BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Filariasis 2.1.1 Pengertian Filariasis - Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Mikrofilaria Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kabupaten Asahan Tahun 2013

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1
2.1.1

Filariasis
Pengertian Filariasis
Filariasis (penyakit kaki gajah) ialah penyakit menular menahun yang

disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing
tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan
pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa peradangan kelenjar
dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan
ketiak tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai demam yang timbul
berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan
jaringan parut (Depkes RI, 2009c).
2.1.2

Gejala Klinis Filariasis
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada dasarnya


gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi Wucheria bancrofti, Brugia
malayi dan Brugia timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan
lebih berat pada infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori. Infeksi Wuchereria
bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi
infeksi oleh Brugia malayi dan Brugia timori tidak menimbulkan kelainan pada
saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2009d).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.1 Gejala Klinis Akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang
disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan
kemudian mengalami penyembuhan dengan menimbulkan parut, terutama di daerah
lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi Brugia malayi dan
Brugia timori dibandingkan dengan infeksi Wuchereria brancofti, demikian juga
dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis. Sebaliknya, pada infeksi Wuchereria
brancofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimis
(epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis) (Depkes RI, 2009d).
2.1.2.2 Gejala Klinis Kronis

A. Limfedema
Pada infeksi Wuchereria brancofti terjadi pembengkakan seluruh kaki,
seluruh lengan, skrotum, penis, vulva, vagina, dan payudara, sedangkan pada infeksi
Brugia, terjadi pembengkakan kaki di bawah lutut, lengan di bawah siku dimana siku
dan lutut masih normal.
B. Lymph Scrotum
Adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit skrotum, kadang-kadang
pada kulit penis, sehingga saluran limfe tersebut mudah pecah dan cairan limfe
mengalir keluar dan membasahi pakaian. Ditemukan juga lepuh (vesicles) besar dan
kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian, ini mempunyai risiko
tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan

Universitas Sumatera Utara

dapat berkembang menjadi limfedema skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang
normal kadang-kadang sangat besar.
C. Kiluria
Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di
ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies Wuchereria brancofti,
sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul

adalah air kencing seperti susu, karena air kencing banyak mengandung lemak dan
kadang-kadang disertai darah (haematuria), sukar kencing, kelelahan tubuh,
kehilangan berat badan.
D. Hidrokel
Hidrokel adalah pembengkakan kantung buah pelir karena terkumpulnya
cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hidrokel dapat terjadi pada satu atau dua
kantung buah zakar, dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut :
1) Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali,
sehingga penis tertarik dan tersembunyi .
2) Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus.
3) Kadang-kadang akumulasi cairan limfe disertai dengan komplikasi, yaitu
komplikasi dengan chyle (chylocele), darah (haematocele) atau nanah (pyocele).
Uji transiluminasi dapat digunakan untuk membedakan hidrokel

dengan

komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat dikerjakan
oleh dokter puskesmas yang sudah dilatih.

Universitas Sumatera Utara


4) Hidrokel banyak ditemukan di daerah endemis Wuchereria bancrofti dan dapat
digunakan sebagai indikator adanya infeksi Wuchereria bancrofti (Depkes RI,
2009d).
2.1.3 Penentuan Stadium Limfedema
Limfedema terbagi dalam 7 (tujuh) stadium (tabel 2.1) menggambarkan akan
tanda hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul
(benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas
kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.
Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :
1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,
lengan dan tungkai.
2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah)
dalam satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan
penatalaksanaan kasus.


Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Stadium Limfedema
Gejala

1 Bengkak
. di kaki
2 Lipatan
. kulit
3 Nodul
.
4 Mossy
. lesions*)
Hambatan
berat

Stadium
1

Stadium

2

Stadium
3

Stadium
4

Stadium
5

Stadium
6

Stadium
7

Menghilang
waktu bangun
tidur pagi

Tidak ada

Menetap

Menetap

Menetap

Menetap,
meluas

Menetap,
meluas

Menetap,
meluas

Tidak ada

Dangkal


Dangkal

Dangkal,
dalam

Dangkal,
dalam

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada


Tidak ada

Dalam,
kadang
dangkal
Kadangkadang
Tidak ada

Kadangkadang
Ada

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak


Tidak

Tidak

Kadangkadang
Kadangkadang
ya

Ada

*) Gambaran seperti lumut
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis (Depkes RI, 2009)

2.1.4 Diagnosis
Pemeriksaan fisik merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah dan dapat
digunakan dalam pelaksanaan rapid survey (Soeyoko, 2002). Untuk konfirmasi
diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI, 2008) :
2.1.4.1 Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel

atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsentrasi
Knott. Pada pemeriksaan hispatologi, kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat
dijumpai di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai tumor. Deteksi
biologi molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi parasit melalui DNA parasit
dengan menggunakan reaksi rantai polymerase (Polymerase Chain Reaction/PCR).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4.2 Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan Ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah
bening inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak.
Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh Wuchereria
bancrofti. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin
yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukkan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
2.1.4.3 Diagnosis Imunologi
Deteksi

antigen

dengan

immunochromatographic

test

(ICT)

yang

menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen
Wuchereria bancrofti dalam sirkulasi darah. Deteksi antibodi dengan menggunakan
antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi subklas IgG4
pada filariasis brugia.
2.1.5 Patogenesis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu
terhadap parasit, seringnya mendapat tusukan nyamuk, banyaknya larva infektif yang
masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara
umum perkembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut.
Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama
dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran
limfe kecil yang terdapat di kulit. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis

Universitas Sumatera Utara

tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe
menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe dan penyumbatan (obstruksi),
sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik (Depkes RI, 2009d):
1. Penimbunan cairan limfe menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan
edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit
terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun
besar. Keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe
ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel
Reticulo Endothelial System (RES), bahkan mudah berkembang biak dapat
menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga
bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute
attack).
4. Infeksi bakteri berulang menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute
attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:
a. Gejala peradangan lokal, berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama
dengan bakteri, yaitu :
(1) Limfangitis, peradangan di saluran limfe.
(2) Limfadenitis, peradangan di kelenjar limfe

Universitas Sumatera Utara

(3) Adenolimfangitis, peradangan saluran dan kelenjar limfe.
(4) Abses
(5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat
kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum, berupa; demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah
dan lain-lainnya.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang ada di
kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari
kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
6. Pada penderita limfedema, adanya serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur
akan

menyebabkan

penebalan

dan

pengerasan

kulit,

hiperpigmentasi,

hiperkeratosis dan peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue
formation)

sehingga

terjadi

peningkatan

stadium

limfedema,

dimana

pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (pitting) akan menjadi
pembengkakan menetap (non pitting).
2.1.6

Epidemiologi Filariasis

2.1.6.1 Distribusi Menurut Orang (Person)
Filariasis dapat menyerang semua golongan umur baik anak-anak maupun
dewasa, laki-laki dan perempuan (Kemenkes RI, 2010a). Pada tahun 1997,
diperkirakan paling tidak 128 juta orang terinfeksi, diantaranya adalah anak usia
dibawah 15 tahun (Chairufatah, 2009). Penelitian Juriastuti dkk (2010) di Kelurahan

Universitas Sumatera Utara

Jatisempurna ditemukan penderita filariasis proporsi terbesar berjenis kelamin lakilaki (58,1%), berada pada kelompok usia produktif (71%), dan jenis pekerjaan tidak
berisiko (71%). Menurut penelitiaan Soeyoko dkk (2008) di Kabupaten Bonebolango
ditemukan kasus filariasis lebih banyak pada perempuan (51,4%), pekerjaan bukan
petani (54,3%), berpendidikan rendah (68,6%), berpengetahuan kurang (58,6%), dan
berpenghasilan rendah 80%).
2.1.6.2 Distribusi Menurut Tempat (Place)
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan. Secara
umum, filariasis Wuchereria bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan
masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan Wuchereria
bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Jakarta, Bekasi,
Semarang, Tangerang, Pekalongan dan Lebak. Brugia malayi tersebar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku. Brugia timori terdapat di
kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah
persawahan (Depkes, 2009a). Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan
jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang),
Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara
(30 orang) (Kemenkes RI, 2010b). Hasil Riskesdas tahun 2007 dalam Mardiana dkk

Universitas Sumatera Utara

(2011) responden tinggal diperkotaan sebesar 0,03% pernah terkena filariasis dan
tinggal dipedesaan pernah terkena filariasis sebesar 0,05%, probabilitas risiko
terjadinya filariasis 2,44 kali lebih besar pada orang yang tinggal dipedesaan
dibandingkan orang yang tinggal diperkotaan.
2.1.6.3 Distribusi Menurut Waktu (Time)
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun
jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di
beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Pada tahun 2007
kasus klinis filariasis dilaporkan sebanyak 11.473 kasus, tahun 2008 sebanyak 11.699
kasus dan tahun 2009 sebanyak 11.914 kasus ( proporsi sebesar 0,005% dari jumlah
penduduk) (Kemenkes RI, 2010b).
2.1.6.4 Determinan Filariasis
A. Faktor Agent (Penyebab Filariasis)
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori. Mikrofilaria mempunyai
periodisitas tertentu, artinya mikrofilaria berada di darah tepi pada waktu-waktu
tertentu saja. Misalnya pada Wuchereria bancrofti bersifat periodik nokturna, artinya
mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada
siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti paru-paru jantung dan ginjal
(Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe (Depkes RI, 2009a),
yaitu :
1. Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang,
Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk
Culex quinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga.
2. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan
Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui
berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex dan Aedes.
3. Brugia malayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya
adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan.
4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih
banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansonia spp
yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugia malayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk
penularnya adalah Mansonia bonneae dan Mansonia uniformis yang ditemukan di
hutan rimba.

Universitas Sumatera Utara

6. Brugia timori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di darah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah
Anopheles barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara
Timur, Maluku Tenggara.
Secara umum daur hidup spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup
parasit terjadi di dalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut
makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut
mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah (Depkes RI, 2009a).
a. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup di dalam sistem limfe. Cacing betina bersifat
ovovivipar dan berukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan
mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan
ujung ekor melingkar.
b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan jutaan anak
cacing yang disebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-600 μm x 8 μm dan
mempunyai sarung. Secara mikroskopis, morfologi spesies mikrofilaria dapat
dibedakan berdasarkan : ukuran ruang kepala serta warna sarung pada pewarnaan
giemsa, susunan inti badan, jumlah dan letak inti pada ujung ekor.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Jenis Mikrofilaria yang terdapat di Indonesia dalam Sediaan Darah
dengan Pewarnaan Giemsa
No

1.

Karakteristik

3.
4.
5.

Gambaran umum dalam
sediaan darah
Perbandingan lebar dan
panjang ruang kepala
Warna sarung
Ukuran panjang (µm)
Inti badan

6.
7.

Jumlah inti di ujung ekor
Gambaran ujung ekor

2.

Wuchereria
bancrofti

Brugia
malayi

Brugia
timori

Melengkung
mulus
1:1

Melengkung
kaku dan patah
1:2

Melengkung
kaku dan patah
1:3

Tidak berwarna
240-300
Halus, tersusun
rapi
0
Seperti pita ke
arah ujung

Merah muda
175-230
Kasar,
berkelompok
2
Ujung agak
tumpul

Tidak berwarna
265-325
Kasar,
berkelompok
2
Ujung agak
tumpul

Sumber : Epidemiologi Filariasis (Depkes RI, 2009)

c. Larva dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung dan
melepaskan selubungnya, kemudian menembus dinding lambung dan bergerak
menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada. Setelah ± 3 hari, mikrofilaria
mengalami perubahan bentuk menjadi larva stadium 1 (L1), bentuknya seperti
sosis berukuran 125-250 mm x 10-17 mm, dengan ekor runcing seperti cambuk.
Setelah ± 6 hari, larva tumbuh menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva
preinfektif yang berukuran 200-300 mm x 15-30 mm, dengan ekor tumpul atau
memendek. Pada stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8 – 10
pada spesies Brugia atau hari 10 – 14 pada spesies Wuchereria, larva tumbuh
menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 mm x 20 mm. Larva stadium

Universitas Sumatera Utara

3 tampak panjang dan ramping disertai dengan gerakan yang aktif. Stadium 3 ini
merupakan cacing infektif.
B. Faktor Host
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat

tertular

filariasis

apabila

mendapat

tusukan

nyamuk

infektif

(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2009a).
2) Jenis kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. prevalens filariasis pada
laki-laki lebih tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena
umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya
(Depkes RI, 2009a).
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis
biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis (Depkes
RI, 2009a). Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila
terkena infeksi umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya
lebih cepat daripada pendudk asli dan penderita tampak sakit lebih berat,
asimtomatik terutama terjadi pada pendudk asli (Soeyoko, 2002).

Universitas Sumatera Utara

4) Ras
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko
terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang
dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun
pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan
tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat (Depkes RI, 2009a).
C. Faktor Environment (Lingkungan)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata
rantai penularannya. Secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan
fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya (Depkes RI,
2009a). Menurut Chandra (2012) lingkungan di luar tubuh manusia terdiri atas tiga
komponen antara lain lingkungan fisik, lingkungan biologis dan lingkungan sosial.
C.1 Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim (suhu, kelembaban dan curah
hujan), keadaan geografis, struktur geologi, dan sebagainya (Depkes RI, 2009a).
Chandra (2012) menyatakan lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti
air, udara, cuaca, rumah, panas, sinar matahari, angin, dan lain-lain. Lingkungan fisik
erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya
sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempattempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara

(1) Suhu Udara
Suhu berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.
Suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya
bisa menjadi lebih cepat, tetapi apabila suhu di atas 35ºC akan membatasi
populasi nyamuk. Suhu mempunyai batas optimum bagi perkembangbiakan
nyamuk yaitu antara 25º-30ºC (Epstein et.al dalam Suwito, 2010). Suhu 24º-30ºC
dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Mansonia uniformis (Boesri, 2012).
(2) Kelembaban Udara
Kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan
nyamuk.

Tingkat

kelembaban

60%

merupakan

batas

paling

rendah

memungkinkan hidupnya nyamuk. Kelembaban 63% misalnya, merupakan angka
paling rendah untuk memungkinkan adanya penularan di Punjab dan India.
Kelembaban mempengaruhi kecepatan berkembangbiakan nyamuk (Ernamaiyanti
dkk, 2010).
(3) Curah Hujan
Curah hujan dapat menambah tempat perkembangbiakan vektor (breeding places)
atau dapat pula menghilangkan tempat perindukan. Curah hujan 140 mm/minggu
menghambat perkembangbiakan nyamuk dan turun drastis kepadatannya
(Anshari, 2004). Peningkatan kelembaban dan curah hujan berbanding lurus
dengan peningkatan kepadatan nyamuk (Epstein et al dalam Suwito dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

(4) Air
Pada kecepatan arus 0 cm/dt pada selokan tenang dan rawa, dan 0,25 cm/dt pada
perairan mengalir larva nyamuk Anopheles masih dapat tumbuh dan
berkembangbiak (Ernamaiyanti dkk, 2010). Kolam atau sawah yang tidak terurus
dengan kedalaman 15-100 cm dapat menjadi tempat perindukan nyamuk
Mansonia uniformis. Daerah rawa-rawa terbuka terdapat tumbuhan Isachene
globosa dan Panicum amplixicaule sangat disenangi dan merupakan tempat
berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis dan Mansonia crassipes (Boesri,
2012).
(5) Angin
Angin dapat berpengaruh pada penerbangan nyamuk, bila kecepatan angin 11-14
m/detik akan menghambat penerbangan nyamuk (Anshari, 2004). Kecepatan dan
arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk, bila angin kuat makan
nyamuk bisa terbawa sampai 30 km. Jarak terbang nyamuk subfamili Culini
(genus Culex, Aedes, dan Mansonia) biasanya pendek (Nasrin, 2008). Pada
umumnya nyamuk mampu terbang sejauh 350- 550 meter, misalnya Anopheles
sinensis jarak terbangnya mencapai 200 sampai 800 meter, Anopheles
barbirostris mencapai 200 sampai 300 meter, tapi dari hasil beberapa penelitian
ada nyamuk yang bisa mencapai 1 – 2 km (Kelvey et al dalam Munif, 2009).

Universitas Sumatera Utara

(6) Sinar Matahari
Perilaku dan kebiasaan nyamuk Mansonia uniformis untuk beristrihat umumnya
di luar rumah dengan tempat bersarang pada celah-celah batu, dekat tanah di
bawah daun-daunan rumput atau di kaleng-kaleng yang terlindung dari sinar
matahari (Boesri, 2012).
(7) Rumah
Kondisi fisik rumah berkaitan sekali dengan kejadian filariasis, terutama yang
berkaitan dengan mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah adalah jendela,
ventilasi dan langit-langit rumah (plafon). Konstruksi dinding berkaitan dengan
kegiatan penyemprotan (indoor residual spraying), disamping pengaruhnya
terhadap mudah tidaknya terhadap daya serap pestisida, kualitas dinding
berpengaruh terhadap mudah tidaknya nyamuk masuk ke dalam rumah (Anshari,
2004). Kondisi fisik rumah yang tidak memenuhi kriteria rumah sehat, misalnya
konstruksi plafon dan dinding rumah, ventilasi, serta kelembaban mampu memicu
timbulnya kejadian filariasis (Juriastuti dkk, 2010).
C.2 Lingkungan Biologis
Lingkungan biologis dapat menjadi rantai penularan filariasis. Menurut
Chandra (2012) lingkungan biologis bersifat abiotik atau benda hidup, misalnya
tumbuh-tumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang
dapat berperan sebagai agens penyakit, reservoir infeksi, vektor penyakit, dan hospes
intermediat. Contoh lingkungan biologi adalah adanya tanaman air sebagai tempat

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan nyamuk Mansonia spp (Depkes RI, 2009a). Menurut Wharton dalam
Boesri (2012) bahwa larva Mansonia dapat menempel pada akar tanaman atau
rumput-rumputan air seperti Pistia (kyambang), Salvinia (rumput padi-padian) dan
Eichomia (eceng gondok). Tumbuhan bakau, lumut ganggang dan berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan lain dapat melindungi kehidupan larva nyamuk karena dapat
menghalangi sinar matahari atau melindungi larva tersebut dari serangan mahluk
hidup lain (predator) seperti ikan kepala timah, ikan gabus dan ikan nila sehingga
dapat mengurangi populasi nyamuk disuatu daerah (Anshari, 2004).
Menurut Wharton dalam Boesri (2012) bahwa Mansonia uniformis lebih
cenderung menghisap darah manusia walaupun sering nyamuk ini ditemukan
beristirahat di kandang ternak. Hal sejalan apa yang ditemukanyan di Malaysia, dan
Wharton juga banyak menemukan Mansonia dives, Mansonia boneae dan Mansonia
uniformis dicelah-celah batu di bawar rumput-rumputan (Boesri, 2012). Nyamuk
Anopheles farauti sebagai salah satu vektor filariasis hanya masuk ke dalam rumah
menghisap darah setelah itu keluar dan hinggap di luar rumah untuk mematangkan
telurnya. Salah satu tempat yang disukai di luar rumah adalah tempat teduh berupa
rumput-rumputan (Pranoto dalam sulistiyani dkk, 2012). Penelitian Barodji et al
dalam Sulistiyani (2012) menyatakan bahwa keberadaan semak-semak disekitar
tempat tinggal menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian filariasis.
Felis catus (kucing) merupakan salah satu dari hewan reservoir dari filariasis
yang disebabkan oleh Brugia malayi tipe non-periodik nokturna yang mempunyai

Universitas Sumatera Utara

intensitas kontak dengan manusia relatif sering (Setiawan, 2008). Penelitian Soeyoko
dkk (2008) menyatakan memelihara kucing memiliki hubungan bermakna dengan
kejadian filariasis, penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian di Kalimantan Timur
bahwa pada kucing ditemukan 20 ekor cacing sama banyaknya antara jantan dan
betina yang menunjukkan bahwa kucing merupakan hospes reservoir. Memelihara
ternak dalam rumah juga akan memperbesar risiko mobilitas nyamuk di dalam rumah
karena beberapa nyamuk penular filariasis menyukai darah hewan dan manusia
sehingga memungkinkan penghuni rumah tertular filariasis dari hewan tersebut
(Anshari, 2004). Kandang ternak < 100 meter akan menambah kepadatan nyamuk,
hal ini sesuai dengan penjelasan Depkes RI (2009a) yang menyatakan salah satu
upaya mencegah gigitan nyamuk adalah dengan jalan menjauhkan kandang ternak
dari rumah.
C.3 Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan,
agama, sikap, gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial
dan politik (Chandra, 2012). Kebiasaan bekerja di kebun pada malam hari atau
kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena
berkaitan dengan intensitas kontak vektor. Prevalens filariasis pada laki-laki lebih
tinggi daripada prevalens filariasis pada perempuan karena umumnya laki-laki lebih
sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya (Depkes RI, 2009a). Penelitian
Riftiana dan Soeyoko (2010) menyatakan bahwa orang yang mempunyai pekerjaan

Universitas Sumatera Utara

selain petani yang dilakukan pada malam hari di luar rumah/ruangan diperkirakan
akan mendapatkan risiko terjadinya filariasis sebesar 3,519 kali lebih besar dari pada
orang yang bekerja siang hari . Mulyono dkk (2008) menyatakan bahwa orang yang
biasa keluar rumah pada malam hari mempunyai risiko 3,40 kali menderita filariasis
dari pada orang yang tidak pernah keluar malam hari (OR : 3,40 ; 95% C I: 1,408,28), dan kebiasaan tidak menggunakan kelambu merupakan faktor risiko dan faktor
yang sangat berpengaruh terjadinya filariasis (OR : 3,99; 95% CI : 1,26-12,60).
2.1.7 Penetapan Endemisitas
Microfilaria rate (Mf rate) adalah indikator yang digunakan untuk menentukan
endemisitas suatu daerah yang diperoleh melalui survei darah jari pada suatu
populasi. Survei darah jari adalah identifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada
suatu populasi, yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan
intensitas infeksinya. Bila pada pemeriksaan darah tepi terdapat mikrofilaria dalam
darah seseorang, maka seseorang tersebut dinyatakan mikrofilaria positif. Mf rate
bisa dihitung dengan cara membagi jumlah penduduk yang sediaan daranya positif
mikrofilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen.
Jumlah sediaan darah positif mikrofilaria
Mf Rate =

x 100%
Jumlah sediaan darah diperiksa

Bila Mf Rate > 1% disalah satu atau lebih lokasi survei maka kabupaten/kota
tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan
pengobatan massal. Bila Mf Rate < 1% pada semua lokasi survei, maka

Universitas Sumatera Utara

kabupaten/kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan
pengobatan selektif, yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif
mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah (Depkes RI, 2009b).
2.1.8 Rantai Penularan Filariasis
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu :
1) Adanya sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang
mengandung mikrofilaria dalam darahnya.
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh
nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat
mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap
yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua
orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan
gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala
klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya
(Depkes, 2009a).
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di
Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang
ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara

2) Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis.
Di Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5
genus, yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi
vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi sebagai vektor
Wuchereria bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan vektor
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan. Enam spesies Mansonia merupakan vektor
Brugia malayi. Di Indonesia bagian timur, Mansonia dan Anopheles barbirostris
merupakan vektor filariasis yang penting. Beberapa spesies Mansonia dapat
menjadi vektor Brugia malayi tipe sub periodik nokturna. Sementara Anopheles
barbirostris merupakan vektor penting terhadap Brugia timori yang terdapat di
Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan. Di Sumatera Utara
filariasis disebabakan Brugia malayi dengan vektornya adalah nyamuk spesies
Mansonia uniformis (Depkes RI, 2009a).

Universitas Sumatera Utara

3) Manusia yang rentan terhadap filariasis.

Gambar 2.1 Skema Rantai Penularan Filariasis (Depkes RI, 2009)
Seseorang dapat tertular filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 =
L3). Pada saat nyamuk infektif menggiggit manusia, maka larva L3 akan keluar dari
probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk
menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada malaria dan
demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan
filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat

Universitas Sumatera Utara

dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis, apabila orang tersebut
mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup
selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening. Di samping sulit terjadinya
penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk
mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga
sangat terbatas, nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat
mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat
memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.
Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk,
sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya
untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa
inkubasi ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10- 14 hari, sedangkan Brugia
malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.
Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh
terhadap risiko penularan. Mikrofilaria yang bersifat periodik nokturna (mikrofilaria
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam) memiliki vektor yang aktif
mencari darah pada waktu malam, sehingga penularan juga terjadi pada malam hari.

Universitas Sumatera Utara

Di daerah dengan mikrofilaria sub periodik nokturna dan non periodik, penularan
terjadi siang dan malam hari.
Di samping faktor-faktor tersebut, mobilitas penduduk dari daerah endemis
filariasis ke daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media terjadinya
penyebaran filariasis antar daerah (Depkes RI, 2009a).
Di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tahun 2005 ditemukan 5 kasus kronis
filariasis dengan Mf rate 1,08%. Dari hasil pembedahan 545 ekor nyamuk yang
dilakukan pada tahun 2007 tidak satupun nyamuk yang dibedah ditemukan larva
cacing filaria (semua stadium). Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan
apakah suatu nyamuk bisa jadi vektor atau tidak. Apabila jumlah parasit yang dihisap
nyamuk terlalu banyak maka nyamuk akan mati dan apabila jumlah parasit sedikit
maka hanya sebagian kecil yang terisap oleh nyamuk. Menurut Atmosoedjono et al.,
(1977) agar terjadi penularan yang optimal kepadatan mikrofilaria didalam darah
penderita 1-3 mf/ul darah. Sementara penularan filariasis dari nyamuk ke manusia
sangat berbeda dengan penularan yang terjadi pada malaria dan demam berdarah.
Menurut Depkes RI (2009) seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
mendapat gigitan nyamuk ribuan kali. Menurut Rozendal (1997) peluang untuk
infeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil
(Hasminawati dan Nurhayati, 2007). Jadi, dapat disimpulkan bahwa terjadinya kasus
mikrofilaria positif dan filariasis tidak mudah dan memerlukan waktu yang cukup
panjang (> 10 tahun), karena berkaitan dengan lamanya terpapar dengan kondisi

Universitas Sumatera Utara

lingkungan yang potensial bagi perkembangan vektor filariasis, kebiasaan berisiko
yang dapat menimbulkan kerentanan, perjalanan penyakit, siklus hidup parasit dan
vektor itu sendiri.
2.1.9

Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis

2.1.9.1 Siklus Hidup Nyamuk
Dalam siklus hidup nyamuk terdapat 4 stadia dengan 3 stadia berkembang di
dalam air dari satu stadia hidup dialam bebas (Nurmaini, 2003):
1) Nyamuk Dewasa
Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1 : 1, nyamuk jantan keluar
terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan
tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari
kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung
mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya
sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara
lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk ( Nurmaini, 2003).
Kettle dalam Boesri (2012) menyatakan bahwa perkembangan telur nyamuk
Mansonia uniformis sampai dewasa (imago) pada lingkungan temperature 26º30ºC memerlukan waktu antara 25 sampai 40 hari, sama pada nyamuk Mansonia
Africana.

Universitas Sumatera Utara

2) Telur Nyamuk
Nyamuk biasanya meletakkan telur di tempat yang berair, pada tempat yang
keberadanya kering telur akan rusak dan mati. Kebiasaan meletakkan telur dari
nyamuk berbeda -beda tergantung dari jenisnya :
-Nyamuk Mansonia meletakkan telurnya menempel pada tumbuhan-tumbuhan air,
dan diletakkan secara bergerombol berbentuk karangan bunga (Nurmaini, 2003).
Telur nyamuk Mansonia uniformis biasanya diletakkan dalam bentuk kelompok
pada permukaan bawah daun tumbuhan inangnya yang hidup di daerah rawa-rawa
yang banyak tumbuhan air (Boesri, 2012).
-Nyamuk Anopheles akan meletakkan telurnya dipermukaan air satu persatu atau
rombolan tetapi saling lepas, telur anopeles mempunyai alat pengapung (Nurmaini,
2003).
-Nyamuk Culex akan meletakkan telur diatas permukaan air secara bergerombolan
dan bersatu berbentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung (Nurmaini, 2003).
-Nyamuk Aedes meletakkan telur dan menempel pada yang terapung diatas air
atau menempel pada permukaan benda yang merupakan tempat air pada batas
permukaan air dan tempatnya. Stadium telur ini memakan waktu 1 -2 hari
(Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara

3) Jentik nyamuk
Pada perkembangan stadium jentik adalah pertumbuhan dan melengkapi bulubulunya, stadium jentik mermerlukan waktu 1 minggu. Pertumbuhan jentik
dipengaruhi faktor temperatur, nutrien, ada tidaknya binatang predator (Nurmaini,
2003). Horsfall dalam Boesri (2012) bahwa larva Mansonia uniformis dapat hidup
terbenam dalam suatu massa ikatan sebagai sampah di sekitar sistem perakaran
tumbuhan air, akan memakan segala macam partikel organik yang ada
disekitarnya, akan tetapi larva ini pula dapat menjadi mangsa binatang
kecil/protozoa lainnya yang menjadi musuhnya.
4) Kepompong
Merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium
ini memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang,
stadium kepompong memakan waktu lebih kurang 1 -2 hari (Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Nyamuk Mansonia spp
Sumber : http://medent.usyd.edu.au/arbovirus/mosquit/photos/mosquitophotos
_conquillettidia_mansonia.htm.
2.1.9.2 Tempat Berkembangbiak (Breeding Places)
Dalam perkembangbiakan nyamuk selalu memerlukan tiga macam tempat
yaitu tempat berkembangbiak (breeding places), tempat untuk mendapatkan
umpan/darah (feeding places) dan tempat untuk beristirahat (resting places).
Nyamuk mempunyai tipe breeding places yang berlainan seperti Mansonia
senang berkembang biak di kolam-kolam, rawa-rawa danau yang banyak tanaman
airnya (Nurmaini, 2003). Tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis
digolongkan dalam tiga tipe dasar yaitu : (1) daerah rawa-rawa terbuka yang mana
tumbuhan yang dominan adalah Isachene globosa dan Panicum amplixicaule. Daerah
tipe ini sangat disenangi dan tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia uniformis
dan Mansonia crassipes, (2) daerah yang merupakan batas hutan dan merupakan
tempat/rawa dengan hutan terbuka. Daerah ini disenangi oleh nyamuk Mansonia
annulata, (3) daerah hutan yang berawa dengan segala macam keanekaragaman

Universitas Sumatera Utara

tumbuhan yang dapat memberi kemungkinan tempat berkembangbiak jenis nyamuk
seperti Mansonia dives, Mansonia bonneae, dan Mansonia nigrossignata. Kolam atau
sawah terbuka yang banyak ditumbuhi tanaman air karena kurang digarap, dapat
menjadi tempat berkembangbiak nyamuk Mansonia, apalagi jika kolam tersebut
mempunyai kedalaman 15-100 cm (Wharton dalam Boesri, 2012). Culex dapat
berkembang

di

sembarangan

tempat

air,

sedangkan

Aedes

hanya

dapat

berkembangbiak di air yang cukup bersih dan tidak beralaskan tanah langsung
(Nurmaini, 2003).
2.1.9.3 Kebiasaan Menggigit
Waktu keaktifan mencari darah dari masing -masing nyamuk berbeda –beda,
nyamuk Mansonia uniformis tempat beristirahat pada umumnya di luar rumah dan
aktif pada malam hari (Wharton dalam Boesri, 2012). Aktifitas Mansonia uniformis
menggigit di luar rumah dimulai pada pukul 18.00 sampai pukul 19.00, kemudian
menurun pada pukul 19.00 sampai pukul 20.00. Pada pukul 20.00 sampai pukul 21.00
intensitas menggigitnya kembali meningkat dan dengan kepadatan yang sama pada
pukul 21,00 sampai pukul 22.00 (Ambarita dan Hotnida, 2004). Nyamuk yang aktif
pada malam hari menggigit adalah Anopheles dan Culex , sedangkan nyamuk yang
aktif pada siang hari menggigit yaitu Aedes. Khusus untuk Anopheles, nyamuk ini
bila menggigit mempunyai perilaku bila siap menggigit langsung keluar rumah. Pada
umumnya nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina (Nurmaini, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.1.9.4 Kebiasaan Beistirahat (Resting Places)
Biasanya setelah nyamuk betina menggigit orang/hewan, nyamuk tersebut
akan beristirahat selama 2 -3 hari, misalnya pada bagian dalam rumah sedangkan
diluar rumah seperti gua, lubang lembab, tempat yang berwarna gelap dan lain lain
merupakan tempat yang disenangi nyamuk untuk berisitirahat (Nurmaini, 2003).
Penelitian dan pengamatan perilaku dan kebiasaan istirahat nyamuk Mansonia
menurut Krafsur dalam Boesri (2012) di Gambela (Ethiopia) mendapatkan kepadatan
populasi Mansonia uniformis dan Mansonia africanus yang istirahat dalam rumah
sangat rendah dan bersifat antropofilik. Smith dalam Boesri (2012) dengan penelitian
di Afrika menemukan Mansonia uniformis dan Mansonia africanus selalu mengisap
darah dan istirahat di luar rumah. Siklus gonotropik dari kedua nyamuk ini adalah 3,3
- 4,1 hari untuk Mansonia uniformis dan 3,4 – 3,8 hari untuk Mansonia indiana.
Wharton dalam Boesri (2012) juga telah menemukan banyak nyamuk Mansonia
uniformis di celah-celah batu dibawah rumput-rumputan.
2.1.10 Pencegahan dan Pengendalian Filariasis
2.1.10.1 Pencegahan dan Pengendalian Vektor
Prinsip utama agar terhindar atau mencegah infeksi mikrofilaria positif dan
filariasis adalah menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vektor infektif atau berusaha
seminimal mungkin kontak dengan nyamuk vektor menggunakan spraying dan
antimosquito fumigants. Pengurangan populasi vektor perlu mendapatkan perhatian
dengan cara: 1) reduction of vector breeding habitats dengan perbaikan keadaan

Universitas Sumatera Utara

lingkungan; dan 2) reductionvector densities dengan pengendalian kimiawi
(insektisida) maupun biologis (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).
Di Thailand telah dicoba pengendalian vektor filariasis berfokus perbaikan
lingkungan sebagai berikut : 1) memperbaiki sistem drainage di perkotaan dengan
maksud mengurangi penyebaran filariasis bancrofti tipe urban; 2) meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam usaha mencegah timbulnya man-made container
breeding site mosquito; 3) menghilangkan tanaman air (Pistia, Eichornia) di rawarawa sangat bermanfaat dalam pengendalian populasi nyamuk Mansonia spp ; dan 4)
meningkatkan penggunaan polystylene balls sebagai usaha membunuh/mencegah
perkembangan larva menjadi pupa terutama nyamuk Culex quenquefasciatus. Usaha
pengendalian vektor filariasis cara seperti tersebut di atas ternyata dapat menurunkan
angka infeksi filariasis dari 16,65% menjadi 0,9% (Sucharit dalam Soeyoko, 2002).
Menurut Permenkes RI No. 374 tahun 2010 tentang Pengendalian Vektor ada
beberapa metode pengendalian vektor antara lain metode pengendalian fisik dan
mekanis (modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan, pemasangan
kelambu, memakai baju lengan panjang, pemasangan kawat kasa dan lain-lain),
metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik (predator pemakan jentik,
manipulasi gen), metode pengendalian secara kimia (kelambu berinsektisida,
larvasida, fogging, penggunaan repelen, penggunaan obat anti nyamuk, dan lain-lain).

Universitas Sumatera Utara

2.1.10.2 Peran Serta Masyarakat
Warga masyarakat diharapkan bersedia datang dan mau diperiksa darahnya
pada malam hari pada saat ada kegiatan pemeriksaan darah (survei darah jari),
bersedia minum obat secara teratur sesuai dengan ketentuan yang diberitahukan
petugas, memberitahukan kepada kader atau petugas kesehatan bila menemukan
penderita filariasis, dan bersedia bergotong royong membersihkan sarang nyamuk
atau tempat perkembangbiakan nyamuk (Widoyono, 2011).
2.1.10.3 Pengobatan Massal
Pengobatan massal dilaksanakan di daerah endemis filariasis yaitu daerah
dengan angka Mf rate > 1% yang bertujuan mematikan semua mikrofilaria yang ada
dalam darah setiap penduduk dalam waktu bersamaan sehingga memutus rantai
penularannya. Pengobatan massal filariasis dengan menggunakan kombinasi DEC 6
mg/kg BB, Albendazole 400 mg, dan Parasetamol 500 mg yang diberikan sekali
setahun selama minimal 5 tahun (Depkes, 2009d).
2.1.10.4 Pengobatan Kasus Klinis (Individual)

Pada semua kasus klinis filariasis di daerah endemis maupun non endemis
diberikan DEC 3x1 tablet 100mg selama 10 hari dan parasetamol 3x1 tablet 500 mg
dalam 3 hari pertama untuk orang dewasa. Dosis anak disesuaikan dengan berat
badan. Tetapi harus menjadi perhatian bahwa pada kasus klinis yang dengan gejala
klinis akut dan kasus klinis kronis yang sedang mengalami serangan akut harus

Universitas Sumatera Utara

diobati terlebih dahulu gejala akutnya dengan obat-obatan simptomatik seperti obat
demam, penghilang rasa sakit atau antibiotik apabila ada infeksi sekunder :


Bila penderita berada di daerah endemis maka pada tahun berikutnya
diikutsertakan dalam pengobatan massal dengan DEC, Albendazole dan
Parasetamol sekali setahun minimal 5 tahun secara berturut-turut.



Bila penderita berada di daerah non endemis pemberian DEC dengan dosis 3 x
100mg selama 10 hari sudah cukup. Langkah selanjutnya adalah pembersihan dan
perawatan diri (Depkes RI, 2009d).

Universitas Sumatera Utara

2.2

Landasan Teori
Fenomena Gordon merupakan konsep yang menjelaskan timbulnya penyakit

secara epidemiologi berdasarkan teori lingkungan (ekologi). Fenomena Gordon
menyatakan bahwa suatu penyakit timbul karena adanya gangguan terhadap
keseimbangan Host-Agent-Environmnet (Ryadi dan Wijayanti, 2011). Teori segitiga
epidemiologi juga menggambarkan relasi tiga komponen penyebab penyakit yaitu
pejamu (host), agen (agent) dan lingkungan (environment). Perubahan pada satu
komponen akan mengubah keseimbangan tiga komponen lainnya (Murti, 2003).
Demikian halnya dengan kejadian mikrofilaria positif dan filariasis klinis yang terjadi
akibat perubahan komponen lingkungan sehingga mempengaruhi pejamu.
AGEN

VEKTOR

PEJAMU

LINGKUNGAN

Gambar 2.3 Model Kausasi Segitiga Epidemiologi
Sumber : CDC, 2002; Gordis, 2000; Gerstman, 1998; Maurner dan Kramer, 1985
dalam Murti (2003)

Universitas Sumatera Utara

Untuk memprediksi pola penyakit, model ini menekankan perlunya analisis
dan pemahaman masing-masing komponen. Komponen untuk terjadinya mikrofilaria
positif dan filariasis yaitu :
(1) Agen
Agen penyebab dari mikrofilaria positif dan filariasis adalah cacing filaria
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori baik dalam bentuk
makrofilaria (cacing dewasa), mikrofilaria dan larva infektif (L3). Di Sumatera Utara,
filariasis disebabakan oleh Brugia malayi.
(2) Pejamu
Pejamu adalah manusia atau organisme yang rentan oleh pengaruh agen. Di
Indonesia semua spesies cacing filaria dapat menginfeksi manusia, hanya Brugia
malayi sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung, kera dan
kucing.
(3) Lingkungan
Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari
agen maupun pejamu, tetapi mampu menginteraksikan agen- pejamu. Berbagai faktor
lingkungan yang dapat berperan dalam kejadian mikrofilaria positif dan filariasis
antara lain suhu, kelembaban, perumahan, air, adanya hewan reservoir, tanaman air,
dan kebiasaan.

Universitas Sumatera Utara

(4) Vektor
Telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus, yaitu : Mansonia,
Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis di Indonesia.
Di Sumatera Utara yang menjadi vektor utama filariasis adalah nyamuk Mansonia
uniformis.

2.3

Kerangka Konsep
Variabel independen

Lingkungan Fisik :
Air
- Keberadaan Rawa-rawa
- Keberadaan Persawahan
Rumah
- Suhu
- Kelembaban
- Keberadaan kawat kasa
- Konstruksi plafon

Varabel dependen

Kejadian
Mikrofilaria Positif
dan Filariasis

Lingkungan Biologis:
- Keberadaan Tanaman di sekitar
rumah
- Keberadaan hewan peliharaan di
sekitar rumah
Lingkungan Sosial :
- Pekerjaan
- Kebiasaan Keluar Pada Malam Hari
- Kebiasaan Memakai Kelambu
- Kebiasaan Memakai Obat Anti
Nyamuk

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara