Kewenangan dan Kerjasama UNDP dalam Prog

KEWENANGAN DAN KERJASAMA UNDP DALAM PROGRAM
“BEING LGBTI IN ASIA”
FINAL PAPER

DISUSUN OLEH
YOGA ARFIANSYAH FIRDAUS
14010414140092

PROGRAM STUDI S-1 ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
“There are 17 sustainable development goals all based on a single, giuded principle: to leave
no one behind. We will only realize this vision if we reach all people regardless of their
sexual orientation or gender equality.”
Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral PBB
1.1


Latar Belakang
UNDP merupakan sebuah agensi dibawah PBB yang memiliki kewenangan dalam

mempromosikan pengembangan manusia dalam menghadapi tantangan nasional maupun
global. Dalam mencapai adanya pengembangan manusia, usaha dilakukan melalui programprogram pengembangan sektoral yang melibatkan isu spesifik tertentu. Salah satu program
yang dilakukan UNDP adalah pengembangan komunitas LGBT di Asia sebagai representasi
dari Sustainable Development Goals yang dicanangkan oleh PBB. Program ini merupakan
salah satu usaha dalam memerangi kesenjangan, kekerasan, dan diskriminasi berdasarkan
orientasi sosial, identitas jender, amupun status interseks tertentu di wilayah kontinen Asia.
Dalam menjalankan tugasnya tersebut, UNDP melakukan kerjasama dengan berbagai
organisasi lain.
1.2

Rumusan Masalah
Bagaimanakah kerjasama yang dilakukan UNDP dalam menjalankan kewenangannya

untuk menjalankan program “Being LGBTI in Asia”?

BAB II

PEMBAHASAN
2.1

Penjelasan Singkat PBB dan UNDP

2.1.1

PBB
Pasca Perang Dunia II, masyarakat internasional menginkan adanya suatu institusi

yang mampu menjaga perdamaian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian
dibentuk pada 24 Oktober 1945. PBB menjadi organisasi terbesar di dunia yang terdiri dari
192 negara anggota. Secara struktural, PBB terdiri dari beberapa organ, diantaranya ialah
Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial (ECOSOC), Trusteeship
Council, Mahkamah Internasional, dan Sekretaris Jenderal. Dalam menjalankan tugasnya,
PBB bekerja sama dengan agensi-agensi yang berada dibawah naungannya, diantaranya ialah
ILO, FAO, WHO, UNESCO, UNICEF, IBRD, IMF, UNCTAD, WTO, dan UNDP. Melalui
organ-organ dan agensi-agensi tersebut, PBB berkomitmen dalam mengembangkan
persahabatan antarnegara, menjamin keamanan dan memelihara perdamaian dunia, serta
mempromosikan


pembangunan

sosial.

Keseluruhan

tujuan

dari

PBB

selanjutnya

direpresentasikan kedalam 17 Sustainable Development Goals dalam United Nations
Sustainable Development Summit pada 25 September 2015 (Kemlu 2016).
2.1.2

UNDP

United Nations Development Programme (UNDP) merupakan salah satu agensi yang

berada dibawah naungan PBB. Didirikan pada 22 November 1965, Hingga saat ini, UNDP
telah memiliki 177 anggota dari berbagai negara. UNDP bertujuan untuk membantu negaranegara berkembang dalam meningkatkan kemampuan mereka untuk menghadapi berbagai
tantangan pembangunan, baik di tingkat nasional maupun global. Komitmen utama dari

UNDP adalah adanya pembangunan yang direpresentasikan melalui kemajuan ekonomi di
negara-negara berkembang. Pada mulanya, UNDP merupakan bagian dari Dewan Ekonomi
dan Sosial (ECOSOC). Pembentukan UNDP didasari atas perubahan tren fokus global dari
yang sebelumnya berkutat pada pembahasan “high politics” seperti isu kedaulatan dan perang
menuju ke isu “low politics” seperti masalah lingkungan hidup, demokrasi, dan HAM. Selain
itu, rusaknya perekonomian dunia terutama di negara-negara berkembang Pasca Perang
Dunia II mendasari urgensi terbentuknya agensi yang menangani secara spesifik mengenai
isu pembangunan manusia. Secara umum, fungsi utama UNDP ialah:
1. Menanggulangi kemiskinan
2. Mewujudkan sistem demokrasi dalam suatu negara
3. Menanggulangi masalah HIV/AIDS
4. Energi dan keseimbangan lingkungan
5. Membantu negara dari keterpurukan (UNDP 2016)
Disisi lain, UNDP bertujuan untuk mempromosikan pembangunan manusia di segala bidang,

termasuk mengatasi isu diskriminasi berdasarkan orientasi seksual. Salah satu bentuk
representasi dari usaha itu ialah melalui program “Being LGBTI in Asia.”
2.2

Program “Being LGBTI in Asia”
“Being LGBTI in Asia” adalah program yang bertujuan untuk mengatasi kesenjangan,

kekerasan dan diskriminasi atas dasar orientasi seksual, identitas gender, maupun status
interseks tertentu. Program ini merupakan salah satu upaya UNDP dalam mengakomodasi
kaum lesbian, gay biseksual, transgender, dan intersex (LGBTI) dalam tatanan masyarakat
yang setara. Program ini awalnya dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa masyarakat

LGBTI khususnya di Asia masih memperoleh beragam bentuk stigma dan diskriminasi
berdasarkan identitas orientasi seksual mereka. Hal ini dapat berdampak buruk pada usaha
pembangunan manusia yang harus dilakukan secara komprehensif, yakni tanpa membedakan
identitas seseorang termasuk dari orientasi seksual mereka. Apabila kaum LGBTI terus
berada dalam tekanan sosial demikian, maka pengembangan bagian dari masyarakat LGBTI
akan terus terhambat (UNDP 2016).
Pendidikan, kesehatan, dan aspek lainnya mengindikasikan adanya kualitas yang lebih
rendah terhadap masyarakat yang memilih preferensi seksual yang berbeda. Dengan

demikian, UNDP bersama institusi lain turut mempromosikan terjembataninya celah antara
masyarakat LGBTI dengan pengembangan manusia yang maksimal (UNDP 2016)
Tujuan utama dari program ini ialah untuk mengidentifikasi, membahas dan pada
akhirnya bergerak dalam upaya menyatukan sekat antara kaum LGBT dengan prasangka
sosial yang telah ada melalui kerjasama antara pemerintah, lembaga-lembaga hak asasi
manusia, dan juga masyarakat sipil. Apabila tujuan ini tercapai maka akan dapat memberikan
kontribusi langsung kepada komponen-komponen lain dalam Sustainable Development Goals
seperti: Penanggulangan kemiskinan, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan yang
berkualitas, kesetaraan gender, lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, mengurangi
kesenjangan, serta perdamaian, keadilan, dan institusi yang kuat (UNDP 2016)
Hasil yang diharapkan dari program ini ialah adanya peningkatan partisipasi
masyarakat LGBTI di Asia dalam mengisi berbagai posisi sosial di masyarakat. Menjadikan
kaum LGBT sebagai masyarakat setara dan tanpa sekat yang turut berkontribusi aktif dalam
kehidupan sosial. Melalui program ini juga diharapkan terbukanya akses yang maksimal di
sektor kesehatan, pelayanan sosial, pendidikan, pekerjaan, dan mekanisme hukum yang setara
bagi kaum LGBT. Selain itu, melalui sosialisai, masyarakat diharapkan memiliki perspektif

baru terhadap perbedaan orientasi seksual dan bagaimana menanggapi kelompok masyarakat
LGBT di lingkungan sekitar (UNDP 2016).
2.3


Kewenangan & Kerjasama
Kewenangan didefinisikan sebagai “kekuasaan membuat keputusan memerintah dan

melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.” (KBBI 2016). Dalam sebuah organisasi
internasional, kewenangan tertinggi yang dimiliki adalah wewenang untuk menyuarakan ide,
pendapat, serta inovasi. Hal ini adalah basis atau dasar konstruksi mengapa suatu organisasi
internasional itu dibentuk. Yaitu tujuan awal suatu organisasi sebagai sarana forum pertukaran
ide-ide tertentu sesuai platform disektor mana organisasi tersebut bergerak. Berangkat dari
argumen tersebut, telah menjadi kewenangan organisasi internasional untuk menyuarakan ide
atau pendapat apapun yang dianggap penting.
Secara umum, wewenang suatu organisasi internasional berasal dari konsensus atau
aspirasi anggota yang tergabung didalamnya. Negara-negara yang tergabung dalam UNDP
adalah entitas yang memiliki kekuasaan dalam menantukan sejauh mana kewenangan UNDP
dalam hubungan internasional.
Kewenangan UNDP, dalam hal ini direpresentasikan dalam tujuan organisasi
tersebut. Tujuan ini merupakan hasi dari konsensus negara-negara yang tergabung
didalamnya. Tujuan dari UNDP yaitu:
1. Mempererat kerjasama global dalam usaha pembangunan manusia dan berperan sebagai
sumber pencapaian pembangunan manusia.

2. Dalam rangka menjalankan usaha dalam pembangunan manusia, UNDP berfokus pada
sumber daya PBB dengan tujuan: kelestarian lingkungan, mengurangi kemiskinan, dan
penciptaan lapangan pekerjaan, serta kesetaraan gender.

3. Menjadikan PBB sebagai institusi yang kuat dalam menjamin adanya usaha bagi
pembangunan umat manusia. (UNDP 2016)
Salah satu wujud dari usaha UNDP dalam hal mencapai pembangunan manusia ialah
menjalankan program pengembangan kaum LGBT.
Dalam mempromosikan pengembangan kaum LGBT, usaha dilakukan melalui upaya
peningkatan terhadap berbagai sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Dalam melaksanakan upaya itu, UNDP memrlukan bantuan dari berbagai pihak agar
memproleh hasil yang maksimal. Dalam program ini, kerjasama dilakukan dengan
menggadeng Kedutaan Besar Swedia di Bankok, serta Badan AS untuk Pembangunan
Internasional (USAID) yang menyediakan bantuan keuangan. (UNDP 2016)
Selain itu, kolaborasi juga dilakukan melalui kerjasama antara stakeholder, lembagalembaga hak asasi manusia, pemerintah, dan masyarakat sipil lainnya. Bantuan dalam hal
saran maupun teknis dari berbagai pihak sangat diperlukan sehingga memerlukan jejaring
yang luas demi terselenggaranya program ini secara maksimal. (UNDP 2016)
Mitra dari program ini mencakup: B-Change Foundation, UN Office of the High
Commissioner for Human Rights (OHCHR) UN Women, Asean SOGIE Caucus (ASC), The
Lancet and the Salzburg Global Seminar, Asia Pacific Transgender Network (APTN), Asia

Pacific Forum of National Human Rights Institutions (APF), International Labour
Organization (ILO), World Health Organization (WHO), UN Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO), Joint United Nations Programme on HIV/AIDS
(UNAIDS), dan The Economist Events (UNDP 2016).
2.4

Landasan Teori

2.4.1

Liberal Institusional

Dalam menganalisis kewenangan dan kerjasama UNDP dalam program “Being
LGBTI in Asia”, penelitian ini menggunakan teori Liberal Institusional. Teori ini dipilih
karena dianggap paling relevan dan sesuai dengan permasalahan yang ada. Liberalisme
institusional atau lebih identik dengan liberal fungsional adalah salah satu varian dari
paradigma liberalisme HI yang melihat organisasi internasional sebagai katalis dalam
memajukan kerjasama antarnegara. Dengan demikian, liberal institusional memfokuskan
pada kerjasama global. Sebagaimana yang dinyatakan Sørensen: “Kaum liberal institusional
menyatakan bahwa institusi internasional menolong memajukan kerjasama di antara negaranegara.” (Jack & Sørensen 2007:154)

Mengutip dari Nye, Sorensen kemudian menekankan adanya iklim yang baik dalam
perkembangan perdamaian yang stabil melalui keberadaan institusi. “Institutions mean that
cooperative relationships are heavily institutionalized.” (Jack & Sørensen 2007:158)
Keberadaan institusi/organisasi internasional dengan demikian menjadi penting dalam
membantu

kemajuan

kerjasama

antarnegara

serta

mereduksi

adanya

atmosfir


ketidakpercayaan diantara negara-negara tersebut. Hal ini seringkali menjadi masalah
mengingat liberalisme juga mengakui adanya sistem internasional yang anarki.
Liberal Institusional seringkali diasosiasikan dengan mahzab Wilsonian tentang
demokrasi. Dalam konstruksi teori ini, para teoritisi Liberal Institusional dipengaruhi oleh
gagasan Woodrow Wilson dalam Fourteen Points yang ia rumuskan pada tahun 1918.
Fourteen Points merupakan syarat yang diajukan dengan demi menciptakan perdamaian,
diantaranya ialah adanya sistem politik yang demokratis, terselenggaranya perdagangan
bebas, dan organisasi internasional.
Liberalis memandang bahwa keberadaan organisasi internasional mampu mendukung
adanya perdamaian melalui kerjasama. Sebagai forum negosiasi, organisasi internasional

menyediakan wadah bagi negara-negara untuk berkomunikasi dan menjalin interaksi satu
sama lain. Ha ini akan mereduksi adanya potensi distrust antarnegara sehingga dapat
menciptakan adanya peluang yang lebih besar dalam menciptakan perdamaian dan
pembangunan.
2.4.2

Struktural Fungsionalisme
Perspektif Structural Functionalism melihat sistem sebagai sebuah struktur yang

saling terhubung. Masing-masing organ memiliki fungsinya masing-masing dan saling
berkontribusi dalam perkembangan sistem. Kerjasama antarinstitusi merupakan bagian yang
penting dalam berjalannya suatu program. Oleh karena itu, organ-organ dalam PBB, agensi,
serta organisasi internasional lain merupakan salah satu struktur fungsional yang mendukung
program “Being LGBTI in Asia”. Struktur ini, dalam analisis sudut pandang Structural
Functionalism, menjadi krusial dalam menjalankan suatu kerjasama diantara institusi. Dalam
hal ini, dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari organ-organ yang menyatu
membentuk satu bagian tubuh. (Herper 2011)
Herbert Spencer menganalogikan struktur sebagai organ yang bekerja sesuai
fungsinya dalam tubuh secara keseluruhan. Sedangkan Emile Durkheim melihatnya sebagai
satu bagian yang koheren, terikat, dan secara fundamental terkonstruksi untuk saling
berhubungan sehingga berfungsi seperti satu organisme. Menurutnya, seluruh bagian-bagian
struktur yang ada haruslah dilihat sebagai sebuah fungsi yang bekerja secara bersama-sama.
Suatu bagian tidaklah dianggap penting karena dirinya sendiri, melainkan bagaimana
posisinya dalam hubungan sosial. Hubungan sosial ini, menurut Auguste Comte diperlukan
adanya persatuan dari masyarakat mengingat banyaknya tradisi yang mulai menghilang.
Analogi organ dan tubuh yang saling berhubungan juga disepakati oleh Comte (Herper 2011).

“Functionalist thought, from Comte onwards has looked particularly towards biology as the
science providing the closest and most compatible model for social science. Biology has been
taken to conceptualizing the structure and the function of social systems and to analyzing
processes of evolution via mechanisms of adaptation…functionalism strongly emphasizes the
pre-eminence of the social world over its individual parts (i.e. its constituent actors, human
subjects).” (Giddens, 1984)

Dalam kasus UNDP, hubungan antara agensi-agensi, organ PBB, serta organisasi
internasional lain inilah yang secara kolektif menentukan besarnya suatu kewenangan yang
dimiliki institusi melalui kerjasama. Cara-cara kerjasama maupun kolaborasi dalam hubungan
internasional oleh organisasi kemudian menjadikan tiap-tiap pihak menjadi bagian dari
struktur yang satu sebagaimana yang Comte katakan sebagai “organisme tunggal”.
Dengan menggunakan perspektif ini dapat dipahami kerjasama dalam kasus UNDP.
Setiap struktur yang bekerja antara agensi, organ, dan organisasi saling berkaitan. Kerjasama
dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi organ tersebut. Dengan demikian keberadaan
agensi, organ, serta organisasi manapun tidak ditinggalkan namun berfungsi dalam menjaga
struktur dari sistem tubuh yang ada. Kehadiran UNDP dalam memfasilitasi hubungan
kerjasama dalam program “Being LGBTI in Asia” merupakan bentuk konsolidasi dalam
mencapai struktur yang diinginkan sehingga tujuan awal yang diinginkan dapat tercapai.

BAB III
PENUTUP
Keberadaan organisasi internasional didasarkan pada ada tidaknya kerjasama atau
diplomasi yang terjadi. Dalam kerjasama itu biasanya dibuat sutu perjanjian tertulis berupa
pakta, konvensi, maupun MoU yang mengatur mengenai substansi suatu organisasi
internasional dan kaitannya dengan negara lain. Dalam hal ini, negara yang setuju untuk
bekerjasama dengan suatu organisasi internasional, menyerahkan sebagian kedaulatannya
untuk “kepentingan bersama”.
UNDP telah lama dikenal sebagai salah satu aktor dalam hubungan internasional.
Keberadaannya telah diakui sebagai perannya dalam pembangunan manusia. Sebagai salah
satu aktor dalam hubungan internasional, UNDP, sama seperti aktor-aktor lain memiliki
kewenangan. Secara umum, kewenangan UNDP sepeti institusi-institusi lainnya bergantung
kepada dasar-dasar normatif pembentukannya. Karena UNDP-sebagaimana organisasi
internasional lainnya-bukanlah entitas yang berdaulat maka kewenangannya terbatas pada
sejauh mana anggota itu sepakat dan negara yang terlibat setuju terhadap dasar-dasar serta
syarat

organisasi

itu

berada.

Suatu

organisasi

internasional

tidak

dapat

melakukan/menjalankan kewenangannya lebih dari kesepakatan itu.
Dalam hal ini, UNDP bagaimanapun tidak akan dapat melakukan programnya di
wilayah negara yang tidak menghendaki program “Being LGBTI in Asia” tersebut seperti
halnya di Indonesia. Indonesia dalam program ini menolak adanya bantuan keuangan UNDP
yang ditujukan kepada komunitas-komunitas LGBT di Indonesia. Hal ini kembali berkaitan
dengan ranah kedaulatan. Analisis Liberalisme Institusional dan Struktural Fungsional tidak
cukup untuk menjelaskan kompleksitas posisi dan kewenangan organisasi internasional

dalam ranah tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya mekanisme baru dalam
menjembatani sekat tersebut.
Sampai sekarang, kekuasaan negara secara umum masih mendominasi kekuatan
politik dunia. Namun demikian, dalam beberapa kasus, suatu organisasi internasional
terkesan dapat memiliki wewenang yang bahkan melampaui kedaulatan suatu negara. IMF
contohnya, organisasi ini dalam kondisi tertentu dapat memperoleh kewenangan dalam
menerapkan ketentuan-ketentuan yang ia inginkan ke negara-negara anggota peminta
pinjaman. IMF juga berwenang untuk memberikan resep ekonomi tertentu kepada negara
tersebut. Suatu negara harus mampu memenuhi ketentuan yang dibuat oleh IMF, seperti
tingkat korupsi yang rendah inflasi yang rendah, serta ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.
Hal yang sama bisa saja terjadi pada UNDP. UNDP di satu disi sebagai platformnya
yang demokratis dan terkesan positif dalam melakukan aktivitasnya, dapat menjadi ancaman
bagi kedaulatan suatu negara. Fenomena masuknya dana UNDP ke komunitas LGBT di
negara-negara Asia seperti Indonesia adalah contoh dari adanya indikasi intervensi secara
tidak langsung terhadap suatau negara. Seperti di Indonesia, usaha UNDP tersebut tidak
hanya dinilai menyalahai kewenangan, namun juga sebagai bentuk pelanggaran terhadap
nilai-nilai masyarakat. Di masa mendatang, dengan semakin menguatnya UNDP di kancah
hubungan internasional, bukan tidak mungkin jangkauan kewenangan UNDP akan jauh lebih
besar dari dari apa yang ada saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration.
University of California.
Harper, Donald W. 2011. Structural-Functionalism: Grand Theory or Methodology?.
University of Leiceister. Diakses dari academia.edu pada 10 Juni 2016
Jackson, Robert & Georg Sørensen (2007). Introduction to International Relations: Theories
and Approaches. Oxford University Press
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diakses dari
http://www.kemlu.go.id/ pada 10 Juni 2016
UNDP.“United Nations Development Programme”. Diakses dari http://www.undp.org pada
10 Juni 2016
______ Being LGBTI in Asia. Diakses dari http://www.asia-pacific.undp.org/ pada 10 Juni
2016