Mitos Dalam Film Denias Analisis Semioti
MEMBACA MITOS DAN REPRESENTASI
PADA FILM DENIAS, Senandung Di Atas Awan;
Analisis Semiotika Roland Barthes
MITOS DAN REPRESENTASI
PADA FILM “DENIAS, Senandung di Atas Awan”
PENGANTAR
Beberapa shot dari scene pilihan pada film ini akan menjadi bahan analisis dengan menggunakan
pendekatan Semiotika Roland Barthes, terutama mengenai Mitologi yang diungkapkan oleh Roland
Barthes sebagai sebuah praktik signifikansi yang merepresentasikan objek yang ditampilkan. Pandangan
tentang konsep – konsep teoritik disarikan dari buku Roland Barthes Mythologies (1991) , Representation
(1997) Stuart Hall, dan juga dari slide perkuliahan yang membahas tentang ‘Film Semiotics’ yang
memuat pandangan Christian Metz (1971) tentang Sinematografis.
Film DENIAS, Senandung di Atas Awan ini berdurasi selama satu jam lima puluh menit dan
memiliki Sembilan puluh tiga scene. Narasi tentang Sekolah, Strata social, kuasa uang, Jawa – Papua,
guru , tentara dan nasionalisme melalui berbagai tampilannya menjadi tema – tema kunci dalam Film ini.
Mitos dan representasi pun hadir dalam tema – tema yang disebutkan di atas melalui berbagai artikulasi
sinematikanya yang pada kesempatan ini akan ditelaah satu per satu melalui konsep Semiotika Roland
Barthes.
ANALISIS
Shot 1 scene 3
Cerita pada film diawali dengan upacara pemasangan koteka kepada penduduk suku Denias yang
dianggap sudah dewasa dan di tandai dengan pemisahan Hanoi laki-laki dan perempuan dari mereka yang
telah dipasangi koteka.
Signifikasi 1 : Dalam acara adat tersebut yang juga dihiasi dengan acara makan bersama ubi dan
beberapa hidangan lainnya, ibu Denias berpesan kepada Denias:
Denias, kau sudah besar e,
Tapi kau jangan nakal e,
Kalau kau nakal, gunung di sana akan makan kau
Tapi kalau kau rajin, pintar sekolah,
Gunung di sana takut sama kau……
Scene 4
Scene 4
Denias hanya tampak serius mendengarkan nasehat ibunya tersebut yang dia panggil dengan sebutan
‘mama’. Dia hanya mengangguk – angguk tanda mengiyakan apa yang disampaikan oleh mama-nya.
Signifikasi 2:
Ucapan ibu Denias tersebut bisa dimaknai bahwa dengan bersekolah dan menjadi orang
pintar, maka gunung pun dapat ditaklukkan. Dan hal tersebut menjadi pembenaran
kepada Orang – orang Papua bahwa pengerukan gunung dan pengambilan gunung, hutan,
dan tanah mereka bagi orang yang berpendidikan adalah sah adanya. Itulah mitos yang
termuat dalam dialog tersebut. Yang dalam sorot kamera menempatkan mama Denias
sebagai pusat pembicaraan yang di-dominan-kan.
Scene 11
Scene 11
Signifikasi 1 :
Sekolah berada di atas gunung
Denias dan teman – temannya belajar di Sekolah yang ada di kampungnya tanpa seragam dan tanpa
sepatu,
ketika mendengar dan melihat helicopter membawa bantuan untuk warga di kampungnya, mereka
berlarian karena sangat ingin naik di helicopter tersebut.
Pak guru tidak bisa menahan kehendak murid – muridnya
Guru bukan orang asli Papua, tapi merupakan Guru utusan dari Jawa
Bendera Merah Putih berdiri miring
Signifikasi 2 :
Orang Papua masih terbelakang dan sulit diatur. Hanya orang dari luar Papua (terutama ditekankan dari
Jawa) yang bisa membantu orang Papua untuk keluar dari keterbelakangan itu melalui Pendidikan.
Bendera Merah putih yang berdiri miring menandakan bahwa kehadiran Negara belumlah sepenuhnya
sempurna sesempurna tegak berdirinya Bendera Merah Putih di wilayah yang kehadiran Negara benar –
benar ada.
Scene 15
Signifikasi 1 :
Denias yang sudah berkelahi dengan Noel dinasehati oleh Pak Guru dengan dongeng tentang Jen dan
Kacang Polong. Pak Guru juga memotivasi Denias untuk terus bersekolah dan jangan suka berkelahi
Signifikasi 2 :
Anak – anak di Papua sejak kecil suka berkelahi dan keberadaan Guru yang berasal dari luar Papua sangat
dibutuhkan dalam menebar mimpi – mimpi tentang kemajuan yang ideal.
Scene 27
scene 27
Signifikasi 1 :
Pak Guru pulang ke Jawa karena pindah tugas dan murid – muridnya melepas dengan haru tangis.
Dijemput dengan helicopter TNI AD
Signifikasi 2 :
Ada peran vital TNI AD dalam hal transportasi di daerah terpencil di Papua. Termasuk untuk
mencerdaskan anak – anak Papua yang Guru-nya pun harus mendapatkan bantuan dari TNI AD dalam hal
transportasi.
Anak – anak Papua yang berkeinginan untuk sekolah sangat membutuhkan keberadaan Orang luar Papua
dari belahan Indonesia lain untuk tetap mengajari mereka.
Scene 33
Scene 33
Signifikasi 1 :
Anggota Kopassus TNI AD (Maleo) menjadi menggantikan guru mengajar di Sekolah Denias
Maleo mengajarkan tentang Peta Indonesia, menunjukkan Peta Pulau Jawa. Muridnya meributkan soal
apakah murid – murid di Jawa memakai seragam atau tidak? Di jawa juga Ada kuskus kah? Maleo
menjawab iya, di Jawa murid – murid pakai seragam sekolah dan Di Jawa tidak ada kuskus tapi di sana
banyak tikus. Itu kata Denias menyambung cerita Maleo tentang Jawa.
Noel sebagai Anak kepala Suku Besar berdiri dan mengatakan kalau mau sekolah pakai seragam harus ke
kota dan yang bisa sekolah di sana hanya dia karena punya dia adalah anak Kepala Suku dan punya uang
banyak. Denias mencela dan mereka ribut.
Bapak Denias memaksa Denias tinggalkan sekolah dan menyuruhnya membantu di Kebun
Signifikasi 2 :
Maleo mengajarkan tentang Modernisme dengan pelajaran Peta, doktrin NKRI ala doktrin prajurit TNI.
Anak – anak Papua ingin seperti anak-anak di Jawa yang berseragam ketika sekolah.
Kembali ditegaskan bagaimana mimpi akan kemajuan sekolah di kota dan di Jawa. Dan yang bisa
mengaksesnya hanyalah mereka yang berstrata social atas dan mempunyai banyak uang. Kepala Suku dan
Uang dimitoskan sebagai penguasa di Tanah Papua. Dan Jawa dimitoskan sebagai pusat kemajuan
sementara Papua terutama di pedalamannya direpresentasikan sebagai wilayah yang terbelakang.
Jawa disebutkan punya banyak ‘Tikus’ bukan Kuskus seperti di Papua. Metafore tikus bisa diasosisaikan
sebagai penilap uang rakyat yang memiskinkan dan membuat Papua terbelakang selama ini.
scene 36
Signifikasi 1 :Bapak Samuel (Bapak Denias) menggertak Maleo yang meminta Denias untuk tetap
Sekolah.
Bapak Samuel Bilang disini bukan Jawa, semua anak laki-laki harus bantu mereka punya bapak
Jangan bilang nanti,nanti dan nanti, saya (Samuel) butuh sekarang, sekarang, sekarang, dan sekarang.
Signifikasi 2 :
Orang tua Papua di representasikan sebagai penghambat kemajuan anak – anak mereka sendiri. Orang
Papua memiliki visi pemikiran yang sempit dan pendek. Sekolah dan kemajuan pendidikan ditanamkan
sebagai mitos yang bisa membantu banyak nantinya bagi penduduk asli Papua yang sebenarnya juga ingin
maju. Sentimen terhadap Jawa pun yang dianggap selalu ingin men-jawa-kan Papua juga dimunculkan
dalam percakapan ini. Terlihat Samuel sangat marah kepada Maleo yang dianggap banyak ikut campur
soal sekolah Denias, padahal dia adalah tentara dan bukan tugasnya.
Scene 39
Signifikasi 1 : Kepala Suku Besar (Bapak Noel) menegur Maleo yang membuat Honai untuk tempat
belajar Denias dan teman – temannya setelah sekolah sebelumnya rubuh akibat gempa.
Kepala Suku mengatakan : ‘Maleo siapa suruh kau bikin Honai di tanah itu? Ko kira ko pu tanah kah?
Saya sihir ko mati’.
Noel Nampak meledek Maleo dan murid – murid lain termasuk Denias atas tak kuasanya mereka di
hadapan Bapaknya yang kepala suku beserta pengawal bapaknya.
Maleo tidak bisa berbuat banyak.
Signifikasi 2 :
Kepala Suku adalah penguasa local di Papua. Tentara pun berani dibentak dan itu berarti membentak
Negara. Kepala Suku adalah salah satu penghambat terbesar kemajuan di Papua terutama kemajuan
pendidikan dengan bersikap menentang pendirian sekolah di atas tanahnya tanpa sepengetahuannya.
Scene 42
scene 43
Signifikasi 1 :
Denias dan teman – temannya memakai Seragam Sekolah sampai tertidur di malam hari di barak tempat
tinggal Maleo. Maleo mengatakan kepada Denias bahwa dia bisa dapat pengecualian untuk sekolah di
kota karena dia jauh lebih pintar disbanding anak – anak yang lain yang juga berasal dari kalangan tidak
ber-uang dan bukan anak kepala suku.
Signifikasi 2 :
Anak – anak Papua tetap sangat merindukan bersatu dengan Indonesia. Ingin maju seperti anak – anak
sekolah di kota dan di Jawa. Tapi karena kendala fasilitas dan akses yang terbatas, hanya yang pintar saja
yang memiliki kelebihan secara akademik yang bisa memungkinkan mengakses fasilitas tersebut selain
anak dari keluarga terpandang dan anak orang kaya.
Scene 55
scene 55
Signifikasi 1 :
Denias dengan muka murung melihat dari luar pagar anak – anak Sekolah di Kota berolahraga.
Signifikasi 2 :
Anak Papua dari pedalaman juga ingin sekolah seperti anak – anak kota dan anak kepala suku. Tapi
mereka dibatasi oleh pagar – pagar pembatas yang begitu tinggi.
Scene 61
scene 61
Signifikasi 1 :
Ibu Gembala (Ibu Guru Sam) yang berkulit coklat dan rambut lurus memanggil Denias yang ingin
Sekolah
Bu Sam menanyakan mereka dari mana? Suku apa? Punya rapor apa tidak?
Denias tidak punya rapor, tapi hanya punya peta pemberian Maleo
Signifikasi 2 :
Ikatan Suku dan Administrasi Negara menjadi persyaratan kemajuan di Tanah Papua. Keluguan dan
ketidak majuan menjadi tanda ketika Denias dimintai rapor tapi justru memberikan peta. Denias tidak
terdaftar sebagai murid Indonesia secara administrative tapi punya jiwa Nasionalisme yang tinggi dengan
memberikan peta NKRI secara utuh kepada Bu Sam. Jiwa Nasionalisme dan pro-NKRI melampaui
keterikatan secara administratif.
Scene 68
Scene 73
Signifikasi 1 :
Rapat Dewan Guru yang membahas usul bu Sam yang meminta Denias diterima untuk Sekolah. Rapat
Yayasan mendengarkan keberatan pengurus yayasan dan Kepala Suku di sekitar Sekolah YPJ Kuala
Kencana Jayawijaya. Guru dan Pengurus Yayasan yang asli Papua sendiri yang keberatan menerima
Denias. Kepala sekolah juga yang orang luar Papua menyebut Papua dan Enos sebagai gelandangan yang
tidak pantas sekolah disitu. Bu Sam yang dari luar Papua disorot sebagai pengusul untuk menerima
Denias yang bukan siapa – siapa di mata dewan guru, kepala sekolah dan pengurus yayasan.
Signifikasi 2 :
Direpresentasikan Orang Papua sendiri dan juga dari luar Papua melakukan diskriminasi terhadap akses
pendidikan di Papua. Bu Sam sebagai sosok Guru Perempuan yang berasal dari luar Papua adalah pejuang
antidiskriminasi. Dimitoskan Orang luar Papua yang berpikiran majulah yang sebenarnya yang peduli
terhadap kemajuan masyarakat kelas bawah Papua.
Scene 90
Signifikasi 1 :
Denias diterima bersekolah, menggunakan Seragam, menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil
melakukan Hormat
Signifikasi 2 :
Nasionalisme anak Papua
Scene 91
Scene 91
Signifikasi 1 :
Denias dan Enos ikut upacara di Sekolah, Enos memperlihatkan Rapor yang telah diambilnya dari
rumahnya yang jauh di kampungnya.
Menghormati bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya
Signifikasi 2 :
Dimitoskan bahwa Usaha keras untuk maju adalah kunci bagi anak – anak Papua. Butuh pengorbanan
untuk mendapatkan hak – hak mereka. Yang seharusnya diberikan oleh Negara secara merata sebagai
kewajibannya kepada Warga Negara.
Setelah bersusah payah mendapatkan hak pendidikan yang seharusnya tidak sesulit itu, Denias dan Enos
pun harus menghormati Negara yang menyusahkannya untuk maju.
Orang Papua yang meski penuh diskriminasi dan sangat sulit mengakses peran Negara tetap memiliki
jiwa Nasionalisme pro NKRI yang kuat. Meski Enos kelihatannya masih kebingungan dan hanya sekedar
ikut saja melakukan hormat kepada Bendera Merah Putih.
Scene 92
Signifikasi 1 :
Denias mengejar Helikopter yang dikiranya Maleo di pedalaman dekat sekolah lamanya yang sudah
bubar
Denias mengatakan dalam hatinya kepada Ibunya, Pak Guru, dan Maleo bahwa dia akhirnya bisa sekolah
Signifikasi 2 :
Anak Pedalaman pun bisa sekolah, kalau dia pintar dan mau berusaha . Selain itu harus dari Keluarga
Terpandang dan punya uang banyak.
Scene 93
Signifikasi 1 : Denias, Noel, dan Enos dikisahkan secara nyata telah berhasil berkat mereka berjuang
untuk sekolah
Bu Guru Sam masih mengabdi di Papua sebagai Pendidik
Denias mendapatkan beasiswa dari PT Freeport Sekolah di Australia
Nhoel Bekerja di Jakarta
Enos Kuliah di salah satu PTN di Malang, Jawa Timur
Signifikasi 2 :
Dimitoskan bahwa Freeport sebagai perusahaan asing penjarah Papua adalah pihak yang berjasa di bidang
Pendidikan anak – anak Papua. Pendidikan yang maju ada di luar negeri dan Jawa. Dan kerja yang baik
ada di Jakarta. Orang – orang Papua direpresentasikan sebagai Orang yang harus mendapat bantuan dari
luar dan harus ke luar meninggalkan Papua kalau ingin maju.
SIMPULAN DAN REFLEKSI
Mitos dan Representasi bertemakan Modernitas, Etnisitas, dan Kelas Sosial mewarnai narasi
dalam film DENIAS, Senandung di Atas Awan ini. Selain dilihat secara kritis, juga dibutuhkan sikap
reflektif dalam melakukan argumentasi ketika mengkaji dan menilai film ini. Kebutuhan akan pendidikan
melalui institusi sekolah, keberadaan Institusi Militer yang ditampilkan sebagai penyokong kehidupan di
Papua, Sentralitas Jawa yang dinilai sebagai rujukan peradaban maju di Indonesia serta sentiment yang
dimunculkan sekaligus sebagai pemilik peran penting dalam film ini menunjukkan ambivalensi bagi
masyarakat Papua terhadap Jawa dan orang-orang dari luar Papua. Selain itu keberadaan Kepala Suku
sebagai pemegang otoritas kebijakan adat dan penguasaan tanah di Papua serta kesan watak berpikir
jangka pendek dan sempit orang Papua juga direpresentasikan dalam film ini sebagai penghambat
kemajuan di Tanah Papua. Bukan karena peran Negara dan struktur social yang masih timpang dan terus
dipertahankan sampai sekarang.
Papua kaka…..
Iyyo ee…..
Itu Sudaaah ……
PADA FILM DENIAS, Senandung Di Atas Awan;
Analisis Semiotika Roland Barthes
MITOS DAN REPRESENTASI
PADA FILM “DENIAS, Senandung di Atas Awan”
PENGANTAR
Beberapa shot dari scene pilihan pada film ini akan menjadi bahan analisis dengan menggunakan
pendekatan Semiotika Roland Barthes, terutama mengenai Mitologi yang diungkapkan oleh Roland
Barthes sebagai sebuah praktik signifikansi yang merepresentasikan objek yang ditampilkan. Pandangan
tentang konsep – konsep teoritik disarikan dari buku Roland Barthes Mythologies (1991) , Representation
(1997) Stuart Hall, dan juga dari slide perkuliahan yang membahas tentang ‘Film Semiotics’ yang
memuat pandangan Christian Metz (1971) tentang Sinematografis.
Film DENIAS, Senandung di Atas Awan ini berdurasi selama satu jam lima puluh menit dan
memiliki Sembilan puluh tiga scene. Narasi tentang Sekolah, Strata social, kuasa uang, Jawa – Papua,
guru , tentara dan nasionalisme melalui berbagai tampilannya menjadi tema – tema kunci dalam Film ini.
Mitos dan representasi pun hadir dalam tema – tema yang disebutkan di atas melalui berbagai artikulasi
sinematikanya yang pada kesempatan ini akan ditelaah satu per satu melalui konsep Semiotika Roland
Barthes.
ANALISIS
Shot 1 scene 3
Cerita pada film diawali dengan upacara pemasangan koteka kepada penduduk suku Denias yang
dianggap sudah dewasa dan di tandai dengan pemisahan Hanoi laki-laki dan perempuan dari mereka yang
telah dipasangi koteka.
Signifikasi 1 : Dalam acara adat tersebut yang juga dihiasi dengan acara makan bersama ubi dan
beberapa hidangan lainnya, ibu Denias berpesan kepada Denias:
Denias, kau sudah besar e,
Tapi kau jangan nakal e,
Kalau kau nakal, gunung di sana akan makan kau
Tapi kalau kau rajin, pintar sekolah,
Gunung di sana takut sama kau……
Scene 4
Scene 4
Denias hanya tampak serius mendengarkan nasehat ibunya tersebut yang dia panggil dengan sebutan
‘mama’. Dia hanya mengangguk – angguk tanda mengiyakan apa yang disampaikan oleh mama-nya.
Signifikasi 2:
Ucapan ibu Denias tersebut bisa dimaknai bahwa dengan bersekolah dan menjadi orang
pintar, maka gunung pun dapat ditaklukkan. Dan hal tersebut menjadi pembenaran
kepada Orang – orang Papua bahwa pengerukan gunung dan pengambilan gunung, hutan,
dan tanah mereka bagi orang yang berpendidikan adalah sah adanya. Itulah mitos yang
termuat dalam dialog tersebut. Yang dalam sorot kamera menempatkan mama Denias
sebagai pusat pembicaraan yang di-dominan-kan.
Scene 11
Scene 11
Signifikasi 1 :
Sekolah berada di atas gunung
Denias dan teman – temannya belajar di Sekolah yang ada di kampungnya tanpa seragam dan tanpa
sepatu,
ketika mendengar dan melihat helicopter membawa bantuan untuk warga di kampungnya, mereka
berlarian karena sangat ingin naik di helicopter tersebut.
Pak guru tidak bisa menahan kehendak murid – muridnya
Guru bukan orang asli Papua, tapi merupakan Guru utusan dari Jawa
Bendera Merah Putih berdiri miring
Signifikasi 2 :
Orang Papua masih terbelakang dan sulit diatur. Hanya orang dari luar Papua (terutama ditekankan dari
Jawa) yang bisa membantu orang Papua untuk keluar dari keterbelakangan itu melalui Pendidikan.
Bendera Merah putih yang berdiri miring menandakan bahwa kehadiran Negara belumlah sepenuhnya
sempurna sesempurna tegak berdirinya Bendera Merah Putih di wilayah yang kehadiran Negara benar –
benar ada.
Scene 15
Signifikasi 1 :
Denias yang sudah berkelahi dengan Noel dinasehati oleh Pak Guru dengan dongeng tentang Jen dan
Kacang Polong. Pak Guru juga memotivasi Denias untuk terus bersekolah dan jangan suka berkelahi
Signifikasi 2 :
Anak – anak di Papua sejak kecil suka berkelahi dan keberadaan Guru yang berasal dari luar Papua sangat
dibutuhkan dalam menebar mimpi – mimpi tentang kemajuan yang ideal.
Scene 27
scene 27
Signifikasi 1 :
Pak Guru pulang ke Jawa karena pindah tugas dan murid – muridnya melepas dengan haru tangis.
Dijemput dengan helicopter TNI AD
Signifikasi 2 :
Ada peran vital TNI AD dalam hal transportasi di daerah terpencil di Papua. Termasuk untuk
mencerdaskan anak – anak Papua yang Guru-nya pun harus mendapatkan bantuan dari TNI AD dalam hal
transportasi.
Anak – anak Papua yang berkeinginan untuk sekolah sangat membutuhkan keberadaan Orang luar Papua
dari belahan Indonesia lain untuk tetap mengajari mereka.
Scene 33
Scene 33
Signifikasi 1 :
Anggota Kopassus TNI AD (Maleo) menjadi menggantikan guru mengajar di Sekolah Denias
Maleo mengajarkan tentang Peta Indonesia, menunjukkan Peta Pulau Jawa. Muridnya meributkan soal
apakah murid – murid di Jawa memakai seragam atau tidak? Di jawa juga Ada kuskus kah? Maleo
menjawab iya, di Jawa murid – murid pakai seragam sekolah dan Di Jawa tidak ada kuskus tapi di sana
banyak tikus. Itu kata Denias menyambung cerita Maleo tentang Jawa.
Noel sebagai Anak kepala Suku Besar berdiri dan mengatakan kalau mau sekolah pakai seragam harus ke
kota dan yang bisa sekolah di sana hanya dia karena punya dia adalah anak Kepala Suku dan punya uang
banyak. Denias mencela dan mereka ribut.
Bapak Denias memaksa Denias tinggalkan sekolah dan menyuruhnya membantu di Kebun
Signifikasi 2 :
Maleo mengajarkan tentang Modernisme dengan pelajaran Peta, doktrin NKRI ala doktrin prajurit TNI.
Anak – anak Papua ingin seperti anak-anak di Jawa yang berseragam ketika sekolah.
Kembali ditegaskan bagaimana mimpi akan kemajuan sekolah di kota dan di Jawa. Dan yang bisa
mengaksesnya hanyalah mereka yang berstrata social atas dan mempunyai banyak uang. Kepala Suku dan
Uang dimitoskan sebagai penguasa di Tanah Papua. Dan Jawa dimitoskan sebagai pusat kemajuan
sementara Papua terutama di pedalamannya direpresentasikan sebagai wilayah yang terbelakang.
Jawa disebutkan punya banyak ‘Tikus’ bukan Kuskus seperti di Papua. Metafore tikus bisa diasosisaikan
sebagai penilap uang rakyat yang memiskinkan dan membuat Papua terbelakang selama ini.
scene 36
Signifikasi 1 :Bapak Samuel (Bapak Denias) menggertak Maleo yang meminta Denias untuk tetap
Sekolah.
Bapak Samuel Bilang disini bukan Jawa, semua anak laki-laki harus bantu mereka punya bapak
Jangan bilang nanti,nanti dan nanti, saya (Samuel) butuh sekarang, sekarang, sekarang, dan sekarang.
Signifikasi 2 :
Orang tua Papua di representasikan sebagai penghambat kemajuan anak – anak mereka sendiri. Orang
Papua memiliki visi pemikiran yang sempit dan pendek. Sekolah dan kemajuan pendidikan ditanamkan
sebagai mitos yang bisa membantu banyak nantinya bagi penduduk asli Papua yang sebenarnya juga ingin
maju. Sentimen terhadap Jawa pun yang dianggap selalu ingin men-jawa-kan Papua juga dimunculkan
dalam percakapan ini. Terlihat Samuel sangat marah kepada Maleo yang dianggap banyak ikut campur
soal sekolah Denias, padahal dia adalah tentara dan bukan tugasnya.
Scene 39
Signifikasi 1 : Kepala Suku Besar (Bapak Noel) menegur Maleo yang membuat Honai untuk tempat
belajar Denias dan teman – temannya setelah sekolah sebelumnya rubuh akibat gempa.
Kepala Suku mengatakan : ‘Maleo siapa suruh kau bikin Honai di tanah itu? Ko kira ko pu tanah kah?
Saya sihir ko mati’.
Noel Nampak meledek Maleo dan murid – murid lain termasuk Denias atas tak kuasanya mereka di
hadapan Bapaknya yang kepala suku beserta pengawal bapaknya.
Maleo tidak bisa berbuat banyak.
Signifikasi 2 :
Kepala Suku adalah penguasa local di Papua. Tentara pun berani dibentak dan itu berarti membentak
Negara. Kepala Suku adalah salah satu penghambat terbesar kemajuan di Papua terutama kemajuan
pendidikan dengan bersikap menentang pendirian sekolah di atas tanahnya tanpa sepengetahuannya.
Scene 42
scene 43
Signifikasi 1 :
Denias dan teman – temannya memakai Seragam Sekolah sampai tertidur di malam hari di barak tempat
tinggal Maleo. Maleo mengatakan kepada Denias bahwa dia bisa dapat pengecualian untuk sekolah di
kota karena dia jauh lebih pintar disbanding anak – anak yang lain yang juga berasal dari kalangan tidak
ber-uang dan bukan anak kepala suku.
Signifikasi 2 :
Anak – anak Papua tetap sangat merindukan bersatu dengan Indonesia. Ingin maju seperti anak – anak
sekolah di kota dan di Jawa. Tapi karena kendala fasilitas dan akses yang terbatas, hanya yang pintar saja
yang memiliki kelebihan secara akademik yang bisa memungkinkan mengakses fasilitas tersebut selain
anak dari keluarga terpandang dan anak orang kaya.
Scene 55
scene 55
Signifikasi 1 :
Denias dengan muka murung melihat dari luar pagar anak – anak Sekolah di Kota berolahraga.
Signifikasi 2 :
Anak Papua dari pedalaman juga ingin sekolah seperti anak – anak kota dan anak kepala suku. Tapi
mereka dibatasi oleh pagar – pagar pembatas yang begitu tinggi.
Scene 61
scene 61
Signifikasi 1 :
Ibu Gembala (Ibu Guru Sam) yang berkulit coklat dan rambut lurus memanggil Denias yang ingin
Sekolah
Bu Sam menanyakan mereka dari mana? Suku apa? Punya rapor apa tidak?
Denias tidak punya rapor, tapi hanya punya peta pemberian Maleo
Signifikasi 2 :
Ikatan Suku dan Administrasi Negara menjadi persyaratan kemajuan di Tanah Papua. Keluguan dan
ketidak majuan menjadi tanda ketika Denias dimintai rapor tapi justru memberikan peta. Denias tidak
terdaftar sebagai murid Indonesia secara administrative tapi punya jiwa Nasionalisme yang tinggi dengan
memberikan peta NKRI secara utuh kepada Bu Sam. Jiwa Nasionalisme dan pro-NKRI melampaui
keterikatan secara administratif.
Scene 68
Scene 73
Signifikasi 1 :
Rapat Dewan Guru yang membahas usul bu Sam yang meminta Denias diterima untuk Sekolah. Rapat
Yayasan mendengarkan keberatan pengurus yayasan dan Kepala Suku di sekitar Sekolah YPJ Kuala
Kencana Jayawijaya. Guru dan Pengurus Yayasan yang asli Papua sendiri yang keberatan menerima
Denias. Kepala sekolah juga yang orang luar Papua menyebut Papua dan Enos sebagai gelandangan yang
tidak pantas sekolah disitu. Bu Sam yang dari luar Papua disorot sebagai pengusul untuk menerima
Denias yang bukan siapa – siapa di mata dewan guru, kepala sekolah dan pengurus yayasan.
Signifikasi 2 :
Direpresentasikan Orang Papua sendiri dan juga dari luar Papua melakukan diskriminasi terhadap akses
pendidikan di Papua. Bu Sam sebagai sosok Guru Perempuan yang berasal dari luar Papua adalah pejuang
antidiskriminasi. Dimitoskan Orang luar Papua yang berpikiran majulah yang sebenarnya yang peduli
terhadap kemajuan masyarakat kelas bawah Papua.
Scene 90
Signifikasi 1 :
Denias diterima bersekolah, menggunakan Seragam, menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil
melakukan Hormat
Signifikasi 2 :
Nasionalisme anak Papua
Scene 91
Scene 91
Signifikasi 1 :
Denias dan Enos ikut upacara di Sekolah, Enos memperlihatkan Rapor yang telah diambilnya dari
rumahnya yang jauh di kampungnya.
Menghormati bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya
Signifikasi 2 :
Dimitoskan bahwa Usaha keras untuk maju adalah kunci bagi anak – anak Papua. Butuh pengorbanan
untuk mendapatkan hak – hak mereka. Yang seharusnya diberikan oleh Negara secara merata sebagai
kewajibannya kepada Warga Negara.
Setelah bersusah payah mendapatkan hak pendidikan yang seharusnya tidak sesulit itu, Denias dan Enos
pun harus menghormati Negara yang menyusahkannya untuk maju.
Orang Papua yang meski penuh diskriminasi dan sangat sulit mengakses peran Negara tetap memiliki
jiwa Nasionalisme pro NKRI yang kuat. Meski Enos kelihatannya masih kebingungan dan hanya sekedar
ikut saja melakukan hormat kepada Bendera Merah Putih.
Scene 92
Signifikasi 1 :
Denias mengejar Helikopter yang dikiranya Maleo di pedalaman dekat sekolah lamanya yang sudah
bubar
Denias mengatakan dalam hatinya kepada Ibunya, Pak Guru, dan Maleo bahwa dia akhirnya bisa sekolah
Signifikasi 2 :
Anak Pedalaman pun bisa sekolah, kalau dia pintar dan mau berusaha . Selain itu harus dari Keluarga
Terpandang dan punya uang banyak.
Scene 93
Signifikasi 1 : Denias, Noel, dan Enos dikisahkan secara nyata telah berhasil berkat mereka berjuang
untuk sekolah
Bu Guru Sam masih mengabdi di Papua sebagai Pendidik
Denias mendapatkan beasiswa dari PT Freeport Sekolah di Australia
Nhoel Bekerja di Jakarta
Enos Kuliah di salah satu PTN di Malang, Jawa Timur
Signifikasi 2 :
Dimitoskan bahwa Freeport sebagai perusahaan asing penjarah Papua adalah pihak yang berjasa di bidang
Pendidikan anak – anak Papua. Pendidikan yang maju ada di luar negeri dan Jawa. Dan kerja yang baik
ada di Jakarta. Orang – orang Papua direpresentasikan sebagai Orang yang harus mendapat bantuan dari
luar dan harus ke luar meninggalkan Papua kalau ingin maju.
SIMPULAN DAN REFLEKSI
Mitos dan Representasi bertemakan Modernitas, Etnisitas, dan Kelas Sosial mewarnai narasi
dalam film DENIAS, Senandung di Atas Awan ini. Selain dilihat secara kritis, juga dibutuhkan sikap
reflektif dalam melakukan argumentasi ketika mengkaji dan menilai film ini. Kebutuhan akan pendidikan
melalui institusi sekolah, keberadaan Institusi Militer yang ditampilkan sebagai penyokong kehidupan di
Papua, Sentralitas Jawa yang dinilai sebagai rujukan peradaban maju di Indonesia serta sentiment yang
dimunculkan sekaligus sebagai pemilik peran penting dalam film ini menunjukkan ambivalensi bagi
masyarakat Papua terhadap Jawa dan orang-orang dari luar Papua. Selain itu keberadaan Kepala Suku
sebagai pemegang otoritas kebijakan adat dan penguasaan tanah di Papua serta kesan watak berpikir
jangka pendek dan sempit orang Papua juga direpresentasikan dalam film ini sebagai penghambat
kemajuan di Tanah Papua. Bukan karena peran Negara dan struktur social yang masih timpang dan terus
dipertahankan sampai sekarang.
Papua kaka…..
Iyyo ee…..
Itu Sudaaah ……