungkinkan terjadinya sendi plastis secara bertahap pada elemen-elemen struktur yang telah ditentukan. Dengan terbentuknya sendi plastis pada elemen struktur, maka struktur akan mampu menahan beban gempa maksimum tanpa memberikan kekuatan yang berlebihan pada elemen struktur sebab energi kinetik akibat gerakan tanah dasar yang diterima akan dipencarkan pada sendi plastis tersebut. Semakin banyak terbentuk sendi plastis pada elemen struktur, semakin besar pula energi gempa yang dipencarkan. Setelah terjadi sendi plastis pada suatu elemen, defleksi struktur serta rotasi plastis masih terus bertambah.

  Pada stuktur rencana, daktilitas struktur tersebut digambarkan dengan faktor modifikasi respon yang turut mewakili faktor kuat lebih (overstrenght factor) serta kapasitas komponen struktur secara keseluruhan dalam kondisi daktail. Faktor modifikasi respon ini dilambangkan dengan simbol

  μ. Batasan-batasan terkait dengan

  kriteria perencanaan desain daktilitas bangunan dengan menggunakan faktor modifikasi respon dipaparkan sebagaimana berikut (Wibisono, 2008): a.

  Kekakuan dan kekuatan struktur ketika direncanakan untuk memenuhi kondisi di atas pun perlu direncanakan agar dapat memberikan kemampuan yang cukup kepada struktur bangunan untuk melakukan deformasi (simpangan) yang bersifat elastoplastik tanpa runtuh, bila mengalami gempa rencana maksimum.

  b.

  Untuk memperoleh daktilitas yang tinggi pada struktur gedung tinggi yang direncanakan, harus diupayakan agar sendi-sendi plastis yang terbentuk akibat beban gempa maksimum hanya terjadi di dalam balok-balok dan tidak terjadi dalam kolom-kolom, kecuali pada kaki kolom yang paling bawah dan pada bagian atas kolom penyangga atap. Hal ini dapat terpenuhi apabila kapasitas (momen leleh) kolom lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas (momen leleh) balok yang bertemu pada kolom tersebut.

  c.

  Perlu dilakukan pembatasan terkait besarnya perpindahan (displacement) yang terjadi. Hal ini tidak lain untuk menjaga integritas bangunan serta untuk menghindari jatuhnya korban jiwa pada saat gempa rencana maksimum terjadi. Faktor daktilitas (

  μ ) adalah merupakan rasio antara simpangan maksimum struktur (X max ) terhadap simpangan struktur pada saat terjadinya sendi plastis yang pertama (X y ).

  Faktor daktilitas maksimum yang digunakan untuk bangunan beton bertulang adalah 5,3 dan untuk bangunan baja adalah 8.0.

2.6 Konsep Dasar Metoda Analisa Pushover

2.6.1 Umum

  Metoda analisa statik tidak linear (pushover analysis) adalah metoda tidak linear yang sangat popular digunakan dalam perencanaan atau penilaiaan bangunan yang terletak di daerah rawan gempa. Seperti yang dijelaskan oleh (Kunnath, 2005), ide yang mendasari metoda ini adalah untuk menjelaskan keadaan beban gempa yang bekerja pada rangka struktur. Respon rangka struktur terhadap berbagai beban dinamis adalah sebuah kombinasi ragam getar dinamis dari system yang bergetar. Sehingga metode ini juga didasarkan kepada konsep dasar analisa ragam getar pada struktur. Penjelasan teori yg mendasari analisa static tidak linear berikut ini adalah berdasarkan (Kunnath, 2005).

2.6.2 Dasar Teori

  Seperti pada umumnya sebuah vector berorde n dapat dinyatakan melalui suatu kumpulan vector n yang berdiri sendiri. Dalam hal ini nilai vector-Eigen dihasilkan melalui masalah nilai Eigen yang berperan sebagai vector-vektor yang menjelaskan simpangan-simpangan yang terjadi pada setiap lantai pada sebuah bangunan bertingkat. Variabel n ini mengacu kepada derajat kebebasan (DOF) yang pada metode ini adalah jumlah lantai pada bangunan bertingkat (Gambar 2.9) atau jumlah titik kumpul (idealisasi) pada system berderajat kebebasan tunggal (SDOF) seperti kolom kantilever. Simpangan ini dapat didefinisikan dengan persamaan berikut; N

  u q q (2.6)

{ } = Φ = [ ] Φ { }

i m m m

  ∑ m =1

  dimana {u i } adalah vector simpangan, {q} adalah koordinat ragam, [ Φ] adalah matrik ector Eigen, m adalah nomor ragam getar dan i adalah nomor tingkat.

  u 4 (t) u 3 (t) u 2 (t) u 1 (t) Gambar 2.9 Model struktur rangka bertingkat dengan DOF yang disederhanakan. Berikut ini adalah hubungan keseimbangan untuk system berderajat kebebasan banyak (MDOF);     

  m u c u k u = − m ι u (t ) (2.7)

  [ ]{ } [ ]{ } [ ]{ } [ ]{} g

  dimana [m] adalah matriks massa, [c] adalah matriks redaman, dan [k] adalah matriks

  

  kekakuan, sedangkan {u} adalah vector simpangan, { } u adalah vector kecepatan dan ( ) u

   

  adalah vector percepatan. Parameter {} ι adalah vector nilai unit dan u (t ) adalah

  g percepatan getaran tanah yang diberikan.

  Persamaan kesetimbangan dapat disederhanakan seperti berikut setelah menerapkan dekomposisi ragam getar yang diberikan pada Pers. (2.6) dan menerapkan hubungan-hubungannya secara ortogonal; 2

      

  q n n n n n g + + 2 ζω q ω = − Γ u ( t ) (2.8)

  Dimana; T Γ = Φ m ι / M , dan n [ ] [ ]{} n

  ( ) T M = Φ m Φ n [ ] [ ][ ] Untuk lebih memudahkan pemahaman maka bagian sebelah kanan dari Pers.

  (2.7) dapat dianggap sebagai kontribusi ragam getar yang berdiri sendiri seperti dijelaskan Chopra (2001) sebagai berikut; N

  m { } u c { } u k { } + u = − R u (2.9) n g [ ] [ ] [ ]

  •     

  ∑ n 1 =

  Dengan membagi Pers. (2.9) dengan Pers. (2.7) dan menyelesaikannya melalui transformasi nilai ragam getar seperti yg dihasilkan pada Pers. (2.8), maka dapat ditentukan bahwa;

  R = R = Γ m Φ { } n n n (2.10)

  ∑ Setiap bagian dari persamaan di atas mengandung kontribusi nilai ragam getar untuk setiap ragam getarnya. Cara lain untuk menjelaskan Pers. (2.10) adalah dengan menganggap vector beban pada bagian kanan Pers. (2.7) seperti berikut ini;

   

  m u = R f t { }{} ι { } ( ) (2.11) g

  dimana {R} adalah vector distribusi beban. Untuk fungsi pembebanan yang umum {p(t)}={r}f(t), vektor {r} adalah vector transformasi simpangan yang dihasilkan akibat adanya satu unit simpangan pada bagian perletakan. Pada pembebanan akbat gempa hal ini dapat disederhanakan menjadi sebuah vector dengan nilai-nilai per unit. Pemmbebanan dari luar tentunya dapat divariasikan sebagai sebuah fungsi waktu dalam hal amplitude dan distribusi ruang (spatial distribution). Tujuan menguraikan persamaan dalam bentuk seperti Pers. (2.11) adalah untuk memisahkan distribusi ruang dari fungsi amplitude yang bervariasi terhadap waktu. Konsep ini dijelaskan secara lebih mendalam pada banyak buku-buku dinamika seperti (Chopra, 2001).

  Langkah berikutnya adalah memasukkan kondisi pembebanan gempa. Karena prosedur ini merupakan prosedur analisa static maka bentuk pembebanan gempa yang dapat dianggap paling layak adalah bentuk spectrum respon. Distribusi gaya-gaya lateral yang akan digunakan di dalam analisa static tidak linear dapat didekati dalam bentuk kontribusi ragam getar puncak (peak modal contributions) seperti berikut ini;

  ,

  { } f = Γ m Φ S ζ T ) (2.12)

n n [ ]{ } ( n a n n

  di mana S a adalah spectrum percepatan untuk pembebanan gempa pada sebuah perioda T dan rasio redaman ζ pada ragam getar ke-n.

  Gaya-gaya modal yang didapat dengan menggunakan Pers. (2.12) hanya akan menjelaskan kontribusi-kontribusi sampai ke ragam getar ke-n. Pers. (2.12) mewakili bentuk vector gaya lateral yang sangat umum yang akan dipakai dalam analisa static tidak linear. Jika n=1, maka hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau.

  Untuk memahami konsep spectrum kapasitas adalah perlu untuk meninjau kembali Pers. (2.6) sampai (2.8) dengan menyelesaikannya menggunakan prosedur analisa ragam getar biasa. Respon puncak sebuah sistem SDOF yang dibebani sebuah getaran gempadapat diperoleh melalui sebuah spectrum respon getaran gempa. Pers. (2.8) menjelaskan satu set ragam getar n pada sistem SDOF yang mana setiap ekspresi persamaan memberikan jawaban terhadap sebuah ragam getar tertentu. Respon total diperoleh melalui transformasi yang terdapat pada Pers. (2.6).

  ζ ω Dengan menganggap S d ( n , n ) sebagai simpangan maksimum dari sebuah

  ω ζ sistem SDOF dengan frekuensi n dan rasio redaman n , yang dibebani getaran gempa  

  u (t ) , respon simpangan puncak dari system pada Pers. (2.8) diberikan oleh; g q = Γ S ζ (2.13) { } n n d ( ) n , ω max n

  Simpangan puncak pada setiap tingkat (lantai) dapat diperoleh dengan Pers. (2.6) seperti berikut ini;

  u Φ Φ Φ  1        11 12 1 n         u

  21

  22 2 n Φ Φ Φ         2 = Γ S ( ζ , ω ) Γ S ( ζ , ω )  Γ S ( ζ n , ω ) (2.14)

  •   1 d
  • 1 1   2 d 2 2   n d n                       u

      Φ n n max Φ 1 n 2 nn Φ        

      Persamaan di atas mengandung kontribusi-kontribusi yang terdapat pada semua ragam getar. Dengan menganggap hanya simpangan puncak pada sebuah DOF tertentu yang diperlukan, contohnya jika DOF ke-n adalah level atap (level tertinggi sebuah struktur), dan hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau, maka persamaan berikut akan diperoleh;

      u = Γ S ζ ω Φ (2.15) n , max

    1 d (

    1 , 1 ) n 1 Persamaan ini dipakai untuk mengubah simpangan atap, hasil dari sebuah

      analisa static tidak linear, menjadi spectrum simpangan ragam getar pertama di dalam prosedur spectrum kapasitas.Untuk membentuk spectrum percepatan ragam getar pertama ekivalen maka simpangan puncak dapat diperoleh melalui persamaan- persamaan berikut;

      f = ω m u (2.16) { } n n [ ]{ } n max max

      2

    f = m Γ S Φ

      { } ω ζ ω (2.17)

    n n [ ] n d ( n n ) [ ]

    max ,

      = Γ Φ

      { } f S ( ζ , ω ){ } m [ ] n max n a n n

      m Φ  m Φ 

       1 11  1 12    

       = + Γ ζ + S , ω m Φ a ( 1 1 ) 2 21 Γ S ζ , ω m Φ (2.18) 2 a ( 2 2 ) 2 2 1    2 

           

          Jika hanya kontribusi ragam getar pertama yang ditinjau maka

      m

       Φ  1 11  

      f = Γ S ζ , ω m Φ

      21 (2.19)

      { } n a ( max   1

    1

    1 ) 2

        

        Gaya geser dasar V b diperoleh dengan menjumlahkan gaya-gaya geser tingkat, maka kontribusi ragam getar pertama terhadap gaya geser dasar diberikan melalui persamaan berikut ini; n

      V = Γ S ( ζ , ω ) m Φ (2.20) b a

    1 ∑

    1 1 i i i 1 1 =

    2.6.3 Prosedur Perhitungan Analisa Pushover

      Dalam menjalankan analisa static tidak linear berdasarkan teori yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, diperlukan sejumlah langkah yang berulang. Langkah ini telah diformalisasi ke dalam peraturan ATC-40 yang kemudian dipakai juga ke dalam peraturan-peraturan lain di USA. Penjelasan berikut ini adalah didasarkan kepada analisa static tidak linear (pushover analysis) yang direkomendasikan oleh ATC-40: 1.

      Buat model struktur dan pembebanan tetap.

    2. Analisa struktur menggunakan metode analisa static linear biasa untuk mendapatkan gaya-gaya aksial yang bekerja pada kolom.

      Tentukan kondisi batas setiap elemen struktur yang umumnya cukup diwakili oleh kondisi batas lentur dan aksial yaitu momen leleh (M y ), momen batas (M u ) dan kurvaturnya ( φ y dan φ u ) beserta interaksi gaya aksial dan momen. Masukkan kondisi batas ini ke dalam model struktur. Penjelasan kondisi batas untuk struktur beton dibuat setelah bagian ini.

      4. Distribusikan gaya geser dasar menjadi gaya-gaya geser lateral pada setiap tingkat dengan mengacu secara proporsional kepada massa dan bentuk ragam getar alami. Dalam hal ini pendistribusian gaya geser dapat dibuat ke dalam beberapa bentuk seperti: a.

      Gaya geser tingkat tunggal pada puncak bangunan struktur (umumnya dibuat pada struktur bertingkat satu).

      b.

      Gaya geser dasar didistribusikan ke setiap tingkat secara proporsional

      Σ mengacu kepada prosedur peraturan gempa seperti F x = [w x h x / w x h x ]V b .

      c.

      Gaya geser dasar didistribusikan ke setiap tingkat secara proporsional mengacu kepada hasil perkalian dari massa pada setiap tingkat dan bentuk ragam getar pertama kondisi elastic seperti F x =

      Σ [w x φ x > / w x φ x ]V b .

      d.

      Gaya geser dasar didistribusikan sama dengan kondisi 3 di atas tetapi dibuat sampai mendapati kondisi leleh awal.

      e.

      Pendistribusian gaya geser dasar sama dengan 3 dan 4, tetapi melibatkan pengaruh ragam getar yang lebih tinggi (bukan hanya ragam getar pertama).

      5. Lakukan analisa static akibat pembebanan tetap dan lateral dan catat gaya- gaya pada elemen struktur seperti momen dan rotasi beserta gaya aksial.

      6. Catat gaya geser dasar dan simpangan pada puncak struktur yang terjadi.

      7. Naikkan beban lateral secara bertahap dan lakukan kembali analisa statis.

      Catat hasil seperti langkah 5 dan 6 di atas. Pada tahap ini gaya-gaya dan perpindahan yang telah dihasilkan (momen dan rotasi) pada analisa sebelumnya harus ditambahkan.

      8. Perbaiki model struktur menggunakan kekakuan nol (mendekati nol) pada elemen-elemen yang mengalami leleh setelah sebuah tahapan analisa statis.

      9. Naikkan secara bertahap beban lateral lagi seperti pada langkah 7 dan perbaiki model struktur seperti langkah 8. Peningkatan beban lateral secara bertahap umumnya sangat memadai bila dilakukan sebanyak 10 kali.

    10. Tambahkan setiap peningkatan yang terjadi pada gaya geser dasar dan simpangan pada puncak struktur (akumulasi).

      11. Lakukan langkah 7 sampai dengan langkah 10 sampai model struktur secara global mengalami kondisi batas (ultimate) yang umumnya ditandai dengan telah terjadinya kondisi leleh pada semua elemen struktur dan kondisi batas pada sebagian elemen utama struktur (seperti kolom-kolom dasar). Pada kondisi ini umumnya elemen balok telah mengalami kondisi batas. Kondisi batas ini juga dapat ditandai dengan terjadinya penurunan (degradasi) kekuatan global struktur mencapai 20%. Kondisi batas juga dapat diukur dengan simpangan antar tingkat (interstory drift ratio) yang ditentukan oleh peraturan-peraturan yang ada seperti ATC-40 atau FEMA356.

    2.7 Kondisi Batas Pada Struktur Beton

      Penentuan kondisi batas pada setiap elemen struktur sangat memegang peranan penting dalam analisa tidak linear, baik itu untuk analisa static tidak linear maupun analisa dinamik tidak linear. Dalam sebuah proses analisa berbasis kinerja (performance-based design), penentuan kondisi batas ini dibuat setelah analisa static linear akibat beban gravitasi (beban tetap) dilakukan. Dengan kata lain, keadaan tidak linear dan tidak elastis sebuah elemen struktur, mulai dari segi bahannya, penampang dan elemen itu sendiri, adalah merupakan alasan utama kenapa sebuah analisa dikatakan linear elastis atau tidak linear dan tidak elastis.

      Hal ini dikarenakan kondisi batas akan mensuplai informasi tentang keadaan kekakuan dan fleksibilitas secara local dan global.Penentuan kondisi batas ini dapat dibuat secara makro (phenomenological) atau secara mikro. Secara makro maksudnya dapat ditentukan dengan memakai parameter gaya (force) dan perpindahan

      (displacement)seperti momen-kurvatur, gaya aksial-simpangan aksial, gaya geser- simpangan geser, dan interaksi antara gaya-gaya tersebut. Sedangkan secara mikro maksudnya kondisi batas ditentukan dengan memakai parameter yg lebih detail seperti tegangan (stress) dan regangan (strain) untuk lentur, geser, dan aksial. Kondisi batas secara mikro ini umumnya disebut dengan model serat (fiber model). Penentuan kondisi batas secara makro dapat dilakukan dengan bantuan program BIAX, CUMBIA, dan KSU_RC, sedangkan secara mikro dapat dilakukan dengan program XTRACT atau secara langsung melalui program SAP2000. Pada bagian berikut ini akan dijelaskan penentuan kondisi batas elemen struktur beton (kolom) berdasarkan keadaan makro (gaya-perpindahan) dan juga model fiber (tegangan-regangan).

    2.7.1 Kondisi Batas Makro untuk Elemen Kolom Beton

      Model elemen kolom yang ditinjau adalah memperkirakan pengaruh lentur, geser, deformasi aksial dan zona panjang kaku (rigid length zone). Kondisi batas yang ditinjau adalah keadaan leleh (yield) dan runtuh (ultimate). Panjang zona kaku (L p ) pada sebuah elemen adalah panjang dimana kondisi sendi plastis terjadi. Panjang ini dapat ditentukan menggunakan persamaan usulan (Priestley, 1996) untuk kondisi elemen struktur kantilever seperti pilar jembatan (Gambar 2.10.).

      Gambar 2.10Kondisi batas lentur pada system kolom kantilever dan panjang sendi plastis (Priestley, 1995)

      L p = kL c + L sp ≥ 2L sp (2.21)

      dimana

      L sp = 0,0022 f s d bl untukf s f y (2.22) k = [0.02 (f su / f y )] – 1 (2.23) L c = panjang dari penampang kritis ke titik dimana terjadi lenturan balik. f = tegangan tarik besi tulangan memanjang (lentur). s f su = tegangan tarik runtuh (fracture) besi tulangan memanjang (lentur).

      = tegangan leleh besi tulangan memanjang (lentur).

      f y d bl = diameter tulangan lentur.

    2.7.1.1 Penampang Persegi

      Nilai-nilai momen-kurvatur untuk kondisi batas kolom beton bertulang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11 dapat diperkirakan secara perhitungan manual. Untuk kurvatur pada keadaan leleh φ dapat diperkirakan dengan menggunakan

      y

      persamaan usulan (Park, 1976) yang dimodifikasi oleh (Kunnath, 1992); /

      f E n y

        = + 1 . 05 ( C − . 05 ) (2.24) s

      φ y 2  3  d ( 1 − k )

      M M u A c M y d z A t b

      φ c b

      φ φ y u Gambar 2.11Kondisi batas lentur (momen-kurvatur) elemen struktur beton.

    • = '
    • 2 84 .

        

        

      • = ......................................................................
      •     
      • −     

        (2.27) dimana A c adalah luasan baja tulangan tekan; d c adalah tebal selimut beton pada tulangan tekan, ε y dan ε adalah regangan pada tegangan maksimum untuk baja tulangan dan selimut beton.

        Momen lentur pada keadaan leleh (M y ) dapat diperkirakan dengan persamaan berikut (Park, 1987);

              

             

             

         

           

               

          

      

        

        2

        1 75 .

        1 5 . c y t c y c c y c c y bdf A f

        ε ε ε ε bdf N

         

        bdf A f bdf A f f bd A f d bdf A f bdf A f bdf A f k

           

        (2.25)

          

          

          

          

        45 . c y t

        bdf A f C

        ( ) ' c

      bdf

      N n =

        ε ε ε ε ε ε y c y c c y t y c y c c c y t y c y c c y t

        (2.26)

        f’ c = kekuatan tekan beton umur 28 hari. f y = kekuatan leleh baja tulangan. b = lebar penampang kolom. A t = luasan baja tulangan tarik. N = gaya aksial. E S = moduluselastisitas. k = faktor ketinggian sumbu netral, yang dihitung melalui persamaan berikut;

        /

        2

        1 / 1 ) / (

        4

        1 ' ' ' 2 ' 2 2 ' '

        ε ε ε ε d d M bd f

      • − + =
      • ' 7 . ' 7 . 2 ' 1
      • − +    

            . 7 

        A f   d c y . 75 ε

        

      c c

      • 2 α (2.28) ' c     

        ε  

      y ε d bdf

      c

      • 1   

        ε    

        dimana

        

      ε

      d y d

      cc

        =   − 1  −

        α c

      d d

      ε

          Sedangkan momen lentur pada keadaan runtuh atau batas (M u ) dapat diperkirakan dengan persamaan berikut (Park dkk., 1987);

        

      A f

      t y    N M =

      u y

      1 . 24 − .

      15 − .

        5 M (2.29)

       ' ' 

          bdf bdf c c

           

       

        Kurvatur elemen kolom beton bertulang dapat diperkirakan dengan menganggap kolom berperilaku sama dengan elemen balok sebagaimana persamaan yang diusulkan oleh(Park, 1976); ' .

        

      85 f b

      c β ε 1 c

        φ u

        =

        (2.30)

        

      A fA f

      t y c y

        β dimana 1 =0.85 untuk kuat tekan beton f’ c ≤ 4000 psi, dan dapat dikurangi secara ε berterusan sebesar 0.05 untuk setiap 1000 psi bila melebihi 4000 psi; sedangkan c adalah regangan beton pada penampang kolom bagian serat tekan.

      2.7.1.2 Penampang Lingkaran

        Dalam menentukan hubungan momen dan kurvatur yang terjadi pada penampang kolom lingkaranmenggunakan metode sendi plastis yang ditemukan oleh (Priestley, 1996) seperti pada Gambar 2.12.

        

      c

      b b c(x) (x)