BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Filariasis atau elephantiasis dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing filaria (Kemenkes RI, 2010a). Filariasis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan nematode yang hidup didalam sistem limfe dan ditularkan dengan perantara nyamuk (Soeyoko, 2002).
Menurut WHO dalam Soeyoko (2002) filariasis limfatik dikategorikan dalam enam penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra. Filariasis limfatik tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama beriklim tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis seperti Afrika, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah.
Filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap. Meskipun filariasis tidak menyebabkan kematian tetapi merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Hal ini dikarenakan bila terjadi kecacatan menetap maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal, sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan negara (Depkes RI, 2009a).
Hasil estimasi Kementerian Kesehatan tahun 2010 menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 trilyun rupiah jika tidak dilakukan program pengendalian filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berada di negara berisiko tertular filariasis (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b). Di wilayah Afrika sebesar 85% ( 39 dari 46 negara) endemis filariasis limfatik dengan populasi berisiko 396 juta di tahun 2008, di wilayah Amerika 7 negara endemis filariasis limfatik dengan 12 juta orang berisiko. Di wilayah bagian timur Mediterania ada 3 negara endemis yaitu Mesir, Sudan, Yaman dengan 12 juta orang beresiko, dimana hampir 510.000 orang dirawat pada tahun 2008. Di wilayah Asia Tenggara sekitar 66% dari populasi global berisiko filariasis limfatik yang terdiri 9 negara endemis dengan 426 juta orang yang menerima perawatan (WHO, 2010).
Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara diseluruh dunia, terutama dinegara-negara tropis dan sub tropis (WHO dalam Karwiti, 2011). Tahun 2009, diperkirakan larva cacing filaria telah menginfeksi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia, dimana 60 juta orang diantaranya (64%) terdapat di regional Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, terdapat 11 negara yang endemis filariasis dan salah satu diantaranya adalah Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak dan wilayah yang luas memiliki masalah filariasis yang kompleks. Di Indonesia, ke tiga jenis cacing filaria (Wucheraria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori) dapat ditemukan (WHO dalam Kemenkes RI, 2010b).
Filariasis termasuk salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di daerah pedesaan (Soeyoko dkk, 2008). Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Sejak tahun 2000 hingga 2009 di laporkan kasus kronis filariasis sebanyak 11.914 kasus yang tersebar di 401 Kabupaten/kota dan diestimasikan prevalensi Microfilaria rate (Mf rate) sebesar 19% (Kemenkes RI, 2010a).
Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40% dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis sebesar 67% (335 dari 495 kabupaten/kota), sebesar 0,6% (3 kabupaten/kota) tidak endemis filariasis, dan 157 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasis. Pada tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2008, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 71,9% (356 dari 495 kabupaten/kota) sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak endemis filariasis (Kemenkes RI, 2010b). Berdasarkan hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) persentase kejadian filariasis sebesar 0,04%, yaitu dalam kurun waktu 12 bulan terakhir sebanyak 424 responden menjawab pernah menderita filariasis. Di Kabupaten Kepulauan Yapen Propinsi Papua berdasarkan survei mikrofilaria pada Bulan Januari tahun 2010 Mf
rate sebesar 2,06% (Sulistiyani dkk, 2012). Di Kabupaten Bonebolango Propinsi
Gorontalo di dapatkkan 105 positif mikrofilaria (Mf rate=34,4%) dari 326 sediaan darah jari yang diperiksa (Soeyoko dkk, 2008). Di Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan mendapatkan 9 slide positif dari 230 slide yang diperiksa dengan angka Mf rate 3,91% (Wijayanti, 2009).
Di Propinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2012 telah dilaporkan sebanyak 70 kasus filariasis klinis. Kasus filariasis ini tersebar di 7 kabupaten/kota dari 33 kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara, yaitu Kota Binjai (1 kasus), Kota Gunung Sitoli (3 kasus), Kabupaten Asahan (28 kasus), Kabupaten Labuhan Batu Selatan (28 kasus), Kabupaten Mandailing Natal (9 kasus), dan Kabupaten Nias Selatan dan Samosir (masing-masing 1 kasus). Berdasarkan survei darah jari yang dilakukan BTKLPP (Balai Teknis Kesehatan Lingkungan Pengendalian Penyakit) Kelas I Medan tahun 2012 di 16 kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Utara, diperoleh angka Mf rate 0,07% yaitu ditemukan 5 sediaan positif mikrofilaria dari 7.200 sediaan yang diperiksa, yang tersebar di Kabupaten Labuhanbatu Selatan (1 orang dengan Mf rate 0,17%), di Kabupaten Asahan (2 orang dengan Mf rate 0,67%) dan di Kecamatan Medan Marelan Kota Medan (2 orang dengan Mf rate 0,33%).
Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Menurut WHO dalam Soeyoko (2002) filariasis banyak diderita pada usia produkif (15-44 tahun), laki- laki lebih banyak terinfeksi dari pada perempuan. Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan pada kelompok umur berisiko (< 21 tahun dan > 35 tahun) yang pernah terkena filariasis sebesar 0,046%, sedangkan kelompok umur tidak beresiko (21-35 tahun) sebesar 0,043%, dan pada laki-laki terkena filariasis sebesar 0,05% dan perempuan 0,04%. Penelitian Riftiana dan Soeyoko (2010) di Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis.
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya baik secara langsung maupun tidak langsung, karena faktor lingkungan dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoir dan vektor, sehingga sangat penting untuk mengetahui epidemiologis filariasis. Jenis filariasis yang ada di suatu daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat faktor lingkungannya, seperti lingkungan fisik, lingkungan biologik dan sosial budaya.
(Sutanto et al. dalam Karwiti, 2011).
Banyak faktor risiko yang mampu memicu timbulnya kejadian filariasis, beberapa diantaranya adalah faktor lingkungan, baik lingkungan dalam rumah maupun lingkungan luar rumah. Konstruksi plafon rumah, keberadaan kawat kassa, dan barang-barang bergantung memiliki hubungan bermakna dengan kejadian filariasis di Kelurahan Jatisempurna (Juriastuti dkk, 2010). Karwiti (2011) di Kabupaten Banyuasin menemukan bahwa responden yang tinggal di dalam rumah dengan kondisi fisik rumah tidak memenuhi syarat (dinding rumah banyak lubang- lubang) mempunyai risiko 81,01 kali lebih besar terinfeksi filariasis, responden yang tinggal di rumah dekat dengan breeding habitat vektor nyamuk Mansonia spp yang ditumbuhi tanaman air (< 2 km) mempunyai risiko 33,34 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia malayi, kebiasaan responden tidak memakai kelambu pada waktu tidur malam hari mempunyai risiko 36,64 kali lebih besar terinfeksi filariasis Brugia
malayi . Penelitian Mulyono dkk (2008) di Kabupaten Pekalongan menyatakan ada
lima variabel sebagai faktor risiko kejadian filariasis, yaitu adanya genangan air, adanya persawahan, tidak adanya hewan predator, kebiasaan tidak menggunakan kelambu, dan kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk. Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk (2011) menyatakan orang yang tinggal dengan rumah tangga yang saluran air limbahnya terbuka, memiliki probabilitas lebih besar yaitu 2,56 kali terjadinya filariasis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan rumah tangga yang saluran air limbahnya tertutup.
Saat ini filariasis telah menjadi salah satu penyakit yang diprioritaskan untuk dieliminasi, diprakarsai oleh WHO sejak tahun 1999, pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO mendeklarasiakan “The Global Goal of Elimination of
Indonesia
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”, sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global.
Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004– 2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020, sedangkan tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis (Kemenkes RI, 2010a).
Di Propinsi Sumatera Utara saat ini upaya pengendalian filariasis pada tahap penemuan kasus melalui pelacakan kasus dan survei darah jari. Pengobatan massal sudah dilaksanakan di 6 kabupaten/kota pada lima tahun lalu. Karakteristik geografis Propinsi Sumatera Utara secara umum beriklim tropis dengan curah hujan tinggi 800-4000 mm/tahun, kelembaban rata-rata 78%-91%, penyinaran matahari 43%, topografi terdiri dari dataran pantai, dataran rendah/rawa, dan dataran tinggi serta pegunungan. Di Kabupaten Labuhanbatu Selatan rata-rata curah hujan 3470,04 mm/tahun, suhu tahunan adalah 30ºC dengan topografi daerah dataran rendah/rawa, bukit-bukit bergelombang sampai dengan dataran tinggi, dan di Kabupaten Asahan rata-rata curah hujan 2150 mm/tahun dengan topografi dataran pantai dan dataran rawa. Dataran rendah/rawa dan dataran pantai merupakan daerah baik bagi perkembangbiakan vektor nyamuk. Curah hujan dan kelembaban nisbi yang tinggi berpengaruh terhadap penambahan tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding places ) sehingga menjadi faktor risiko bagi terjadinya kasus filariasis.
1.2 Permasalahan
Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan merupakan kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dengan prevalensi kasus filariasis tertinggi dengan angka Mf rate masing-masing 0,17% dan 0,67%. Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan, kejadian filariasis di dua kabupaten tersebut berkaitan dengan kondisi fisik rumah dan lingkungan luar rumah yang sangat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk sebagai vektor filariasis, serta kebiasaan yang berisiko untuk terjadinya penularan filariasis.
1.3 Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
1.4 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ada pengaruh faktor lingkungan fisik (keberadaan rawa-rawa, keberadaan persawahan, suhu dalam rumah, kelembaban dalam rumah, keberadaan kawat kasa pada ventilasi rumah, konstruksi plafon rumah) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
2. Ada pengaruh faktor lingkungan biologis (keberadaan tanaman di sekitar rumah dan keberadaan hewan peliharaan di sekitar rumah) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
3. Ada pengaruh faktor lingkungan sosial (pekerjaan, kebiasaan keluar pada malam hari, kebiasaan memakai kelambu, kebiasaan memakai obat anti nyamuk) terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis.
1.5 Manfaat Penelitian 1.
Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan dalam menentukan kebijakan operasional dan strategi yang efesien dan komprehensif dalam pelaksanaan pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif dan filariasis, sehingga mendukung pencapaian program eliminasi filariasis.
2. Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi bagi masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian mikrofilaria positif dan filariasis.
3. Sebagai sumber informasi mengenai pengaruh faktor lingkungan terhadap kejadian mikrofilaria positif dan filariasis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan keilmuan.