BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus - Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

  Diabetes melitus adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut dan relatif karena produksi insulin yang rendah dari pankreas

  1

  atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin. Menurut American Diabetes

  

Association (ADA), DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

  karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

  15 atau kedua-duanya.

2.1.1 Epidemiologi

  Prevalensi DM untuk semua kelompok usia di seluruh dunia diperkirakan 2,8% pada tahun 2000 dan 4,4% pada tahun 2030. Jumlah penderita DM diperkirakan

  16

  meningkat dari 171 juta di tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Di negara berkembang, mayoritas penderita DM berusia 45-64 tahun, sedangkan di negara maju, sebagian besar penderita DM berusia diatas 65 tahun. Diabetes melitus lebih

  17

  sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar DM adalah

  18 tipe II yang terjadi lebih dari 90% biasanya pada usia 40 tahun ke atas.

  WHO memprediksi di Indonesia terjadi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan dari hasil penelitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada tahun 1980 menunjukkan prevalensi DM tipe II antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1% di Manado. Prevalensi DM Tipe II di Medan belum diketahui dengan pasti tetapi berdasarkan data 10 besar diagnosis penyakit di RSU Pirngadi Medan, pada Oktober 2009 kunjungan pasien rawat jalan sebanyak 1470 kunjungan, meningkat bila dibanding dengan jumlah kunjungan pasien rawat jalan di bulan September 2009,

  19 yaitu sebanyak 1403.

  2.1.2 Klasifikasi dan Gambaran Klinis

  Klasifikasi yang dipakai di Indonesia sesuai dengan klasifikasi menurut

  15 American Diabetes Association (ADA 2009) terbagi dalam empat kategori yaitu: 1.

  Diabetes Melitus Tipe I Diabetes melitus Tipe I juga disebut juvenile-onset diabetes dan insulin-

  

dependent diabetes mellitus (IDDM). Diabetes Melitus Tipe I dianggap sebagai

  penyakit autoimun, di mana sistem imun secara spesifik menyerang dan merusak sel beta pankreas penghasil insulin. Pasien DM Tipe I memiliki jumlah insulin yang kurang, sehingga sel tubuh tidak dapat menyerap glukosa dan glukosa tetap berada dalam darah. Oleh karena itu, glukosa tidak dapat direabsorbsi, dan energi tidak dapat digunakan sehingga mengakibatkan pasien merasa lelah dan lesu. Tubuh mulai menggunakan sumber energi lain seperti lemak dan protein, dimana proses ini menghasilkan keton. Pasien mengalami kehilangan berat badan, walaupun terjadi peningkatan asupan makanan (polifagia). Pada keadaan hiperglikemia, osmolaritas darah dan urin akan meningkat menyebabkan pasien sering buang air kecil (poliuria) sehingga terjadinya dehidrasi dan rasa haus, dimana keadaan ini menyebabkan

  20 peningkatan asupan air (polidipsia).

2. Diabetes Melitus Tipe II

  Diabetes Melitus Tipe II juga disebut non-insulin-dependent diabetes mellitus

  20

  (NIDDM) dan adult-onset diabetes. Diabetes Melitus Tipe II terjadi karena ketidakmampuan tubuh dalam merespon dengan baik aksi insulin yang dihasilkan

  21

  oleh pankreas. Pasien dengan DM Tipe II biasanya berusia lebih dari 40 tahun pada saat diagnosis, dan 80-90% mengalami obesitas. Pada DM Tipe II, diperkirakan bahwa penurunan jumlah reseptor insulin berhubungan dengan hasil penyerapan glukosa yang tidak diabsorbsi oleh sel tubuh sehingga pasien menunjukkan resistensi insulin karena kadar insulin serum biasanya dalam batas normal atau bahkan meningkat. Simtom pada DM Tipe II jauh lebih ringan jika dibandingkan pada DM

  20 Tipe I. Ketoasidosis hampir tidak ditemukan pada pasien dengan DM Tipe II.

  3. Diabetes Mellitus tipe lain Sekitar 1-2% dari kasus DM adalah dalam kategori ini. Etiologi DM tipe ini adalah heterogen karena toleransi glukosa yang abnormal merupakan faktor pencetus sekunder atau kausal dengan cara yang masih belum jelas. Diabetes melitus tipe ini dapat disebabkan oleh cacat genetik yang spesifik pada fungsi sel beta dan aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati dan disfungsi pankreas yang diinduksi oleh obat-obatan, bahan kimia atau infeksi. Beberapa kelainan genetik dapat berhubungan dengan DM tipe ini, antara lain sindrom Down dan sindrom

22 Turner.

  4. Diabetes Gestasional Diabetes Gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Diabetes

  Gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa yang terjadi atau pertama kali

  21,23

  ditemukan pada saat kehamilan. Sekitar 2-5% wanita hamil di Amerika Serikat mengalami peningkatan derajat hiperglikemia atau intoleransi glukosa selama trisemester ketiga. Hal ini secara signifikan meningkatkan morbiditas dan kematian prenatal. Patofisiologi Diabetes Gestasional berhubungan dengan peningkatan resistensi insulin. Insiden Diabetes Gestasional banyak ditemukan pada wanita hamil yang berusia lebih tua dan obesitas, dimana umur memiliki korelasi tertinggi dengan kejadian Diabetes Gestasional. Kebanyakan pasien Diabetes Gestasional kembali ke keadaan normal setelah melahirkan, namun sekitar 30-50% wanita dengan riwayat

  22 Diabetes Gestasional berisiko terkena DM Tipe II dalam waktu 10 tahun.

2.1.3 Manifestasi Oral

  Hubungan antara DM dengan perubahan patologis dalam rongga mulut banyak dijelaskan dalam kepustakaan. Manifestasi oral pada pasien DM termasuk gingivitis dan periodontitis, karies, BMS, xerostomia, lesi mukosa mulut seperti

  24-27 lichen planus, gangguan pengecapan dan kandidiasis.

  Suatu penelitian menunjukkan 82,75% pasien DM mengalami periodontitis, 58,33% mengalami kandidiasis oral, 75% mengalami xerostomia, 32,5% mengalami BMS, 53,33% mengalami gangguan pengecapan, 1,25% pasien mengalami lichen

  12 planus, dan 4,96% pasien mengalami karies.

2.1.4 Diagnosis

  Kriteria diagnosis DM dapat ditegakkan melalui 3 cara. Pertama, jika ditemukan gejala klasik DM berupa polifagia, poliuria, polidipsia, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, dan pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa > 126 mg/dL. Ketiga dengan Tes Toleransi

19 Glukosa Oral (TTGO).

  19 Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

  Cara Kriteria Diagnosis DM

  1 Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan terakhir

  Atau

  2 Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

  Atau

  3 Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan glukosa setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

2.2 Burning Mouth Syndrome (BMS)

  The International Association for the Study of Pain mendefinisikan BMS

  sebagai nyeri minimal selama 4-6 bulan pada lidah atau mukosa oral lain tanpa ada

  

28,29

  temuan klinis maupun laboratorium. Istilah lain untuk BMS adalah

  30-32 stomatopyrosis , glossopyrosis, stomatodynia, glossodynia dan oral dysesthesia.

  2.2.1 Epidemiologi

  Beberapa literatur melaporkan prevalensi BMS pada populasi umum adalah

  33,34

  0,7-4,6%. Usia pasien BMS biasanya antara 55-60 tahun dan jarang terjadi pada usia dibawah 30 tahun. Burning mouth syndrome lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rasio 3:1-16:1. Burning mouth syndrome sering terjadi

  35,36 pada perempuan pasca menopause.

  2.2.2 Etiologi

  Meskipun hubungan sebab-akibat antara faktor etiologi dengan BMS belum ditetapkan secara universal, namun menurut para ahli etiologi BMS dianggap sebagai multifaktorial yaitu BMS primer yang penyebabnya masih belum diketahui dan BMS

  37-40 sekunder yang meliputi faktor lokal, sistemik dan psikogenik.

  1. Idiopatik Salah satu etiologi BMS adalah idiopatik. Etiologi BMS dikatakan idiopatik

  29 apabila tidak dapat dikaitkan dengan faktor lokal, sistemik ataupun psikogenik.

  2. Faktor lokal

  a. Kontak alergi Alergi terhadap bahan makanan dan gigi tiruan dapat menyebabkan terjadinya

  BMS. Kandungan dalam bahan gigi tiruan dapat menyebabkan alergi, antara lain

  

monomeric methyl metacrylate, epoxy resin, bisphenol A dan bahan akrilik dari

  merek tertentu. Rasa panas dan eritema yang menyebar pada mukosa yang berkontak adalah karakteristik kontak alergi karena bahan gigi tiruan. Sebaliknya alergi yang berhubungan dengan makanan mempunyai karakteristik rasa panas menyeluruh yang intermiten pada rongga mulut dan tanpa tanda inflamasi. Bahan yang diketahui merupakan alergen antara lain sorbic acid, nicotinic acid dan propylene glycol. Sebagai tambahan pada suatu kasus yang dilaporkan, terjadi reaksi alergi terhadap tambalan amalgam yang mengandung merkuri. Diagnosis dapat ditegakkan dengan hasil patch test yang positif dan hilangnya keluhan setelah penyingkiran

  31,37,38 alergen.

  b. Gigitiruan Menurut beberapa penelitian kebanyakan dari pasien BMS adalah pengguna

  34

  gigitiruan. Desain gigitiruan yang tidak tepat dapat menyebabkan sensasi terbakar

  38

  karena peningkatan stres fungsional pada otot sirkum oral atau lingual. Desain gigitiruan yang tidak tepat merupakan penyebab terjadinya BMS pada sekitar 50%

  36 pasien. c. Kandidiasis Beberapa penelitian menyatakan bahwa kandidiasis merupakan faktor penyebab BMS. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66 orang pasien BMS sebanyak 39 (59%) orang positif Kandida pada tes mikrobiologi sedangkan pada pemeriksaan klinis tidak satu orang pun memiliki tanda Kandidiasis.

  Kandida dapat menyebabkan BMS melalu invasi pada mukosa dan menyebabkan

  9,39 hipersensitif dengan memproduksi toksin Kandida.

  d. Xerostomia

  38 Prevalensi xerostomia pada pasien BMS adalah diantara 34-60%. Menurut

  Gorsky dkk (1987), Grushka dkk (1987), Berghdahl dkk (1999) cit Scala (2003) 46-

  40

  67% dari pasien BMS memiliki keluhan xerostomia. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66 orang pasien BMS sebanyak 36 (54%)

  39 orang memiliki keluhan xerostomia.

  Keluhan rasa panas kemugkinan berkaitan dengan kurangnya saliva (xerostomia), kelainan fungsi kelenjar saliva dan perubahan

  36 keseimbangan cairan atau elektrolit.

  e. Kebiasaan parafungsional Beberapa penelitian melaporkan bahwa ditemukan kebiasaan buruk pada

  40

  pasien dengan BMS. Kebiasaan buruk seperti menghisap bibir dan menjulurkan

  42

  lidah dapat menyebabkan BMS. Selain itu kebiasaan buruk lainnya seperti menggigit bibir dan pipi, bruxism, grinding dan bernafas melalui mulut juga dapat mengakibatkan BMS. Beberapa penelitian membuktikan adanya perubahan neurologis pada BMS, dikatakan bahwa kebiasaan parafungsional dapat mengakibatkan perubahan neuropatik yang pada akhirnya menimbulkan gejala

  40,41 BMS.

  3. Faktor sistemik

a. Defisiensi vitamin dan mineral Kekurangan nutrisi dinyatakan sebagai penyebab BMS pada 2-33% pasien.

  37 Peran dari vitamin B kompleks dalam etiologi BMS masih belum jelas. Beberapa pasien BMS menunjukkan kekurangan vitamin B1, B2 dan B6 dalam serum darah.

  Namun penurunan tingkat vitamin B12 dalam serum darah adalah penemuan yang paling umum. Terapi pengganti vitamin B1, B2, dan B6 efektif dalam mengobati 88%

  40

  pasien BMS. Rasa panas pada pasien dengan defisiensi dapat terjadi karena perubahan permeabilitas mukosa, perubahan pada aliran darah, atau akibat neuropati.

  Defisiensi asam folat yang berperan dalam metabolisma DNA dan RNA dapat menyebabkan rasa panas dalam mulut. Defisiensi asam folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan rasa sakit dan terbakar

  42,43 pada rongga mulut.

  b. Diabetes melitus (DM) Korelasi antara DM dan BMS masih menjadi kontroversi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya BMS sedangkan beberapa penelitian lain melaporkan tidak ada hubungan antara dua kondisi

  40

  tersebut. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara DM dan BMS,

  42

  karena sindrom ini ditemukan pada 2-10% pasien DM. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk pada 66 orang pasien BMS sebanyak 4 orang (7%)

  39

  mengalami DM. Alasan yang mendukung terjadinya BMS pada pasien DM adalah kurangnya insulin pada penderita DM mengganggu proses katabolik dalam mukosa mulut sehingga menyebabkan resistensi jaringan terhadap gesekan normal menjadi berkurang. Kemungkinan lain adalah adanya xerostomia dan infeksi kandida yang

  40 merupakan keadaan yang sering menyertai pasien DM.

  c. Perubahan hormon (menopause) Menurut penelitian yang telah dilakukan pada 66 orang pasien BMS sebanyak 52 (92%) orang dari pasien adalah perempuan pasca menopause, dimana kadar hormon estrogen pada pasien ini adalah < 13 pg/ml berbanding kadar hormon

  44

  estrogen normal 50-400 pg/ml. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa 26% pasien

  38 menopause mengalami gejala oral, dimana sepertiga dari mereka mengalami BMS.

  Penelitian pada perempuan yang datang ke klinik kesehatan menunjukkan bahwa 90% gejala BMS dialami pada masa peri maupun pasca menopause. Mereka melaporkan nyeri dimulai dari 3 tahun sebelumnya dan berlanjut menjadi 12 tahun setelah menopause. Pada menopause terjadi penurunan hormon estrogen. Hal ini akan mengakibatkan perubahan intensitas pada indera pengecap yang terdapat pada rongga mulut yang akan menimbulkan peningkatan intensitas yang berdampak pada nyeri

  40,42,45 dan sensasi terbakar.

  d. Efek samping obat

  • –obatan Pada penelitian yang melibatkan pasien BMS dan kelompok kontrol, diamati bahwa 87,5% pasien BMS menggunakan satu atau lebih obat, dimana 44% adalah obat psikotropika, 25% adalah obat gangguan pencernaan, 25% adalah obat gangguan

  42

  pernapasan, dan 6% adalah vitamin. Obat-obatan berperan secara tidak langsung mengurangi aliran saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit, atau

  39 mempengaruhi aliran darah ke kelenjar saliva.

  e. Trigeminal Neuralgia ditandai dengan rasa sakit yang singkat, biasanya pada

  Trigeminal Neuralgia

  orang berusia lebih dari 50 tahun, terutama melibatkan daerah mandibula, kadang- kadang menyebabkan hipoestesia atau parestesia lidah. Trigeminal Neuralgia dapat disebabkan oleh kompresi neoplasma, malformasi pembuluh darah, ensefalopati,

  41

  siringomielia, trauma atau setelah ekstraksi gigi. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Nasri dkk (2007) pada 66 orang pasien BMS sebanyak 2 orang yaitu

  39 3% mengalami Trigeminal Neuralgia.

  4. Faktor psikogenik Beberapa penelitian dalam literatur psikiatri mengaitkan kecemasan dan depresi dengan simptom BMS. Gangguan kejiwaan dapat dikaitkan dengan lebih dari

  50% kasus BMS. Kecemasan, depresi dan somatisasi merupakan masalah psikologis yang paling umum pada pasien BMS. Pasien dengan BMS memiliki status sosial yang rendah dan tingkat kecemasan yang tinggi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Disamping itu, BMS juga dapat merubah individu secara psikologis dan

  42 mengurangi kualitas hidup pasien.

  2.2.3 Gambaran Klinis dan Klasifikasi Simtom pada BMS adalah timbulnya rasa nyeri, disgeusia dan xerostomia.

  Rasa nyeri, rasa terbakar, panas atau mati rasa merupakan simtom utama dari BMS. Disgeusia terjadi pada hampir 70% kasus dan dapat berbentuk rasa yang menetap di mulut atau perubahan persepsi rasa. Perubahan rasa dapat berupa bisa pahit, metalik, atau campuran. Xerostomia sering ditemukan pada pasien BMS. Menurut penelitian,

  40,44 46-67% pasien BMS memiliki keluhan xerostomia.

  Burning mouth syndrome dibagi dalam 3 jenis berdasarkan variasi gejala.

  BMS Tipe I (35%) memiliki gejala nyeri setiap hari yang tidak muncul pada pagi hari, meningkat sepanjang hari, memuncak pada sore hari. Faktor nonpsikiatrik dihubungkan dengan BMS Tipe I. Tipe II (55%) ditandai dengan nyeri yang konstan disepanjang hari. Faktor ansietas kronik dihubungkan dengan BMS tipe II. Tipe III (10%) nyeri hilang timbul dengan adanya interval bebas nyeri, dan nyeri timbul pada tempat yang tidak lazim seperti mukosa mulut, dasar mulut dan tenggorokan. Faktor

  45,46 alergi pengawet makanan atau makanan dihubungkan dengan BMS Tipe III.

2.2.4 Diagnosis

  Diagnosis BMS dapat dilakukan dengan anamnesis, tinjauan riwayat medis, pemeriksaan rongga mulut dan pemeriksaan penunjang untuk mengidentifikasi sumber BMS. Pada anamnesis ditanyakan mengenai rasa nyeri dan terbakar, durasi rasa nyeri, kapan terjadinya nyeri dan riwayat kesehatan pasien. Pemeriksaan rongga mulut pada pasien BMS tidak ditemukan adanya lesi klinis dalam rongga mulut. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah untuk melihat apakah ada infeksi, defisiensi nutrisi, dan penyakit yang berhubungan dengan BMS seperti DM dan penyakit tiroid, serta tes elergi untuk bahan gigi tiruan, makanan dan elemen lain. Pemeriksaan kandida dengan hapusan juga dapat dilakukan untuk memeriksa kandidiasis oral yang mungkin menyebabkan rasa

  8,29 terbakar.

2.2.5 Penatalaksanaan Edukasi merupakan satu hal yang penting dalam menjaga kesehatan pasien.

  Pada edukasi dijelaskan apakah itu BMS, bagaimana bisa terjadi dan prognosis apabila tidak diobati. Informasi, edukasi dan motivasi perlu diberikan kepada pasien

  47 agar mereka sadar pentingnya menjaga kesehatan.

  Dokter gigi turut memainkan peran penting bersama tim medis lainnya dalam membantu pasien mengontrol kadar gula darah dengan benar dengan mengobati infeksi oral dan menginstruksi pasien supaya rajin sikat gigi dan lebih menjaga kesehatan rongga mulut. Selain itu, pasien diinstruksikan agar menjaga pola makan dengan diet ketat dan mengontrol kadar gula darah sehingga berada pada batas normal atau mendekati normal. Pasien juga diinstruksikan agar tidak merokok dan menghindari faktor resiko yang memperburuk komplikasi vaskular. Pasien juga harus

  48 mengontrol kadar gula darah dan memeriksa kondisi rongga mulut ke dokter gigi.

  Tidak ada satu cara yang pasti untuk mengobati BMS. Pengobatan tergantung pada tanda dan simtom, serta kondisi atau penyakit yang mendasari yang mungkin

  8 menyebabkan BMS. Terdapat beberapa jenis obat yang biasa digunakan dalam pengobatan BMS yaitu klonazepam, lidokain, kapsaikin topikal, doksepin topikal, nortriptilin, amitriptilin, paroksetin, sestralin, amisulprid, levosulprid, gabapentin dan asam alfa

  49

  lipoat. Penggunaan obat-obatan seperti benzodiazepin, antidepresan trisiklik dan antikonvulsan dalam dosis yang rendah dapat membantu mengurangi atau menghilangkan simtom setelah beberapa minggu atau bulan. Obat-obatan ini berpotensi menimbulkan efek samping seperti xerostomia. Konsultasi dengan dokter diperlukan karena obat-obatan ini berpotensi menyebabkan kecanduan dan

  14 ketergantungan.

2.3 Hubungan antara DM dengan BMS

  10 Hubungan antara BMS dengan DM Tipe II masih terdapat perbedaan. Akan

  tetapi menurut beberapa penelitian DM Tipe II memainkan peran dalam terjadinya BMS. BMS pada pasien DM bisa diakibatkan karena berkurangnya produksi saliva.

  Keadaan ini biasanya diikuti dengan gejala rasa haus, lidah terasa kering, keluhan

  11 perih, panas seperti terbakar, dan perubahan pengecapan rasa.

  Diabetes melitus merupakan faktor predisposisi terjadinya oral kandidiasis yang menyebabkan iritasi mukosa sehingga menimbulkan BMS. Selain itu, paparan yang terus-menerus terhadap glukosa dapat menyebabkan deteriorasi ujung saraf. Sirkulasi yang buruk akibat DM menyebabkan menurunnya ambang nyeri dan dapat dengan mudah mengganggu fungsi di ujung cabang v2 atau v3 dari saraf trigeminal

  50 sehingga menimbulkan sensasi terbakar. Pada pasien BMS, beberapa faktor dapat berhubungan secara sinergis. Pada pasien DM tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat menyebabkan simptom yang berhubungan dengan BMS. Pada kondisi ini, perbaikan kontrol glikemik adalah

  14 sangat penting untuk mengurangi gejala yang timbul.

2.4 Kerangka Teori

  Diabetes Melitus Diabetes Diabetes Melitus Tipe

  Melitus Lain

  Diabetes Tipe I

  Gestasional Diabetes Melitus Tipe

  II Manifestasi Manifestasi Klinis

  Manifestasi Oral Polifagia

  Poliuria Polidipsia

  Burning Mouth

  Lesi

  Syndrome

  (BMS) mukosa mulut

  Xerostomia Gangguan

  Kandidiasis Karies pengecapan

  Periodontitis dan gingivitis

2.5 Kerangka Konsep

  Diabetes Melitus Tipe II :  Diabetes Melitus Tipe II terkontrol  Diabetes Melitus Tipe II tidak terkontrol

  Burning Mouth Syndrome

  (BMS) Variabel Tidak Terkendali:

   Lama menderita Diabetes Melitus Tipe II  Jenis Kelamin Oral Hygiene

Dokumen yang terkait

Perbandingan Prediksi Leeway space dengan Menggunakan Analisis Moyers dan Tanaka-Johnston pada Murid Sekolah Dasar Suku Batak di Kota Medan

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Graph - Implementasi Algoritma Floyd Warshall Dalam Menentukan Jarak Terpendek (Medan-Bandara Kuala Namu)

0 0 10

IMPLEMENTASIALGORITMAFLOYD WARSHALL DALAM MENENTUKAN JARAK TERPENDEK (MEDAN - BANDARA KUALA NAMU) SKRIPSI RINI CHAIRANI HARAHAP 121421090

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKEMBANGAN PERUSAHAAN FACTORING (ANJAK PIUTANG) DI INDONESIA A. Sejarah Usaha Anjak Piutang (Factoring) - Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah Mengembalikan Kredit pada BTN Cabang Medan

0 0 11

Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah Mengembalikan Kredit pada BTN Cabang Medan

0 0 8

KAJIAN PUSTAKA Pengertian Dasar dan Arah Kajian Tipologi Linguistik

0 0 11

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI A. Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

0 0 24

Hubungan antara Diabetes Melitus Tipe II dengan Burning Mouth Syndrome di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 7