Wawancara Anton Medan tentang kerusuhan mei 98

Wawancara Anton Medan: "Yang Merusak dalam Kerusuhan Mei itu Berambut Cepak"

  Nama Anton Medan lebih dikenal ketimbang nama asli dan nama nasionalisasinya. Nama asli lelaki kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 1 Oktober 1957, ini adalah Tan Hok Liang. Cina Medan dia, memang. Lantas, nama nasionalisasi atau indonesianisasi atas nama-nama Tionghoa adalah M. Ramdhan Effendi. Nama yang beraroma keislaman, memang. Dan ustadz yang memimpin Pondok Pesantren At-Ta

  �ibin di Cisarua, Jawa Barat, ini belakangan dijadikan tersangka yang menghasut sehingga terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998 itu. "Massa banyak yang merusak, itu saya cegah. Mereka bahkan ada yang saya tonjok ketika sedang mengambil komputer," katanya kepada Mustafa Ismail dari

  

TEMPO Interaktif, yang menemuinya di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta,

Kamis, 16 Juli.

  Anda sedang berada di mana saat terjadi kerusuhan itu?

  Tanggal 14 Mei, jam sepuluh pagi, saya dapat telepon dari beberapa warga keturunan Cina. Mereka meminta supaya saya bisa datang ke daerah Pluit, Muara Karang, Jembatan Tiga. Mereka memberi kabar tentang adanya kerusuhan. Saya lalu naik ke lantai tiga rumah saya. Saya melihat asap sudah luar biasa. Udara sudah gelap. Lalu saya menelepon ke pondok pesantren saya di Cisarua. Saya sampaikan pada Ustadz Asep dan Ustadz Gofar agar anak-anak tidak ada yang keluar, karena saya mau ke sana. Nah, setelah itu, saya mau keluar. Saya agak khawatir, tetapi saya berpakaian juga, pakai jubah, pakai sorban, pakai mobil pondok pesantren -- bukan mobil pribadi. Begitu saya keluar, saya terjebak massa. Itu di dekat rumah saya, 200 meter dari rumah saya. Di situ ada pom bensin. Lalu, saya turun dengan Yanto, staf saya. Kemudian mobil pulang. Situasi massa waktu itu begitu

  amburadul. Lempar sana, lempar sini. Ketika ada yang menuju ke pom bensin, saya takbir. Saya

  mencegah mereka. Saya teriak bertakbir "Allaahu Akbar" tiga kali. Kemudian mereka teriak, "Hidup Pak Haji! Itu Anton Medan! Hidup Pak Ustadz!"

  Lalu?

  Mereka nggak lempar-lempar lagi, mereka nggak membakar. Terus, dengan terkendalinya massa, saya jadi termotivasi. Akhirnya, keyakinan saya makin kuat, sehingga niat saya dalam hal amal maruf nahi

mungkar, saya jalankan. Saya terbawa oleh arus massa. Saya terbawa sampai di Jalan Gunung Sahari.

  Apa saja yang terjadi dan Anda lihat dalam perjalanan itu?

  Lempar-lemparan saja. Nggak ada yang membakar. Ada di Gunung Sahari, ujung jalan Jayakarta memang sudah dibakar.

  Apa yang Anda lakukan?

  Banyak yang merusak, saya cegah. Dan mereka ada yang saya tonjok ketika mengambil komputer. Saya pukul orang itu, lalu dia masuk ke gang.

  Massa mana yang merusak?

  Massa yang ikut saya tidak merusak. Justru yang merusak itu massa yang pakai ikat kain di kepala bertuliskan "proreformasi."

  Anda bisa mengidentifikasi siapa orang-orang itu?

  Saya nggak tahu. Tapi yang jelas, kayaknya bukan mahasiswa. Rambutnya cepak-cepak. Badannya gede-gede.

  Bagaimana sikap mereka?

  Bingungnya, ketika di Gunung Sahari, dia memberi air mineral pada saya. Dia tanya, "Bapak dari mana?" Saya bingung, padahal saya kan ulama dan tokoh masyarakat sana. Sehingga saya tanya, "Kamu dari mana, kok nggak kenal saya?" Katanya, "Sama-lah kita." Jawabnya begitu doang.

  Yang pertama kali menarik saya ke arah Glodok pun dia. Begitu juga yang menarik saya ke Mangga Dua. Orangnya saja yang beda, tetapi pakai ikat kain "pro reformasi" itu.

  Di Jalan Gunung Sahari, Anda ketemu seorang perwira; bagaimana ceritanya?

  Sampai di Gunung Sahari, arah ke Senen diblokir. Lalu, ada perwira marinir teriak-teriak memanggil saya, "Pak Ustadz! Pak Ustadz! Ini massanya diarahkan ke lapangan Kemayoran."

  Anda menggiring massa ke sana? Ya. Salawat. Dari pertama, kita salawat terus. Dalam perjalanan ke Kemayoran itu tidak ada lempar-lemparan? Ada. Mana mungkin saya mencegah semuanya. Yang saya antisipasi, jangan sampai mereka membakar. Soal perusakan rumah Liem Sioe Liong itu? Rumah Om Liem saja saya nggak tahu. Sampai sekarang, saya belum ke sana. Apakah Anda ikut juga melindungi warga etnis Tionghoa?

  Sepanjang saat, saya wajib melindungi mereka. Quran sudah menjelaskan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk berkembang biak menjadi bersuku-suku, berbangsa-bangsa, untuk saling mengenal. Bukan saling menghina, bukan saling menindas. Itu jelas. Apa bedanya kita pribumi, Batak, dengan Cina? Islam itu agama demokrasi. Kewajiban saya sebagai ulama adalah melindungi semua. Faktor mereka tidak masuk Islam, itu faktor hidayah.

  Dari lapangan Kemayoran, jam berapa Anda pulang ke rumah? Ashar saya pulang ke rumah. Setelah itu saya keluar lagi. Tetapi saya tidak terpengaruh oleh massa lagi.

  Saya membantu orang-orang Cina yang menghubungi saya. Saya lalu ke daerah Jembatan Tiga, Pluit,

  Lalu?

  Nggak ada kejadian apa-apa. Memang sudah dijaga sama anak buah saya, sebagian jamaah yang saya telepon. Di Muara Karang, di perbatasan itu, sudah ada yang membakar rumah, satu. Ketika itu mereka mau membakar gereja. Saya larang. Saya usir-usir semua.

  Siapa indikasi yang membakar itu? Saya nggak memperhatikan itu. Kini Anda dijadikan tersangka. Kira-kira kenapa Anda dijadikan sasaran yang dikaitkan dengan kerusuhan pertengahan Mei itu? Peluang mereka untuk "menembak" saya itu sangat mudah. Pertama, latar belakang saya bekas preman.

  18 tahun 7 bulan saya dipenjara. Kedua, saya punya yayasan yang membina eks napi dan preman. Juga saya adalah salah satu dai yang cukup keras bicara.

  Ada faktor lain yang membuat Anda dijadikan tersangka?

  Memang, saya sibuk. Saya sangat terkonsentrasi mencari siapa-siapa dalang dan pelaku kerusuhan itu, yakni yang melakukan pemerkosaan terhadap wanita-wanita keturunan Cina.

  Anda bisa mengidentifikasi siapa sesungguhnya mereka itu? Saya belum bisa berkomentar soal itu. Tapi yang jelas, bukan pelaku di lapangan itu yang saya inginkan.

  Itu kan ada urutannya. Kalau sebuah organisasi, saya bukan menembak cabangnya, minimal DPW-nya itulah.

  Apakah dalam pemeriksaan Rabu, 15 Juni, Anda merasa ada intimidasi? Tidak. Tetapi setidak-tidaknya saya berpikir, apa hubungannya kasus Trisakti dengan saya. Anda juga ditanya soal penembakan terhadap mahasiswa Trisakti? Awalnya, ditanya itu. Menurut Anda, bagaimana sesungguhnya masalah Trisakti itu? Saya nggak tahu. Saya tahu peristiwa itu dari televisi dan koran. Anda diperiksa berjam-jam. Kenapa sampai berlama-lama? Mereka putar balik, putar balik. Mungkin mereka berharap saya keseleo lidah.

  

Adakah kemungkinan persaingan politik tertentu di balik pemposisian Anda sebagai tersangka?

  Itu belum bisa dikomentari. Belum saatnya. Saya punya tanggung jawab moral selaku mubaligh dan selaku umat Islam.

  Sekarang, apa yang akan Anda lakukan?

  Saya nggak memikirkan mau dijadikan tersangka, mau dijadikan saksi, mau apa, masa bodo deh! Saya nggak memikirkan itu. Mereka mau tahan, mau periksa, oke saja.

  Menurut Anda, kenapa sampai terjadi kerusuhan-kerusuhan itu?

  Di era Soeharto, selama Orde Baru, saya lihat banyak kesenjangan-kesenjangan. Klimaksnya kerusuhan itu. Saya katakan, itu bukan kerusuhan rasial, bukan anti-Cina. Tidak. Tetapi ini karena ada kesenjangan. Baik komunikasi, masalah ekonomi, maupun masalah hukum.

  Kenapa kalangan Tionghoa yang menjadi sasaran?

  Saya tahu, banyak orang-orang Tionghoa yang eksklusif. Saya akui itu. Cuma kita lihat, apa sih penyebab yang menjadikan mereka eksklusif. Itu harus kita cari persoalannya. Mereka eksklusif, karena terlalu banyak oknum aparat yang menjual jasa, siap menjadi beking, adanya praktek upeti dan suap. Jadinya, semua persoalan dianggap selesai hanya dengan uang.

  Jadi, problemnya pada kebijakan atau pada aparat?

  Kebijakan-kebijakan itu perlu dibikin sebaik mungkin. Kita kembali kepada Undang-Undang Dasar pasal 27 ayat 1, tentang semua warga negara Indonesia punya hak yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Itu harus ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Pertama, itu. Kemudian, selama ini merasakah kita bahwa ada K-1, soal warga keturunan, kemudian ada tanda-tanda di KTP: warga nonpri. Itu harus dihapus. Bukan saja untuk Jakarta, tetapi untuk seluruh Indonesia . Kedua, perlu ada undang- undang yang melindungi kaum minoritas. Selain itu, kebijakan-kebijakan ekonomi, tolong jangan diulangi lagi kebijakan yang berorientasi kepada pelaku ekonomi yang sudah mapan. Tolong dipikirkan bagaimana membangkitkan ekonomi rakyat kecil.

  Ada yang menyatakan bahwa kerusuhan Mei itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Menurut Anda? Andai kata mereka mengorganisir, kalau rakyat kenyang, tidak lapar, tidak mungkin terjadi kerusuhan.

  Sudah lapar, dikasih makan, ya berebut. Tetapi kalau sudah kenyang, siapa mau makan?

  Apakah Anda punya keyakinan bahwa Anda akan terlepas dari masalah ini?

  Andai kata mereka mengikuti era reformasi, tidak ada rekayasa, intimidasi, campur tangan atau intervensi pihak luar, saya yakin cukup sampai pemeriksaan saja. Kalau saya nanti ditahan, saya sangat yakin ada intervensi, intimidasi pihak luar.

  Ada kabar bahwa Anda didanai oleh Prabowo? Yang bener saja, ah. Bikin orang ketawa saja. Nggak ada itu. Kenal saja tidak. Namanya juga isu.