Paper Pemerintah yang Bersih dan Demokra
Oleh: Trisna Risani Karya (096)
Cinta Laras M. (118)
Bunga Larasati (103)
Pendidikan
Kewarganegaraan
PEMERINTAH YANG BERSIH
DAN DEMOKRATIS
Ilmu Komunikasi – Universitas Muhammadyah Yogyakarta
I.
PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Secara sederhana, pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi
pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang
menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk
kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara illegal pula (melanggar
hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah
pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga
atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Sejak Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi di tahun 1999, citra negeri
ini di dunia internasional terus terpuruk.Antara tahun 1999 hingga 2003, Indonesia dikenal
sebagai negara dengan tingkat korupsi yang sangat buruk, bahkan paling buruk di seluruh
Asia.Agar pemerintahan bebas dari rongrongan KKN, maka para pejabat pemerintah dan
politisi, baik di eksekutif, birokrasi, maupun, badan legilatif, pusat maupun daerah,
hendaknya mengindahkan nilai-nilai moralitas.
Sudah barang tentu, moralitas politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan
pemerintahan yang bersih dari pelanggaran moralitas atau etika politik; tetapi diperlukan
sebuah sistem politik dan hukum yang egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistematik
masyarakat madani.
Untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan berbagai
kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik.
Tentunya, budaya demokrasi pun perlu dikembangkan dalam proses pemerintahan di negeri
ini, sehingga terwujud pula pemerintahan yang demokratis.
II.
SISTEM DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN
Untuk mengembangkan budaya demokrasi dalam pemerintahan diperlukan sistem
yang demokratis pula untuk mengelola proses pemerintahan melalui mekanisme yang
demokratis.
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Salah satu sistem pemerintahan yang dikenal dan dipratekkan di banyak negara adalah
sistem parlementer.Sistem ini tumbuh dalam tradisi politik Inggris yang kemudian menyebar
ke berbagai pelosok dunia, seiring dengan meluasnya kolonialisasi Inggris di masa lalu.
Prinsip utama parlementer adalah adanya fusi kekuasaan eksekutif dan
legislatif.Dalam sistem parlementer, antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif terdapat
hubungan yang menyatu dan tak terpisahkan (fusi).Eksekutif adalah hal penting yang sering
kita sebut sebagai pemerintahan.Kepala eksekutif (head of government) dalam sistem
parlementer adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara (head of state) berada di
2
tangan ratu sebagai symbol kepemimpinan negara.Kepala negaralah yang mengangkat kepala
pemerintahan yang merupakan ketua partai mayoritas di parlemen.
Peran utama parlemen sebagai pemasok anggota kabinet Inggris membuat hubungan
antara eksekutif dan legislative menjadi terfusikan.Dalam praktik, fusi kedua cabang
pemerintahan ini membuat kekuasaan eksekutif relative mendominasi lembaga legislatif
(parlemen).Oleh karena itu, dalam sistem parlementer Inggris, perdana menteri setiap saat
dapat membubarkan parlemen, jika dianggap perlu, dengan meminta kepala negara (ratu)
untuk melakukannya.
Di Inggris dan Jepang, misalnya, politisi yang melakukan perbuatan memalukan akan
segera mengundurkan diri, sehingga wibawa pemerintahan tetap terjaga.
2.Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan yang kedua adalah sistem presidensial.Sistem ini menekankan
pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan
mandat langsung dari rakyat.
Dalam sistem presindensial, kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalan
pemerintahan) sepenuhnya berada di tangan presiden.Oleh karena itu, presiden adalah kepala
eksekutif (head of government) sekaligus menjadi kepala negara (head of state).Presiden
adalah penguasa sekaligus simbol kepemimpinan negara.
Dalam sistem presidensial, seorang presiden dapat menjalankan kekuasaan hingga
masa jabatannya berakhir tanpa khawatir akan diganggu oleh kongres. Selama kebijakan
presiden tidak melanggar konstitusi, ia dapat bertahan hingga akhir masa jabatannya,
walaupun ia gagal dalam berbagai sektor kegiatan pemerintahan.
Apa pun sistem politik yang diterapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaan
eksekutif yang tidak tebatas, eksekutif yang tidak terbatas, eksekutif cenderung melakukan
sentralisasi kekuasaan. Proses sentralisasi kekuasaan yang tidak terbendung akan
menghasilkan sebuah pemerintahan otoriter.
3. Kekuasaan Eksekutif Terbatas
Persoalan mendasar baik dalam sistem parlementer maupun presidensial adalah sejauh
mana masyarakat memberi batasan bagi kekuasaan eksekutif. Apapun sistem politik yang di
terapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaaan eksekutif cenderung melakukan
sentralisasi kekuasaan. Bentuk pemerintahan inilah yang kondusif bagi terjadinya berbagai
tindakan penindasan terhadap hak-hak rakyat, termasuk di dalamnya penculikan, penyiksaan,
dan bahkan pembunuhan yang di lakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Oleh
karna itu konstitusi harus dengan jelas membatasi kekuasaan eksekutif.
Dalam konteks indonesia pada masa orde baru. Kekuasaan politik relatif terpusat di
tangan presiden dapat menjalankan kebijakan sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa
menolak tindakan-tindakan tersebut. Namun pada akhirnya presiden otoriter seperti ini tidak
bertahan lama karna kebiasaan menolak kritik. Sehingga dilanda krisis ekonomi dan
3
perubahan sosial politik, presiden yang otoriter akan dengan mudah terguling karena
lemahnya infrastruktur yang menopang sistem pemerintahan otoriter.
Kekuasaan presiden yang tidak terbatas juga mengundang kelemahan lain, yakni
lemahnya sistem pengawasan terhadap tindakan dan prilaku politisi di pusat maupun daerah.
Karena ketakutan publik melakikan pengawasan secara terbuka. Rezim otoriter dengan
kekuasaan eksekutif yang nyaris tak terbatas adalah barang tentu kondusif bagi pertumbuhan
budaya korupsi.
Disamping itu, presiden yang tak terbatas kekuasaan yang berpeluang besar melahirkan
kekuasaan juga berpeluang besar melahirkan bentuk pelanggaran hukum lain, seperti kolusi
dan nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintahan orde baru di masa lalu
mengembangkan hubungan hubungan kolusif antara pejabat pemerintah menyediakan
perangkat hukum untuk menjalankan proyek-proyek pemerintah.
Namun dengan demikian dalam konteks indonesia di masa transisi, berbagai pelanggaran
hukum yang dilakukan para pejabat eksekutif masa lalu menjadi tumpukan persoalan bagi
pemerintah baru. Budaya korupsi yang sulit di hilangkan kini menjadi penghalang besar bagi
pemerintah baru untuk menjalankan kebijakan mereka sendiri.
Ketentuan konstitusional tentang kekuasaan eksekutif yang berbatas diperlukan untuk
menutup kemungkinan represif. Oleh karena itu, badan legislatif dan yudikatif, media massa,
kampus, dll. Harus mengkondisikan diri untuk tetap pada umumnya, harus mengkondisikan
diri untuk tetap memantau ekspansi kekuasaan eksekutif (presiden)
4. pemberdayaan badan legislatif
Badan legislatif pada rezim otoriter pada umumnya lebih banyak memainkan peran
sebagai tukang stempel saja(rubber-stamp parliament). Pada umumnya mereka menerima
dan mengesahkan hampir semua usulan kebijakan dari pemerintah tanpa reserve.
Pemberdayaan badan legislatif pada dasarnya merupakan salah satu pilar utama dari upaya
untuk membatasi kekurangan eksekutif. Badan legislatif menduduki posisi sentral, dengan
demikian hanya badan legislatif yang secara sah dapat melaukan fungsi pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Pemberdayaan badan legislatif memerlukan sebuah upaya untuk melembagakan pola
hubungan kerjasama yang disetujui bersama antara dua belah pihak dan diterima secara luas
oleh masyarakat
politik. Dengan kata lain, diperlukan kesediaan untuk
berdialog,berunding,dan mencapai kesepatan luas, sehingga mekanisme kerja kedua lembaga
dapat berjalan lebih lancar. Dalam jangka pendek, recrutment anggota legislatif sering tida
memperhatikan latar belakang pendidian dan pengalaman profesional anggota, sehingga
siapapun yang diusulan partai dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui tahapan evaluasi
terhadap calon secara maksimal.
Di samping itu, badan legislatif juga perlu mempertimbangan upaya untuk terus
profesionalisasi anggota badan legislatif dengan mempertimbangkan pendidikan, latar
4
belakang profesional, serta usia calon anggota legislatif dalam proses pencalonan
(recruitment) anggota legislatif.
III.
SISTEM PEMILIHAN
Pemilihan menghindari penggunaan kekerasan berdarah dalam menggantikan pemerintah
berkuasa yang sudah tidak lagi diehendaki rakyat. Ada beberpa jenis pemilihan yang
dikembangkan di negara demokrasi.
1. Sistem Proposional
Dalam sistem proposional ini, setiap partai bersaing untuk mendapatkan sebanyak
mungkin suara pemilih dalam setiap daerah pemilihan. Perolehan kursi masingmasing partai dihitung sesuai dengan proporsi perolehan suaranya. Dengan ata lain,
sistem proposional merupakan sistem untuk memelihara sistem multi-partai.
2. Sistem Distrik
Sistem pemilihan distrik merupakan sistem oemilihan di mana setiap daerah
pemilihan disebut sebagai distrik. Dalam distrik hanya terdapat satu kursi yang
diperebutkan. Dengan sistem distrik, setiap calon harus mendapatan suara paling
banyak untuk merebut kursi di distrik tersebut.
3. Sistem Multiple-Distrik
Dalam sistem ini, setiap distrik terdiri dari lebih satu kursi yang diperebutkan.
Sistem multiple-distrik berfungsi untuk mempertahankan persaingan antarcalon
dengan memberi kesempatan lebih banyak kepada partai politik.
SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian memainkan peran dalam pengembangan sistem politik yang
demokratis. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sistem partai tertentu lebih
demokratis daripada sistem partai yang lain. Sistem partai ditentukan oleh sejarah politik
Negara yang bersangkutan.
1. Sistem Dua-Partai
Sistem dua-partai dikenal karena berkembang di negara demokrasi terkemuka,
yakni Inggris dan Amerika.Pendukung sistem dua-partai biasanya berpendapat bahwa
sistem ini memungkinkan satu partai yang bersangkutan.Mereka menolak sistem
multi-partai, karena masing-masing partai harus mencapai kesepakatan dalam
menjalankan kebijakan pemerintah.Sistem dua-partai juga memudahkan partai
pemenang pemilu.Sebab, segera setelah sebuah partai memenangkan pemilihan,
dengan sendirinya program partai pemenang pemilu dapat diterapkan secara langsung
menjadi program pemerintah.Di samping itu, sistem dua-partai juga mempermudah
pemilih dalam menjatuhkan hukuman bagi partai yang gagal menjalankan
pemerintahan. Satu partai berkuasa dan gagal dalam menjalankan pemerintahan akan
lebih mudah dihukum melalui pemilihan. Sebaliknya, pemerintah yang terdiri dari
banyak partai akan membuat pemilih sulit menentukan partai mana yang harus
5
menerima hukuman dan partai mana yang tidak. Dengan kata lain, akuntabilitas duapartai lebih mudah diukur karena hanya ada satu partai yang berkuasa.
2. Sistem Multi-partai
Dalam sistem multi-partai, yang berkuas bisa lebih dari satu partai, dua partai,
atau bisa pula lebih dari dua partai politik.Sistem multi-partai sering dianggap sebagai
sumber instabilitas politik karena kabinet sulit menjalankan agenda pemerintahan
yang terdiri dari banyak partai politik.Namun demikian, penelitian mutakhir
menunjukkan bahkan pengalaman beberapa sistem multi-partai di Eropa
membuktikan tiada kesulitan bagi sistem multi-partai untuk mengembangkan sebuah
sistem demokrasi yang stabil dan produktif.Bahkan, negara-negara demokrasi baru di
Amerika Latin selama dua decade terakhir abad ke-20 yang lalu menunjukkan
kecenderungan kuat pada sistem multi-partai sebagai penopang demokrasi
mareka.Namun bagi Indonesia dengan tingkat heterogenitas masyarakat yang
sedemikian tinggi, mustahil menghapus gejala multi-partaisme yang sedang tumbuh
pesat say ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
Pertama, gerakan reformasi telah menjadikan Indonesia lading subur bagi
pertumbuhan partai-partai baru karena dihilangkannya berbagai hambatan untuk
mendirikan partai baru. Dewasa ini partai poliyik di Indonesia dapat
mengembangkan kegiatan mereka hingga ke seluruh pelosok pedesaan.
Bandingkan dengan masa Orde Baru.
Kedua, gerakan reformasi juga kondusif bagi tokoh dan kamunitas yang tidak
puas dengan partai-partai yang ada untuk membentuk partai baru. Di samping
ketidakpuasan mereka terhadap format partai-partai yang ada (di DPR), para
politisi yang mendirikan partai sebenarnya juga melihat bahwa partai politik
dapat dijadikan kendaraan untuk menuju kekuasaan pemerintah.
Ketiga, prospek pemilihan presiden langsung merupakan dorongan yang sangat
kuat bagu parta-partai beru untuk tumbuh. Para politisi berpendapat bahwa
tokoh-tokoh utama pertain yang ada saat ini, secara umum, tidak dipandang
sebagai tokoh ideal bagi masyarakat. Bisa dikatan bahwa masyarakat seperti
kehilangan tokoh idaman. Asumsi ini kemudian dijadikan bahan spekulasi bagi
aktivis poliyik yang memiliki dana besar, atau yang berharap untuk mengakses
dana besar untuk segera membentuk partai politik.
Beberapa gejala di atas kemungkinan besar akan turut mempengaruhi proses
pembentukan karakteristik sistem partai di Indonesia. Sangat sulit bagi Indonesia untuk
melepaskan diri dari kemunculan partai-partai baru, karena partai telah dipandah oleh
sebagian masyarakat sebagai jalan tol menuju kemakmuran ekonomi. Mereka yang semula
miskin dengan cepat berubah jadi kaya raya karena aktif di DPR atau DPRD . Kondisi ini
membuat partai baru akan terus tumbuh sebagai penyalur hasrat mendapatkan keuntungan
material yang cepat dan terjamin.
3. Fragmentasi Partai
6
Dalam jangka menengah (sekitar 10 tahun), pertumbuhan system multi-partai
yang tidak terkendali akan menimbulkan permasalahan serius, yaitu fragmentasi
system partai. Krisis politik yang tumbuh akibat konflik antar-partai di eksekutif
menumbuhkan gejala baru berupa ketidakmampuan memerintah (ungovernability).
4. Budaya Politik
Koalisi-koalisi yang dibentuk pada awal pemerintahan demokrasi pada
umumnya didasari oleh pertimbangan pragmatis yang sangat kuat. Pragtisme
membuat partai-partai bersedia bergabung dengan partai manapun, asalkan mereka
dapat membentuk pemerintahan yang menguntungkan mereka. Landasan berpijak
untuk membentuk koalisi ini membuat partai-partai politik anggota koalisi
mengabaikan prinsip demokrasi.
5. Budaya Oposisi
Keenganan membangun budaya oposisi dengan penuh kesadaran akan makna
strategis oposisi menjadikan partai itu sendiri sebagai penghalang bagi proses
demokratisasi. Peran partai oposisi sesungguhnya sangat besar. Bila seluruh partai
terlibat ke dalam pemerintahan dan tidak ada partai oposisi di DPR- bila partai
berkuasa terlibat dalam tindakan KKN-bisa dipastikan mereka akan saling membela
dan melindungi begitu juga dengan sebaliknya.
IV.
PERANAN ORGANISASI NON-PARTAI
Organisasi non-partai adalah organisasi yang tidak menjadikan perebutan jabatan
publik sebagai tujuan utama mereka. Antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), perguruan tinggi, lembaga riser, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok
kepentingan lain.
Lembaga di luar partai relative memiliki kecenderungan untuk bersikap kritis tanpa didbebani
oleh pertimbangan jangka pendek sebagaimana dialami kalangan partai politik.
Organisasi non-partai inilah yang menjadi salah satu ujung tombak perjuangan membangun
pemerintahan yang bersih dan demokratis di masa depan.
Aktivitas organisasi non-partai, dengan demikian, berfungsi sebagai penyeimbang terhadap
kecenderungan konservatisme partai yang berpotensi memperlambat proses reformasi politik.
V.
MEDIA MASSA
Media massa salah satu pemain penting dalam proses transisi menuju demokrasi.
Peristiwa-peristiwa politik maupun non-politik cepat diketahui publik lewat media massa.
Tingkat kebebasan tinggi menciptakan masyarakat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.
Bukan berarti publik mengetahui segala sesuatu dengan jelas, kebebasan media ini
memungkinkan masyarakat mendapatkan beragam pilihan berita.
7
Pilihan berita penting dari proses pendidikan politik yang membantu masyarakat
belajar menemukan alternatif lain. Selama tiga puluh tahun Orde Baru sistem pengawasan
media sangat ketat menciptakan rasa takut masyarakat untuk menciptakan pemikiran. Akibat
dominasi berita oleh pemerintah memperkuat represi rezim Orde Baru. Lemahnya daya kritis
publik akhirnya berakibat melemahnya kemampuan pemerintah, semua ini berakhir dengan
krisis ekonomi-politik Orde Baru.
Dalam era transisi media massa menentukan proses pendidikan politik publik.
Disamping itu, peran mengkomunikasikan dukungan tuntutann publik terhadap pemerintah,
media massa diharapkan memperkuat masyarakat sekaligus menciptakan lembaga-lembaga
pemerintahan yang kuat, terbuka, dan bertanggung jawab. Antara masyarakat dan pemerintah,
media sangat diperlukan kedua pihak ketika saluran resmi DPR seringkali tidak berfungsi
dalam menyalurkan kepentingan masyarakat luas.
Media massa juga merumuskan agenda publik yang tidak selalu menjadi perhatian
para politisi. Sebagian besar komunikasi masyarakat ditopang oleh media massa, para politisi
dan tokoh masyarakat lain bergantung juga pada media massa dalam menyebarkan pesan ke
khalayak luas.
VI.
ANTI KORUPSI
Pemerintahan yang bersih, demokratis, gagasan anti-korupsi merupakan tema penting
dalam era menuju demorasi di Indonesia. Istilah korupsi meliputi dua konsep yaitu kolusi dan
nepotisme. Secara umum, korupsi adalah pengabaian atau penyisihan suatu standar yang
seharusnya ditegakkan. Korupsi bisa terjadi dimana saja , baik dunia swasta maupun negara.
Di Indonesia, korupsi muncul dalam dua bentuk yaitu state capture dan korupsi
administratif. State capture aksi-aksi illegal perusahaan atau individu untuk mempengaruhi
penyusunan hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan mereka sendiri. Korupsi
administratif pemberlakuan secara sengaja (baik oleh negara maupun perilaku non-negara
untuk mendistorsi hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan pribadi.
Hasil survey iternasional maupun regional menunjukkan Indonesia dengan angka korupsi
yang parah. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia pada
urutan 12 dari 12 negara Asia yang disurvei. Korupsi di Indonesia telah menyatu dengan
sistem kehidupan dimasyarakat. Penyimpangan ini meliputi:
1. Wilayah penegakan hukum: keadilan yang diperdagangkan; rendahnya anggaran
oengadilan campur tangan politik; dan lemahnya yurisdiksi.
2. Wilayah bisnis: campur tangan politik; manajemen yang buruk; dan kekebalan
hukum pada perusahaan-perusahaan besar.
3. Wilayah partai politik: sumbangan yang tidak terpantau; memeras uang dari
pelaku bisnis; dan tidak adanya kebijakan apapun dari pantai berkenaan dengan
distorsi.
8
4. Wilayah kepegawaian: patronase dan nepotisme; skala gaji yang kacau; kelebihan
pegawai; dan jual beli posisi.
5. Wilayah lembaga legislatif: Anggota DPR menerima suap; anggota DPR tidak
punya kode etik; anggota DPR tidak mewakili pemilih; dan tidak adanya
pengawasan terhadap anggota DPR.
6. Wilayah kelompok masyarakat sipil: campur tangan politik; modalitas yayasan
digunakan dengan curang; dan LSM “plat merah” atau LSM non-sipil.
7. Wilayah pemerintah daerah: warisan korupsi dari pemerintah pusat; eksekutif
menyuap legislatif; DPRD yang tidak dapat melakukan supervise kepada
eksekutif.
8. Wilayah sikap dan perilaku: kelemahan dalam pelaksanaan standar-standar etika;
toleransi terhadap perilaku illegal; penerimaan terhadap orang atau institusi yang
kebal hukum; kelemahan dalam menjalankan kekuasaan.
9. Wilayah lain yang juga menjadi lahan korupsi: manajemen SDM, publik, tata
peraturan, dan wilayah audit publik seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
atau lembaga lain.
Istilah yang lebih tepat untuk gerakan anti korupsi adalah menghancurkan sistem yang
mendukung praktek korupsi, bukan yang mengontrol praktek korupsi. Usaha yang dilakukan,
antara lain, sosialisasi terus menerus ke masyarakat tentang praktik korupsi dampak dan
akibatnya. Perlu dibentuk organisasi masyarakat untuk menjadi pengawas (watch).
Masyarakat ikut serta menjamin transparansi keputusan-keputusan yang berdampak luas,
misalnya APBD, Renstra, Perda, pemilihan kepala daerah , dan sebagainya. Perlu juga
membangun instansi-instansi multi mitra (multi stakeholders) untuk melawan korupsi,
misalnya kerja sama sinergis antara legislatif, eksekutif, judikatif, universitas, organisasi
sosial, organisasi adat, organisasi agama, serikat pekerja, serta sector swasta.
Upaya yang juga penting ialah gerakan kultural anti korupsi. Gerakan budaya untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat luas tentang upaya antikorupsi dengan mengekspos
praktik dan pelaku korupsi dimedia massa. Pemberian sanksi juga harus dilakukan. Yanng
tidak kalah penting untuk diprogramkan pendidikan penanaman nilai dan etika kepada
masyarakat dan generasi muda agar mereka menjauhi perilku korupsi. Beberapa usaha inilah
yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi sistemik di Indonesia
VII.
KEPASTIAN HUKUM
Adanya sistem pemerintahan yang baik tak akan menghasilkan sebuah pemerintahan
yang bersih dan demokratis bila tidak ada jaminan hokum yang tegas dan tidak memihak.
Kasus-kasus KKN pada masa transisi menuju demokrasi sering terhalang oleh lembagalembaga penegak hokum yang tercemar oleh gejala KKN itu sendiri.
Banyak kasus KKN yang tidak dapat diselesaikan dengan tuntas karena tidak adanya
kepastian hukum. Warga yang berstatus sosial-ekonomi rendah biasanya diberikan sanksi
9
berat bagi mereka yang telah melanggar hukum. Sedangkan orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan rata-rata berstatus sosial-ekonomi menengah keatas justru sanksi yang
diberikan terbilang ringan. Warga miskin tidak mendapatkan perlindungan hukum sehingga
mereka rentan terhadap tekanan dan rekayasa hukum.
Ketidakpastian hukum di negara transisi merupakan faktor penghambat utama dari
upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Banyak sekali para penegak
hukum yang memperlakukan ketentuan hukum-ketentuan hukum sesuai dengan kepentingan
mereka sendiri maupun kelompoknya.
Negara hukum dalam konteks demokrasi adalah terwujudnya pemerintahan dan aparat
negara yang tunduk pada hukum. Rule of law menjadi sangat fundamental bagi proses
perkembangan pemerintahan yang bersih dan demokratis, karena hanya dalam kondisi
kepastian hukumlah yang dimungkinkan terbentuk sistem yang terbuka.
VIII.
OTONOMI DAERAH
Sedikitnya pengalaman masyarakat dan pemerintahan dalam menjalankan ketentuan
undang-undang tentang otonomi daerah menjadi kendala utama implementasi kebijakan
tersebut. Di berbagai daerah timbul keraguan tentang apa sesungguhnya otonomi daerah.
Sebagai contoh, konflik politik di daerah sebagai akibat dari pemilihan kepala daerah
seringkali menyeret kepentingan pusat dan daerah ke dalam situasi konflik yang merugikan
semangat pengembangan otonomi di daerah yang bersangkutan.
Visi kebijakan otonomi derah dirumuskan dalam tida ruang lingkup utama, yakni
politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dalam bidang politik, otonomi daerah dimaksudkan
sebagai proses lahirnya kader-kader pemimpin daerah yang dipilih secara demokratis; dapat
berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi masyarakat
banyak; dan adanya transparansi kebijakan dan adanya kemampuan memelihara mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Dalam bidang ekonomi otonomi daerah diharapkan mampu menjamin pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan regional dan lokal dalam mendayagunakan potensi ekonomi di
daerahnya.
Dalam bidang sosial-budaya melalui otonomi daerah diharapkan terjadinya simbiosi
mutualisme antara khazanah lokal dan nilai-nilai universal yang mampu menjadi penyangga
dab pendorong dinamika lokal maupun harmoni sosial dalam merespons setiap
perkembangan zaman.
Berdasarkan pada visi tersebut, konsep otonomi daerah (berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 dan UU No. 25 tahun 1999) meliputi beberapa hal sebagai berikut
(Syaukani,dkk.,2002):
10
1. Otonomi daerah merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah ke pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pemerintah daerah memiliki
urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kecuali bidang luar
negeri, moneter, peradilan, keamanan dan agama. Dan urusan-urusan yang telah
diserahkan tersebut menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya.
2. Penguatan peran DPRD dalam proses pemilihan dan penetapan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang sejalan dengan kultural lokal demi menjamin
tampilnya kepemimpinan dan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat
akseptabilitas mesyarakat yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang
telah didesentralisasikan, setara kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap
kebutuhan daerah.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah; pengaturan yang lebih jelas
terhadap sumber-sumber pendapatan negara dan daerah; pembagian pendapatan dari
sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam; pajak dan retribusi; dan
tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fisikal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah
pusat yang bersifat block-grant; pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah; pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga
swadya pembangunan yang ada.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang kondusif
terhadap upaya pemeliharaan dinamika sosial sebagai suatu bangsa.
11
Cinta Laras M. (118)
Bunga Larasati (103)
Pendidikan
Kewarganegaraan
PEMERINTAH YANG BERSIH
DAN DEMOKRATIS
Ilmu Komunikasi – Universitas Muhammadyah Yogyakarta
I.
PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Secara sederhana, pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi
pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang
menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk
kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara illegal pula (melanggar
hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah
pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga
atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Sejak Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi di tahun 1999, citra negeri
ini di dunia internasional terus terpuruk.Antara tahun 1999 hingga 2003, Indonesia dikenal
sebagai negara dengan tingkat korupsi yang sangat buruk, bahkan paling buruk di seluruh
Asia.Agar pemerintahan bebas dari rongrongan KKN, maka para pejabat pemerintah dan
politisi, baik di eksekutif, birokrasi, maupun, badan legilatif, pusat maupun daerah,
hendaknya mengindahkan nilai-nilai moralitas.
Sudah barang tentu, moralitas politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan
pemerintahan yang bersih dari pelanggaran moralitas atau etika politik; tetapi diperlukan
sebuah sistem politik dan hukum yang egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistematik
masyarakat madani.
Untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan berbagai
kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik.
Tentunya, budaya demokrasi pun perlu dikembangkan dalam proses pemerintahan di negeri
ini, sehingga terwujud pula pemerintahan yang demokratis.
II.
SISTEM DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN
Untuk mengembangkan budaya demokrasi dalam pemerintahan diperlukan sistem
yang demokratis pula untuk mengelola proses pemerintahan melalui mekanisme yang
demokratis.
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Salah satu sistem pemerintahan yang dikenal dan dipratekkan di banyak negara adalah
sistem parlementer.Sistem ini tumbuh dalam tradisi politik Inggris yang kemudian menyebar
ke berbagai pelosok dunia, seiring dengan meluasnya kolonialisasi Inggris di masa lalu.
Prinsip utama parlementer adalah adanya fusi kekuasaan eksekutif dan
legislatif.Dalam sistem parlementer, antara fungsi eksekutif dan fungsi legislatif terdapat
hubungan yang menyatu dan tak terpisahkan (fusi).Eksekutif adalah hal penting yang sering
kita sebut sebagai pemerintahan.Kepala eksekutif (head of government) dalam sistem
parlementer adalah perdana menteri, sedangkan kepala negara (head of state) berada di
2
tangan ratu sebagai symbol kepemimpinan negara.Kepala negaralah yang mengangkat kepala
pemerintahan yang merupakan ketua partai mayoritas di parlemen.
Peran utama parlemen sebagai pemasok anggota kabinet Inggris membuat hubungan
antara eksekutif dan legislative menjadi terfusikan.Dalam praktik, fusi kedua cabang
pemerintahan ini membuat kekuasaan eksekutif relative mendominasi lembaga legislatif
(parlemen).Oleh karena itu, dalam sistem parlementer Inggris, perdana menteri setiap saat
dapat membubarkan parlemen, jika dianggap perlu, dengan meminta kepala negara (ratu)
untuk melakukannya.
Di Inggris dan Jepang, misalnya, politisi yang melakukan perbuatan memalukan akan
segera mengundurkan diri, sehingga wibawa pemerintahan tetap terjaga.
2.Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan yang kedua adalah sistem presidensial.Sistem ini menekankan
pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan
mandat langsung dari rakyat.
Dalam sistem presindensial, kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalan
pemerintahan) sepenuhnya berada di tangan presiden.Oleh karena itu, presiden adalah kepala
eksekutif (head of government) sekaligus menjadi kepala negara (head of state).Presiden
adalah penguasa sekaligus simbol kepemimpinan negara.
Dalam sistem presidensial, seorang presiden dapat menjalankan kekuasaan hingga
masa jabatannya berakhir tanpa khawatir akan diganggu oleh kongres. Selama kebijakan
presiden tidak melanggar konstitusi, ia dapat bertahan hingga akhir masa jabatannya,
walaupun ia gagal dalam berbagai sektor kegiatan pemerintahan.
Apa pun sistem politik yang diterapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaan
eksekutif yang tidak tebatas, eksekutif yang tidak terbatas, eksekutif cenderung melakukan
sentralisasi kekuasaan. Proses sentralisasi kekuasaan yang tidak terbendung akan
menghasilkan sebuah pemerintahan otoriter.
3. Kekuasaan Eksekutif Terbatas
Persoalan mendasar baik dalam sistem parlementer maupun presidensial adalah sejauh
mana masyarakat memberi batasan bagi kekuasaan eksekutif. Apapun sistem politik yang di
terapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaaan eksekutif cenderung melakukan
sentralisasi kekuasaan. Bentuk pemerintahan inilah yang kondusif bagi terjadinya berbagai
tindakan penindasan terhadap hak-hak rakyat, termasuk di dalamnya penculikan, penyiksaan,
dan bahkan pembunuhan yang di lakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Oleh
karna itu konstitusi harus dengan jelas membatasi kekuasaan eksekutif.
Dalam konteks indonesia pada masa orde baru. Kekuasaan politik relatif terpusat di
tangan presiden dapat menjalankan kebijakan sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa
menolak tindakan-tindakan tersebut. Namun pada akhirnya presiden otoriter seperti ini tidak
bertahan lama karna kebiasaan menolak kritik. Sehingga dilanda krisis ekonomi dan
3
perubahan sosial politik, presiden yang otoriter akan dengan mudah terguling karena
lemahnya infrastruktur yang menopang sistem pemerintahan otoriter.
Kekuasaan presiden yang tidak terbatas juga mengundang kelemahan lain, yakni
lemahnya sistem pengawasan terhadap tindakan dan prilaku politisi di pusat maupun daerah.
Karena ketakutan publik melakikan pengawasan secara terbuka. Rezim otoriter dengan
kekuasaan eksekutif yang nyaris tak terbatas adalah barang tentu kondusif bagi pertumbuhan
budaya korupsi.
Disamping itu, presiden yang tak terbatas kekuasaan yang berpeluang besar melahirkan
kekuasaan juga berpeluang besar melahirkan bentuk pelanggaran hukum lain, seperti kolusi
dan nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintahan orde baru di masa lalu
mengembangkan hubungan hubungan kolusif antara pejabat pemerintah menyediakan
perangkat hukum untuk menjalankan proyek-proyek pemerintah.
Namun dengan demikian dalam konteks indonesia di masa transisi, berbagai pelanggaran
hukum yang dilakukan para pejabat eksekutif masa lalu menjadi tumpukan persoalan bagi
pemerintah baru. Budaya korupsi yang sulit di hilangkan kini menjadi penghalang besar bagi
pemerintah baru untuk menjalankan kebijakan mereka sendiri.
Ketentuan konstitusional tentang kekuasaan eksekutif yang berbatas diperlukan untuk
menutup kemungkinan represif. Oleh karena itu, badan legislatif dan yudikatif, media massa,
kampus, dll. Harus mengkondisikan diri untuk tetap pada umumnya, harus mengkondisikan
diri untuk tetap memantau ekspansi kekuasaan eksekutif (presiden)
4. pemberdayaan badan legislatif
Badan legislatif pada rezim otoriter pada umumnya lebih banyak memainkan peran
sebagai tukang stempel saja(rubber-stamp parliament). Pada umumnya mereka menerima
dan mengesahkan hampir semua usulan kebijakan dari pemerintah tanpa reserve.
Pemberdayaan badan legislatif pada dasarnya merupakan salah satu pilar utama dari upaya
untuk membatasi kekurangan eksekutif. Badan legislatif menduduki posisi sentral, dengan
demikian hanya badan legislatif yang secara sah dapat melaukan fungsi pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Pemberdayaan badan legislatif memerlukan sebuah upaya untuk melembagakan pola
hubungan kerjasama yang disetujui bersama antara dua belah pihak dan diterima secara luas
oleh masyarakat
politik. Dengan kata lain, diperlukan kesediaan untuk
berdialog,berunding,dan mencapai kesepatan luas, sehingga mekanisme kerja kedua lembaga
dapat berjalan lebih lancar. Dalam jangka pendek, recrutment anggota legislatif sering tida
memperhatikan latar belakang pendidian dan pengalaman profesional anggota, sehingga
siapapun yang diusulan partai dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui tahapan evaluasi
terhadap calon secara maksimal.
Di samping itu, badan legislatif juga perlu mempertimbangan upaya untuk terus
profesionalisasi anggota badan legislatif dengan mempertimbangkan pendidikan, latar
4
belakang profesional, serta usia calon anggota legislatif dalam proses pencalonan
(recruitment) anggota legislatif.
III.
SISTEM PEMILIHAN
Pemilihan menghindari penggunaan kekerasan berdarah dalam menggantikan pemerintah
berkuasa yang sudah tidak lagi diehendaki rakyat. Ada beberpa jenis pemilihan yang
dikembangkan di negara demokrasi.
1. Sistem Proposional
Dalam sistem proposional ini, setiap partai bersaing untuk mendapatkan sebanyak
mungkin suara pemilih dalam setiap daerah pemilihan. Perolehan kursi masingmasing partai dihitung sesuai dengan proporsi perolehan suaranya. Dengan ata lain,
sistem proposional merupakan sistem untuk memelihara sistem multi-partai.
2. Sistem Distrik
Sistem pemilihan distrik merupakan sistem oemilihan di mana setiap daerah
pemilihan disebut sebagai distrik. Dalam distrik hanya terdapat satu kursi yang
diperebutkan. Dengan sistem distrik, setiap calon harus mendapatan suara paling
banyak untuk merebut kursi di distrik tersebut.
3. Sistem Multiple-Distrik
Dalam sistem ini, setiap distrik terdiri dari lebih satu kursi yang diperebutkan.
Sistem multiple-distrik berfungsi untuk mempertahankan persaingan antarcalon
dengan memberi kesempatan lebih banyak kepada partai politik.
SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian memainkan peran dalam pengembangan sistem politik yang
demokratis. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sistem partai tertentu lebih
demokratis daripada sistem partai yang lain. Sistem partai ditentukan oleh sejarah politik
Negara yang bersangkutan.
1. Sistem Dua-Partai
Sistem dua-partai dikenal karena berkembang di negara demokrasi terkemuka,
yakni Inggris dan Amerika.Pendukung sistem dua-partai biasanya berpendapat bahwa
sistem ini memungkinkan satu partai yang bersangkutan.Mereka menolak sistem
multi-partai, karena masing-masing partai harus mencapai kesepakatan dalam
menjalankan kebijakan pemerintah.Sistem dua-partai juga memudahkan partai
pemenang pemilu.Sebab, segera setelah sebuah partai memenangkan pemilihan,
dengan sendirinya program partai pemenang pemilu dapat diterapkan secara langsung
menjadi program pemerintah.Di samping itu, sistem dua-partai juga mempermudah
pemilih dalam menjatuhkan hukuman bagi partai yang gagal menjalankan
pemerintahan. Satu partai berkuasa dan gagal dalam menjalankan pemerintahan akan
lebih mudah dihukum melalui pemilihan. Sebaliknya, pemerintah yang terdiri dari
banyak partai akan membuat pemilih sulit menentukan partai mana yang harus
5
menerima hukuman dan partai mana yang tidak. Dengan kata lain, akuntabilitas duapartai lebih mudah diukur karena hanya ada satu partai yang berkuasa.
2. Sistem Multi-partai
Dalam sistem multi-partai, yang berkuas bisa lebih dari satu partai, dua partai,
atau bisa pula lebih dari dua partai politik.Sistem multi-partai sering dianggap sebagai
sumber instabilitas politik karena kabinet sulit menjalankan agenda pemerintahan
yang terdiri dari banyak partai politik.Namun demikian, penelitian mutakhir
menunjukkan bahkan pengalaman beberapa sistem multi-partai di Eropa
membuktikan tiada kesulitan bagi sistem multi-partai untuk mengembangkan sebuah
sistem demokrasi yang stabil dan produktif.Bahkan, negara-negara demokrasi baru di
Amerika Latin selama dua decade terakhir abad ke-20 yang lalu menunjukkan
kecenderungan kuat pada sistem multi-partai sebagai penopang demokrasi
mareka.Namun bagi Indonesia dengan tingkat heterogenitas masyarakat yang
sedemikian tinggi, mustahil menghapus gejala multi-partaisme yang sedang tumbuh
pesat say ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
Pertama, gerakan reformasi telah menjadikan Indonesia lading subur bagi
pertumbuhan partai-partai baru karena dihilangkannya berbagai hambatan untuk
mendirikan partai baru. Dewasa ini partai poliyik di Indonesia dapat
mengembangkan kegiatan mereka hingga ke seluruh pelosok pedesaan.
Bandingkan dengan masa Orde Baru.
Kedua, gerakan reformasi juga kondusif bagi tokoh dan kamunitas yang tidak
puas dengan partai-partai yang ada untuk membentuk partai baru. Di samping
ketidakpuasan mereka terhadap format partai-partai yang ada (di DPR), para
politisi yang mendirikan partai sebenarnya juga melihat bahwa partai politik
dapat dijadikan kendaraan untuk menuju kekuasaan pemerintah.
Ketiga, prospek pemilihan presiden langsung merupakan dorongan yang sangat
kuat bagu parta-partai beru untuk tumbuh. Para politisi berpendapat bahwa
tokoh-tokoh utama pertain yang ada saat ini, secara umum, tidak dipandang
sebagai tokoh ideal bagi masyarakat. Bisa dikatan bahwa masyarakat seperti
kehilangan tokoh idaman. Asumsi ini kemudian dijadikan bahan spekulasi bagi
aktivis poliyik yang memiliki dana besar, atau yang berharap untuk mengakses
dana besar untuk segera membentuk partai politik.
Beberapa gejala di atas kemungkinan besar akan turut mempengaruhi proses
pembentukan karakteristik sistem partai di Indonesia. Sangat sulit bagi Indonesia untuk
melepaskan diri dari kemunculan partai-partai baru, karena partai telah dipandah oleh
sebagian masyarakat sebagai jalan tol menuju kemakmuran ekonomi. Mereka yang semula
miskin dengan cepat berubah jadi kaya raya karena aktif di DPR atau DPRD . Kondisi ini
membuat partai baru akan terus tumbuh sebagai penyalur hasrat mendapatkan keuntungan
material yang cepat dan terjamin.
3. Fragmentasi Partai
6
Dalam jangka menengah (sekitar 10 tahun), pertumbuhan system multi-partai
yang tidak terkendali akan menimbulkan permasalahan serius, yaitu fragmentasi
system partai. Krisis politik yang tumbuh akibat konflik antar-partai di eksekutif
menumbuhkan gejala baru berupa ketidakmampuan memerintah (ungovernability).
4. Budaya Politik
Koalisi-koalisi yang dibentuk pada awal pemerintahan demokrasi pada
umumnya didasari oleh pertimbangan pragmatis yang sangat kuat. Pragtisme
membuat partai-partai bersedia bergabung dengan partai manapun, asalkan mereka
dapat membentuk pemerintahan yang menguntungkan mereka. Landasan berpijak
untuk membentuk koalisi ini membuat partai-partai politik anggota koalisi
mengabaikan prinsip demokrasi.
5. Budaya Oposisi
Keenganan membangun budaya oposisi dengan penuh kesadaran akan makna
strategis oposisi menjadikan partai itu sendiri sebagai penghalang bagi proses
demokratisasi. Peran partai oposisi sesungguhnya sangat besar. Bila seluruh partai
terlibat ke dalam pemerintahan dan tidak ada partai oposisi di DPR- bila partai
berkuasa terlibat dalam tindakan KKN-bisa dipastikan mereka akan saling membela
dan melindungi begitu juga dengan sebaliknya.
IV.
PERANAN ORGANISASI NON-PARTAI
Organisasi non-partai adalah organisasi yang tidak menjadikan perebutan jabatan
publik sebagai tujuan utama mereka. Antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), perguruan tinggi, lembaga riser, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok
kepentingan lain.
Lembaga di luar partai relative memiliki kecenderungan untuk bersikap kritis tanpa didbebani
oleh pertimbangan jangka pendek sebagaimana dialami kalangan partai politik.
Organisasi non-partai inilah yang menjadi salah satu ujung tombak perjuangan membangun
pemerintahan yang bersih dan demokratis di masa depan.
Aktivitas organisasi non-partai, dengan demikian, berfungsi sebagai penyeimbang terhadap
kecenderungan konservatisme partai yang berpotensi memperlambat proses reformasi politik.
V.
MEDIA MASSA
Media massa salah satu pemain penting dalam proses transisi menuju demokrasi.
Peristiwa-peristiwa politik maupun non-politik cepat diketahui publik lewat media massa.
Tingkat kebebasan tinggi menciptakan masyarakat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi.
Bukan berarti publik mengetahui segala sesuatu dengan jelas, kebebasan media ini
memungkinkan masyarakat mendapatkan beragam pilihan berita.
7
Pilihan berita penting dari proses pendidikan politik yang membantu masyarakat
belajar menemukan alternatif lain. Selama tiga puluh tahun Orde Baru sistem pengawasan
media sangat ketat menciptakan rasa takut masyarakat untuk menciptakan pemikiran. Akibat
dominasi berita oleh pemerintah memperkuat represi rezim Orde Baru. Lemahnya daya kritis
publik akhirnya berakibat melemahnya kemampuan pemerintah, semua ini berakhir dengan
krisis ekonomi-politik Orde Baru.
Dalam era transisi media massa menentukan proses pendidikan politik publik.
Disamping itu, peran mengkomunikasikan dukungan tuntutann publik terhadap pemerintah,
media massa diharapkan memperkuat masyarakat sekaligus menciptakan lembaga-lembaga
pemerintahan yang kuat, terbuka, dan bertanggung jawab. Antara masyarakat dan pemerintah,
media sangat diperlukan kedua pihak ketika saluran resmi DPR seringkali tidak berfungsi
dalam menyalurkan kepentingan masyarakat luas.
Media massa juga merumuskan agenda publik yang tidak selalu menjadi perhatian
para politisi. Sebagian besar komunikasi masyarakat ditopang oleh media massa, para politisi
dan tokoh masyarakat lain bergantung juga pada media massa dalam menyebarkan pesan ke
khalayak luas.
VI.
ANTI KORUPSI
Pemerintahan yang bersih, demokratis, gagasan anti-korupsi merupakan tema penting
dalam era menuju demorasi di Indonesia. Istilah korupsi meliputi dua konsep yaitu kolusi dan
nepotisme. Secara umum, korupsi adalah pengabaian atau penyisihan suatu standar yang
seharusnya ditegakkan. Korupsi bisa terjadi dimana saja , baik dunia swasta maupun negara.
Di Indonesia, korupsi muncul dalam dua bentuk yaitu state capture dan korupsi
administratif. State capture aksi-aksi illegal perusahaan atau individu untuk mempengaruhi
penyusunan hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan mereka sendiri. Korupsi
administratif pemberlakuan secara sengaja (baik oleh negara maupun perilaku non-negara
untuk mendistorsi hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan pribadi.
Hasil survey iternasional maupun regional menunjukkan Indonesia dengan angka korupsi
yang parah. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia pada
urutan 12 dari 12 negara Asia yang disurvei. Korupsi di Indonesia telah menyatu dengan
sistem kehidupan dimasyarakat. Penyimpangan ini meliputi:
1. Wilayah penegakan hukum: keadilan yang diperdagangkan; rendahnya anggaran
oengadilan campur tangan politik; dan lemahnya yurisdiksi.
2. Wilayah bisnis: campur tangan politik; manajemen yang buruk; dan kekebalan
hukum pada perusahaan-perusahaan besar.
3. Wilayah partai politik: sumbangan yang tidak terpantau; memeras uang dari
pelaku bisnis; dan tidak adanya kebijakan apapun dari pantai berkenaan dengan
distorsi.
8
4. Wilayah kepegawaian: patronase dan nepotisme; skala gaji yang kacau; kelebihan
pegawai; dan jual beli posisi.
5. Wilayah lembaga legislatif: Anggota DPR menerima suap; anggota DPR tidak
punya kode etik; anggota DPR tidak mewakili pemilih; dan tidak adanya
pengawasan terhadap anggota DPR.
6. Wilayah kelompok masyarakat sipil: campur tangan politik; modalitas yayasan
digunakan dengan curang; dan LSM “plat merah” atau LSM non-sipil.
7. Wilayah pemerintah daerah: warisan korupsi dari pemerintah pusat; eksekutif
menyuap legislatif; DPRD yang tidak dapat melakukan supervise kepada
eksekutif.
8. Wilayah sikap dan perilaku: kelemahan dalam pelaksanaan standar-standar etika;
toleransi terhadap perilaku illegal; penerimaan terhadap orang atau institusi yang
kebal hukum; kelemahan dalam menjalankan kekuasaan.
9. Wilayah lain yang juga menjadi lahan korupsi: manajemen SDM, publik, tata
peraturan, dan wilayah audit publik seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
atau lembaga lain.
Istilah yang lebih tepat untuk gerakan anti korupsi adalah menghancurkan sistem yang
mendukung praktek korupsi, bukan yang mengontrol praktek korupsi. Usaha yang dilakukan,
antara lain, sosialisasi terus menerus ke masyarakat tentang praktik korupsi dampak dan
akibatnya. Perlu dibentuk organisasi masyarakat untuk menjadi pengawas (watch).
Masyarakat ikut serta menjamin transparansi keputusan-keputusan yang berdampak luas,
misalnya APBD, Renstra, Perda, pemilihan kepala daerah , dan sebagainya. Perlu juga
membangun instansi-instansi multi mitra (multi stakeholders) untuk melawan korupsi,
misalnya kerja sama sinergis antara legislatif, eksekutif, judikatif, universitas, organisasi
sosial, organisasi adat, organisasi agama, serikat pekerja, serta sector swasta.
Upaya yang juga penting ialah gerakan kultural anti korupsi. Gerakan budaya untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat luas tentang upaya antikorupsi dengan mengekspos
praktik dan pelaku korupsi dimedia massa. Pemberian sanksi juga harus dilakukan. Yanng
tidak kalah penting untuk diprogramkan pendidikan penanaman nilai dan etika kepada
masyarakat dan generasi muda agar mereka menjauhi perilku korupsi. Beberapa usaha inilah
yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi sistemik di Indonesia
VII.
KEPASTIAN HUKUM
Adanya sistem pemerintahan yang baik tak akan menghasilkan sebuah pemerintahan
yang bersih dan demokratis bila tidak ada jaminan hokum yang tegas dan tidak memihak.
Kasus-kasus KKN pada masa transisi menuju demokrasi sering terhalang oleh lembagalembaga penegak hokum yang tercemar oleh gejala KKN itu sendiri.
Banyak kasus KKN yang tidak dapat diselesaikan dengan tuntas karena tidak adanya
kepastian hukum. Warga yang berstatus sosial-ekonomi rendah biasanya diberikan sanksi
9
berat bagi mereka yang telah melanggar hukum. Sedangkan orang-orang yang memiliki
kekuasaan dan rata-rata berstatus sosial-ekonomi menengah keatas justru sanksi yang
diberikan terbilang ringan. Warga miskin tidak mendapatkan perlindungan hukum sehingga
mereka rentan terhadap tekanan dan rekayasa hukum.
Ketidakpastian hukum di negara transisi merupakan faktor penghambat utama dari
upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Banyak sekali para penegak
hukum yang memperlakukan ketentuan hukum-ketentuan hukum sesuai dengan kepentingan
mereka sendiri maupun kelompoknya.
Negara hukum dalam konteks demokrasi adalah terwujudnya pemerintahan dan aparat
negara yang tunduk pada hukum. Rule of law menjadi sangat fundamental bagi proses
perkembangan pemerintahan yang bersih dan demokratis, karena hanya dalam kondisi
kepastian hukumlah yang dimungkinkan terbentuk sistem yang terbuka.
VIII.
OTONOMI DAERAH
Sedikitnya pengalaman masyarakat dan pemerintahan dalam menjalankan ketentuan
undang-undang tentang otonomi daerah menjadi kendala utama implementasi kebijakan
tersebut. Di berbagai daerah timbul keraguan tentang apa sesungguhnya otonomi daerah.
Sebagai contoh, konflik politik di daerah sebagai akibat dari pemilihan kepala daerah
seringkali menyeret kepentingan pusat dan daerah ke dalam situasi konflik yang merugikan
semangat pengembangan otonomi di daerah yang bersangkutan.
Visi kebijakan otonomi derah dirumuskan dalam tida ruang lingkup utama, yakni
politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dalam bidang politik, otonomi daerah dimaksudkan
sebagai proses lahirnya kader-kader pemimpin daerah yang dipilih secara demokratis; dapat
berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi masyarakat
banyak; dan adanya transparansi kebijakan dan adanya kemampuan memelihara mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Dalam bidang ekonomi otonomi daerah diharapkan mampu menjamin pelaksanaan
kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan regional dan lokal dalam mendayagunakan potensi ekonomi di
daerahnya.
Dalam bidang sosial-budaya melalui otonomi daerah diharapkan terjadinya simbiosi
mutualisme antara khazanah lokal dan nilai-nilai universal yang mampu menjadi penyangga
dab pendorong dinamika lokal maupun harmoni sosial dalam merespons setiap
perkembangan zaman.
Berdasarkan pada visi tersebut, konsep otonomi daerah (berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 dan UU No. 25 tahun 1999) meliputi beberapa hal sebagai berikut
(Syaukani,dkk.,2002):
10
1. Otonomi daerah merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah ke pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pemerintah daerah memiliki
urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kecuali bidang luar
negeri, moneter, peradilan, keamanan dan agama. Dan urusan-urusan yang telah
diserahkan tersebut menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya.
2. Penguatan peran DPRD dalam proses pemilihan dan penetapan kepala daerah.
3. Pembangunan tradisi politik yang sejalan dengan kultural lokal demi menjamin
tampilnya kepemimpinan dan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat
akseptabilitas mesyarakat yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan
organisasi dan institusi yang dimiliki sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang
telah didesentralisasikan, setara kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap
kebutuhan daerah.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah; pengaturan yang lebih jelas
terhadap sumber-sumber pendapatan negara dan daerah; pembagian pendapatan dari
sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam; pajak dan retribusi; dan
tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fisikal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah
pusat yang bersifat block-grant; pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah; pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas
pembangunan serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga
swadya pembangunan yang ada.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang kondusif
terhadap upaya pemeliharaan dinamika sosial sebagai suatu bangsa.
11