Soft Power dan Kekuatan Nasional (1)

Soft Power dan Kekuatan Nasional
( Achmad Djatmiko )

Konotasi Soft Power
Soft Power adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Joseph Nye, Jr.,
dari Universitas Harvard, untuk menggambarkan kemampuan suatu negara
dalam menarik dan mengajak (co-opt), dan bukan dengan cara memaksa,
menggunakan kekerasan, ataupun memberikan dana untuk mempengaruhi.
Belakangan ini, istilah Soft Power juga digunakan dalam membahas terjadinya
perubahan dan cara-cara mempengaruhi opini sosial melalui saluran-saluran
yang tidak kentara dan pendekatan (lobby), baik di organisasi politik maupun
non politik.
Pada tahun 2012, Nye menjelaskan bahwa dengan Soft Power “the best
propaganda

is

not

propaganda”


(propaganda

terbaik

adalah

bukan

propaganda”, dan juga menjelaskan bahwa “credibility is the scarcest
resource”

(kredibilitas

adalah

sumber

yang

paling


langka).

Nye

memperkenalkan istilah ini dalam bukunya, “Bound to Lead: The Changing
Nature of American Power”, (1990). Ia kemudian mengembangkan konsep
tersebut lebih lanjut melalui bukunya, “Soft Power: The Means to Success in
World Politics” (2004). Istilah soft power kini digunakan secara luas dalam
ranah hubungan internasional baik oleh para analis maupun praktisi dan
negarawan[1].
Pada tahun 2007, misalnya, Ketua Partai Komunis /Sekjen Tiongkok Hu Jintao,
di hadapan peserta Kongres ke-17 Partai Komunis Tiongkok menyampaikan
bahwa Tiongkok perlu meningkatkan kemampuan Soft Power-nya. Demikian
halnya Menteri Pertahanan AS Robert Gates, berbicara mengenai perlunya
1

meningkatkan

soft


power

AS

melalui

peningkatan

anggaran

belanja secara dramatis pada aspek-aspek masyarakat sipil dari keamanan
nasional seperti: diplomasi, komunikasi strategis, bantuan luar negeri,
keterlibatan masyarakat sipil, rekonstruksi dan pembangunan ekonomi.
Pada tahun 2010, Annette Lu, mantan wakil Pimpinan Taiwan berkunjung ke
Korea dan mendukung penggunaan Soft Power sebagai model resolusi konflik
internasional.

Jenderal


Wesley

Clark,

ketika

membicarakan

Soft

Power, berpendapat bahwa “soft powermemberikan kita jangkauan pengaruh
yang jauh lebih luas daripada politik tradisionalbalance of power “
Menurut Survey Monocle Soft Power tahun 2014, saat ini AS merupakan
negara yang tertinggi memiliki kemampuan Soft Power, disusul oleh Jerman,
Inggeris, Jepang, Perancis, Swiss, Australia, Swedia, Denmark dan Kanada.
Soft

Power

sering


disamakan

dengan

kekuatan

budaya

(Cultural

Power), meskipun sebenarnya tidak sama persis. Power adalah kemampuan
untuk merubah perilaku pihak lain dalam rangka mendapatkan apa yang kita
inginkan. Terdapat tiga cara untuk itu: dengan paksaan atau coersion
(diistilahkan

sebagai

“stick”),


pemberian

bantuan

dana(diistilahkan

sebagai “carrot”) dan ketertarikan atau attraction (soft power).
Suatu negara yang memiliki Soft Power bisa melaksanakan dalam tiga bentuk:
kebudayaan (di tempat-tempat yang bisa menarik kekaguman pihak lain),
nilai-nilai politik (ketika nilai tersebut berlaku di dalam dan luar negeri), dan
kebijakan luar negeri (jika pihak lain melihatnya sebagai nilai ideal/masuk
akal dan memiliki nilai moral).
Contohnya di Iran. Video dan musik Barat merupakan hal terlarang bagi para
Mullah yang berkuasa, tetapi sangat menarik pada generasi mudanya karena
dapat menyalurkan gagasan kebebasan dan menentukan pilihan. Kebudayaan

2

AS telah menghasilan Soft Power terhadap generasi muda Iran tetapi bukan
terhadap yang lainnya.

Adapun kaitannya dengan kakuatan ekonomi (economic power), Soft Power
sebenarnya tidak sama. Peter Brooke dari the Heritage Foundation cenderung
melihat Soft Powerdalam bentuk antara lain sanksi ekonomi. Kenyataannya
hal itu tidak tepat. Bila kita berada pada posisi sebagai pihak yang menerima
sanksi, pemberian sanksi jelas dimaksudkan sebagai alat paksaan sehingga ia
termasuk dalam kategori hard power. Meskipun demikian, kekuatan ekonomi
memang dapat dialih-bentuk menjadi soft power ataupun hard power. Sebuah
negara bisa memaksa negara lain dengan sanksi atau membujuk dengan
kesejahteraan.
Waler

Russel

Mead

berpendapat

bahwa

kekuatan


ekonomi

merupakan sticky power, memiliki kekuaan yang solid dengan daya rekat
tinggi; ia dapat meraih apa yang ia ingin raih. Tidak bisa dipungkiri bahwa
kesuksesan suatu negara di bidang ekonomi menjadi salah satu sumber daya
tarik terhadap negara tersebut. Meski demikian, tidaklah mudah membedakan
manakah hubungan dan kerjasama ekonomi yang bisa dikategorikan
sebagai soft power dan mana yang hard power. Para pemimpin negara Eropa
menggambarkan bahwa keinginan negara-negara Eropa lain bergabung
dengan Uni Eropa (UE) merupakan tanda suksesnya soft power Eropa.
Penggunaan Soft Power dalam hal tertentu dipandang lebih manusiawi
dibandingkan dengan penggunaan hard power. Soft power telah dianggap
sebagai alternatif lain bagi penguasa politik karena seolah-olah lebih etis di
mata pembuat kebijakan dan para pengamat. Namun, soft power sebenarnya
merupakan sebuah konsep, bukan sebuah resep etis dari dokter. Sama halnya
dengan power lainnya, ia bisa dimanfaatkan untuk kebaikan maupun
keburukan, tergantung pemiliknya.

3


Hitler, Stalin ataupun Mao, semuanya memiliki banyak sumber

soft

power yang melimpah di mata pengikutnya. Tetapi tidak harus diartikan
bahwa menggerakkan pikiran dan gagasan yang mereka lakukan lebih baik
dibanding penggunaan kekerasan bersenjata. Jika seseorang ingin mencuri
uang seseorang lainnya, ia bisa melakukannya dengan ancaman senjata atau
dengan cara merayu untuk berinvestasi melalui penawaran skema cepat kaya.
Atau dapat juga menggunakan rayuan agar menyerahkan rumahnya dengan
alasan sebagai persyaratan spiritual. Cara ketiga adalah melalui soft
power namun hasilnya belum dapat dipastikan.
Meskipun soft power berada di tangan pihak yang salah sehingga berpotensis
menghasilkan konsekuensi yang buruk, dalam beberapa hal, tetap saja ia
menjadi alat yang secara moral lebih unggul dalam mencapai tujuan tertentu.
Kita bandingkan konsekuensi hasil perjuangan dari Mahatma Gandhi dan
Martin

Luther


King

Jr.,

yang

keduanya

menggunakan

soft

power, dengan perjuangan bersenjata Yasir Arafats. Gandhi dan King terbukti
mampu menarik banyak pengikut yang moderat sepanjang waktu dengan
hasil yang mengesankan dan efektif secara etis. Adapun strategi Arafat
dengan menggunakan hard power telah mengakibatkan terbunuhnya banyak
korban di kedua pihak baik Palestina maupun Israel, sehingga antara lain telah
mendorong kelompok moderat Israel ikut mengangkat senjata melawannya.
Terhadap pandangan bahwa soft power terlalu fleksibel dan tidak mudah

diukur, hal ini tidak sepenuhnya benar. Pandangan seperti itu disebabkan oleh
kegagalan

dalam

membedakan

antara

sumber

power

dan

perilaku (behaviour). Kenyataanya, sangat dimungkinkan untuk mengukur
secara kuantitatif sumber-sumber power. Kita, misalnya, bisa mengukur dan
membandingkan kebudayaan, komunikasi dan sumber-sumber diplomatik
yang menghasilkan soft power bagi negara tersebut. Survey pendapat umum
pun bisa digunakan untuk mengukur perkembangan daya tarik yang dimiliki

4

suatu negara dari waktu ke waktu. Sebaliknya, ketepatan pengukuran
sumber-sumber hard powerjusteru seringkali diragukan dan berpotensi
menghasilkan kesalahan fatal karena hanya aspek-aspek penting tertentu
saja yang dilihat dan diperhitungkan. Amerika memiliki jauh lebih banyak
sarana militer dibanding Vietnam Utara, tetapi terbukti mengalami kekalahan
dalam Perang Vietnam.
Jadi, apakah soft power membuahkan perubahan sikap atau perilaku pihak
lain seperti yang diinginkan sangat tergantung pada kontek dan keterampilan
yang kemudian dapat dihitung dan dianalisis berdasarkan hasilnya.

Kekuatan Nasional
Kekuatan nasional yang utuh meliputi baik hard power maupun soft power dan
pengaruhnya terhadap hubungan internasional. Dalam konteks ini, soft
power telah dipandang sebagai komponen kekuatan nasional yang sangat
penting karena terkait dengan kekuatan yang tidak kasat mata seperti
budaya, ideologi dan sistem sosial. Universalitas budaya suatu negara dan
kemampuannya menetapkan norma, peraturan dan regim yang mampu
mewarnai pola hubungan internasional merupakan sumber utama kekuatan
nasional. Meskipun tidak nampak (intangible) keberadaannya dapat diukur
dari soliditas bangsa tersebut, popularitas budayanya di mata dunia dan
perannya dalam lembaga-lembaga dunia.
Terdapat komponen penting di dalam kekuatan nasional yang disebut tujuan
strategis dan keinginan nasional. Tujuan strategis mencerminkan kepentingan
nasional suatu negara. Suatu strategi nasional menetapkan tujuan strategis
di dalam lingkungan internasional tertentu. Keinginan untuk menerapkan
strategi nasional berasal dari tingkat kepercayaan dan dukungan rakyatnya
yang dapat dikerahkan untuk pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri.
5

Kepercayaan dan dukungan rakyat berasal dari banyak faktor seperti
kerekatan nasional, kepemimpinan politik, efektivitas pemerintahan, dan
perhatian rakyat terhadap strategi dan kepentingan nasional.
The Institute of Comprehensive Studies di Jepang, dalam mengkaji secara
komprehensif mengenai kekuatan nasional Jepang, menemukan adanya 3
faktor penting kekuatan nasional suatu bangsa, yaitu kapasitas bagi dukungan
internasional (capacity for international contributions), kemampuan bertahan
hidup (survival ability), dan kapabilitas melakukan paksaan (coercive
capability).
Kapasitas

dukungan

internasional

mencakup

sikap

positif

terhadap

keterlibatannya di berbagai masalah internasional dan keikutsertaan dalam
dukungan bagi masyarakat dunia. Kemampuan bertahan hidup mencakup
keinginan;/tujuan

nasional

dan

aliansi-aliansi

bersahabat.

Coercive

capabilities menekankan kemampuan negara dalam mengelola hubungan luar
negerinya. Sementara konsep ini dikembangkan, Japan’s Comprehensive
National Power juga menaruh perhatian terhadap soft power. Dalam konteks
ini, tanpa adanya semangat nasional yang kuat, sebuah bangsa tidak akan
mampu secara efektif manangani potensi krisis-krisis internasional. Tanpa
budaya yang kuat dan memiliki gaung internasional, sebuah bangsa tidak
akan

memiliki

kekuatan

ataupun

pengaruh

dalam

berbagai

kegiatan

internasional[2].
Terkait kekuatan nasional ini, Robert Thompson melihat Bahwa “sasaran”
(will) termasuk suatu jenis kekuatan nasional. Dalam Grand Strategy, John
M. Collins telah membuat daftar yang menjadi elemen kekuatan nasional:
kekuatan politik (political forces) yang memiliki berdampak di lingkungan
domestik maupun arena internasional, karakter masyarakat (the people’s
character), nilai-nilai ethika dan pendidikan; serta faktor-faktor menonjol
lainnya.

Menurut

Joseph

Frankel
6

dalam

bukunya

International

Relations kekuatan nasional adalah “the ability to affect the psychology and
behavior of others”.
Sedangkan Hans J. Morgenthau, dalam bukunya Politics among Nations,
berpendapat bahwa kebangsaan (nationality), etika nasional (national ethics),
kualitas

diplomasi(diplomatic

quality),

dan

karakteristik

pemerintahan

membuahkan kekuatan nasional. Nicholas Spykman, juga berpendapat bahwa
hal-hal menyangkut soft power seperti homogenitas nasional (national
homogeneity), kerekatan sosial (social comprehensiveness), stabilitas politik
(political stability) dan nilai-nilai etika nasional(national ethics) menjadi
bagian penting dari kekuatan nasional.
Huang Shuofeng, dalam bukunya On Comprehensive National Power,
berpendapat bahwa kekuatan nasional yang menyeluruh dan pengaruh
internasional dengan material power dan mental power yang dimiliki sebuah
bangsa untuk bertahan hidup dan berkembang sangat menentukan. Soft
power terdiri dari berbagai kekuatan, yaitu politik, budaya, pendidikan,
diplomatik dan sinergis. Kekuatan politik meliputi sistem politik, tujuan
strategis,

stabilitas

sosial

dan

kerekatan

nasional,

serta

sistem

kepemimpinan, organisasi dan pengambilan keputusan secara nasional.
Kekuatan

pendidikan

dan

budaya

meliputi

kualitas

tenaga

kerja,

pembangunan SDM, sistem daninvestasi pendidikan, objektivitas dan kualitas
para pengajar; kualitas para pekerja seni budaya, lembaga penyiaran, dunia
perfilman

dan

pertelevisian;

penerbitan

buku,

majalah,

jurnal

dan

pengaruhnya di panggung internasional. Kekuatan diplomatik meliputi
hubungan, kebijakan dan kegiatan luar negeri, dan kemampuan dalam
memberikan dukungan terhadpa masyarakat internasional. Kemampuan
sinergi merujuk utamanya pada kemampuan pengendalian makro dan
pengembangan sinergi. [3]

7

Pendeknya, soft power sebagai salah satu bentuk dari kekuatan mental
(mental power), merupakan bagian penting dari seluruh kekuatan nasional.
Unsur-unsur kekuatan mental semuanya dalam kategori budaya, yang intinya
menyangkut tata nilai. Adapun mengenai unsur-unsur budaya, kebanyakan
penjelasan mengesankan kesamaannya dengan soft power. E. B. Taylor,
seorang antropolog Inggeris, mendefinisikan budaya sebagai sebuah entitas
kompleks meliputi pengetahuan (knowledge), kepercayaan (beliefs), seni
(art),

moralitas

(morality),

hukum

(law),

kebiasaan

(custom),

dan

kemampuan atau kebiasaan yang dimiliki manusia dari lingkungannya.
Dua antropolog Amerika bersikukuh bahwa kebudayaan merupakan sebuah
sistem yang secara historis tercipta, baik dalam bentuk yang nyata maupun
tersembunyi, dengan berbagai tendensi yang dikukuhi oleh masyarakt secara
menyeluruh atau sebagian saja, dalam periode tertentu. Seorang sarjana
Jerman menyebutkan bahwa budaya adalah sebuah bentuk kehidupan yang
didasarkan pada disiplin mental atau kapabilitas pemikiran.
Yang lainnya berpendapat bahwa karakter dasar dari budaya adalah sebuah
kreativitas manusia. Apa yang diciptakan oleh umat manusia, baik berupa
material atau mental dan produknya, semuanya termasuk dalam kategori
budaya.[4]

Denghan demikian, dalam pengertian luas, budaya adalah

gabungan dari kekayaan material dan spiritual yang tercipta dalam sejarah
masyarakat manusia. Dalam pengertian sempit, budaya adalah ideologi sosial
dan sistem dan kelembagaan yang berhubungan, mencakup gagasan,
pemikiran dan sistem politik terkait, hukum, moralitas, seni, agama dan
pengetahuan.
Dari sudut pandang apapun, budaya bukanlah suatu entitas yang statis, tetapi
suatu

proses

yang

dinamis.

Adapun

kesamaannya

dengan

soft

power, budaya bersifat relatif terhadap politik, ekonomi dan militer.

8

Diperlukan pembahasan khusus mengenai perannya dalam hubungan
internasional dari sudut pandang ideologi dan sifat dasar manusia.

Sumber Diplomasi soft Power Indonesia
Perkembangan hubungan internasional saat ini semakin mengarah pada
persaingan soft power masing-masing negara. Tata nilai dan budaya regional
dan global tengah dalam proses interaksi menuju tatanan dunia baru
berikutnya. Indonesia tentunya harus melibatkan diri dalam persaingan
tersebut dengan lebih mendayagunakan sumber kemampuan soft power yang
dimiliki. Sebagaimana digambarkan Siswo Pramono, pasar Asia menuntut
nilai-nilai bersama yang berkarakter universal sehingga mampu berintegrasi
dengan pasar global, dan tetap mempertahankan originalitasnya sehingga
tetap berpijak pada identitas budayanya sendiri[5].
India dapat dijadikan contoh kasus. Meluasnya pengaruh besar India di Asia
adalah di bidang kebudayaan, bahasa, agama, gagasan dan nilai-nilai, bukan
akibat penaklukan berdarah. Tersebarnya Hinduisme dan Buddhisme ke
seluruh penjuru Asia mencerminkan keberadaan investasi India di bidang soft
power yang telah dimulai sejak permulaan abad ini. India kemudian telah
membangun Dewan Hubungan Kebudayaan India (Indian Council for Cultural
Relations-ICCR)

di

negara-negara

yang

memiliki

banyak

komunitas

diasporanya. Pasar-pasar Asia kini dibanjiri dengan film produksi Bollywood,
seni kontemporer India, termasuk dunia model India[6]
Dengan cara yang tidak berbeda, Tiongkok membangun 100 Institut
Confusius

di

luar

negeri,

untuk

mempromosikan

kebudayaan

dan

pengetahuan mengenai Tiongkok. Sementara itu, Lembaga Pengajaran
Bahasa Tiongkok sebagai bahasa Asing (National Office for Teaching Chinese

9

as a Foreign Language — NOCFL), semacam TOEFL, telah menyiapkan 10,000
tenaga relawan pengajar untuk mengajar di sebanyak 23 negara.
Tidak berlebihan bila kita dapat membayangkan akan munculnya realitas baru
dalam percaturan global bahwa baik India maupun Tiongkok merupakan
kekuatan politik global yang sedang tumbuh, dengan mendapatkan sambutan
dan dukungan dari negara-negara Asia. Menjadi pertanyaan menarik apakah
India dan Tiongkok layak disebut juga sebagai ‘superpower’ dunia meskipun
dalam format yang berbeda dengan yang dikenal selama ini.
Terinspirasi oleh penggunaan ekstensif soft power dan nilai-nilai budaya India
dan Tiongkok, Siswo Pramono menilai pentingnya Indonesia menggali nilainilai leluhur bangsa yang telah melekat dengan identitas bangsa hinga sampai
sekarang. Siswo menemukan adanya nilai-nilai yang diberi nama ‘pluralisme
akomodatif’ (accomodative plurallism). Nilai-nilai ini sungguh kuat sebagai
perekat eksistensi dan kesinambungan bangsa Indonesia. Nilai tersebut telah
lahir dan dianut sejak masa kejayaan Kerajaan Majapahit (1293-1527)
dengan menguasai wilayah dari Samudera (Sumatera Utara) hingga Wanin di
pantai berat Papua. Luasnya wilayah yang meliputi seluruh Asia Tenggara
mencerminkan kemampuan akomodatif yang dapat dijadikan anutan.
Mantra sakti yang dimiliki untuk integrasi politiknya adalah adanya nilai
‘pluralisme akomodatif’ sebagai dasar filosofis dan hubungan luar negerinya.
Demikian halnya, Majapahit pun menganut prinsip “Bhineka Tunggal Ika”,
yang tetap dianut Indonesia hingga sekarang dalam memperkokoh ketahanan
dalam negeri. Nilai akomodatif dibuktikan lewat terjadinya transformasi damai
dari tradisi Budisme ke Islam saat raja terakhir Majapahit, Brawijaya, yang
beragama Buddha, mewariskan tahta kepada anaknya, Raden Patah, Sutan
Demak pertama yang beragama Islam.

10

Kuatnya dasar dan sumber soft power Indonesia menjadi landasan untuk
secara

cermat

memberdayakan

soft

power

dalam

pergaulan

antar

bangsa/negara. Sebagaimana dilakukan India dan Tiongkok, Indonesia pun
dapat mendirikan semacam Pusat Budaya Indonesia di setiap Perwakilan RI
di

luar

negeri

untuk

kepentingan

jangka

panjang.

Hal

ini

sangat

dimungkinkan, menjadi bagian dari perhatian dan program kerja kantor
Perwakilan RI di luar negeri di semua tingkatan, baik di Kedutaan Besar,
Konsulat Jenderal, Konsulat ataupun Perwakilan Tetap PBB. Hal ini secara
praktis tidak akan mengalami kendala karena selama ini kegiatan promosi
budaya telah dan selalu dilakukan oleh Perwakilan RI, sebagai bagian dari
program fungsi Pensosbud.
Pendirian Pusat Budaya ini tidak perlu harus dengan mendirikan semacam
‘kantor’ khusus, tetapi dengan memanfaatkan salah satu ruangan kantor
Perwakilan. Ruang Budaya tersebut secara khusus dilengkapi dengan berbagai
sarana dan program budaya yang rutin dan kreatif. Sungguh tidak
memerlukan persiapan dan biaya ekstra, selain perhatian dan instruksi tegas
dari pemerintah Pusat di Jakarta. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) pun
bisa diupayakan dengan memanfaatkan keberadaan komunitas diaspora di
negara setempat.
Selain itu, telah cukup lama Indonesia menawarkan pemberian beasiswa
kepada para pelajar di berbagai negara melalui skema Dharma Siswa di
hampir seluruh penjuru dunia. Beasiswa tersebut pun telah dimanfaatkan oleh
para pelajar dari berbagai negara dan para lulusan Dharmasiswa pun terbukti
telah menjadi bagian dari komunitas “friends of Indonesia’ yang sangat
potensial untuk dimanfaatkan.
Perhatian terhadap ekonomi tetap menjadi prioritas Pemerintah, namun
demikian dalam implementasi selanjutnya, yang harus lebih banyak dilakukan
Pemerintah adalah memberikan fasilitasi dan perangkat kebijakan serta upaya
11

promosi di luar negeri. Aktor utamanya adalah pihak swasta yang langsung
berhubungan dalam dan bermain di panggung ekonomi dunia. Sebagai
komponen bangsa, sektor swasta pun punya andil dan berperan nyata dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang setiap individunya adalah para
pekerja yang mendukung roda perekonomian.
Penetapan prioritas pada diplomasi ekonomi harus dibarengi dengan
pengerahan sumberdaya soft power untuk kepentingan dan kesinambungan
jangka panjang. Sebab, sesuai uraian di atas, ketika penggunaan soft
power telah semakin meluas, citra dan popularitas Indonesia semakin
meningkat di kancah regional maupun global, dengan sendirinya sektor
ekonomi pun bergerak maju semakin mapan. Dengan telah kuatnya
keberadaan soft power Tiongkok dan India, misalnya, maka produk-produk
dan komoditi keduanya pun dengan relatif mudah merambah ke berbagai
pelosok dunia, baik dalam bentuk makanan, kerajinan maupun hasil
teknologi.
Sudah saatnya Indonesia menetapkan dan lebih mengimplementasikan soft
power dalam prioritas kebijakan luar negerinya. Diperlukan kesepakatan
bersama seluruh komponen bangsa untuk menyadari dan menyetujui
pentingnya soft power dewasa ini dalam meraih simpati dan ketertarikan
masyarakat dunia terhadap Indonesia. Soft power adalah jawaban terhadap
strategi tepat guna untuk kepentingan luar negeri jangka panjang Indonesia.
_____
[1] Joseph S. Nye, Jr., in "Soft Power: The Means to Success in World Politics"
(New York: Public Afairs, 2004).
[2] Hua Jian et al, The Competition for Soft Power: Trends of Cultural
Competition in the Context of Globalization (Shanghai Academy of Social
Sciences Press and China Higher Education Press, 2001), p. 5

12

[3] Huang Suofeng, Comprehensive National Power Studies (Chinese
Academy of Social Sciences Press, 1992), pp. 102, 164-165.

[4] Gan Chunsong, Modernization and Cultural Option (Jiangxi People Press,
1998), pp. 2-4.
[5] Siswo Pramono, The Jakarta Post, Jakarta, ‘Resources of Indonesian soft
power
diplomacy’
June
28
2010.
Selengkapnya
dapat
dilihat
di: http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/28/resources-indonesiansoft-power-diplomacy.html#sthash.c44sqED0.dpuf
[6] Kirsten Bound (et.al.), 2007, “Cultural Diplomacy”.

-----------------------------------[i] Drs. Achmad Djatmiko,MA., adalah seorang diplomat senior
bergelar Minister Counsellordan praktisi hubungan luar negeri yang telah
melaksanakan penugasan di berbagai negara (Laos, Jepang, Denmark,
Singapura dan Malaysia). Saat ini sebagai Staf Senior pada Pusdiklat
Kementerian Luar Negeri.

13