Krisis moneter tahun 1998 dan dampa

Atulo Febriman (1406635152)
Tugas manajemen risiko
Krisis moneter tahun 1998
Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis di
beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya
tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan
terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang
pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar
AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk
melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara
itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah
aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar
hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah. Anggapan Fischer tersebut dapat
membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand. Sementara
menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan
pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan
moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.
Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi
krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik
drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin

langka.Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup
kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan
realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

1. Stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek yang telah
menciptakan “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan, bahkan
cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun masyarakat perbankan sendiri
menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah sama sekali tidak memiliki mekanisme pengawasan terhadap hutang yang dibuat oleh sector
swasta Indonesia. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut benar
-benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari
penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Mengapa
demikian? Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaanperusahaan (swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai
tenaga kerja terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan
menjalankan sistem perdagangan terbuka.

Penyebab dari krisis 98
1. Yang pertama, stok hutang luar negeri swasta yang sangat besar dan umumnya berjangka
pendek, telah menciptakan kondisi bagi “ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri

yang berlebihan, bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri di bidang ekonomi maupun
masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang swasta tersebut.
Pemerintah selama ini selalu ekstra hati-hati dalam mengelola hutang pemerintah (atau hutang publik
lainnya), dan senantiasa menjaganya dalam batas-batas yang dapat tertangani (manageable). Akan
tetapi untuk hutang yang dibuat oleh sektor swasta Indonesia, pemerintah sama sekali tidak memiliki
mekanisme pengawasan. Setelah krisis berlangsung, barulah disadari bahwa hutang swasta tersebut
benar -benar menjadi masalah yang serius. Antara tahun 1992 sampai dengan bulan Juli 1997, 85% dari
penambahan hutang luar negeri Indonesia berasal dari pinjaman swasta (World Bank, 1998). Hal ini
mirip dengan yang terjadi di negara-negara lain di Asia yang dilanda krisis. Dalam banyak hal, boleh
dikatakan bahwa negara telah menjadi korban dari keberhasilannya sendiri. Mengapa demikian?
Karena kreditur asing tentu bersemangat meminjamkan modalnya kepada perusahaan-perusahaan
(swasta) di negara yang memiliki inflasi rendah, memiliki surplus anggaran, mempunyai tenaga kerja
terdidik dalam jumlah besar, memiliki sarana dan prasarana yang memadai, dan menjalankan sistem
perdagangan terbuka.
Daya tarik dari “dynamic economies’” ini telah menyebabkan net capital inflows atau arus modal masuk
(yang meliputi hutang jangka panjang, penanaman modal asing, dan equity purchases) ke wilayah Asia
Pasifik meningkat dari US$25 milyar pada tahun 1990 menjadi lebih dari US$110 milyar pada tahun 1996
(Greenspan 1997). Sayangnya, banyaknya modal yang masuk tersebut tidak cukup dimanfaatkan untuk
sektor-sektor yang produktif, seperti pertanian atau industri, tetapi justru masuk ke pembiayaan
konsumsi, pasar modal, dan khusus bagi Indonesia dan Thailand, ke sektor perumahan (real estate). Di

sektor-sektor ini memang terjadi ledakan (boom) karena sebagian dipengaruhi oleh arus modal masuk
tadi, tetapi sebaliknya kinerja ekspor yang selama ini menjadi andalan ekonomi
nasional justru mengalami perlambatan, akibat apresiasi nilai tukar yang terjadi, antara lain, karena
derasnya arus modal yang masuk itu.
Selain itu, hutang swasta tersebut banyak yang tidak dilandasi oleh kelayakan ekonomi, tetapi lebih
mengandalkan koneksi politik, dan seakan didukung oleh persepsi bahwa negara akan ikut
menanggung biaya apabila kelak terjadi kegagalan. Lembaga keuangan membuat pinjaman atas dasar
perhitungan aset yang telah “digelembungkan” yang pada gilirannya mendorong lagi terjadinya apresiasi
lebih lanjut (Kelly and Olds 1999). Ini adalah akibat dari sistem yang sering disebut sebagai “crony
capitalism”. Moral hazard dan penggelembungan aset tersebut, seperti dijelaskan oleh Krugman (1998),
adalah suatu strategi “kalau untung aku yang ambil, kalau rugi bukan aku yang tanggung (heads I win
tails somebody else loses)”. Di tengah pusaran (virtous circle) yang semakin hari makin membesar ini,
lembaga keuangan meminjam US dollar, tetapi menyalurkan pinjamannya dalam kurs lokal (Radelet and
Sachs 1998). Yang ikut memperburuk keadaan adalah batas waktu pinjaman (maturity) hutang swasta
tersebut rata-rata makin pendek. Pada saat krisis terjadi, rata-rata batas waktu pinjaman sektor swasta
adalah 18 bulan, dan menjelang Desember 1997 jumlah hutang yang harus dilunasi dalam tempo kurang
dari satu tahun adalah sebesar US$20,7 milyar (World Bank 1998).
2. Yang kedua, dan terkait erat dengan masalah di atas, adalah banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah hutang swasta
eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam negeri.

Ketika liberalisasi sistem perbankan diberlakukan pada pertengahan tahun 1980-an, mekanisme
pengendalian dan
pengawasan dari pemerintah tidak efektif dan tidak mampu mengikuti cepatnya pertumbuhan sektor

perbankan. Yang lebih parah, hampir tidak ada penegakan hukum terhadap bank-bank yang melanggar
ketentuan, khususnya dalam kasus peminjaman ke kelompok bisnisnya sendiri, konsentrasi pinjaman
pada pihak tertentu, dan pelanggaran kriteria layak kredit. Pada waktu yang bersamaan banyak sekali
bank yang sesunguhnya tidak bermodal cukup (undercapitalized) atau kekurangan modal, tetapi tetap
dibiarkan beroperasi. Semua ini berarti, ketika nilai rupiah mulai terdepresiasi, sistem perbankan tidak
mampu menempatkan dirinya sebagai “peredam kerusakan”, tetapi justru menjadi korban langsung
akibat neracanya yang tidak sehat.
3. Yang ketiga, sejalan dengan makin tidak jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang
pemerintahan otomatis berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Hill (1999) menulis bahwa banyaknya pihak yang memiliki vested interest dengan intrik-intrik politiknya
yang menyebar ke mana-mana telah menghambat atau menghalangi gerak pemerintah, untuk
mengambil tindakan tegas di tengah krisis.Jauh sebelum krisis terjadi, investor asing dan pelaku bisnis
yang bergerak di Indonesia selalu mengeluhkan kurangnya transparansi, dan lemahnya perlindungan
maupun kepastian hukum. Persoalan ini sering dikaitkan dengan tingginya “biaya siluman” yang harus
dikeluarkan bila orang melakukan kegiatan bisnis di sini. Anehnya, selama Indonesia menikmati
economic boom persepsi negatif tersebut tidak terlalu menghambat ekonomi

Indonesia. Akan tetapi begitu krisis menghantam, maka segala kelemahan itu muncul menjadi
penghalang bagi pemerintah untuk mampu mengendalikan krisis. Masalah ini pulalah yang mengurangi
kemampuan kelembagaan pemerintah untuk bertindak cepat, adil, dan efektif. Akhirnya semua itu
berkembang menjadi “krisis kepercayaan” yang ternyata menjadi penyebab paling utama dari segala
masalah ekonomi yang dihadapi pada waktu itu. Akibat krisis kepercayaan itu, modal yang dibawa
lari ke luar tidak kunjung kembali, apalagi modal baru.
4. Yang keempat, perkembangan situasi politik telah makin menghangat akibat krisis ekonomi, dan pada
gilirannya memberbesar dampak krisis ekonomi itu sendiri.
5. Banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek,
proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai
proyeknya, APBN defisit yang tidak efisien dan efektif, devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri,
perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relative masih besar, dan
seterusnya.

Krisis 2015

Penyebab krisis 2015
‘perusak’ utama perekonomian nasional adalah harga komoditas perkebunan dan tambang merosot di
pasaran internasional; perlambatan ekonomi Tiongkok/China, dan penguatan mata uang dollar Amerika
Serikat terhadap mata uang semua negara, kecuali Swiss Franc.

Krisis yang menghunjam jantung perekonomian, pada tahun pertama Kabinet Kerja, bukan karena
sentimen politik.
“Kondisi ekonomi seperti saat ini nothing to do dengan politik. Tidak ada kaitannya dengan kondisi politik
dalam negeri,” kata Mirza. Kondisi ini tidak terkait langsung dengan kinerja Kabinet Kerja yang dipimpin
Presiden Jokowi - Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Harga Komoditas Perkebunan dan Pertambangan Merosot
Padahal ekspor Indonesia lebih banyak komoditas tambang seperti batu bara dan minyak sawit mentah
(CPO). Harga batu bara misalnya dari semua 150 dollar AS, kini di bawah 50 dollar, CPO semua 1.200
dollar AS, sekarang jauh 551 dollar AS.Harga komoditas ekspor asal Indonesia berjaya antara tahun 2003
- 2007. Saat itu, harga batu bara, minyak mentah kelapa sawit (crude palm oil/CPO), karet dan nikel
bagus seklai.Namun harga ekspor jatuh 2008-2009 saat krisis yang dipicu macetnya kredit pemilikan
rumah, subprime mortgage yang melanda Amerika. Ketika itu pertumbuhan Amerika negatif, disusul
negara-negara di Eropa.
Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi China
Faktor kedua adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi China/Tiongkok. Perekonomian China, titik
tertinggi 2007. Pertumbuhan ekonomi China 12 persen, India 9-10 persen. “Dan pembeli besar
komoditas batu bara dan CPO Indonesa adalan China dan India," katanya.Ekonomi China terlalu panas,
kemudian menjadi terlalu banyak polusi, yang memicu protes dari anak muda. Harga tanah pun terlalu
cepat naik, pasangan muda protes karena tidak mampu membeli rumah, sehingga pemerintah sengaja
melimbatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan diperlambat, terus dan sekarang menjadi 7 persen.

Pemerintah China berusaha menstabilkan perlambatan pada level antara 7 - 7,5 persen.
Korelasi perekonomian China sangat tinggi dengan Indonesia. Jika perekonomian China turun 1 persen,
itu berarti menyurutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,3 - 0,4 persen. Bahkan ketika serapan
komoditas ekspor Indonesia tinggi ke China, korelasinya lebih besar lagi. Satu persen pertumbuhan
ekonomi China berdampak bagus sebesar 0,6 persen pada peningkatan perekeonomian Indonesia.

Ini terjadi karena China pengimpor terbanyak produk-produk dari Nusantara.
China dan India adalah dua negara penyerap terbanyak komoditas ekspor dari Indonesia. Sebanyak 50 70 persen dari total ekspor adalah komoditas dan manufaktur. Volume ekspor itu didominasi komoditas
CPO dan batu bara.
Kurs dollar amerika semakin perkasa
Satu faktor lagi adalah, ketidakpastian akan suku bunga dan pertumbuhan ekonomi Amerika, yang
membuat gejolak dunia terutama yang berpengaruh pada pertumbuhan di negara berkembang.
Saat suku bunga AS naik, suku bunga Indonesia juga naik. Saat suku bunga AS naik, kurs rupiah melemah,
dan Indonesia terpaksa naikkan bunga supaya kurs tidak melemah.
Pernbedaan krisis 1998 dan 2015
1. Efek Penularan Regional: Phatphong Effect
Tahun 1998, krisis moneter yan sering disingkat krismon terjadi karena dampak penularan krisis Asia
terhadap Indonesia yang berlangsung begitu cepat. Ketika Thailand mengalami krisis baht sejak Juli
1997, Indonesia kemudian tertular, yang oleh para analis kala itu disebut sebagai “Phatphong Effect”.
Istilah ini merujuk pada satu lokasi di Bangkok, yang menjadi tempat hiburan malam.

Karena efek penularan itu, apalagi dipersepsikan semua negara atau perekonomian yang masuk
kelompok berkembang pesat (emerging markets) dianggap sama dengan Thailand, maka rontoklah
ekonomi Asia Tenggara. Dan dampak terbesar dirasakan Indonesia, karena nilai tukar rupiah yang tadinya
dikelola dalam sistem “managed float”, yang berarti nilai kurnya dikendaikandalam kisaran angka (band)
tertentu oleh Bank Indonesia –mirip penentuan harga BBM– kemudian dilepas ke pasar mulai 14 Agustus
1997.
Sejak pelepasan band menjadi free float itu, nilai tukar rupiah yang tadinya di level Rp2.500-an, bergerak
liar dan sempat menembus level Rp16.700 per dolar AS pada 1998. Maka semua perusahaan yang punya
utang dolar menjadi kolaps.Saat ini, efek kejutan seperti 1998 relatif tidak ditemukan karena rupiah
bergerak sesuai harga pasar. Tidak ada devaluasi atau pergerakan yang drastis, sehingga dampak
ekonomi lebih terprediksikan dan terkelola, dan risiko spekulasi tidak terlalu massive, seperti terjadi saat
nilai rupiah masih dipatok dan dikelola secara “mengambang terkendali” seperti sebelum tahun 1998.
2. Fundamental Ekonomi: Rapuh vs Relatif Solid
Pada 1998, fundamental ekonomi Indonesia memang benar-benar rapuh. Cadangan devisa sempat
elorot bahkan hingga di angka hanya US$15 miliar (Menurut penuturan pejabat BI kala itu bahkan
disebutkan di bawah US$10 miliar). Saat itu, posisi cadangan devisa Indonesia yang terbaik hanya

berkisar di angka US$21 miliar – US$25 miliar, sementara beban utang begitu besar. Debt to GDP
ratio bahkan sempat mencapai 60%, yang berarti penghasilan dari ekspor dan kekayaan Indonesia hanya
habis untuk membayar utang.

Jauh sebelum 1998, pemerintahan Soeharto pernah mengatakan nggak perlu khawatir soal utang
Indonesia, karena aset BUMN relatif besar untuk membayar utang. Akhirnya kejadian, pemerintah harus
menjual aset (privatisasi) BUMN untuk menombok kewajiban negara, bahkan membiayai APBN untuk
membiayai penyelenggaraan negara termasuk menggaji pegawai negeri.
Saat ini, situasi jauh berbeda. Cadangan devisa sudah melampaui US$111 miliar, dan rasio utang
terhadap GDP relatif rendah.
Namun persoalan yang kini dihadapi adalah defisit transaksi berjalan akibat pertumbuhan konsumsi
domestik yang besar, dan harus dipenuhi dari impor. Begitu pula industri manufaktur pun harus
mengimpor bahan baku atau barang modal. Indonesia juga impor bahan bakar minyak (BBM) dalam
jumlah besar karena kilang di dalam negeri sudah uzur. Masalah struktural inilah yang perlu diselesaikan,
untuk mengatasi tekanan defisit transaksi berjalan.
3. Pada 1998, Kondisi Sistem Perbankan Sakit Kronis
Bedanya lagi, krismon 1998 begitu dalam, hingga nilai ekonomi Indonesia anjlok -13% lebih. Gejolak nilai
tukar kemudian menghantam sistem perbankan dan aktivitas ekonomi yang memicu pemecatan
karyawan (PHK) secara massal. Bank-bank yang memperoleh pinjaman sindikasi dari luar negeri terpukul
bertubi-tubi, bukan hanya terkena jepitan ganda.
Perusahaan yang menjadi nasabah (debitur) perbankan saat itu tak sanggup membayar pinjaman,
sehingga kredit macet berjibun. Bank-bank kemudian kolaps, dan terpaksa dilikuidasi atau ditutup oleh
pemerintah. Likuidasi perbankan bersifat massal, tingkat kepercayaan terhadap sistem perbankan
ambrol.

Akibatnya, terjadilah rush atau pencairan dana nasabah besar-besaran yang terjadi di mana-mana,
sehingga pemerintah menyuntik dana (bailout) ke dalam sistem perbankan hingga ratusan triliun rupiah.
Beban obligasi pemerintah untuk bailout besar-besaran itu bahkan masih tersisa hingga saat ini.
Sebaliknya, sekarang ini sistem perbankan jauh lebih sehat, lebih transparan, akuntabel, dan tidak
mengalami masalah likuiditas, relatif bebas dari mismatch pendanaan, dan kredit macet yang besar
seperti tahun 1998.
4. Kebijakan masa lalu Sarat Vested Interest dan KKN
Hal ini menyebabkan ketidakpuasan politik yang meluas, bukan hanya di kalangan politisi aktivis, tetapi
juga kalangan aktivis mahasiswa.
Para pengusaha serta pemilik modal sejak pertengahan 1997 sudah mulai berjaga-jaga dan

memindahkan dana ke luar negeri.Capital outflow atau aliran modal keluar mulai terjadi sejak akhir
1997, yang memperburuk posisi fundamental ekonomi dan menjatuhkan nilai tukar rupiah.
5. Terdapat Risiko Politik: Krisis Kepercayaan Terhadap Pemerintahan Presiden Soeharto pada 1998
Ketidakpuasan terhadap sistem politik pada dekade 1990-an itu memicu ketidakpuasan terhadap rezim
pemerintahan. Sejak akhir 1997, demonstrasi merebak di berbagai tempat, menuntut suksesi
kepemimpinan hingga awal 1998.Kondisi gejolak politik ini menyebabkan tingkat kepercayaan terhadap
pemerintahan Orde Baru ketika itu anjlok, dan perekonomian Indonesia menjadi korban dari penarikan
uang dalam jumlah besar-besaran oleh pemodal asing (capital flight). Bahkan juga pemodal dalam negeri
membawa kabur uangnya ke luar negeri. Ini yang menjadi pemicu rupiah anjlok besar-besaran.Setelah

demokratisasi berlangsung hingga saat ini, praktik nepotisme sudah jauh berkurang, keterbukaan
informasi berlangsung dengan lebih baik, dan kini tingkat kepercayaan terhadap pemerintah relatif jauh
lebih baik. Demo kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu juga berlangsung singkat, dan kini relatif
sudah normal kembali. Artinya, risiko politik saat ini relatif jauh lebih rendah.
6. Pada Krisis 1998, Campurtangan Internasional Melalui IMF Mengakibatkan Indonesia tidak Memiliki
Kemandirian Kebijakan
Faktor lain atau kelemahan lain pada tahun 1998 dan beberapa tahun kemudian adalah kurangnya
kemandirian pemerintah dalam mendisain kebijakan ekonomi dan anggaran, karena dikendalikan oleh
Dana Moneter Internasional (IMF) lantaran Indonesia memperoleh pinjaman talangan dari lembaga itu.
Semua kebijakan ekonomi pemerintah harus mendapatkan persetujuan IMF, dan manakala kebijakan
yang disetujui dalam letter of intent yang ditandatangani pejabat pemerintah ada yang tidak terlaksana
karena satu dan lain sebab, dana talangan tidak dicairkan oleh IMF. Ini yang selalu memicu pelemahan
nilai tukar rupiah, kendati Indonesia sudah berada dalam pengawasan IMF, yang semestinya
mendapatkan kepercayaan yang lebih tinggi.
Bedanya dengan sekarang, kebijakan pemerintah Indonesia relatif mandiri, tidak didikte oleh kekuatan
eksternal, dan pemerintah dapat mendisain kebijakan lebih leluasa sesuai dengan kepentingan nasional
Indonesia.
7. Pada 2008, Terdapat Efek Lehman Brothers, Subprime Mortgage dan Krisis Global
Saat ini, faktor dominan pelemahan rupiah adalah kebangkitan kembali perekonomian Amerika yang
sudah terjadi sejak tahun silam, melalui tahapan yang disebut penarikan kembali obligasi (tapering) dan
kenaikan suku bunga the Fed. Orang menyebutnya dolar pulang kandang ke Amerika. Ini adalah faktor
ekonomi yang rasional, mekanisme pasar.
Bedanya dengan 2008, pada saat itu pemicu krisis rupiah adalah banyaknya perusahaan di Indonesia
yang tersangkut oleh obligasi sampah subprime mortgage di Amerika, yang menyebabkan Lehman
Brothers hancur. Ini faktor bad governance yang memicu krisis kepercayaan terhadap sistem keuangan di
AS kala itu.
Bank-bank di Indonesia saat itu juga mengalami kesulitan likuiditas. Puncaknya adalah krisis Bank

Century yang gagal kliring pada 13 November 2008, yang kemudian mendapatkan suntikan dana (bail
out) dari pemerintah. Bahkan kasus Century hingga saat ini masih berkepanjangan secara politik dan
hukum.
Selain itu, tanda-tanda krisis global juga berkecamuk pada 2008, menyusul kemudian krisis Yunani yang
memukul perekonomian Uni Eropa, yang menyebabkan harga komoditas kolaps, ekspor merosot, dan
memicu ketidakseimbangan ekonomi global
8. Peta Perekonomian Global Sudah Berubah
Berbeda dengan 1998, peta ekonomi global saat ini sudah berubah. Dominasi Amerika dan Eropa sudah
menyusut, digantikan oleh dominasi China dan India. Benchmark ekonomi gklobal saat ini bukan lagi
Amerika Serikat, tetapi perekonomian China.
Meski begitu, isu mengenai ekonomi AS masih tetap menjadi acuan, karena portofolio pengelolaan dana
berbasis dolar AS masih tetap tinggi. Namun, isu kenaikan suku bunga di Amerika Serikat pada akhirnya
akan berujung pada rasionalitas kembalian modal (return on investment). Akan hal ini, banyak yang
percaya, return in investment di Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan investasi di Eropa atau
bahkan Amerika. Daya beli konsumen Indonesia –dan Asia Tenggara– juga terus meningkat, sehingga
kawasan ini akan tetap menarik untuyk menanamkan modal hingga beberapa dekade mendatang.
Dengan kata lain, gejolak nilai tukar akan senantiasa bersifat sementara, sebagai ampak reaksi pasar yang
wajar, dan sebagai bagian dari proses menemukan keseimbangan baru. Pada akhirnya, ujungnya akan
sangat tergantung pada respon kebijakan domestik untuk menenangkan pasar.
9. Saluran Informasi yang Lebih Terbuka dan Bebas, Meminimalkan Informasi Asimetris yang Memicu
Spekulasi
Faktor pembeda lain dari masa 1998 adalah saluran informasi publik yang lebih bebas dan terbuka. Pada
saat krismon 1998, banyak terjadi ketidakadilan dan ketidakseimbangan informasi publik, karena
informasi penting yang mempengaruhi perekonomian dan kebijakan menjadi ‘milik’ kelompok yang
dekat dengan pembuat kebijakan, lantaran pers yang masih dikendalikan penguasa dan belum
bebas.Akibatnya, praktik spekulasi terhadap kebijakan, termasuk terhadap bisnis dan ekonomi serta
finansial, kerap terjadi dan membuat perubahan-perubahan mendadak dan mengagetkan yang
berdampak ‘rusuh’ bagi perekonomian.Sebaliknya, saat ini informasi publik begitu terbuka, yang dapat
diakses oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan termasuk pelaku bisnis, trader dan masyarakat
awam. Ini mengurangi efek negatif informasi asimetris, yang menekan praktik spekulasi terhadap sektor
keuangan.
10. Sistem Politik Saat Ini Lebih Demokratis
Tidak kalah penting adalah sistem politik yang lebih demokratis, kendati masih terus mencari bentuk dan
menjalani proses pematangan. Ssistem politik demokratis ibarat sistem ekonomi yang lebih terbuka dan
mengikuti kaidah mekanisme pasar, sehingga mengurangi efek kejutan dan perubahan-perubahan yang
mendadak dan spekulatif.

Dengan demikian, perubahan lebih terprediksikan dan lebih terukur. Dengan demikian, risiko ekonomi
pun lebih terkalkulasi dengan lebih akurat. Kondisi politik ini memberikan bantalan lebih empuk
terhadap kemungkinan terjadinya perubahan ekonomi yang drastis, karena menekan faktor krisis
kepercayaan terhadap pemerintah yang datang secara tiba-tiba.
Dari paparan diatas, sudah jelas memang krisis moneter 2015 dengan berbeda dengan krisis moneter
1998. Hanya saja masih meninggalkan pekerjaan rumah yang berat, yaitu : seberapa sigap pemerintahan
JOKOWI dalam mengimplemtasi rencana-rencana menghadapi situasi moneter 2015 dan seberapa kuat
konsolidasi kabinet pemerintah ?, supaya tidak menjadi sentimen-sentimen negatif yang justru
memperlemah Rupiah.
Indikator

1998

2008

2015

-13,10%

4,12%

4,67%

82,4%

12,14%

7,18%

Cadangan devisa

US$17,4 miliar

US$80,20 miliar

US$107,6 miliar

Kurs rupiah

Rp16.650/US$

Rp12.650/US$

Rp14.098/US$

Rasio utang

100%

27,4%

24,7%

30%

3,8%

3,6%

ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi
Inflasi

pemerintah
terhadap
produk
domestic bruto
(PDB)
Rasio kredit
bermasalah
(non performing

loan/NPL) gross
BI Rate

60%

9,5%

7,5%

Indeks harga

256

1.111

4.237

US$150,8 miliar

US$155,08 miliar

US$304,3 miliar

8,6 kali

3,1 kali

2,8 kali

197%

34,86%

14,03%

saham
gabungan (IHSG)
Total utang luar
negeri
(Pemerintah dan
swasta)
Rasio utang luar
negeri terhadap
cadangan devisa
Depresiasi
rupiah (posisi
terendah)
Risiko yang timbul pada 1998 ada risiko kredit ,risiko pasar dan risiko likuiditas
Risiko yang timbul pada 2015 adalah risiko pasar dan likuiditas