BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin meningkat dan diikuti oleh

  majunya pemikiran masyarakat dalam usaha perniagaan membuat banyaknya usaha asuransi akhir-akhir semakin berkembang. Hal ini dapat dipahami mengingat meningkatnya laju pembangunan di Indonesia pada berbagai sektor kehidupan dan dapat mengakibatkan peningkatan risiko yang dihadapi. Risiko ini dapat timbul dalam berbagai bentuk, seperti kerusakan alat-alat, terganggunya transportasi, rusaknya proyek hasil pembangunan, kehilangan barang-barang berharga dan lain-lain. Lembaga asuransi atau pertanggungan dalam kondisi tersebut mempunyai fungsi sebagai lembaga yang akan mengalihkan risiko yang mungkin timbul atau dihadapi dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain

  1 (penanggung).

  Sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka semakin banyak pula kemajuan yang dicapai oleh bangsa Indonesia.

  Kemajuan tersebut antara lain berdirinya gedung-gedung yang megah, industri pesawat terbang, peningkatan dunia usaha perbankan, asuransi dan lain-lain. Akan tetapi selain segi positif dan adanya perkembangan tersebut, juga banyak segi negatif yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Kerugian itu antara lain terbakarnya gedung-gedung, jatuhnya pesawat terbang, hilangnya dana 1 Rizqia Gita Astiriani, Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Pengajuan Klaim Suransi

  Terkait Dengan Tindak Pidana Penipuan Di Bidang Asuransi (Studi di Polrestabes Surabaya) , deposan dan lain-lain. Dengan adanya risiko-risiko kerugian tersebut, maka melalui lembaga asuransi dapat dialihkan untuk mengatasinya yaitu dengan

  2 memberikan ganti kerugian apabila risiko itu benar-benar terjadi.

  Perspektif hukum Indonesia, asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang penanggung yang mengikatkan diri pada tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak

  3

  tentu. Hubungan antara risiko dan asuransi merupakan hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dari sisi manajemen risiko, asuransi dianggap sebagai salah satu cara yang terbaik untuk menangani suatu risiko. Setiap orang yang memiliki suatu benda tentu menghadapi suatu risiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang, baik karena hilangnya benda itu maupun karena kerusakan dan sebab lainnya.

  Di samping risiko-risiko kerugian yang dihadapi baik oleh masyarakat maupun pemerintah seperti di atas, juga ada risiko-risiko yang tidak sepenuhnya mempunyai nilai ganti kerugian sesungguhnya. Dalam hal ini misalnya kematian, kecelakaan, hubungan kekeluargaan dan lain-lain. Dalam hal ini juga dapat diatasi melalui lembaga asuransi, sehingga orang atau keluarga tersebut dapat memenuhi kebutuhannya seperti sedia kala. Dalam asuransi jiwa selain bersifat pengalihan risiko juga bersifat menabung. Hal ini karena apabila kematian lebih lama dan 2 Ernest Runtukahu, Tindak Pidana Penggelapan Premi Asuransi serta Penegakan hukumnya , Dosen Fakultas Hukum Universitas Samratulangi, 2013, Vol.I/No.3/Jul-Sep/2012. 3 Khotibul Umam, Memahami & Memilih Produk Asuransi, Yogyakarta: Pustaka Yustisia,

  yang ditentukan dalam penutupan asuransi berarti penanggung akan memberikan sejumlah uang sebagaimana sudah ditetapkan sebelumnya. Tabungan inilah yang dapat disalurkan dalam turut membiayai, pembangunan nasional, di samping sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Seperti dikemukakan oleh bendaharawan keuangan Inggris yang menerangkan “Menabung adalah salah satu alat pencegah yang paling baik terhadap inflasi, dan pertanggungan jiwa dalam hal ini telah membuktikan jasanya yang tak ternilai.

  Pertanggungan itu tidak hanya menciptakan suatu cara menabung yang teratur, tetapi selain daripada itu, yang artinya lebih penting lagi uang yang ditanam dalam pertanggungan jiwa, tidak mudah diambil kembali. Dengan keuntungan ini bagi bangsa, maka jasa-jasa yang semata-mata diberikan oleh pertanggungan jiwa

  4

  kepada individu, dapat berjalan bergandengan.” Tingkat kebutuhan masyarakat terhadap asuransi pada saat ini sangat tinggi. Pada era globalisasi seperti sekarang ini banyak terjadi perkembangan di berbagai aspek kehidupan, yaitu dari segala segi; ekonomi, teknologi, komunikasi, pendidikan, politik, sosial dan budaya. Perkembangan tersebut terjadi karena semakin banyaknya kebutuhan manusia didunia seiring dengan bertambahnya populasi di dunia. Sudah pasti setiap negara akan menncukupi segala kebutuhan masyarakatnya, baik pangan maupun teknologi yang diperlukan masyarakatnya. Dengan jalan saling berhubungan dengan negara-negara lain dengan melakukan perjanjian international. Dalam ruang lingkup yang lebih sempit lagi yakni dalam

4 H. van Barneveld, Pengetahuan Umum Asuransi, terjemahan Noehar Moerasad,

  ruang kehidupan nasional,dimana terjadi adanya peristwa hukum dalam manjalin hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau manusia dengan Negara. Dengan begitu sudah jelas terjadinya suatu peristiwa hukum dalam hal perbuatan hukum di dalam suatu Negara tersebut. Peristiwa hukum yang dimaksud dapat diartikan sebagai suatu perjanjian. Setiap perjanjian harus mempunyai jaminan dalam perwujudan hak dan kewajiban para pihaknya. Oleh karena itu asuransi berperan sebagai bentuk penjaminan atau pertanggungan terhadap ancaman bahaya yang menimbulkan kerugian. Dalam hal perjanjian merupakan syarat mutlak terjadinya peristiwa hukum.

  Kebutuhan terhadap asuransi yang sangat tinggi dalam masyarakat banyak dijumpai perbuatan curang (melawan hukum) dalam perjanjian asuransi.

  Perbuatan-perbuatan tersebut telah memenuhi delik perbuatan pidana. Adapun yang menjadi cakupan tindak pidana di bidang asuransi yaitu meliputi tindak pidana asuransi gelap, tindak pidana penggelapan kekayaan perusahaan asuransi, tindak pidana pemalsuan dokumen asuransi, tindak pidana penggelapan premi asuransi dan tindak pidana penipuan asuransi. Tindak-tindak pidana tersebut merupakan beberapa tindak tertentu yang terdapat dalam KUHP (Kitab Undang- Undang Hukum Pidana), hanya saja objeknyabersifat khusus, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan usaha perasuransian, karena itu lahirlah suatu Undang- undang No. 40 Tahun 2014 tentang usaha perasuransian. Hal-hal terkait dengan usaha perasuransian seperti premi asuransi, kekayaan perusahaan asuransi dan dokumen perusahaan asuransi merupakan hal-hal khusus yang ditambahkan pada tindak pidana umum seperti penggelapan, penipuan, ataupun pemalsuan yang terdapat dalam KUHP. Hal ini berarti undang-undang asuransi selain memuat Hukum Pidana Administratif juga merupakan sebagai Hukum Pidana Khusus.

  Alasan memilih judul tersebut dikarenakan kurangnya peraturan perundang- undangan yang menyangkut penegakan hukum terkait tindak pidana penggelapan asuransi yang dilakukan. Seperti pada Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Terdakwa, Maria Rina Chrissanty Sinaga, Tempat Lahir, Medan Umur/Tgl. Lahir

  29 Tahun / 15 Desember 1983, Jenis Kelamin Perempuan, Kebangsaan Indonesia, Tempat tinggal Jl. Kiwi XVI No. 410 Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang / Jl. Kiwi Raya No. 183 Perumnas Mandala Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang, Agama Kristen Katholik, Pekerjaan, Eks Pegawai BAS BNI Life Medan, Pendidikan SMU.

  Berdasarkan latar belakang di atas maka, tertarik memilih judul Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No.

  1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah

  1. Bagaimana pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana penggelapan asuransi

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.

  Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : a.

  Untuk mengetahui pelaksanaan penyidikan terhadap pengajuan klaim asuransi terkait dengan tindak pidana pengelapan asuransi b.

  Untuk mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana penggelapan premi asuransi dan Analisis kasus putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn

2. Manfaat Penulisan a.

  Manfaat teoritis Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut : 1)

  Memberikan sumbangsih terhadap perkembangan hukum di Indonesia, khususnya mengenaipenerapan hukum materiil dalam tindak pidana penggelapan uang khususnya pada nasabah bank. 2) Menambah bahan referensi bagi penulis dan mahasiswa fakultas hukum dalam menambah pengetahuan tentang ilmu hukum.

  b.

  Manfaat praktis 1)

  Menjadi salah satu bahan pertimbangan bagi pemerintah agar lebih memperhatikan penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam penegakan hukum terhadap kejahatan penggelapan uang di Indonesia khususnya di Medan.

  2) Menjadi salah satu bahan informasi atau masukan bagi proses pembinaan kesadaran hukum bagi masyarakat untuk mencegah terulangnya peristiwa yang serupa.

  D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi.

  Skripsi ini asli ditulis dan diproses melalui pemikiran, referensi dari peraturan-peraturan, buku-buku, kamus hukum, internet, bantuan dari pihak-pihak yang berkompeten dalam bidangnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

  E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

  Pembentukan undang-undang Indonesia telah menggunakan perkataan

  "strafbaar feir' untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai "tindak pidana" di

  Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana) tanpa memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang Sebenarnya dimaksud dengan perkataan "straafbaar teit" tersebut. Perkataan "fier

  itu sendiri dalam

  bahasa Belanda berarti "perbuatan" sedangkan "strafbaar" berarti "dapat dihukum", sehingga secara harfiah perkataan "strafbaar fief ' dapat diterjemahkan

  5

  sebagai "sebagian dari suatu perbuatan yang dapat dihukum" Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, terdiri atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feir yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

  Pengertian tindak pidana dalam KUHP dikenal dengan istilah strafbaar dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik,

  feir

  sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan

  6 pidana.

  Moeljatno merumuskan istilah strafbaar feit menjadi istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

  7 siapa yang melanggar larangan tersebut.

  Berdasarkan uraian di atas, berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh manusia, baik dengan melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan ataupun tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana 5 Lamintang P.A.F, Dasar –Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: CitraAditya,

  1997, hal 181 6 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, 2012, hal 20 7 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008,

2. Tindak Pidana Penggelapan

  Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 Pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun

  8

  atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah." Kejahatan ini dinamakan “Penggelapan Biasa” dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah berada ditangan sipelaku dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya.

  Sebagai contoh penggelapan biasa seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya dan uang hasil penjualannya dihabiskan. Mendekati pengertian bahwa tindak tesebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda tersebut.

  Jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Pasal 372 dan Pasal 374 KUHPidana, antara lain:

8 Aprian,Dony.2013.( http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857185/redirect ).

  a.

  Tindak pidana verduistering yang diatur dalam Pasal 321 Wetboek van

  Strafrecht yang rumusannya ternyata sama dengan rumusan tindak

  pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHPidana merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum suatu benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”.

  Kejah atan ini dinamakan “penggelapan biasa”. Tindak pidana penggelapan (verduistering) dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 372 KUHPidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

  a. Unsur subjektif : dengan sengaja b.

  Unsur objektif : 1) Barangsiapa 2)

  Menguasai secara melawan hukum 3)

  Suatu benda 4)

  Sebagian atau seluruh

5) Berada padanya bukan karena kejahatan.

  Unsur opzettelijke atau dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur subjektif dalam tindak pidana penggelapan yakni unsur yang melekat pada subjek tindak pidana ataupun yang melekat pada diri pelakunya oleh sebab itu unsur yang dengan sendirinya unsur tersebut harus didakwakan terhadap seorang terdakwa yang juga harus dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa.

  b.

  Tindak Pidana “Penggelapan Berat” Tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana, yang rumusan aslinya dalam bahasa Belanda jika diterjemahkan dalam bahasa

  Indonesia yakni: “Penggelapan yang dilakukan oleh orang atas benda yang berada padanya karena hubungan kerja pribadinya atau karena pekerjaannya atau karena mendapat imbalan uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”.

  Tindak pidana penggelapan yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana di dalam doktrin juga disebut sebagai suatu gequlificeerde verduistering atau sebagai suatu penggelapan dengan kualifikasi tindak pidana dengan unsur-unsur yang memberatkan.

  Unsur yang memberatkan sebagaimana dimaksud ialah karena tindak pidana penggelapan telah dilakukan atas benda yang berada pada pelaku: a.

  Karena hubungan kerja pribadinya b.

  Karena pekerjaannya c. Karena mendapat imbalan uang

  Di dalam yuriprudensi tetap pernah disebut sebagai orang yang melakukan penggelapan atas benda yang ada padanya karena hubungan kerja pribadinya itu antara lain anggota-anggota pengurus Perseroan Terbatas (PT). Perlu diketahui bahwa kata-kata personlijke dienstbetrekking ataupun telah diterjemahkan dalam kata-kata hubungan kerja pribadi dan yang secara material artinya hubungan kerja yang timbul karena perjanjian kerja itu oleh para penerjemah Wetboek van

  

Strafrecht dan oleh para Penulis telah diartikan secara berbeda-beda, yakni ada

  9 yang mengartikan sebagai jabatannya atau berhubungan dengan pekerjaannya.

  Jika kata-kata personlijke dienstbetrekking harus diartikan sebagai hubungan kerja pada umumnya, sudah barang tentu pemberian arti seperti itu tidaklah benar karena hubungan kerja dapat saja timbul karena adanya ikatan dinas, dimana seseorang dapat diangkat secara sepihak oleh kekuasaan umum untuk menduduki suatu jabatan tertentu, sedangkan kata-kata hubungan kerja pribadi menujukkan bahwa penunjukan tentang jenis pekerjaan yang perlu dilakukan atau penentuan tentang besarnya imbalan yang akan diterima oleh pihak yang satu itu tidak ditentukan secara sepihak oleh pihak lain, melainkan diperjanjikan didalam suatu perjanjian kerja.

  Kiranya sudah jelas bahwa yang diatur dalam Pasal 374 KUHPidana bukan masalah tindak pidana penggelapan yang dilakukan dalam jabatan seperti yang dimaksudkan diatas, melainkan hanya tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh perilaku dalam fungsi-fungsi tertentu.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan

  Dari rumusan penggelapan tesebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur- unsur objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda (eenig goed), yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan

  10 sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederechtelijk).

  a.

  Unsur Objektif 1.

  Perbuatan memiliki

  (Zicht toe igenen) diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap

  sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 25-2-1958 Nomor 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan zicht toe igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian ini, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu. Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada bedanya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini adalah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan memiliki unsur objektif yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena sekedar dituju oleh unsur kensengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku berupa unsur objektif maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan

10 Dadangsumarnash.blogspot.com/2011/01/tidak-pidana-penggelapan-372.html (diakses

  memiliki misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.

2. Unsur objek kejahatan (sebuah benda)

  Benda yang menjadi objek penggelapan tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan diatas tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud.

  Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, hanya terdapat benda-benda berwujud dan bergerak saja dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.

  Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti penggelapan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas.

  Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan tetapi merupakan pencurian,karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dahulu. Lain dengan isinya untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya. Ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan atau memindahkan gas tersebut.

  3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan milik petindak dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban atau orang tertentu melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri.

  4. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan Ada dua unsur yakni berada dalam kekuasaannya dan bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaaanya seperti yang telah disinggung diatas, suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dahulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan seperti menjual, menghibahkan, menukarnya dan sebagainya tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung). b. Unsur Subjektif 1)

  Unsur kesengajaan Dalam Crimineel Wetboek

  (KUHPidana) dicantumkan: “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukn atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang

  11

  dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang” Rumusan “sengaja” pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana. Akan tetapi adakalanya rumusan “sengaja” telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu “perkataan”, misalnya perkataan “memaksa”.

  2) Unsur Kealpaan, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 359 KUHP Simons menerangkan “kealpaan” bahwa pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan itu. Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati masih mungkin juga terjadi kealpaan jika yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-

  12

  undang 3) Unsur Melawan Hukum

  Dalam bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk berasal dari kata weder = bertentangan dengan atau melawan; recht = hukum jadi

  wederrechtelijk adalah bertentangan dengan hukum atau melawan

11 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1994,

  hal.156

  13

  hukum. . Untuk menjatuhkan suatu pidana, unsur-unsur tindak pidana pada suatu pasal harus dipenuhi. Salah satu unsur yang harus dipenuhi adalah sifat melawan hukum baik secara eksplisit maupun secara implist

  14

  diatur dalam suatu pasal. Ajaran melawan hukum dalam hukum pidana berdasarkan doktrin dibedakan menjadi dua yaitu ajaran sifat melawan hukum formil dan ajaran sifat melawan hukum materiil.

4. Pengertian Asuransi

  Asuransi dalam Bahasa Belanda disebut

  ”Verzekering” atau juga berarti

  pertanggungan. Secara yuridis, pengertian asuransi atau pertanggungan menurut

  Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHDagang) adalah: ”Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena suatu peristiwa yang tak tertentu” Pengertian Asuransi sebagaimana tercantum di dalam Buku Kesatu Bab IX Pasal 246 KUHDagang adalah sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang

13 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.65

  diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.

  H.M.N Purwosutjipto, memberikan definisi atau pengertian asuransi sejumlah uang sebagai berikut : ”Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dimana penutup asuransi mengikatkan diri untuk membayar sejumlah premi, sedangkan penanggung mengikatkan diri untuk membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan pada saat ditutupnya pertanggungan kepada penikmat dan didasarkan

  15 atas hidup dan matinya seseorang yang ditunjuk.

  Pengertian asuransi menurut Pasal 246 KUHDagang semata-mata mendefinisikan mengenai asuransi kerugian, karena secara historis ketentuan- ketentuan dalam KUHDagang kebanyakan diambil dari asuransi laut, yang merupakan asuransi kerugian, di mana pada saat itu (tahun 1847) merupakan asuransi yang paling lengkap peraturannya.

  Pada tanggal 11 Februari 2014 pemerintah mengatur asuransi secara spesifik dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (selanjutnya disebut UU Perasuransian), istilah asuransi menurut

  Pasal 1 angka (1) adalah : Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: a.

  Memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena 15 kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau

  H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. Memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

F. Metode Penelitian

  Untuk memperoleh, mengumpulkan serta menganalisa setiap data maupun informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar skripsi mempunyai susunan yang sistematis dan konsisten, adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu

  16 pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

  2. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah bersifat kualitatif, dengan cara menganalisis bahan hukum secara komprehensif baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang diperoleh selama melakukan penelitian. Selain itu juga dilakukan secara deskriptif yaitu penulis berkeinginan untuk 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan dan teori-teori yang berkaitan dengan

  17 penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi.

3. Sifat penelitian

  Sifat penelitian dari skripsi ini lebih mengarah kepada sifat penelitian

  deskriptif yakni penelitian secara umum termasuk pula di dalamnya penelitian

  ilmu hukum, penelitian deskriptif bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan gambaran secara tepat mengenai penegakan hukum terhadap kasus pengelapan premi asuransi (Analisis Putusan No.

  1952/Pid.B/2013/PN-Mdn). Sifat dalam penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriptif dikarenakan sudah terdapatnya ketentuan peraturan perundang-undangan, literatur maupun jurnal yang cukup memadai mengenai permasalahan yang diangkat.

  4. Data dan sumber data Data maupun sumber data yang digunakan sebagai bahan penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder, antara lain sebagai berikut: a.

  Data Primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan yaitu baik dari responden maupun informan. Data pimer yang digunakan dalam penulisan skripsi ini.

17 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia

  b.

  Data sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1)

  Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari instrument hukum nasional, terdiri dari : a)

  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha

  Perasuransian jo Undang Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

  c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  2) Bahan hukum sekunder dari penelitian ini yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain: pendapat para pakar hukum, karya tulis hukum yang termuat dalam media massa; buku-buku hukum (text book), serta jurnal-jurnal hukum yang membahas mengenai penegakan hukum terhadap kasus penggelapan premi asuransi (analisis putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn).

  3) Bahan hukum tersier yang penulis gunakan berupa kamus hukum dan ensiklopedia.

  5. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan dan teknik wawancara. Studi Dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, karena penelitian hukum selalu berawal dari premis atau pernyataan normatif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai studi kepustakaan dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan peneliti.

  6. Analisis data Dalam penelitian ilmu hukum aspek empiris dikenal dua model analisis yakni, analisis data kualitatif dan analisis data kuantitatif. Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum empiris dengan jenis pendekatan penelitian deskriptif, maka teknis analisis data yang penulis lakukan dalam skripsi ini adalah teknis analisis data kualitatif atau disebut deskriptif kualitatif. Keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara menyusun data secara sistimatis, digolongkan dalam pola dan tema, diketagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

  Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistimatis.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain.

  Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut

  BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGELAPAN ASURANSI Bab ini berisikan tentang Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi, Proses Penyidikan Tindak Pidana Pengelapan Asuransi dan Tindak Pidana Penggelapan Asuransi

  BAB III PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PREMI ASURANSI Bab ini berisikan Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Asuransi, Penegakan Hukum terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi yang terdiri dari Kasus Posisi, Fakta, Dakwaan, Tuntuntan, Putusan Hakim dan Analisis Putusan No.

  1952/Pid.B/2013/PN-Mdn

  BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya guna.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Diversifikasi Fee Based Income Terhadap Profitabilitas (ROA) Pada Bank Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2009-2013

0 0 14

2.1 Bank 2.1.1 Pengertian Bank - Pengaruh Diversifikasi Fee Based Income Terhadap Profitabilitas (ROA) Pada Bank Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2009-2013

0 1 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Diversifikasi Fee Based Income Terhadap Profitabilitas (ROA) Pada Bank Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2009-2013

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Periode Perkembangan Gigi Geligi - Perbandingan Prediksi Leeway space dengan Menggunakan Analisis Moyers dan Tanaka-Johnston pada Murid Sekolah Dasar Suku Batak di Kota Medan

0 1 18

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Graph - Implementasi Algoritma Floyd Warshall Dalam Menentukan Jarak Terpendek (Medan-Bandara Kuala Namu)

0 0 10

IMPLEMENTASIALGORITMAFLOYD WARSHALL DALAM MENENTUKAN JARAK TERPENDEK (MEDAN - BANDARA KUALA NAMU) SKRIPSI RINI CHAIRANI HARAHAP 121421090

0 0 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKEMBANGAN PERUSAHAAN FACTORING (ANJAK PIUTANG) DI INDONESIA A. Sejarah Usaha Anjak Piutang (Factoring) - Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN - Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah Mengembalikan Kredit pada BTN Cabang Medan

0 0 11

Pertanggungjawaban Klien Kepada Perusahaan Factoring Dalam Pengalihan Piutang Pedagang Terhadap Ketidakmampuan Nasabah Mengembalikan Kredit pada BTN Cabang Medan

0 0 8

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP PENGAJUAN KLAIM ASURANSI TERKAIT DENGAN TINDAK PIDANA PENGGELAPAN ASURANSI A. Syarat-syarat Pengajuan Klaim Asuransi - Penegakan Hukum Terhadap Kasus Penggelapan Premi Asuransi (Analisis Putusan No. 1952/Pid.B/2013/PN-Mdn)

0 0 13