BAB I IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN PADA MASA OTONOMI DAERAH (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang) 1.1 Latar Belakang Masalah - Implementasi Hu

  

BAB I

IMPLEMENTASI HUBUNGAN PEMERINTAHAN DESA DENGAN KECAMATAN

PADA MASA OTONOMI DAERAH

(Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa

Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang)

1.1 Latar Belakang Masalah

  Perkembangan pemerintahan daerah di Indonesia sejak awal Orde Baru tumbuh sejalan dengan kebijakan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Selanjutnya proses kebijakan ini diwarnai oleh konfigurasi politik dengan latar belakang gejolak politik keamanan daerah.

  Kebijakan otonomi daerah selama pelaksanaan UU. No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Pemerintahan di Daerah, secara kontekstual selama penerapannya memperkenalkan dimensi baru menyangkut otonomi daerah, yaitu otonomi yang nyata dan bertanggung

  

  jawab. UU ini juga sebenarnya telah mengatur hubungan kekuasaan pusat dan daerah pada bobot yang seimbang dalam arti kekuasaan yang dimiliki pusat dan daerah berada dalam titik keseimbangan (balance power sharing).

  Penyusunan UU tersebut sadar untuk meletakkan bobot kekuasaan pada posisi yang berimbang yang dirumuskan dalam kalimat bahwa “asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberi kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan”.

  Sayangnya gerak penyelenggaraan pemerintahan daerah yang telah ditata secara seimbang antara kekuasaan pusat dan daerah, pada awal pelaksanaanya berjalan dengan baik, namun lambat laun mengalami deviasi dan distorsi akibat paradigma dan cara pandang rezim Orde Baru yang menjadikan kebijakan otonomi daerah sebagai instrumen sentralisasi, eksploitasi dan penyeragaman bagi daerah yang sangat beragam.

  Deviasi dan distorsi tersebut tidak hanya berimplikasi pada ketidakjelasan arah 1 otonomi melainkan telah menciptakan ketergantungan daerah yang makin hari makin besar

  Dr. J. Kaloh. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah; Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global . Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 26. terhadap pemerintah pusat. Hal ini terjadi akibat penafsiran yang keliru maupun yang sengaja disalahtafsirkan terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 untuk memperkuat dominasi Pemerintah Pusat.

  Dengan begitu daerah kehilangan ruang gerak dalam melaksanakan otonominya bahkan sampai ke level desa melalui UU No. 5 Tahun 1979 tentang desa, diikuti oleh beberapa tindakan yang jelas semakin memperlemah kedudukan desa. Adapun tindakan tersebut diantaranya menempatkan kecamatan sebagai kekuasaan langsung di atas desa, sehingga gerak langkah desa tidak mungkin bisa independen dari kecamatan. Malah yang kemudian berlangsung adalah adanya intervensi berlebihan dari kecamatan. Kondisi ini pula yang dinyatakan sebagai penanggung jawab adanya loyalitas tinggi pada institusi di atas desa, ketimbang pada rakyat desa itu sendiri.

  Pada UU Nomor 5 Tahun 1974, kecamatan didefinisikan sebagai wilayah administratif pemerintahan dalam rangka dekonsentrasi. Definisi ini bermakna bahwa kecamatan adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelaksanaan tugas pemerintahan umum di daerah (Maksum, 2007).

  Pada masa berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974 tersebut, camat merupakan kepala wilayah. Sebagaimana pada pasal 76 dinyatakan setiap wilayah dipimpin oleh seorang kepala wilayah. Dalam pasal 77 dinyatakan bahwa kepala wilayah kecamatan disebut camat. Dalam

  pasal 80 dinyatakan kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan mengoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang. Wewenang, tugas, dan kewajiban camat selaku kepala wilayah kecamatan sama dengan wewenang, tugas, dan kewajiban kepala wilayah lainnya, yakni gubernur, bupati, dan walikota.

  Dari sini terlihat betapa kuatnya posisi dan kewenangan seorang camat di wilayah kecamatan. Camat adalah kepala wilayah, wakil pemerintah pusat, dan penguasa tunggal di wilayah kecamatan yang dapat mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah. Meskipun camat adalah bawahan bupati/walikota, camat mempunyai kewenangan yang cukup besar di wilayahnya. Tidak heran pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, camat dapat memutuskan segala sesuatu tanpa

   perlu mengkonsultasikannya dengan bupati.

  Di sisi yang lain, konsekuensi dari pola kebijakan UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No.

  5 Tahun 1979 telah membawa pengaruh yang luar biasa besar terhadap kehidupan masyarakat di pedesaan. Hilangnya tradisi local, terutama yang terkait dengan adat-istiadat telah membawa pengaruh yang luar biasa terhadap pola-pola kehidupan secara komunal. Tingginya intensitas konflik ditengarai sebagai akibat dari pudarnya legitimasi kekuasaan local yang digantikan dengan kekuasaan top-down, serta pudarnya hubungan-hubungan komunal diantara masyarakat.

  Kelembagaan politik non-formal seperti rembug desa (berinug-Kalimantan Timur) menjadi hilang digantikan institusi instan buatan Negara (LKMD/LMD). Hal ini membawa pengaruh yang luar biasa, terutama dalam menjaga keberlangsungan system social di tingkat local. Indikasi yang gampang dilihat secara vulgar di masyarakat adalah ketergantungan dan kecenderungan untuk apolitis serta penyelesaian sengketa secara pintas dengan kekerasan. Nilai-nilai yang dipegang teguh secara turun-temurun digantikan dengan nilai yang mengedepankan corak individual/pragmatis. Demokrasi menjadi macet digantikan dengan system politik yang hirarkhis/refresif.

  Selain itu kita mengetahui bahwa sejak kehadiran Negara modern, kemandirian dan kemampuan masyarakat desapun mulai berkurang. Berbagai peraturan ataupun undang- undang yang sengaja di buat jelas-jelas semakin menunjukkan kedudukan desa yang lemah sementara kekuasaan Negara di desa melalui penetrasi kekuasaan justru semakin kuat.

  Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun 1998, telah diikuti dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara otomatis mencabut UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999 dalam BAB XI Pasal 93-111 tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dan PP No. 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan mengenai

  2 Moh. Ilham. A. Hamudy. Jan-Apr 2009. “Peran Camat di Era Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmu Administrasi dan organisasi. 3 Vol 16. No. 1. Hal 1.

  Budi Baik Siregar dan Wahono. 2002. Kembali Ke Akar; Kembali Ke Konsep Otonomi Masyarakat Asli. Jakarta: FPPM. desa menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

   keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

  Sejak otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 ini dilaksanakan dan memberi otonomi pada desa dengan format demokrasi delegatif yang diwujudkan dalam pembentukan BPD (Badan Perwakilan Desa), maka peranan camat dimarjinalkan. Dimana UU tersebut telah menghapuskan camat sebagai penguasa tunggal diwilayahnya. Kecamatan tidak lagi berperan sebagai perangkat pemerintah nasional di wilayah kecamatan, melainkan sebagai staf bupati dalam yurisdiksinya. Sehingga ketentuan ini pada saat itu telah membuat mengambang pemerintahan kecamatan. Di sisi lain pemerintah desa dapat secara langsung berhubungan dengan pemerintahan kabupaten dan kecenderungan seperti itu telah muncul di berbagai provinsi, tentunya hal ini akan menguras energi desa bila banyak persoalan mesti diselesaikan di kabupaten, padahal persoalan tersebut dapat diselesaikan di tingkat kecamatan.

  Selama proses ini bergulir, para Camat pada umumnya masih berusaha melakukan sesuatu guna “memulihkan” peranannya seperti semula walaupun sebenarnya mereka bingung untuk melakukan sesuatu, karena landasan tindakan mereka tidak lagi ditopang oleh hukum positif. Namun pada beberapa kecamatan proses pemerintahan pada umumnya masih berjalan seperti biasa dan bahkan para Camat berupaya menunjukkan sikap bahwa mereka masih “menguasai” pemerintahan desa.

  Keadaan semacam ini berlangsung sudah cukup lama sehingga muncul sikap dan prilaku dari penyelenggara pemerintah yang melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar- wajar saja. Kondisi yang telah berlangsung lama seperti saat ini ternyata ikut menghambat pelaksanaan UU. No 22 Tahun 1999, karena ternyata prilaku-prilaku lama masih tampak dan hal ini jelas tidak kondusif untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal terutama menghadapi tantangan global yang memiliki daya penetrasi yang kuat di dalam masyarakat

   serta punya sistem nilai dan melembaga dalam lingkup mondial (mendunia).

  Posisi Camat menurut UU No. 22 Tahun 1999 tergantung pada “seni memimpin” demikian pernah diungkapkan oleh salah satu Camat. Artinya upaya menegakkan wibawa 4 (kekuasaan) Camat sangat tergantung pada kemampuan pendekatan Camat secara informal Prof. Drs. HAW. Widjaja. 2003. Otonomi Desa; Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers. 5 Hal 5.

  Dr. J. Kaloh. Op. Cit., h. 19-20 untuk menghadirkan eksistensinya dengan memanfaatkan kekurangpengetahuan aparat desa dan masyarakatnya tentang otonomi desa.

  Namun keadaan ini tentu akan bersifat temporer dan keberhasilannya sangat tergantung pada kemampuan individual Camat. Oleh karena itu nasib Camat sangat tergantung kepada bupatinya, dalam hal ini banyak bupati di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki pemikiran untuk menguatkan posisi para Camatnya dengan alasan bahwa kemampuan pemerintahan desa masih perlu dibina, sehingga Bupati memposisikan Camat sebagai Pembina Pemerintahan Desa.

  Oleh karena itu penempatan camat sebagai Pembina sebenarnya lebih banyak dimaknai bahwa Camat merupakan kepanjangan tangan dari Bupati, bahkan pada praktek masa lalu Camat menjadi kepentingan berbagai kekuatan sosial-politik maupun sosial ekonomi. UU No. 32 Tahun 2004 agaknya sangat tanggap terhadap posisi Camat yang serba mengambang itu, sehingga pada pasal 126 ditegaskan kewenangan Camat selain sebagai koordinator pemerintahan juga merupakan Pembina Desa.

  Sebenarnya peran Camat sebagai mediator antara “pihak luar” dengan desa tidak bersifat buruk, namun seringkali peran tersebut menjadi buruk ketika Camat lebih mengedepankan kepentingan para penguasa daripada masyarakat desa, atau bahkan karena terlalu berpihak maka Camat berfungsi “meredam” kepentingan rakyat desa.

  Padahal Camat sebagai mediator atau intermediary institutions (lembaga yang berperan sebagai jembatan kepentingan Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten) dapat berperan lebih positif dengan mengembangkan sinergi Pemerintahan Desa dengan Pemerintahan Kabupaten, tentunya bila ada pendelegasian kewenangan Bupati kepada

6 Pemerintah Kecamatan.

  Saat ini paradigma pemerintahan bukan lagi sebagai penguasa, tetapi menjadi pelayan masyarakat. Karena itu, tugas camat mengikuti peran bupati/wali kota sebagai pelayan masyarakat di tingkat kecamatan. Berdaya tidaknya sebuah kecamatan bergantung kepada pelimpahan kewenangan yang diberikan bupati/wali kota. Sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan bupati/wali kota dalam melayani masyarakat itulah yang menentukan 6 besaran kewenangan kecamatan.

  

Heri Kusmanto, Rustam Ependi, Harmaini El Harmawan, Listiani. 2007. Desa Tertekan kekuasaan. Medan: BITRA

Indonesia. Hal 36-39

  Setelah beberapa kali mengalami perubahan dasar hukum tersebut yang menjadi dasar pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik itu UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan telah dirubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah, dari perubahan dasar hukum tersebut tersirat adanya momentum strategis dalam rangka redefinisi dan restrukturisasi tugas pokok serta fungsi kecamatan khusnya dalam hubungannya dengan desa.

  Dalam pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa : “kecamatan dipimpin oleh Camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian kewenangan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebahagian urusan otonomi daerah”.

  Ketetapan sebagaimana bunyi pasal 126 ayat (2) di atas, telah mengubah kedudukan kecamatan dari kedudukan sebelumnya bahwa kecamatan merupakan perangkat dekonsentrasi (perangakat wilayah), menjadi sebagai perangkat desentralisasi (perangkat daerah), yang dalam pelaksanaan tugas-tugasnya menerima sebagian pelimpahan kewenangan dari Bupati/Walikota. Ketetapan demikian mau tidak mau akan memaksa dan mendorong Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Kota untuk memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada kecamatan melalui upaya pemberdayaan Kecamatan.

  Dalam upaya pemberdayaan Kecamatan, Pemerintah Kecamatan harus lebih akomodatif dan fleksibel artinya dengan kewenangannya Camat diharapkan mampu menyelesaikan sendiri berbagai masalah yang timbul dan berkembang di masyarakat serta mampu melahirkan kebijakan positif yang menyentuh langsung kepada penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan yang sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat desa.

  Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini berusaha mengkaji ulang peran camat dan kecamatan dalam hubungannya dengan pemerintahan desa yang telah banyak megalami perubahan di berbagai dimensi, khususnya terkait dengan pengelolaan kekuasaan seiring dengan bergulirnya era otonomi daerah.

  Dengan demikian, otonomi adalah kebutuhan dibukanya kesempatan kepada daerah termasuk desa untuk menata diri sesuai dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya dan lebih dari itu, agar daerah/desa berkembang sejalan dengan sejarah atau asal-usulnya. Jika hal ini menjadi komitmen bersama maka permasalahan-permasalahan sebagai dampak implementasi otonomi daerah dapat dikurangi, sehingga apa yang menjadi cita-cita dasar

   dari otonomi daerah dapat terwujud.

  1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: a)

  Bagaimana efektifitas penyelenggaraan pemerintahan kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut Dendang pada masa otonomi daerah? b)

  Apa sajakah kewenangan Bupati Deli Serdang yang sudah didelegasikan kepada pemerintah Kecamatan Percut Sei Tuan?

  1.3 Batasan Masalah

  Batasan masalah diperlukan dalam penelitian agar focus penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan uraian yang di buat tidak melebar. Maka masalah dalam penelitian ini adalah:

  Implementasi Hubungan Pemerintahan Desa Dengan Kecamatan Pada Masa Otonomi Daerah. (Studi Tentang Kekuasaan Pemerintahan Kecamatan Terhadap Desa Di Desa Laut Dendang Kec. Percut Sei Tuan Kab. Deli Serdang), dengan melihat bagaimana pola hubungan kekuasaan yang dilakukan pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut Dendang dengan memperhatikan kewenangannya masing-masing, sehingga menemukan sebuah bangunan relasi kekuasaan serta bagaimana relasi kekuasaan ini menemukan relevansi dalam konteks otonomi daerah di Indonesia.

  1.4 Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut :

  a) Untuk mengetahui efektifitas pemerintahan Kecamatan Percut Sei Tuan terhadap desa Laut dendang.

  b) Untuk mengetahui pendelegasian Kewenangan bupati Deli Serdang terhadap Camat Percut Sei Tuan.

7 Dr. J. Kaloh. Op. Cit., h. 31

1.5 Manfaat Penelitian

  Peneliitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terutama terhadap perkembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

  a) Manfaat bagi penulis, melalui penelitian ini semoga menambah pengetahuan dan pemahaman serta meningkatkkan kreativitas penulis dalam membuat suatu karya ilmiah khususnya dalam bidang ilmu politik.

  b) Manfaat akademis, Peneliti berharap rangkaian dan hasil penelitian ini nantinya dapat bermanfaat dalam memberikan kontribusi pemikiran dan menambah khazanah ilmu pengetahuan serta memperbanyak referensi bagi ilmu politik sendiri maupun proses pendidikan lainnya secara lebih komprehensif.

1.6 Kerangka Teoritis

  Bagian ini adalah unsur yang paling penting dalam penelitian, karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan objek kajian yang sedang diamatinya, dengan menggunakan teori-teori yang relevan dalam penelitiannya, teori dapat diartikan sebagai serangkaian asumsi, konsep, definisi untuk menerangkan suatu fenomena yang tengah diteliti.

  Adapun beberapa pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.6.1 Pemerintah dan Pemerintahan

  Pemerintah secara etimologi berasal dari bahasa yunani, Kubernan atau Nahkoda Kapal. Artinya menatap ke depan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang

   akan datang dan mengelola tujuan yang akan dicapai (Ramlan Surbakti, 1999:168).

  Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda. Pemerintah merujuk kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan menunjukkan bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup aparatur 8 negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat 9 Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. 1988. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. Hal 37 Heri Kusmanto, dkk. 2006. Pengantar Ilmu Politik. Medan: Pustaka Bangsa Press. Hal 40 perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

  Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-

   dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3).

  Untuk menyelenggarakan dan melaksanakan tujuan negara tersebut pemerintah melakukan kegiatan-kegiatan pemerintahan dalam suatu negara. Pemerintah dalam arti yang luas di indonesia sekarang dilakukan menurut cara-cara yang banyak berasal dari cara-cara barat karena sejarahnya.

  Pemerintahan dalam arti yang luas terbagi berdasarkan ajaran trias politica dari Montesquieu atas : a) Pembentukan Undang-Undang. (Legislative Power=Wetgeving).

  b) Pelaksanaan. (Executive Power=Uitvoering).

  c) Peradilan. (Judical Power=Rechtsprak).

  C. Van Vollenhoeven menambahkan bagian ke-4, yaitu kepolisian pada bagian dari Montesquieu tersebut, sedang pembagian yang terakhir sekali dalam ilmu pengetahuan tentang Administrasi Negara telah melepaskan tripraja dari Montesquieu dan catur praja C. Van Vollenhoeven, tetapi memakai pembahagian yang termodern dalam ilmu administrasi, yaitu :

  a) Penentuan tugas dan tujuan negara, (policy making = taak en doelstelling).

  b) 10 Melaksanakan tugas negara. (Executing = uitvoering).

  

Ane permata sari, S. IP, MA. Diktat Dinamika Politik Dan Pemerintahan. Dikutip dari situs

di akses pada tanggal 13/02/2012 pukul 20.20 WIB

  Atas dasar uraian tersebut maka dengan pengertian ‘pemerintah‘ dalam arti yang luas dimaksud dalam rangka ajaran tentang : Tripraja Montesquieu meliputi :

  a) Badan Perundang-undangan

  Dalam konsep “Good Governance” atau sering disebut sebagai “tatakelola kepemerintahan yang baik” untuk membedakan dengan 11 Drs. Musanef. 1989. Sistem Pemerintahan Di Indonesia. Cet. 3. Jakarta: CV Haji Masagung. Hal. 10

  disaat penyelenggaraan pemerintahan indonesia sedang mengalami distorsi terhadap efektivitas pelayanan kepada publik.

  Governance ” menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kemunculannya

  Istilah “Good Governance” mulai muncul dan populer di Indonesia sekitar tahun 1990-an. Dalam penyelenggaraan pemerintahan kita “Good

  

  b) Instansi yang melaksanakan keputusan badan-badan tersebut.

  a) Badan-badan pemerintahan di pusat, yang menentukan haluan negara

  Pemerintah dalam arti yang luas menurut A.M Donner meliputi :

  d) Regeling, atau pengaturan Perundang-undangan yaitu kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan umum dalam negara.

  Rechtspraak, atau peradilan adalah kekuasaan untuk menjamin keadilan di dalam negara.

  b) Politie, adalah kekuasaan kepolisian untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum negara c)

  a) Bestuur, atau pemerintahan yaitu kekuasaan untuk melaksanakan tujuan negara.

  c) Badan Peradilan. Caturpraja C. Van Vollenhoeven meliputi :

  b) Badan Pelaksana

1.6.2 Good Governance

1.6.2.1 Pengertian Good Governance

  “pemerintahan yang bersih dan berwibawa” (clean government), maka “tatakelola kepemerintahan yang baik”, sebagai kata sifat adalah “cara-cara

   penyelenggaraan pemerintahan secara efisien dan efektif .

  Pengertian “Good Governance” menurut Healy dan Robinson (1992:

  

  64) yang di kutip Hamdi, mengatakan bahwa “good governance” bermakna tingkat efektivitas organisasi yang tinggi dalam hubungan dengan formulasi kebijakan dan kebijakan yang senyatanya dilaksanakan, khususnya dalam pelaksanaan kebijakan ekonomi dan kontribusinya pada pertumbuhan, stabilitas dan kesejahteraan rakyat. Pemerintahan yang baik juga bermakna akuntabilitas transparansi, partisipasi dan keterbukaan.

  Adapun pengertian “Good Governance” menurut UNDP dalam

  

  sedarmayanti, “Good Governance” merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance (pemerintah atau kepemerintahan), sedangkan istilah yang lebih populer disebut “Good Governance” (kepemerintahan yang baik). Agar good governance dapat menjadi kenyataan dan berjalan dengan baik, maka dibutuhkan komitmen dan keterlibatan semua pihak yaitu pemerintah dan masyarakat. “Good governance” yang efektif menuntut adanya “aligment” (koordinasi) yang baik dan integritas, profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri.

  Dalam memahami tentang pengertian “Good Governance” patut menjadi catatan bagi kita agar tidak salah pengertian terhadap istilah “Good

   Governance ” seperti yang disampaikan oleh Tjokroamidjojo yaitu sebagai

  berikut: sebagai suatu pemikiran kontemporer banyak kesalahmengertian, “Good Governance” sering di artikan sebagai “Clean Government”, Good 12 Government bahkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, memang tidak 13 DR. Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Penerbit Mitra Wacana Media. H. 183. 14 Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone. H. 54 Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: CV. 15 Mandar Maju. H.2 Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta: ISBM. H 13. difungkiri “good governance” mulai berkembang dari perhatian terhadap “Clean Government” dan “Good Government”.

  Dari beberapa pengertian mengenai “Good Governance” dan juga karakteristik Good Governance”, terdapat beberapa kesamaan dalam tuntutan serta sistem politik demokratis terutama yang meliputi; rule of law,

  transparansi, accountability, konsensus. Dari segi masing-masing tersebut

  adalah seiring dengan arti dan makna demokrasi sehingga sistem politik yang demokratis dapat terwujud maka akan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang memiliki tatanan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, teratur dan tertib.

1.6.2.2 Prinsip-prinsip Good Governance

  Menurut Tamim

  

  a) Competence, artinya bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus dilakukan dengan mengedepankan profesionalitas dan kompetensi birokrasi. Untuk itu, setiap pejabat yang dipilih dan ditunjuk untuk menduduki suatu jabatan pemerintahan daerah harus benar-benar orang yang memiliki kompetensi dilihat dari semua aspek penilaian, baik dari segi pendidikan/keahlian, pengalaman, moralitas, dedikasi, maupun aspek- aspek lainnya. terdapat enam hal yang menunjukkan bahwa suatu pemerintahan memenuhi kriteria Good Governance, sebagai berikut: b)

  Transparancy, artinya setiap proses pengambilan kebijakan publik dan pelaksanaan seluruh fungsi pemerintahan harus diimplementasikan dengan mengacu pada prinsip keterbukaan. Kemudahan akses terhadap informasi yang benar, jujur, dan tidak deskriminatif mengenai penyelenggaraan pemerintahan oleh birokrasi daerah merupakan hak yang harus dijunjung tinggi.

  c) Accountability, artinya bahwa setiap tugas dan tanggug jawab pemerintahan daerah harus diselenggarakan dengan cara yang terbaik dengan pemanfaatan sumber daya yang efisien demi keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, karena setiap kebijakan dan 16 Feisal Tamim. 2003. Kebijakan Penataan Organisasi Perangkat Daerah Dalam Rangka Pengelolaan Pemerintahan Yang Lebih Baik.

  H. 15 tindakan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan ke hadapan publik maupun dari kacamata hukum.

  d) Participation, artinya dengan adanya otonomi daerah, maka magnitude dan intensitas kegiatan pada masing-masing daerah menjadi sedemikian besar. Apabila hal tersebut dihadapkan pada kemampuan sumber daya masing-masing daerah, maka mau tidak mau harus ada perpaduan antara upaya pemerintah daerah dengan masyarakat. Dengan demikian pemerintah daerah harus mampu mendorong prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan keberhasilan pembangunan daerah.

  e) Rule of Law, artinya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah harus disandarkan pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang jelas.

  Untuk itu perlu dijamin adanya kepastian dan penegakan hukum yang merupakan prasyarat keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

  f) Social Justice, artinya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam implementasinya harus menjamin penerapan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi setiap anggota masyarakat. Tanpa adanya hal tersebut, masyarakat tidak akan turut mendukung kebijakan dan program pemerintah daerah.

  Sedangkan prinsip-prinsip Good Governance versi UNDP yang saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri, sebagaimana dikutip

17 Sedarmayanti , adalah sebagai berikut:

  a) Participation; setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini di bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

  b) Rule of Law; kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak azasi manusia.

17 Sedarmayanti, Op. Cit., h. 7

c) Transparansi, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.

  Proses lembaga dan informal secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan informasi dapat dipahami dan dapat dipantau.

  d) Responsiveness, lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholder.

  e) Consensus orientation, Good Governance” menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

  f) Effektiveness and efficiency; proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

  g) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada pihak publik dan lembaga stakeholder.

  h) Strategy vision; para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif

  “good Governance” dan pengembangan manusia yang luas serta jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan yang semacam ini.

1.6.2.3 Good Governance Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah

  Dalam perkembangan dewasa ini kebijakan pemerintah ke arah penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik sudah mulai dilakukan dengan diawali dengan desentralisasi kewenangan kepada daerah kabupaten/kota melalui UU No. 22 Tahun 1999 juga UU No. 32 Tahun 2004 beserta peraturan pemerintahannya.

  Oleh karena itu dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan terjadi perubahan yang cukup signifikan menuju terwujudnya “Good

  

Governance”. Demikian pula tujuan kebijakan otonomi daerah di Indonesia

  tersebut di atas dalam perspektif pendayagunaan aparatur negara pada hakekatnya adalah memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah dan responsif terhadap kepentingan masyarakat luas; membangun sistem pola karir politik dan administrasi yang kompetitif; mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif; meningkatkan efisiensi pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan transparansi pengambilan kebijakan dan akuntabilitas publik, pada akhirnya diharapkan terciptanya kepemerintahan yang baik (Good Governance).

1.6.3 Teori Otonomi Daerah

1.6.3.1 Pengertian Otonomi Daerah

  Seperti dikatakan oleh Mark Turner (1999:4), ‘desentralisasi merupakan salah satu konsep di dalam ilmu sosial yang memiliki banyak makna disepanjang waktu’. Pemaknaan yang beragam ini tidak lepas dari banyaknya aplikasi disiplin dan perspektif di dalam ilmu sosial yang concern

   terhadap studi mengenai desentralisasi. (Conyers, 1984: 190-191).

  Otonomi bila kita tinjau dari segi etimologisnya berasal dari dua kata dalam bahasa yunani, yakni kata “auto” yang berarti sendiri dan “nomos” yang berarti undang-undang atau peraturan. Selanjutnya istilah ini berkembang menjadi terminology “pemerintahan sendiri” atau mengatur dengan “undang- undang sendiri”. Lalu beberapa ahli mencoba menarik sebuah definisi otonomi yang diartikan sebagai “pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan, daerah atau “kebebasan atas kemandirian, bukan kemerdekaan”.

  Sementara istilah “daerah” itu memiliki arti yang cukup luas yakni sebagai “bagian permukaan bumi dalam kaitannya dengan keadaan alam dan sebagainya yang khusus; Lingkungan pemerintahan; Wilayah; selingkungan kawasan, tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkukangan suatu kota (wilayah dan sebagainya); tempat-tempat dalam suatu lingkungan yang sama keadaannya (iklimnya, hasilnya dan sebagainya); tempat-tempat

   yang terkena peristiwa yang sama; bagian permukaan tubuh”.

  18 19 Ibid, hal 138.

  

Kamisa, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kartika, Surabaya, 1997, hal. 116, Dalam, Politeia Jurnal Ilmu Politik

Volume 2, Husnul Isa Harahap, Militer Dan Politik;Otonomi Daerah Dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan Sipil-Militer

Di Daerah , Penerbit Kerjasama Departemen Ilmu Politik dan Laboratorium Politik FISIP USU, Medan, 2006, hal. 20

  Lalu keterkaitan antara kedua kata tersebut yakni otonomi dan daerah adalah merupakan dua buah kata yang sering dipakai secara bersamaan. Ini disebabkan karena menurut Sumitro Maskun:

  “pengertian otonomi dalam lingkup suatu Negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintahan daerah (local government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke daearah, juga berarti menghargai atau mengefektifkan daerah kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi system prosedur pemerintahan Negara di daerah”.

  Dengan demikian otonomi daerah secara istilah dapat dirumuskan sebagai sebuah kondisi dimana kewenangan daerah dijunjung tinggi dan mendapat tempat yang strategis dalam arti pemerintah daerah sama sekali tidak mengalami proses intervensi yang dapat mengganggu kewenangannya

   tersebut dan untuk mengatur wilayahnya dalam lingkup kewenangannya itu.

  Syafrudin (1991:23) misalnya, mengatakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Menurutnya Kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Secara implisit definisi otonomi tersebut mengandung dua unsur, yaitu : Adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya; dan Adanya pemberian kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai penyelesaian tugas itu.

  Dalam kaitannya dengan kewajiban untuk memikirkan dan menetapkan sendiri bagaimana penyelesaian tugas penyelenggaraan pemerintahan, Sinindhia dalam Suryawikarta (1995:35), mengemukakan batasan otonomi sebagai “…kebebasan bergerak yang diberikan kepada daerah otomom dan memberikan kesempatan kepadanya untuk mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam keputusannya, untuk 20 mengurus kepentingan-kepentingan umum.”

  

Husnul Isa Harahap. Jurnal Ilmu Politik; Militer Dan Politik, Vol. II, No 2, Departemen Ilmu Politik dengan

Laboratorium Politik FISIP USU, 2006.

  Dari berbagai batasan tentang otonomi daerah tersebut diatas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya otonomi merupakan realisasi dari pengakuan pemerintah bahwa kepentingan dan kehendak rakyatlah yang menjadi satu- satunya sumber untuk menentukan pemerintahan negara. Dengan kata lain otonomi menurut Magnar (1991: 22),”… memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta dalam mengambil bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan”. Manan (dalam Magnar, 1991:23) menjelaskan bahwa otonomi mengandung tujuan-tujuan,yaitu:

  Pembagian dan pembatasan kekuasaan.Salah satu persoalan pokok dalam negara hukum yang demokratik, adalah bagaimana disatu pihak menjamin dan melindungi hak-hak pribadi rakyat dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang sewenang-wenang. Dengan memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, berarti pemerintah pusat membagi kekuasaan yang dimiliki dan sekaligus membatasi kekuasaanya terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan kepada kepala daerah.

  Efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Adalah terlalu sulit bahkan tidak mungkin untuk meletakkan dan mengharapkan Pemerintah Pusat dapat menjalankan tugas dengan sebaik- baiknya terhadap segala persoalan apabila hal tersebut bersifat kedaerahan yang beraneka ragam coraknya. Oleh sebab itu untuk menjamin efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, kepada daerah perlu diberi wewenang untuk turut serta mengatur dan mengurus pelaksanaan tugas- tugas pemerintahan dalam lingkungan rumah tangganya, diharapkan masalah- masalah yang bersifat lokal akan mendapat perhatian dan pelayanan yang wajar dan baik.

  Pembangunan-pembangunan adalah suatu proses mobilisasi faktor- faktor sosial, ekonomi, politik maupun budaya untuk mencapai dan menciptakan perikehidupan sejahtera. Dengan adanya pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusan dan kepentingan rumah tangga daerahnya, partisipasi rakyat dapat dibangkitkan dan pembangunan benar- benar diarahkan kepada kepentingan nyata daerah yang bersangkutan, karena merekalah yang paling mengetahui kepentingan dan kebutuhannya.

1.6.3.2 Dimulainya Reformasi Otonomi Daerah

  Refornasi yang ada saat ini di bidang politik dan pemerintahan melahirkan agenda dan kesepakatan naional baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini kemudian menerbitkan TAP MPR No.

  XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan; dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka NKRI, mengawali paradigma baru tatanan pemerintahan daerah. Dari semangat TAP MPR No. XV/1998 tersebut dapat dilihat beberapa aspek penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu :

  a) Pembangunan daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional, melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

  b) Otonomi daerah diberikan dengan prinsip kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional. Dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasioanal yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

  c) Penyelengaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan prinsip demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

  d) Pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional antara pusat dan daerah dilaksanakan secara adil untuk kemakmuran masyarakat daerah dan bangsa secara keseluruhan.

  e) Pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara efektif dan efisien, bertanggung jawab, transparan, terbuka, dan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang luas kepada usaha kecil, menengah, dan koperasi.

  f) Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah.

  g) Pemerintah daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.

  h) Penyelenggaraan otonomi daerah dalam kerangka mempertahankan dan memperkokoh NKRI, dilaksanakan berdasarkan asas kerakyatan dan berkesinambungan yang diperkuat dengan pengawasan DPRD dan masyarakat.

  Dimensi otonomi daerah sedemikian ini memberika suatu harapan bagi tercipta dan terlaksananya keadilan, demokratisasi dan transparansi kehidupan sektor publik. Hal ini tentunya suatu lompatan jauh bagi tertatanya masyarakat sipil yang dicita-citakan.

  Paradigma baru pemerintahan daerah memberikan kewenangan luas bagi daerah, bahkan dari kewenangan yang ada tersebut terdapat kewenangan wajib yang merupakan bagian dari tanggung jawab publik pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan rakyat (public goods). Kesemuannya ini dilaksanakan secara demokratis, transparan dan egaliter, yang berarti menempatkan prioritas keragaman daerah sebagai manifestasi dari Bhineka Tunggal Ika. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang menyangkut program yang bersifat massal, uniform dan sentralistis harus dieliminasi. Di samping hal tersebut, daerah menjadi titik sentral awal gagasan dan perencanaan berbagai kegiatan pemerintahan.

  Penyelenggaraan pemerintahan di daerah merupakan manifestasi dari pemerintahaan seluruh wilayah negara. Untuk itu segala aspek menyangkut konfigurasi kegiatan, dan karakter yang berkembang. Hal ini akan mewarnai penyelengaraan pemerintahan secara nasional. Dengan jelas dapat dikatakan bahwa peran dan kedudukan pemerintahan daerah sangat strategis dan sangat menentukan secara nasional sehingga paradigma baru pemerintahan yang terselenggara adalah berbasis daerah. Dengan berbasis daerah, pemerintah pusat menyelenggarakan fungsi pengarah dan penanggung jawab segala kegiatan di daerah dengan kepercayaan sepenuhnya, sehingga persepsi lama yang sering di dengar menyangkut egoisme sektoral akan terhapus.

  Seiring dengan penyelenggaraan pemerntahan yang semakin demokratis, di pihak lain hal ini memberikan tantangan terhadap berbagai stakeholder di daerah. Karena konteks mengatur rumah tangga daerah, maka daerah harus mampu merespons tugas dan perannya. Peran besar yang diikuti oleh komitmen yang kuat, keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan semua komponen daerah akan memberikan sinergi bagi mantapnya keberhasilan pembangunan di daerah.

  Peran besar dan perubahan konstelasi yang sangat mendasar ini harus dipahami oleh segenap stakeholder yang meliputi jajaran aparatur, kekuatan sosial dan kemasyarakatan, DPRD dan semua komponen daerah. Semua ini telah menjadi tekad nasional; oleh karena itu, semangat penyelenggara pemerintahan, respons publik, dan faktor psikologis menyangkut sense of crisis dan sense of urgency harus ditumbuhkan dan dipelihara bagi terlaksananya hakikat dari reformasi.

  Persoalan kelembagaan pemerintah daerah terkait dengan persoalan yang terus berlangsung yang merupakan akumulasi dari gejala sebelumnya. Tuntutan reformasi adalah dimaksudkan untuk mengoptimalkan kelembagaan yang ada yang pada prinsipnya mengedepankan aspek-aspek : a)

  Kerangka pemerintahan negara sebagai satu sistem, bermakna suatu kesadaran akan keterkaitan.

  b) Pengembangan visi dan misi daerah, dalam kerangka visi dan misi bangsa, dalam wadah negara kesatuan, sebagai arah yangg jelas.

  c) Paradigma tatanan pemerintahan daerah, yang mewujudkan tanggung jawab, hak dan kewajiban, kewenangan dan tugas.

  d) Adanya kondisi yang berasal dari periode sebelumnya, bermakna kesadaran akan keterhubungan.

e) Kondisi nyata dan kondisi spesifik daerah.

  f) Adanya aspek-aspek yuridis, politis, sosiologis, ekonomis, pragmatis, empiris dan historis serta aspek strategis.

  g) Perhatian pada aspek kemanusiaan, berkaitan dengan optimalisasi dan keseimbangan peranan sumber daya.

  Berbagai tantangan dan hambatan bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akomodatif terhadap kebutuhan dalam berbagai dimensi apapun, akan melahirkan suatu bentuk organisasi pemerintah daerah yang kenyal dan fleksibel. Oleh karena itu, objek bagi tercapainya pemerintahan daerah yang dapat menjawab berbagai tuntutan zaman adalah kembali kepada semangat

   penyelenggara pemerintahan di daerah.

  Selain dari pada itu, menurut Brian C. Smith, munculnya perhatian terhadap transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu keyakinan bahwa adanya demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional (1998:85-86). Pandangan yang bercorak fungsional ini berangkat dari asumsi bahwa ketika terdapat perbaikan kualitas demokrasi di daerah, secara otomatis bisa diartikan sebagai adanya perbaikan kualitas di tingkat nasional. Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan di sejumlah negara di berbagai belahan dunia, Smith mengemukakan empat alasan untuk memperkuat pandangannya tersebut.

  Pertama, demokrasi pemerintahan di daerah merupakan suatu ajang pendidikan politik yang relevan bagi warga negara di dalam suatu masyarakat yang demokratis (free societies). Hal ini tidak lepas dari tingkat proximity dari pemerintah daerah dengan masyarakat. Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah yang langsung berinteraksi dengan masyarakat ketika proses demokratisasi itu berlangsung.

  Kedua, pemerintah daerah dipandang sebagai pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat yang berlebihan dan kecenderungan anti demokratis di dalam suatu pemerintahan yang sentralistis. Kecenderungan seperti ini, khususnya, terjadi di masa transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis. Dalam masa transisi ini pemerintah daerah memiliki posisi tawar-menawar yang lebih tinggi atas kekuasaan dan otoritas dengan pemerintah pusat.

  Ketiga, demokrasi di daerah dianggap mampu menyuguhkan kualitas partisipasi yang lebih baik dibandingkan kalau terjadi di tingkat nasional. Fakta bahwa komunitas di daerah relatif terbatas dan masyarakatnya lebih tahu diantara satu dengan lainnya dianggap sebagai dasar argumen bahwa partisipasi masyarakat di daerah itu lebih bermakna apabila di bandingkan di 21 tingkat nasional. Partisipasi politik di daerah lebih memungkinkan adanya

DR. J. Kaloh. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global.

  Rineka Cipta, 2007. Hal 57-61. deliberative democracy, yakni adanya komunikasi yang lebih langsung di dalam berdemokrasi.

  Keempat, kasus kolumbia menunjukkan bahwa legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan manakala pemerintah pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Penguatan legitimasi ini berkaitan dengan tingkat kepercayaan daerah kepada pemerintah pusat.

  Munculnya perhatian yang lebih serius terhadap proses demokratisasi di daerah juga berkaitan dengan semakin menguatnya secara massive kebijakan desentralisasi di negara-negara sedang berkembang sejak 1990-an. Sebagaimana dikemukakan oleh Delinger (1994: 1), yang membuat laporan untuk Bank Dunia, ‘kecuali 12 negara, dari 75 negara-negara sedang berkembang dan negara-negara yang sedang mengalami transisi dengan penduduk lebih dari lima juta, semuanya mengklaim sedang melakukan transfer kekuasaan politik ke unit-unit pemerintahan di daerah’. Berbeda dengan implementasi kebijakan desentralisasi pada 1960-1970-an yang lebih menekankan pada kebijakan desentralisasi administrasi, implementasi kebijakan desentralisasi pada 1990-an didesain untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi yang lebih komprehensif. Kebijakan itu tidak hanya difokuskan pada desentralisasi administrasi, melainkan juga desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal.

Dokumen yang terkait

Pemetaan Salinitas Pada Sumur Bor Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

2 68 57

Persepsi Masyarakat Tentang Pengobatan Tradisional Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2004

0 27 124

Sikap Petani Terhadap Berbagai Media Penyuluhan Pertanian (Studi Kasus : Desa Tanjung Rejo, Kec. Perçut Sei Tuan Kab. Deli Serdang)

2 49 89

Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Antenatal Care dengan Jumlah Kunjungan Antenatal Care di Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Medan Tahun 2011

3 39 63

Evaluasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

6 80 92

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Keluarga Melalui Model Family Care Unit (FCU) Di Desa Sambirejo Timur Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 11

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perkawinan Usia Muda Dikalangan Remaja di Desa Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 22

1 BAB I PENDAHULUAN - Potensi Modal Sosial Buruh Bangunan (Studi Deskriptif Pada Buruh Bangunan di Lingkungan 12 Desa Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah - Faktor-Fator Yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Muda (Studi Kasus Di Dusun IX Seroja Pasar VII Tembung Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang)

0 0 11