Risk Perception dan Sensation Seeking

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini akan membahas teori Risk Perception dan Sensation-Seeking. Teori ini berkaitan dengan
penelitian yang akan dilakukan.
A. Sensation-Seeking
1. Definisi Sensation-Seeking
Sensation seeking adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang penekanan pada
pencarian ide yang bervariasi, impulsif, kompleks, intens dan adanya kemauan untuk
mengambil resiko baik fisik, hukum ataupun finansial demi mendapatkan pengalaman yang
diinginkan tersebut. Kegiatan kongkrit dari sensation seeking tersebut merupakan bentuk dari
pengalaman yang menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan gairah
dan memacu adrenalin mereka untuk aktif sehingga dengan adanya rasa tegang tersebut
individu tersebut akan mendapatkan kepuasan dan rasa bahagia ketika mereka melewati
situasi tersebut (Zuckerman, 2007).
Individu dengan kesukaannya atau merasa bahagia dan meinginkan situasi dari kegiatan
menantang tersebut diasumsikan memiliki perilaku sensation seeking, dan memiliki resiko
dari tingkah laku, yaitu segala aktiftas yang dapat mengakibatkan cedera, efek negatif
terhadap kesehatan individu tersebut, kematian, atau bahkan tingkah laku sosial yang agresif
( Zuckerman, 1979). Dalam fenomena lain dijelaskan keberagaman dalam pencarian sensasi
dapat mempengaruhi cara manusia bereaksi terhadap sesamanya. Pencari sensasi tinggi (high
sensation seekers) akan merasa bahwa pencari sensasi rendah ( low sensation seekers) adalah

individu yang membosankan dan tidak menarik. Sebaliknya, pencari sensasi rendah merasa
bahwa pencari sensasi tinggi terlibat dalam aktifitas yang tidak produktif dan sia – sia. (Fisher,

Zuckerman, dan Neeb, 1981). Sensation seeking berada dalam sebuah kontinum artinya,
semua orang pasti memiliki sensation seeking, antara tinggi dan rendah. Sensation seeking
terbentuk dalam tingkah laku yang dimotivasi oleh kebutuhan demi suatu bentuk pengalaman
yang baru yang bervariasi dan merupakan sensasi yang kompleks (Halonen, Jane S. &
Santrock, Jhon W, 1999).
Istilah dalam definisi sensation seeking menurut Zuckerman merujuk pada variety yaitu
kebutuhan akan perubahan akan hal yang telah dialami dan menginginkan hal yang baru. Selain
itu, novel di atas menunjukkan adanya ketertarikan pada hal yang tidak dapat di prediksi.
Kompleksitas mengacu pada jumlah suatu kegiatan. Sedangkan risiko sendiri mengau pada
kecenderungan mendapat resiko negative baik fisik atau pun sosial (Zuckerman, 1979).
Dalam hal ini dapat dipahami bahwa individu dengan sensation seeking tinggi, memiliki
keinginan atau kebutuhan untuk melakukan aktifitas yang memberikan stimulasi terhadap
indera yang dimilikinya. Untuk memenuhi stimulasi tersebut, individu melakukan aktifitas yang
dapat memberikan sensasi dan pengalaman yang kuat atau intense. Dari kedua definisi menurut
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa sensation-seeking adalah keinginan atau perilaku dari
individu yang mendorong seseorang untuk mencari pengalaman baru, kompleks, dan intense
untuk mendapatkan stimulasi indrawi. Lebih lanjut, Zuckerman (2007) menjelaskan bahwa

pengemudi dengan sensation-seeking yang tinggi punya kecenderungan melihat dirinya sebagai
individu dengan skill mengemudi yang baik yang kemudian menjadikan dirinya sensationseeker sehingga menilai rendah risiko yang ada dalam tiap aktifitasnya dalam hal ini yaitu
mengemudikan kendaraan.
Pada penelitian sebelumnya dikatakan juga bahwa pengemudi dengan sensation-seeking
yang tinggi cenderung mengabaikan peraturan lalu lintas namun lebih memperhatikan kondisi

lalu lintas yang ada dengan tujuan untuk terhindar dari kecelakaan. Tapi, pengemudi dengan
sensation-seeking yang tinggi memiliki presentasi kefatalan yang tinggi apabila mengalami
kecelakaan dibanding dengan pengemudi dengan sensation- seeking yang rendah.( Wong,
Chung, dan Huang, 2010). Hennesey (2011) menegaskan pendapat ini dengan mengemukakan
bahwa mengemudi merupakan kesempatan yang baik bagi pengemudi dengan sensationseeking yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan arousal, ketegangan, bahaya,
kecepatan, dan kompetisi.
2. Karakteristik Perilaku Sensation Seeking
Dalam penelitiannya Zuckerman menguraikan beberapa ciri perilaku dari orang – orang
yang memiliki sensation seeking yang tinggi, yaitu:
a.

Terlibat dalam aktifitas yang berisiko tinggi, baik dalam pekerjaan, hobi, olahraga,

b.


maupun kegiatan sehari – harinya.
Menyukai situasi fobik yang umum, seperti kegelapan, ketinggian, kedalaman, ataupun

c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

atensi yang tinggi terhadap binatang yang berbahaya.
Punya keberanian ekstrim
Menyukai segala hal yang menantang
Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya
Menganggap semua situasi sebagai situasi yang kurang berisiko dan mengaggap eneteng
Masuk ke perilaku yang berisiko tinggi
Keluar dari situasi yang ada karena ridak ada stimulasi seperti yang diinginkannya
Berkurang atau bahkan hilang rasa cemas terhadap situasi berisiko.


Selain karakteristik diatas Zuckerman juga menemukan bahwa sensation seeking bervariasi
sesuai dengan usia individu, pada orang yang lebih muda, pencarian sensasi akan petualangan,
risiko dan pengalaman yang baru akan lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan usia
yang tua. Hasil tes pada remaja hingga individu yang berusia 60 tahun menunjukkan bahwa
sensation seeking mulai menurun di usia 20 tahun (Schultz & Schultz, 2005). Sejumlah

penelitian membuktikan bahwa senation seeking meningkat sejak usia kanak – kanak hingga
remaja dan puncaknya adalah tahap remaja akhir dengan usia sekitar 18 – 20 tahun (Larsen &
Buss, 2002). Sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa sensation seeking mengalami
peningkatan pada usia 16 tahun dan mulai mengalami penurunan pada awal usia 20 tahun (Hole,
2007).
3. Dimensi Sensation-seeking
Adapun dimensi – dimensi Senation-Seeking menurut Zuckerman (1979) antar lain:
a. Thrill and Adventure
Dimensi ini berhubungan dengan individu yang memiliki kebutuhan untuk beraktifitas
yang beresiko pada tiap individu. Aktifitas yang beresiko ini diliputi keinginan yang kuat
untuk ikut terlibat dalam aktifitas fisik yang berbahaya dam merupakan kegiatan yag
tidak biasa dari yang dilakukan orang lain pada umumnya dalam hal ini adalah
mengemudi yang berbahaya dan berisiko mengakibatkan kecelakaan. Sejalan dengan

penelitian (Schewebel, dkk, 2007; Wong, Chung, Huang, 2010) yang menyatakan bahwa
sensation seeking merupakan kebutuhan individu untuk mendapatkan suatu pengalaman
yang menibulkan gairah atau arousal.
b. Experience Seeking
Dimensi pencarian pengalaman berhubungan dengan penghayatan individu terhadap
pengalaman baru yang ia alami dan rasakan melalui indera. Dalam hal ini, ia
mendapatkan pengalaman dari cara mengemudi yang berisiko yang ia lakukan.
c. Disinhibition
Dimensi ini berhubungan dengan perilaku impulsive individu, meliputi keinginan yang
kuat untuk melakukan aktifitas yang mengandung resiko sosial.
d. Boredom Susceptibility
Dimensi ini berhubungan dengan keengganan individu untuk terlibat dalam aktifitas yang
repetitif atau berulang – ulang.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa dimensi yang
dapat membentuk tinggi rendahnya tingkat Sensation- seeking terhadap individu.
B. Persepsi Risiko Kecelakaan
1. Definisi Persepsi
Menurut Robbins (2001) persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengelola
dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberi makna kepada lingkungan

mereka. Apa yang dipersepsikan oleh seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Individu
– individu memandang satu benda yang sama, namun mempersepsikannya secara berbeda.
Sejumlah faktor berperan dalam membentuk dan kadang memutarbalikkan persepsi. Faktor –
faktor ini dapat berbeda dalam objek atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi
dimana persepsi itu dibuat.
Persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan
pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangasangan dalam suatu pengalaman psikologis.
Setiap orang memberi arti sendiri terhadap rangsangan, individu melihat hal yang sama dengan
cara yang berbeda. Persepsi berperan dalam penerimaan rangsangan, mengaturnya, dan
menterjemahkannya atau menginterpretasikan rangsangan untuk mempengaruhi peilaku dan
membentuk sikap (Gibson, 1996). Kemampuan membeda – bedakan, mengelompokkan,
memfokuskan perhatian terhadap suatu objek rangsang. Dalam proses pengelompokkan dan
membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap suatu
peristiwa atau objek (Saleh dan Wahab, 2004).
Berdasarkan definisi – definisi tersebut, maka peneliti mendapat kesimpulan bahwa persepsi
adalah pross menafsirkan, membeda- bedakan, mengorganisasikan serta pengelompokkan dan
juga proses perhatian terhadap satu stimulus atau objek rangsang. Persepsi dilihat sebagai hal

yang berbeda pada setiap individu meskipun dalam objek yang sama. Karena hal itu, persepsi
juga dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap dari seseorang.

2. Persepsi Risiko
A. Definisi Persepsi Risiko
Slovic (1987) mendefinisikan persepsi risiko sebagai penilaian yang dibuat oleg individu
saat mereka diminta untuk membuat karakterisasi dan evaluasi dari aktifitas berbahay serta
teknologinya. Sementara Deery (1999) mengemukakan bahwa persepsi risiko sebagau
penalaman subjektif tentang potensi risiko dalam lalu lintas. Dari kedua definisi diatas, dapat
disimpulkan bahwa persepsi risiko adalah kemampuan seseorang untunk memberikan
penilaian terhadap karakteristik risiko dan value yang terdapat dalam sebuah pilihan dan
pilihan dari penilaian ini merupakan pengalaman subjektif dari setiap individu. Dalam hal ini,
mengemudi. Jenis risiko yang dipersepsikan oleh individu adalah kemungkinan terjadinya
kecelakaan akibat keputusan-keputusan yang dibuat saat mengemudikan kendaraan (Eby &
Molnar, 1998; Berry, Johnson, & Porter, 2011). Maka, dalam penelitian ini, persepsi risiko
merupakan kemampuan seseorang untuk secara subjektif memberikan penilaian terhadap
risiko kecelakaan yang terdapat dalam suatu situasi mengemudi. Dalam situasi mengemudi,
persepsi risiko yangdilakukan oleh individu bersifat kontekstual yang berarti tinggi rendahnya
risiko yang diperpesi oleh ondividu bergantung pada situasi mengemudi yang spesifik (Ivers
dkk, 2009).
Salah satu karakteristik berpikir pada usia muda adalah kecenderungan mereka untuk
menilai rendah risiko yang ada dalam segala hal (French, Elander, & West,1993) didukung oleh
penelitaian Joshi, dkk (2010) kurangnya persepsi terhadap risiko pada pengemudi yang mencari

sensasi dapat dikarenakan kemampuan mengemudinya yang diatas rata – rata. Selain itu,

perasaan mendebarkan yang didapatkan ketika mengemudi berisiko mengalahkan pertimbangan
nilai kemungkinan yang mungkin terjadi saat kecelakaan. Matthews (2001) mengemukakan
bahwa peranan persepsi risiko dalam perilaku mengemudi. Menurutnya, persepsi risiko berperan
dalam penilaian pengemudi terhadap apa yang dibutuhkan terhadap lingkungan disekitarnya. Di
samping itu, persepsi risiko juga memberikan penilaian terhadap pilihan untuk menyelesaikan
permasalan yang ada. Kedua fungsi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian dari
pengemudi itu sendiri. Secara khusus pada perilaku melanggar peraturan lalu lintas yng
menyebabkan kecelakaan. Porter (2011) juga menerangkan bahwa perspsi risiko memiliki
hubungan terhadap perilaku melanggar rambu – rambu lalu lintas, termasuk diantaranya perilaku
melanggar lampu merah.
Sjoberg, Moen, & Rundmo (2004) mengemukakan bahwa persepsi risiko adalah penilaian
subjektif tentang terjadinya suatu kecelakaan dan seberapa besar perhatian individu akan
konsekuensinya. Untuk memahami resiko mencakup evaluasi probabilitas serta konsekuensi dari
hasil negatif (1988) dalam Ferguson). Sedangkan menurut Brown dan Groeger (1988) dalam
Ferguson (2003) persepsi risiko tidak hanya meliputi pemeriksaan potensi bahaya di lingkungan
lalu lintas tetapi juga pemeriksaan kemampuan pengemudi dan kendaraan untuk mencegah
potensi bahaya dari tabrakan sesungguhnya. Sedangkan Diamant & Brousand (2002)
menyatakan bahwa persepi risiko merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko

yang relevan dan kemampuan untuk mengatasi resiko tersebut.
Berdasarkan definisi – definisi tersebut, maka peneliti menyimpulkan bawha persepsi risiko
adalah penilaian subjektif tentang terjadinya suatu kecelakaan dan kemampuan untuk
mengidentifikasi faktor risiko yang meliputi pemetiksaan potensi bahaya di lingkungan lalu
lintas, pemeriksaan kemampuan pengemudi dan kendaraan. Termasuk kemampuan untuk

mengatasi risiko yang mungkin akan terjadi serta seberapa besar perhatian individu akan
konsekuensinya.
3. Faktor – faktor Persepsi Risiko
Ropeik & Slovic (2003) menyebutkan bahwa faktor – faktor persepsi risiko terdiri dari 10 faktor,
yaitu:
1. Ketakutan (dread)
2. Kontrol
3. Asal Risiko (alam atau manusia)
4. Pilihan
5. Melibatkan anak – anak
6. Baru tidaknya risiko
7. Kewaspadaan
8. Bias hal itu akan terjadi pada diri sendiri
9. Pertukaran risiko keuntungan

10. Kepercayaan terhadap faktor yang menghindarkan kecelakaan
Faktor – faktor risiko tersebut merupakan faktor – faktor secara umum, yang dapat digunakan
dalam berbagai jenis persepsi risiko. Dalam jurnal penelitiannya, Ropeik & Slovic (2003)
memberikan penjelasan dan contoh penggunaan faktor – faktor persepsi risiko tersebut dalam
berbagai jenis seperti persepsi risiko dalam hal teknologi, persepsi risiko dalam hal komunikasi,
persepsi risiko dalam hal kecelakaan dan sebagainya. Persepsi risiko dalam hal teknologi seperti
dampak teknologi baru yang diciptakan, seperti teknologi nuklir. Persepsi risiko dalam hal
komunikasi seperti merebaknya informasi mengenai terorisme. Persepsi risiko dalam hal
kecelakaan seperti yang di gunakan peneliti dalam penelitiannya ini yaitu persepsi risiko
terjadinya kecelakaan lalu lintas saat berkendara.
Bila dikaitkan dalam penelitian kali ini, maka faktor – faktor persepsi risiko dalam hal
kecelakaan lah yang digunakan. Oleh karena itu, faktor – faktor persepsi tersebut menjadi faktor
– faktor persepsi risiko kecelakaan dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Ketakutan (dread)
Kejadian memiliki risiko yang bsear apabila akibat yang akan di timbulkan menakutkan.
Ropeik & Slovic (2003) menyatakan bahwa kematian yang menakutkan sering
menimbulkan perhatian yang lebih dari individu. Dalam mengemudi, apabila individu
menganggap bahwa akibat dari perilaku mengemudi yang berisiko adalah terlibat dalam
kecelakaan serta mengalami cara kematian yang menakutkan, maka risiko yang

dipersepsi adalah besar.
2. Kontrol
Persepsi dari suatu risiko akan dianggap kecil apabila individu merasa kontrol (kendali)
atas situasi yang dihadapi. Akan tetapi, apabila individu merasa tidak memiliki kontrol
atas situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan memiliki persepsi risiko yang
besar terhadap situasi yang dihadapinya tersebut. Misalkan, posisi sebagai pengendara di
dalam sebuah mobil akan dianggap oleh individu sebagai sutuasi yang berisiko rendah,
karena pengemudi merasa memiliki kontrol atas mobil yang dikemudikannya tersebut
terhadap segala hal yang akan terjadi selama mengemudi. Namun, apabila individu
berposisi sebagai penumpang, maka ia akan mempersepsi hal tersebut sebagai risiko yang
tinggi karena ia tidak memiliki kontrol atas kemudi kendaraan tersebut (Ropeik & Slovic,
2003).
3. Asal Risiko (alam atau manusia)
suatu kejadian tertentu akan dipersepsikan memiliki risiko rendah apabila penyebab dari
risiko tersebut berasal dari alam. Tetapi, apabila suatu kejadian yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, maka hal itu akan di persepsi kan lebih tinggi risikonya. (Ropeik &
Slovic, 2003). Misalkan risiko terlibat dalam kecelakaan yang disebabkan oleh pohon
tumbang akibat hujan lebat di persepsi lebih rendah daripada risiko terlibat dalam
kecelakaan yang dikarenakan kecerobohan pengendara lain yang mengemudi ugal –
ugalan. (Budiastomo dan Santoso,2007).

4. Pilihan
Suatu risiko yang dipilih individu akan di persepsi lebih rendah jika dibandingkan dengan
apabila risiko tersebut dipaksakan oleh orang lain kepada diri kita. Misalkan, jika kita
mengemudikan kendaraan sambil menggunakan handphone, maka persepsi terhadap
risiko tersebut akan cenderung rendah karena anda merada dapat kontrol atas situasi yang
akan terjadi. Tetapi jika kita melihat orang lain yang melakukan hal yang sama dalam hal
ini yaitu mengemudikan kendaraan sambil menggunakan handphone maka kita akan
merasa kesal dengan risiko yang dipaksakan oleh orang tersebut kepda kita. Hal ini
dikarenakan kita tidak dapat mengontrol situasi yang akan terjadi, sebab pengemudi lain
tersebut yang memiliki kontrol sehingga kita mempersepsikan risiko yang tinggi terhadap
kecelakaan pada diri kita. Faktor ini berkontribusi dalam contoh yang peneliti sebutkan,
karena kita memiliki kendali atas kendaraan yang kita kemudikan (Ropeik & Slovic,
2003).
5. Melibatkan Anak – anak
Suatu kondisi atau kejadian akan dipersepsi lebih memiliki risiko apabila melibatkan
anak – anak (Ropeik & Slovic, 2003). Misalkan, individu yang mengendarai sebuah
mobil akan mengurungkan niatnya untuk melakukan maneuver – maneuver tertentu
(dalam hal ini yang membahayakan) karena di dalam mobil yang dikendarai terdapat
penumpang anak – anak. Individu akan memberikan persepsi terhadap manuver –
manuver yang dilakukan memiliki risiko yang tinggi apabila terdapat anak – anak di
dalam kendaraan yang dikendarai, tapi, apabila individu mengemudikan kendaraan tanpa
adanya penumpang anak – anak, maka individu cenderung akan melakukan manuver –
manuver tersebut dan memperspsikan manuver yang dilakukan tersebut kecil risikonya.
6. Baru tidaknya risiko
Apabila individu mengalami situasi yang berisiko yang baru dialaminya, maka individu
akan mempersepsikan risiko yang tinggi pada situasi yang baru tersebut. Akan tetapi,

apabila individu menemui situasi risiko yang sudah dikenali, maka individu akan
mempersepsikan risiko tersebut rendah walaupun individu tersebut berada pada setiap
risiko yang sama (Ropeik & Slovic, 2003). Misalka, ketika pengemudi melewati suatu
persimpangan yang belum pernah dilewati, pengemudi akan lebih berhati – hati karena
persepsi pada situasi tempat yang baru ditemui nya. Tetapi jika pengendara yang sama
sudah sering melewati persimpangan tersebut, maka pengendara akan lebih ceroboh
(misalkan menerobos lampu lalu lintas di persimpangan yang sudah sering di lalui
tersebut) karena sudah mempersepsi risiko kecelakaan rendah pada situasi tersebut
(Budiastomo dan Santoso, 2007).
7. Kewaspadaan
Semakin waspada inividu terhadap suatu situasi yang berisiko, semakin individu tersebut
lebih menaruh perhatian pada risiko tersebut (Ropeik & Slovic, 2003). Misalkan, semakin
banyak informasi yang didapatkan oleh individu bawha Jalan “X” merupakan jalan yang
rawan terjadi kecelakaan, maka individu tersebut kan lebih waspada dalam
mengemudikan kendaraannya. Hal ini di tunjukkan dengan individu tersebut akan lebih
berhati – hati apabila melewati jalan tersebut karena informasi yang dia dapat tentang
jalan yang rawan keelakaan tersebut. Walaupun pada kenyataannya, seseorang dapat
mengalami kecelakaan di jalan manapun yang dilewatinya akibat perilaku mengemudi
yang dilakukannya. Tetapi informasi tersebut meningkatkan kewaspadaan pengemudi,
sehingga ia lebih perhatian terhadap risiko kecelakaan yang ditimbulkan di jalan “X”
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ia mempersepsi risiko terjadinya kecelakaan tinggi
apabila tidak waspada dan tidak mengemudi secara hati – hati.
8. Bias hal itu akan terjadi pada diri sendiri
Individu akan mempersepsi risiko yang lebih besar apabila berpikir bahwa dirinya dan
orang – orang yang dia sayangi dapat menjadi korban ( Ropeik & Slovic, 2003).

Misalkan, informasi tentang jalan “X” merupakan jalan rawan kecelakaan (karena
berdasarkan data satistik jalan tersebut memiliki angka kecelakaan yang tinggi) akan
membuat individu menganggap bahwa setiap orang yang melewati jalan tersebut akan
mengalami kecelakaan, baik mengemudi secara aman atau pun tidak aman (hal ini berarti
resiko kecelakaan apabila melewati jalan tersebut di persepsi tinggi). Padahal
kemungkinan akan terjadinya kecelakaan belum tentu terjadi pada setiap individu, baik
dengan berkendara aman maupun tidak aman, walaupun jalan tersebut rawan kecelakaan.
Hal ini menjelaskan mengapa kemungkinan satistik seringkali tidak relevan bagi kita dan
merupakan bentuk komunikasi resiko yang tidak efektif (Ropeik & Slovic, 2003).
9. Pertukaran risiko keuntungan
Beberapa peneliti persepsi risiko dan penganalisis risiko menilai bahwa pertukaran risiko
keuntungan adalah faktor utama yang membuat individu lebih atau kurang takut terhadap
suatu ancaman. Jika individu melihat adanya suatu keuntungan dari suatu perilaku atau
pilihan, risiko yang dipersepsikannya terhadap perilaku atau pilihannya tersebut
dipersepsikan lebih kecil risikonya. Jika individu melihat tidak adanya suatu keuntungan
dari suatu perilaku atau pilihan, risiko yang dipersepsikan akan lebih besar. (Ropeik &
Slovic, 2003). Misalkan, seorang pengemudi akan mempersepsikan perilaku mengemudi
melawan arah sebagai risiko kecil apabila pengemudi tersebut sedang terburu – buru dan
beranggapan bahwa bila mengemudi melawan arah akan mendapatkan keuntungan
berupa tidak perlu memutar kendaraan pada tempat berputar yang seharusnya yang
jaraknya lebih jauh serta dapat tiba di tempat tujuan lebih awal. Tapi jika ia tidak sedang
terburu – buru, maka ia akan lebih melihat bahaya yang ditimbulkan dari mengemudi
melawan arah tersebut dan mempersepsi risiko terjadinya kecelakaan lebih besar.
10. Kepercayaan terhadap faktor yang menghindarkan kecelakaan

Penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil kepercayaan kita terhadap faktor – faktor
(misalkan lembaga perlindungan, orang, ataupun benda) yang dapat melindungi diri,
maka kita akan semakin takut terhadap risiko yang akan kita hadapi. Tetapi, semakin
besar kepercayaan kita terhadap faktor – faktor yang dapat melindungi diri kita, semakin
kecil rasa khawatir yang kita rasakan (Ropeik & Slovic, 2003). Apabila seorang
pengemudi percaya bahwa kendaraan yang digunakannya aman dan layak untuk
dikendarai, mak risiko yang dipersepsikannya kecil. Namun, apabila pengemudi tersebut
tidak percaya bahwa kendaraan yang digunakannya aman dan layak untuk dikendarai,
maka risiko yang dipersepsikannya besar sehingga ia tidak percaya bahwa kendaraannya
tersebut dapat digunakan untuk membawanya ke tempat tujuan dengan selamat.
C. Pengemudi Remaja
Menurut PP No. 43 tahun 1993, pengemudi adalah orang yang mengemudikan
kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang
sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor. Pengemudi harus memenuhi
persyaratan agar dapat mengemudikan kendaraan. Menurut Hamidan (2001) dalam Utami
(2010) persyaratan pengemudi adalah :
1. Setiap pengemudi wajib memiliki SIM
2. Cukup umur
3. Sehat jasmani dan rohani
4. Berpengalaman tentang peraturan lalu lintas
5. Cakap mengemudikan kendaraan
Menurut Desmita (2005) terdapat batasan yang digunakan sebagai acuan rentang
umur remaja yaitu 12 sampai 21 tahun yang di bagi dalam tiga periode, yaitu : 12-15 tahun =
remaja awal, 15-18 tahun = remaja pertengahan dan usia 18-21 tahun = remaja akhir. Sedangkan
menurut Mappiare (1982) dalam Utami (2010) usia remaja berlangsung 12 sampai 21 tahun bagi

wanita dan 13 – 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dibagi 2 bagian yaitu, 12/13 tahun sampai
17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun adalah remaja akhir
Batasan usia pengemudi remaja sendiri telah dikemukakan oleh beberapa ahli.
Pengemudi remaja sendiri termasuk ke dalam golongan pengemudi usia muda (young
driver). Menurut Ferguson (2003), pengemudi muda adalah pengemudi yang berada pada
rentang usia 18 – 24 tahun. Pengemudi pada usia ini cenderung untuk menilai situasi
berbahaya kurang berisiko daripada pengemudi yang lebih tua usianya (Ferguson, 2003).
Parry (dalam Tasca, 2000) mengatakan bahwa perilaku yang berisiko paling banyak
ditampilkan oleh young driver yaitu pada rentang usia 17 – 35 tahun dimana remaja
mendominasi dalam perilaku mengemudi yang berisiko terhadap terjadinya kecelakaan
tersebut.
Fenomena tingginya kecelakaan lalu lintas pada pengemudi remaja d berbagai Negara
khususnya di Indonesia, telah menjadikan dasar berbagai penelitian terhadap pengemudi
remaja di berbagai negara. Diantaranya adalah penelitian mengenai sensation-seeking dan
risk perception.
Berbagai penelitian mengenai persepsi risiko dan sensation-seeking kecelakaan pada
pengemudi remaja menunjukkan bahwa pengemudi remaja memiliki persepsi risiko
kecelakan yang rendah daripada pengemudi yang berusia lebih tua. Sebagian besar studi
dan penelitian mengenai persepsi risiko pengemudi usia muda menunjukkan bahwa
kesalahan persepsi terhadap bahaya sebagai salah satu faktor penyebab kecelakaan lalu
lintas (Rundmo dan Iversen, 2004).
Beberapa studi juga menemukan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam penilaian
subjektif pengemudi usia muda terkait dengan persepsi risiko bahay lalu lintas. Sivak et
al (1989) menemukan bahwa responden laki – laki mempersepsi risiko lebih rendah
dibandingkan responden perempuan. DeJoy (1992) juga mengemukakan bahwa laki –

laki pada umumnya mempersepsi risiko yang berhubungan dengan mengemudi lebih
rendah dibandingkan dengan perempuan (dalam Rundmo dan Iversen, 2004).
Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah pengemudi pada rentang usia
remaja awal sampai remaja pertengahan 12/13 tahun sampai 17/18 tahun karena
mempertimbangkan perilaku sensation seeking yang tinggi serta risk perception yang
rendah.
Kerangka Berpikir

Pengemudi
Remaja(young
drivier)

Sensation-seeking

Tinggi
Rendah

Risk perception
rendah
Risk perception
Tinggi

D. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalan penelitian ini adalah;
Ha: Terdapat hubungan antara Sensation-seeking dengan risk perception terhadap
pengemudi sepeda motor motor di kota Bandung.
H0: Tidak terdapat hubungan antara sesntaion seeking dengan risk perception terhadap
pengendara sepeda motor di kota Bandung
Bab ini telah membahas teori yang menjadi dasar penelitian.
Langkah – langkah penelitian yang telah dilakukan akan dipaparkan dalam bab
selanjutnya dari skripsi ini, yaitu bab metode penelitian.