BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Remaja 2.1.1. Definisi Remaja - Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Remaja

2.1.1. Definisi Remaja

  Menurut Hurlock (2003), istilah adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yangberarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “ tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Pandangan tersebut diungkapkan Pieget dengan mengatakan : secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang- kurangnya dalam masalah hak.

  Masa remaja, merupakan masa di mana seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologis. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki (Sarwono, 2006).

  Menurut Monks (1999) dalam Nasution (2007), remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-

  14 anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

  Remaja adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan individu yang berada diantara masa anak-anak dan masa dewasa. Batasan remaja yang ada selama ini bervariasi atau selalu mengacu pada kronologis. Batasan usia remaja adalah antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun (Sarwono, 2003). Pada tahun 1970-an

  

World Health Organization (WHO) menetapkan batasan usia remaja adalah 10-19

  tahun, tetapi pada tahun 1980-an, batasan itu bergeser menjadi 10-24 tahun, karena situasi yang berbeda. Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menggunakan batasan umur remaja 15-24 tahun, sedangkan pandangan umum di Indonesia tentang remaja adalah individu yang berusia antara 11-24 tahun (Kuswardani et al., 2000). Umur pada masa remaja ditetapkan pada usia 10- 20 tahun, dengan membagi menjadi 2 bagian, remaja awal pada usia 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun (Sarlito, 2001).

  Perubahan yang terlihat jelas pada anak perempuan saat memasuki masa puberitas pertama-tama adalah payudara. Sejalan dengan pertumbuhan payudara, bagian pinggul dan paha akan semakin berisi, diikuti dengan melebarnya bagian tubuh disekitar pinggul, sebagai jalan kelahiran bayi. Setelah itu, tumbuh rambut dusebagian tubuh, seperti diketiak dan di sekitar vagina. Terakhir, sebagai pelengkap semuanya, pada masa puberitas, seorang perempuan akan mengalami menstruasi hingga masa menopause nanti. Faktor yang menyebabkan perubahan ini adalah bertambahnya jumlah hormon estrogen yang memproduksi sel lemak dalam tubuh, seiring dengan bertambahnya usia. Selain itu hormon ini dapat merangsang pertumbuhan organ reproduksi sehingga berfungsi sesuai dengan tugas masing- masing. Hormon ini la yang membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan (Dianawati, 2006).

2.1.2. Tahapan Masa Remaja

  Dalam tumbuh kembangnya menuju dewasa, berdasarkankematangan psikososial dan seksual, semua remaja akan melewati tahapan sebagai berikut:

  1. Masa remaja awal umur 11–13 tahun, remaja berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan merupakan awal dari kematangan seksual.Remaja awal sudah mulai berpikir secara abstrak. pada tahap ini pada remaja telah tampak perubahan fisik, yaitu fisik mulai matang dan berkembang. Pada masa ini remaja mulai melakukan onani karena terangsang secara seksual akibat pematangan alami.

  2. Masa remaja pertengahan umur 14–16 tahun, remaja pada tahap ini telah mengalami pematangan fisik penuh, yaitu anak laki-laki telah mengalami mimpi basah, sedangkan anak perempuan telah mengalami haid. Remaja dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis dan sebagainya. Pada saat ini gairah seksual remaja sudah mencapai puncak, sehingga mereka mempunyai kecenderungan mempergunakan kesempatan untuk melakukan sentuhan fisik.

  3. Masa remaja lanjut umur 17–20 tahun, pada masa ini remaja sudah mengalami perkembangan fisik penuh seperti dewasa, mereka sudah mempunyai perilaku seksual yang jelas dan mereka sudah mengembangkannya dalam bentuk pacaran.

  Fungsi intelektualitas semakin mantap, identitas seksual semakin mantap, memperhatikan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain (Pangkahila, 2007).

2.1.3. Ciri-ciri Masa Remaja

  Agar dapat memahami fase transisi di masa remaja, Hurlock (1994) menyebutkan sejumlah ciri masa remaja sebagai berikut:

  1. Masa remaja merupakan periode penting, di periode ini orang cenderung mengalami perubahan penting, baik fisik maupun psikologis.

  2. Masa remaja adalah masa peralihan remaja yang memiliki waktu untuk bisa mengalami perubahan melalui pembentukan nilai, sikap, dan perilaku, serta pola hidup dengan sifat-sifat sesuai yang diinginkan.

  3. Masa remaja adalah periode perubahan yang bersifat universal: meningkatnya emosi, perubahan tubuh, minat, dan kelompok sosial di masyarakat, berubahnya minat dan perilaku, sehingga nilai-nilai juga berubah, dan bagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap tiap perubahan karena menuntut kebebasan, namun pada waktu yang sama juga sering takut bertanggungjawab atas akibatnya.

  4. Masa remaja adalah usia bermasalah, kebanyakan remaja mengalami ketidakmampuan dan kegagalan mengatasi masalah mereka sendiri sesuai dengan cara yang diyakininya.

  5. Masa remaja adalah masa untuk mencari identitas, dimana remaja mencari kejelasan tentang siapa dirinya dan apa peran dirinya di tengah masyarakat.

  6. Masa remaja adalah usia yang tidak realistik dimana banyak remaja cenderung melihat kehidupan dengan kacamatanya sendiri dan bila menginginkan sesuatu tapi tidak sesuai harapannya, remaja mudah sekali naik emosinya.

  7. Masa remaja adalah usia yang menimbulkan ketakutan, karena tumbuh dan berkembang sikap negatif dan stereotip bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak bisa dipercaya, cenderung melakukan perilaku merusak yang membuat orangtua harus bisa membimbing sekaligus mengawasi kehidupan remaja.

  8. Masa remaja adalah ambang masa dewasa, yang terkesan dari perubahan mendasar model kehidupan dan pergaulan di kalangan remaja, termasuk dalam bertindak, berperilaku, dan berpakaian.

2.1.4. Jaringan Lingkungan yang Memengaruhi Perkembangan Remaja

  Teori Ecological System yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner menggambarkan jaringan kompleks dari lingkungan yang mempengaruhi perkembangan remaja. Jaringan pertama adalah keluarga, terutama orangtua, yang memiliki pengaruh terbesar dalam kehidupan remaja. Salah satu peran orangtua adalah meminimalisir pengaruh negatif lingkungan terhadap kesehatan reproduksi remaja melalui keterikatan, komunikasi dan pengawasan. Tetapi kurang terjalinnya komunikasi yang bersifat dialogis antara remaja dengan orang dewasa, baik orang tua maupun guru, mengenai masalah seksual, di mana kebanyakan masyarakat masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seksual dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi dalam keluarga mencakup interaksi dan diskusi antara orangtua, orang dewasa ataupun teman sebaya dengan remaja tentang isu tertentu, tetapi tetap memperhatikan isi dan waktu yang tepat. Harapannya adalah komunikasi efektif antara remaja orang tuanya akan mengarahkan remaja pada perilaku yang sehat, terutama yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan seksual(Kumi-Kyereme et al. , 2007).

  Lingkaran selanjutnya adalah sekolah, teman sebaya, tetangga, tokoh agama dan organisasi remaja. Kumi-Kyereme et al. (2007) mengemukakan bahwa semakin besar keterikatan remaja dengan lingkungan sekitar (teman sebaya, organisasi keagamaan dan organisasi sosial), semakin kecil kemungkinan remaja terlibat perilaku hubungan seksual. Selain itu, lingkungan tempat tinggal (neighbourhood) dapat mempengaruhi perilaku seksual remaja. Lingkaran terluar (terdiri dari norma- norma, media, kondisi perekonomian dan politik) merupakan pengaruh tidak langsung terhadap kehidupan remaja. Meskipun demikian, mulai dari lingkaran terdalam hingga lingkaran terluar dari kerangka konsep Bronfenbrenner’s Ecological

  

System tetap memiliki pengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja

(Kumi-Kyereme et al., 2007).

2.2. Perilaku Seks Pranikah

2.2.1. Definisi Perilaku

  Perilaku merupakan suatu keinginan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung (Taufik, 2007).

  Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan perilaku manusia hasil dari pada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya.

  Dengan kata lain, perilaku merupakan respons/reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar mauapun dari dalam tubuhnya. Respon ini bersifat pasif (tanpa tindakan; pengetahuan dan sikap) maupun aktif (tindakan yang nyata atau praktek).

2.2.2. Faktor yang Memengaruhi Perilaku

  Menurut Notoatmodjo (2007), semua ahli kesehatan masyarakat dalam membicarakan status kesehatan mengacu kepada bloom. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju. Bloom menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap staus kesehatan, kemudian berturut-turut disusul oleh perilaku mempunyai andil no dua, pelayanan kesehatan dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil terhadap suatu status kesehatan. Green menjelaskan bahwa perilaku itu dilatar belakangi atau di pengaruhi oleh tiga faktor yaitu:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor)

  Faktor ini mencakup: pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

  2. Faktor pemungkin (enabling factors) Faktor ini mencakup lingkungan fisik/sosial, terpaan media, ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan masyarakat.

  3. Faktor penguat (reinforcing factors)

  Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

  Termasuk juga disini Undang-Undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

2.2.3. Bentuk Perilaku

  Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau seorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk dua macam yaitu: 1.

  Bentuk pasif Adalah respon internal, yaitu yang terjadi didalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat dari orang lain. Misalnya : seorang ibu hamil tahu bahwa pemerikaaan antenatal itu sangat penting baginya salah satunya untuk mencegah komplikasi pada saat kehamilan, namun ibu tidak memeriksakan kehamilannya.

  Maka perilaku ibu tersebut masih terselubung atau tertutup.

2. Bentuk aktif

  Yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung. Misalnya ibu sudah memeriksakan kehamilannya ke fasilitas kesehatan. Maka ibu tersebut sudah melakukan bentuk tindakan nyata dan disebut perilaku terbuka (Notoatmodjo, 2007).

2.2.4. Domain Perilaku

  Notoatmodjo (2007), berpendapat bahwa perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu kedalam tiga domain yaitu: 1.

  Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) karena itu dari pengalaman dan penelitian terbyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan. Tingkat pengetahuan didalam domain kognitif mempunyai ena tingkatan yaitu:

  1.) Tahu (know)

  Tahu diartikan sebagai mengingat suatau materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) suatu yang spesifik dariseluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

  2.) Memahami (comprehension)

  Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  3.) Aplikasi (application)

  Aplikasi diartikansebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya (real). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  4.) Analisis (analysis)

  Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sma lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambar, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5.)

  Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

  6.) Evaluasi (evaluation)

  Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasari pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada.

2. Sikap (Attitude)

  Sikap memiliki arti penting dalam kehidupan manusia, karena sikap yang terbentuk dalam diri manusia dapat menentukan perilaku dalam menghadapi suatu objek sikap atau masalah yang muncul. Thurstone (1946, cit. Ahmadi, 2002) menyatakan bahwa sikap adalah tingkat kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang berhubungan dengan objek psikologi. Objek psikologi di sini meliputi simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Orang dikatakan memiliki sikap positif terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang favorable. Sebaliknya, orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek psikologi bila ia tidak suka atau sikapnya unfavorable terhadap objek psikologi.

  Menurut Notoadmodjo (2007) sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu: 1.)

  Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (objek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

  2.) Merespon (responding)

  Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dalam sikap.

  3.) Menghargai (valiung)

  Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

  4.) Bertanggung jawab (responsible)

  Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Praktek atau Tindakan (Practice)

  Menurut Notoatmodjo (2007) yaitu suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas.

  Tingkat-tingkat praktek adalah persepsi (perception), respon terpimpin (guided respons) , mekanisme (mechanisme), dan adopsi (adoption).

  1.) Persepsi (perception)

  Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

  2.) Respon terpimpin (guided respons)

  Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh yang telah diketahui.

  3.) Mekanisme (mechanisme)

  Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu yang benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupaka kebiasaan.

  4.) Adopsi (adoption)

  Adalah sesuatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.2.5. Definisi Perilaku Seks Pranikah

  Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual ,baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentukbentuk tingkah laku bermacam-macam mulai perasaan tertarik sampai dengan tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksual bisa berupa orang lain, orang dalam hayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa terutama jika ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkan. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain dampak bisa cukup serius seperti perasaan bersalah, depresi, marah dan lain-lain (Sarwono, 2002).

  Sedangkan menurut Tim sahabat remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY (2007) yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya dorongan seks. Seks pranikah adalah melakukan hubungan seks sebelum adanya ikatan perkawinan yang sah, baik berhubungan seks yang penetrative (penis dimasukan dalam vagina, anus atau mulut) maupun yang non

  

penetratif (penis tidak dimasukan dalam vagina), oral dan anal seks termasuk dalam

hubungan seks yang penetratif.

  Perilaku seksual meliputi pengalaman seseorang dalam melakukan aktivitas seksual yang meliputi berciuman pipi, berciuman dalam waktu yang lama, memegang payudara, menyentuh atau saling menyentuhkan alat kelamin, oral seks dan intercourse (Collin et al., 2004). Perilaku seksual dipengaruhi faktor perilaku teman sebaya dilingkungannya. Speizer et al. (2001) mengatakan bahwa remaja usia 15-19 tahun di Afrika perempuan 44% dan laki-laki 48% sudah melakukan hubungan seksual karena remaja hanya memperoleh informasi pendidikan seks dari ibu yang pengetahuannya kurang.

  Menurut Sarwanto & Ajik (2001) remaja di Indonesia sejumlah 37% penduduk, pendidikan mereka semakin tinggi tetapi fase meningkatnya dorongan seksual menyebabkan remaja mulai melakukan masturbasi, bercumbu dan berhubungan seksual. Remaja tersebut 68,5% tidak pernah membicarakan seks tetapi 33,8% melakukan pacaran dan 1,3% sudah berhubungan seksual. Perilaku seks remaja cenderung meningkat dengan melakukan hubungan seksual pada umur 17-18 tahun sehingga menyebabkan kehamilan dan kawin muda, hal itu berisiko terjadi penyakit menular seksual.

  Menurut L’Engle, et al. (2006) perilaku seksual terbagi atas dua aktivitas yaitu aktivitas seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali pergi berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan,

  

french kiss , sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti, meraba payudara,

meraba vagina atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.

  Untuk mengukur perilaku seksual remaja mengacu alat ukur yang digunakan Collin et al. (2004) dalam penelitiannya Watching sex on television predict

  

adolescent inisiation on sexual behavior, Reiss (1995) dalam alat ukur Reiss male

  and female premarital sexual permisiveness scale dalam buku Davis et al. (1998) Handbook of sexuality related measures. Instrumen dimodifikasi dengan kuesioner

  Wahyuningsih (2004) tentang hubungan antara persepsi remaja terhadap seksualitas dalam media masa dan perilaku seksual pada siswa SMUN I Purwokerto. Perilaku seksual remaja digambarkan sebagai berikut; berpegangan tangan, memeluk/dipeluk, merangkul (melingkarkan tangan di bahu / dipinggang pasangan), mencium/dicium pipi dan kening, masturbasi/onani, necking (berpelukan dan berciuman secara lama sampai melibatkan lidah), petting ringan (memegang payudara pasangan), menggesekkan alat kelamin dengan masih berpakaian, petting berat (saling menggesekkan alat kelamin dengan tanpa berpakaian), oral seks, intercourse (berhubungan seksual / senggama). Termasuk perilaku seks rendah jika hanya berpegangan tangan, memeluk/dipeluk, merangkul (melingkar tangan dibahu/dipinggang pasangan), mencium/dicium pipi dan kening, masturbasi/onani, dan perilaku seks tinggi jika sudah necking (berpelukan dan berciuman secara lama sampai melibatkan lidah), petting ringan (memegang payudara pasangan), menggesekkan alat kelamin dengan masih berpakaian, petting berat (saling menggesekkan alat kelamin dengan tanpa berpakaian), oral seks, intercourse (berhubungan seksual / senggama).

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Sek Pranikah

  Menurut Soetjiningsih (2004) faktor-faktor yang mempengruhi perilaku seks pranikah antara lain:

  1. Perspektif biologis, perubahan yang terjadi masa pubertas dan pengaktifan hormonal dapat menimbulkan perilaku seksual. Perubahan hormonal tidak selalu diiringi kematangan organ tubuh dan pola pikir remaja.

  2. Pengaruh orang tua, kurangnya komunikasi secara terbuka antara orang tua dan remaja seputar masalah seksual memperkuat munculnya penyimpangan perilaku sekual.

  3. Pengaruh teman sebaya dapat memacu penyimpangan seksual dikaitkan dengan norma pada kelompok sebaya. Perspektif akademis, remaja dengan prestasi rendah dan tahap aspirasi rendah cenderung lebih memunculkan aktivitas seksual dibanding dengan remaja dengan prestasi baik di sekolah.

  Menurut Koentjoro (2007) beberapa faktor penyebab perilaku seksual remaja yaitu faktor internal, eksternal dan campuran keduanya. Faktor internal atau yang berasal dari dalam individu, adalah faktor asupan gizi yang makin membaik. Gizi yang semakin baik mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan memacu percepatan kemasakan hormon. Faktor eksternal yang diduga mempengaruhi perilaku seksual adalah dampak globalisasi dan budaya materialisme. Kemajuan telekomunikasi (dalam hal ini media) akan berpengaruh pada pola hidup materialisme.

  Menurut Sarlito W. Sarwono dalam Damayanti (2012), faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya perilaku seks pranikah pada remaja yaitu:

  1. Perubahan hormonal yang meningkat hasrat seksual remaja. Peningkatan hormonan ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

  2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain- lain).

  3. Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

4. Kecenderungan pelanggaran akan meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan media massa yang dengan teknologi yang canggih.

  Remaja dalam periode ini ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umunya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual yang lengkap dari orang tuanya.

  5. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabuhkan pembicaraan mengenai seks pada anaknya, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

  6. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, hingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.

  Remaja memiliki emosi yang luar biasa besar, seseorang cenderung menginginkan perhatian yang lebih. Jika dalam keluarga seorang remaja tidak memperoleh perhatian yang diinginkan, mereka cenderung mencarinya diluar lingkungan keluarga. Cukup tidaknya kasih sayang dan perhatian yang diperoleh sang anak dari keluarganya, cukup tidaknya keteladan dan komunikasi yang baik yang di terima sang anak dari orang tuanya, dan sebagainya yang menjadi hak anak dari oarang tuanya. Jika tidak, maka anak akan mencari tempat pelarian di jalan-jalan serta ditempat-tempat tidak mendidik mereka. Anak akan dibesarkan dilingkungan yang tidak sehat bagi pertumbuhan jiwanya. Anak akan tumbuh dilingkungan pergaulan bebas. Sebaliknya mereka yang tidak mengetahui dan tidak tertarik dengan hal yang mengarah kepada hal negatif akan dinilai sebagi remaja yang tidak gaul dan kampungan. Akibatnya, remaja akan merasa dirinya terkucilkan dan akan mengikuti teman sebayanya. Sehingga anak gaul inilah yang biasanya menjadi korban dari pergaulan bebas, diantaranya terjebak dalam perilaku seks bebas (Damayanti, 2012).

2.2.7. Alasan Remaja Berperilaku Seks Pranikah

  Alasan yang dikemukakan dalam berhubungan seksual sebagai bukti cinta, sayang, pengikat hubungan, serta berencana untuk menikah dalam waktu dekat, namun sering terjadi hubungan seksual pertama tidak diawali dengan permintaan lisan tetapi dengan stimulasi atau rangsangan langsung terhadap pasangannya, sehingga informan perempuan yang awalnya menolak, pada saat itu sudah terangsang sehingga tidak mampu menolak, dengan itu alasan menuruti keinginan pacar untuk berhubungan seksual cukup banyak (Sarwono, 2006).

  Dilihat dari beberapa hal yang menjadi dasar remaja melakukan hubungan seksual, remaja pria dan wanita memiliki alasan-alasan yang berbeda, pada remaja puteri kebanyakan memberi alasan seperti ingin menunjukkan rasa cinta, takut ditinggalkan, dipaksa oleh pacar, agar dicintai, tidak mau dianggap tidak laku karena masih perawan dan lain-lain. Keputusan untuk melakukan hubungan seks tersebut tidak dengan konsekuensi yang kecil, remaja yang telah melakukan hubungan seks harus juga memikirkan risiko yang dihadapi nanti setelah hamil diluar nikah dan terkena penyakit kelamin (Sarwono,2011).

  Pendapat ini didukung pula oleh Santrock, dalam Sarwono (2011), alasan- alasan mengapa remaja berhubungan seks antara lain: di paksa (wanita 61% dan pria 23%), merasa sudah siap (wanita 51% dan pria 59%), butuh dicintai (wanita 45% dan pria 23%) dan takut diejek teman karena masih gadis atau perjaka (waniat 38% dan pria 43%).

  Faktor lainnya datang dari lingkungan keluarga. Bagi seorang remaja, mungkin aturan yang diterapkan oleh kedua orangtuanya tidak dibuat berdasarkan kepentingan kedua belah pihak (orang tua dan remaja). Akibatnya, remaja tersebut merasa tertekan, sehingga ingin membebaskan diri dengan menunjukkan sikap sebagai pemberontak, yang salah satunya masalah seks. Pada dasarnya, sebagian besar yang mengalami kerugian akibat hubungan seks di luar nikah ini adalah kaum perempuan. Bagi perempuan, seks merupakan pengalaman yang dianggap suci dan melibatkan seluruh perasaannya yang terdalam. Bagi laki-laki, seks hanya merupakan hubungan badaniahyang dianggap tidak terlalu serius, tanpa perasaan. Namun dalam hal tertentu, sering juga terjadi perasaan cinta yang dimiliki seorang perempuan terlalu jauh dan berharap dapat menjalin hubungan hingga pernikahan. Perasaan dan harapan tersebut meninabobokkannya untuk mau melakukan seks di luar nikah (Dianawati, 2006).

  Menurut para ahli, alasan seorang remaja melakukan hubungan seks diluar nikah ini terbagi dalam beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:

  1. Tekanan yang datang dari teman pergaulannya.

  Lingkungan pergaulan yang telah dimasuki oleh seorang remaja dapat juag berpengaruh untuk menekan temannya yang belum melakukan hubungan seks, bagi remaj tersebut tekanan dari teman-temannya itu dirasakan lebih kuat dari pada tekananyang didapatkan dar pacarnya sendiri. Keinginan untuk dapat diterima oleh lingkungan pergaulannya begitu besar, sehingga dapat mengalahkan semua nilai yang didapat, baik dari orang tua maupun dari sekolahnya. Pada umumnya, remaja tersebut melakukannya hanya sebatas ingin membuktikan bahwa dirinya sama dengan teman-temannya, sehingga dapat diterima menjadi bagian dar anggota kelompoknya seperti yang diingikan.

  2. Adanya tekanan dari pacar Karena kebutuhan seseorang untuk mencintai dan dicintai, seseorang harus rela melakukan apa saja terhadap pasangannya, tanpa memikirkan risiko yang nanti dihadapinya. Dalam hal ini yang berperan bukan saja nafsu seksual mereka, melainkan juga karena sikap memberontak terhadap orang tuanya. Remaja lebih membutuhkan suatu bentuk hubungan, penerimaan, rasa aman, dan harga diri sebagai layaknya manusia dewasa. Adanya perhatian dan cinta yang cukup dari orang tua dan anggota keluarga terdekatnya memudahkan ramaja tersebut memasuki masa pubertas. Dengan demikian, dia dapat melawan tekananyang datang dari lingkungan pergaulan dan pasanganya. Selain itu, kemampuan dan kepercayaan diri untuk tetap memegang teguh prinsip hidupnya sangat penting.

  Pandangan ini tidak terbatas masalah seksual, tetapi dalam segala hal, baik tentang apa yang seharusnya dilakukan maupun tentang apa yang tidak seharusnya dilakukan.

  3. Adanya kebutuhan badaniah Seks menurut beberapa ahli merupakan kebutuhan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Jadi, wajar saja jika semua orang tidak terkecuali remaja menginginkan hubungan seks ini, sekalipun akibat dari perbuatannya tersebut tiadak sepadan dibandingkan dengan risiko yang akan mereka hadapi.

  4. Rasa penasaran Pada usia remaja, rasa keingintahuannya begitu besarterhadap seks. Apalagi jika teman-temannya mengatakan bahwa seks terasa nikmat, ditambah lagi adanya informasi yang tidak terbatas masuknya. Maka, rasa penasaran tersebut semakin mendorong mereka untuk lebih jauh lagi melakukan berbagai macam percobaan sesuai dengan yang diharapkannya.

5. Pelampiasan diri

  Faktor ini tidak hanya datang dari diri sendiri. Misalnya karena terlanjur berbuat, seoarang remaja perempuan biasanya berpendapat bahwa sudah tiadak ada lagi yang dapat dibanggakan dalam dirinya. Maka, dengan pikirannya tersebut, ia akan merasa putus asa lalu mencari pelampiasan yang akan semakin menjerumuskannya kedalam pergaulan bebas (Dianawati, 2006).

2.2.8. Dampak Perilaku Seksual Pranikah

  Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual yang dilakukan sebelum waktunya justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi. Sementara akibat psikososial yang timbul akibat perilaku seksual antara lain adalah ketegangan mental dan kebingungan akan peran sosial yang tiba-tiba berubah, misalnya pada kasus remaja yang hamil diluar nikah.

  Belum lagi tekanan dari masyarakat yang mencela dan menolak keadaan tersebut. Selain itu resiko yang lain adalah tergangguanya kesehatan yang bersangkutan, resiko kelainan janin dan tingkat kematian bayi yang tinggi. Disamping itu tingkat putus sekolah remaja hamil juga sangat tinggi, hal ini disebabkan rasa malu remaja dan penolakan sekolah menerima kenyataan adanya murid yang hamil diluar nikah.

  Masalah ekonomi juga akan membuat permasalahan ini menjadi semakin rumit dan kompleks (Damayanti, 2012).

  Menurut dr. Boyke Dian Nugraha, jika hubungan seks tersebut dilakukan sebelum usia 17 tahun, risiko terkena penyakit menular seksual bisa mencapai empat hingga lima kali lipat. Selain itu, seks pranikah akan meningkatkan kasus penyakit menular seksual, seperti sipilis, ghonorhoe (GO), hingga HIV/AIDS. Untuk GO yang sudah parah dapat menyebabkan hilangkan kesuburan, baik pada pria maupun wanita. Saluran sperma atau indung telur menjadi tersumbat oleh kuman GO. Disisi lain, Boyke menambahkan, perilaku seks bebas ini bisa berlanjut hingga usia perkawinan.

  Tercatat sekitar 90 dar 121 masalah seks yang masuk ke Klinik Pasutri (pasangan suami istri) tahun 2000 lalu, dialami orang-orang yang pernah melakukan hubungan pranikah (pre marital). Hamil diluar nikah merupakan masalah yang bisa juga ditimbulkan dari perilaku seks bebas. Banyak dari remaja melakukan aborsi untuk menutupi kehamilannya, biasanya aborsi dilakukan ketika janin berusia 1-3 minggu. Setelah itu janin akan lebih susah diaborsi. Yang lebih parah jika aborsi yang dilakukan ketika janin telah berusia lebih dari 3 minggu dan terdapat sisa anggota tubuh janin yang tidak bisa keluar hal itu akan menyebabkan kanker bagi sang ibu (Damayanti, 2012).

  Menurut Manuaba (2002), perilaku seksual berisiko akan berdampak terhadap kehamilan remaja puteri. Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan dengan kurun reproduksi sehat yaitu 20-30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan stress psikologis, sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya : 1.

  Keguguran Keguguran sebagian dilakukan dengan sengaja untuk menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang dilakukan oleh tenaga non profesional dapat menimbulkan akibat samping yang serius seperti tingginya angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada akhirnya dapat menimbulkan kemandulan.

  2. Persalinan prematur, BBLR dan kelainan bawaan Kekurangan berbagai zat yang diperlukan saat pertumbuhan dapat mengakibatkan makin tingginya kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, dan cacat bawaan.

  3. Mudah terjadi infeksi Keadaan gizi yang buruk, tingkat sosial ekonomi rendah, dan stress memudahkan terjadi infeksi saat hamil, terlebih pada kala nifas.

  4. Anemia kehamilan Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi. Anemia pada kehamilan merupakan masalah nasional karena mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, dan pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia.

  5. Keracunan kehamilan Kombinasi keadaan alat reproduksi yang belum siap hamil dan anemia makin meningkatkan terjadinya keracunan kehamilan, dalam bentuk preeklampsia atau eklamsia. Preeklampsia dan eklamsia memerlukan perhatian yang serius karena dapat menyebabkan kematian.

  6. Kematian ibu yang tinggi Remaja puteri yang stress akibat kehamilannya sering mengambil jalan pintas untuk melakukan aborsi oleh tenaga dukun. Angka kematian karena aborsi yang dilakukan dukun cukup tinggi, tetapi angka pasti tidak diketahui. Kematian ibu terutama karena perdarahan dan infeksi.

2.3. Komunikasi Orangtua-Remaja

2.3.1. Definisi Komunikasi

  Komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi, gagasan dan perasaan. Proses ini meliputi informasi yang disampaikan baik secara lisan maupun tertulis dengan kata-kata, atau yang disampaikan dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri, menggunakan alat bantu disekeliling kita sehingga sebuah pesan menjadi lebih kaya (Liliweri, 2009).

  Komunikasi adalah suatu proses pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi (Windahl et al., 2004). Komunikasi memiliki beberapa manfaat, antara lain: meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan seseorang terhadap isu tertentu dan solusinya, mempengaruhi persepsi, keyakinan dan sikap seseorang, mempengaruhi seseorang untuk cepat bertindak dan menyangkal mitos-mitos dan persepsi yang salah di masyarakat tentang isu tertentu (Windahl et al., 2004).

  Menurut Liliweri (2009), komunikasi dikatakan efektif jika dapat memberikan informasi, mendidik, menginstruksikan, mengajak dan menghibur audience. Yang dimaksud dengan memberikan informasi adalah menyampaikan atau menyebarluaskan pesan (informasi) kepada orang lain. Mendidik adalah pesan (informasi) yang disampaikan bersifat mendidik, sehingga dapat menambah pengetahuan tentang informasi yang disampaikan. Menginstruksi artinya memberikan instruksi (mewajibkan atau melarang) penerima utuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang diperintahkan. Mengajak (persuasif) adalah pesan yang disampaikan dapat menimbulkan efek pada komunikan, sehingga dapat mempengaruhi (mengubah) pendapat, sikap dan perilaku orang yang diajak berkomunikasi. Komunikasi dapat menghibur artinya mengirimkan pesan-pesan yang mengandung hiburan kepada penerimanya, sehingga dapat menimbulkan perasaan senang kepada komunikan.

  Orang tua dan remaja juga dapat menjadikan komunikasi sebagai indikator rasa percaya dan kejujuran dengan mencermati nada emosi yang terjadi dalam interaksi antaranggota keluarga. Booth-Butterfield dan Sidelinger (1998) mengungkapkan bahwa keterbukaan dalam berkomunikasi tentang topik seksualitas dan penggunaan alkohol terbukti berkolerasi dengan kecenderungan remaja untuk melakukan seks yang aman maupun dalam menggunakan alkuhol. Penelitian berikutnya yang dilakukan Davidson dan Cardemil (2009) menemukan hal yang selaras. Tingkat komunikasi orangtua-remaja yang tinggi berkolerasi dengan sedikitnya simtom eksternalisasi pada remaja (Lestari, 2012).

  Fitzpatrick dan Badzinski (1996) menyebutkan dua karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi orang tua-remaja. Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua-remaja. Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian bantuan, dan kerja sama. Komunikasi orang tua-remaja sangat penting bagi orang tua dalam upaya melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada remaja. Tindakan orang tua untuk mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau negatif oleh anak diantaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi (Lestari, 2012).

  Komunikasi orangtua - remaja secara potensial dapat mempengaruhi beberapa hal, antara lain: sikap remaja terhadap hubungan seksual pranikah, persepsi remaja terhadap keuntungan dan kerugian jika melakukan hubungan seksual pranikah, pandangan remaja terhadap tekanan dari norma sosial jika melakukan hubungan seksual pranikah, konsep pribadi seseorang yang konsisten dengan citra dirinya jika melakukan hubungan seksual pranikah, reaksi emosional terhadap hubungan seksual pranikah, kemampuan remaja untuk melakukan hubungan seksual pranikah dan kemampuan remaja untuk mengatasi norma-norma sosial yang melarang hubungan seksual pranikah (Jaccard et al., 2002).

  Berdasarkan beberapa definisi komunikasi, maka dalam penelitian ini komunikasi orangtua-remaja didefinisikan sebagai informasi atau pesan tentang seksualitas yang disampaikan oleh komunikator (orangtua) kepada komunikan (remaja).

2.3.2. Tujuan Komunikasi

  Tujuan dilakukannya komunikasi efektif orangtua dengan remaja, antara lain: 1.

  Membangun hubungan yang harmonis dengan remaja 2. Membentuk suasana keterbukaan 3. Membuat orangtua mau mendengar remaja saat mereka berbicara 4. Membuat remaja mau bicara pada saat mereka menghadapi masalah 5. Membuat remaja mau menghormati orangtua atau orang dewasa saat mereka berbicara

6. Membantu remaja menyelesaikan masalahnya (BKKBN, 2012).

2.3.3. Unsur-unsur Komunikasi

  Dalam komunikasi efektif antara kelompok satu dengan kelompok lain atau seseorang dengan orang lain, diperlukan keterlibatan beberapa unsur komunikasi, yaitu komunikator, komunikan, pesan dan saluran.

1. Komunikator adalah orang atau sumber yang menyampaikan atau mengeluarkan rangsangan dalam bentuk informasi atau pesan kepada orang atau pihak lain.

  Diharapkan orang atau pihak lain tersebut memberikan tanggapan atau jawaban. Beberapa faktor yang hendaknya dimiliki oleh komunikator yang mempengaruhi penerimaan pesan oleh komunikan antara lain :

  1) Dapat dipercaya. Semakin dipercaya pemberi pesan, maka semakin besar tingkat kepercayaan penerima.

  2) Menarik. Komunikator yang menarik dapat lebih dipercaya untuk mempengaruhi seseorang dibandingkan komunikator yang kurang menarik.

  3) Kekuasaan. Semakin besar kekuasaan komunikator, semakin besar tingkat kepercayaan komunikan terhadap pesan yang disampaikan.

  2. Komunikan adalah pihak yang menerima dan memberikan respon terhadap rangsangan dari komunikator, tanggapan dapat bersifat pasif, yaitu memahami maksud yang disampaikan oleh komunikan atau tanggapan aktif, yaitu berupa ungkapan lisan, tulisan atau berupa simbol. Terdapat beberapa faktor komunikan yang harus diperhatikan, antara lain: 1)

  Demografi, antara lain: umur, jenis kelamin, ras dan karakteristik audience termasuk remaja.

  2) Faktor psikologis, antara lain: pengetahuan, keyakinan, sikap, kemampuan, keterampilan dan harapan audience termasuk remaja.

3. Pesan adalah rangsangan yang dikeluarkan oleh komunikator kepada komunikan.

  Isi pesan atau informasi diharapkan dapat dimengerti oleh komunikan dan ditanggapi secara pasif ataupun aktif. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat pesan antara lain: 1)

  Tipe pesan. Tipe pesan dapat berbentuk humoris, berdasarkan fakta, emosional atau perintah sehingga dapat menimbulkan perhatian. Setiap tipe pesan tergantung dari situasi dan audience termasuk remaja.

  2) Isi pesan. Sangat penting untuk memperhatikan apa yang termasuk dan tidak termasuk dalam pesan. Selain itu, tata urut pesan juga harus diperhatikan, karena tata urut yang baik, dapat mempengaruhi logika dan emosi audience, termasuk remaja, sehingga akan membentuk kesan pada pesan yang disampaikan.

  3) Kesesuaian. Pesan dapat dikembangkan menjadi lebih sederhana agar sesuai dengan latar belakang komunikan, sehingga dapat cepat menimbulkan pemahaman.

4) Saluran (media) dapat berupa komunikasi antar pribadi dan komunikasi massa.

  Komunikasi antar pribadi adalah komunikasi langsung, tatap muka antara satu orang dengan orang lain baik perorangan maupun kelompok. Komunikasi interpersonal, misalnya komunikasi antara konselor dengan klien, dokter dengan pasien, orangtua dengan remaja. Komunikasi massa, misalnya TV, radio, koran, spanduk (BKKBN, 2012).

2.3.4. Manfaat Komunikasi

  Komunikasi memiliki beberapa manfaat, antara lain: 1.

  Meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kewaspadaan seseorang terhadap isu tertentu, sehingga bijak dalam mengupayakan solusinya

2. Mempengaruhi persepsi, keyakinan dan sikap seseorang 3.

  Mempengaruhi seseorang untuk cepat bertindak 4. Menyangkal mitos-mitos dan persepsi yang salah di masyarakat tentang isu tertentu (BKKBN, 2012).

2.3.5. Aspek-aspek Komunikasi

  Dalam komunikasi interpersonal, terdapat beberapa aspek yang harus diperhatikan oleh komunikator agar komunikasi menjadi efektif (DeVito, 1995), yaitu:

  1. Keterbukaan (openness). Pengertian keterbukaan adalah adanya keinginan untuk membuka diri dengan orang lain untuk berinterkasi dan keinginan untuk memberikan tanggapan sejujurnya terhadap stimulus yang diterima. Dalam keterbukaan, memerlukan adanya pengakuan dan sikap bertanggung jawab terhadap segala pikiran dan perasaan yang telah diungkapnya.

  2. Empati (emphaty). Adanya usaha masing-masing pihak untuk merasakan yang sedang dirasakan oleh orang lain, dalam upaya untuk memahami orang lain.

  Berempati juga membutuhkan sensitivitas agar dapat merasakan perasaan orang lain ketika komunikasi berlangsung. Adapun langkah-langkah untuk mengembangkan empati, antara lain: 1) Lebih banyak memahami keinginan, pengalaman, kemampuan dan kecemasan yang dirasakan orang lain.

  2) Menghindari penilaian baik-buruk atau benar-salah terhadap perilaku atau sikap orang lain.

  3) Mencoba untuk melihat masalah dari cara pandang (persepsi) orang lain.

  3. Dukungan (supportiveness). Dukungan dapat berupa ungkapan verbal dan non verbal. Ungkapan verbal, seperti gerakan menganggukkan kepala, mengedipkan mata, tersenyum atau tepukan tangan. Ungkapan non verbal, seperti memahami dan berpikir secara terbuka (mampu menerima pandangan oranglain).

  4. Kepositifan (positiveness). Dapat dilakukan dengan memberikan sikap positif dan menghargai orang lain, sehingga seseorang mampu menghargai dirinya sendiri secara positif. Komunikasi interpersonal akan terpelihara dengan baik apabila suatu persaan positif terhadap orang lain itu dikomunikasikan sehingga membuat orang lain merasa lebih baik dan lebih berpartisipasi. Salah satu contohnya mendengarkan lawan bicara dalam berkomunikasi.

  5. Kesamaan (equality). Adanya kesamaan pengalaman dan kesamaan dalam percakapan antara para pelaku komunikasi. Tujuannya agar mencegah terjadinya kesalahpahaman atau konflik.

  Komunikasi interpersonal dikatakan efektif jika memperhatikan beberapa aspek komunikasi, yaitu: keterbukaan, berempati, adanya dukungan, sikap positif dan kesamaan antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Hal tersebut dapat terwujud jika seseorang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga dapat memberi kesempatan kepada orang lain untuk memberikan umpan balik.

2.3.6. Gaya Berkomunikasi Orangtua dengan Remajanya

  Pada fase remaja, mereka tidak cocok diajak berkomunikasi dengan gaya orang tua yang memerintah dan mengatur, karena mereka akan memandang orang tua sebagai sosok yang mengancam dan tidak mampu mengerti diri remaja. Untuk berkomunikasi dengan remaja, lebih cocok dengan gaya komunikasi layaknya seorang teman. Orang tua dapat mengajak anak berkomunikasi dengan santai, tidak memberikan penilaian, serta tidak terkesan menggurui. Dengan gaya komunikasi seperti ini membuat remaja merasa lebih aman dan nyaman dalam mendengarkan orang tua, karena orang tua dianggap mampu mengerti posisi serta keinginan diri remaja (BKKBN, 2012).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Brand Image Dan Word Of Mouth Terhadap Brand Preference Dalam Meningkatkan Loyalitas Konsumen Brownies Amanda Pada Mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 1 10

I. Identitas Responden - Pengaruh Pelaksanaan Audit Manajemen Terhadap Produktivitas Sumber Daya Manusia (Studi Kasus pada PT. Bank Sumut Pusat)

0 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka - Pengaruh Pelaksanaan Audit Manajemen Terhadap Produktivitas Sumber Daya Manusia (Studi Kasus pada PT. Bank Sumut Pusat)

0 0 22

Pengaruh Pelaksanaan Audit Manajemen Terhadap Produktivitas Sumber Daya Manusia (Studi Kasus pada PT. Bank Sumut Pusat)

0 0 11

Lampiran : 1 Kuesioner Penelitian Persepsi Pengusaha di Kota Medan Terhadap Kebijakan Bank Indonesia Tentang Lindung Nilai (Hedge) Kepada Yth : Bapak Ibu

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Persepsi - Persepsi Pengusaha Kota Medan Tentang Kebijakan Bank Indonesia Tentang Lindung Nilai (Hedge)

0 0 15

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Pendukung Keputusan (SPK) - Implementasi Metode Naive Bayes Dalam Menentukan Posisi Ideal Pemain dalam Sepakbola Berbasis Android (Studi Kasus : Talenta Soccer Rantauprapat)

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan - Keanekaragaman dan Distribusi Plankton di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan

0 0 8

Keanekaragaman dan Distribusi Plankton di Perairan Muara Desa Belawan I Kecamatan Medan Belawan

0 0 13

Pengaruh Antara Komunikasi Orangtua-Remaja dan Teman Sebaya terhadap Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Putri di SMPN dan MTSN Kecamatan Tambang Riau Tahun 2013

0 0 20