Hak Suami dan Isteri dalam Hal Jima

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan hak bagi setiap orang, dalam ajaran islam menganjurkan manusia
untuk menikah. Karena, dalam berbagai literatur hadis maupun literature lainnya, menyebutkan
bahwa menikah merupakan separoh agama, maknanya adalah begitu penting bagi manusia untuk
menikah. Suatu pernikahan pasti memiliki tujuan, dan umumnya tujuan dari pernikaahn tersebut
adalah untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Disamping itu, dalam suatu rumah tangga memiliki aturan khusus agar tujuan dari
pernikahan tersebut dapat terwujud. Islam pun juga mengajarkan, bahwa aturan atau kedudukan
tersebut yaitu adanya hak dan kewajiban, dan itu berlaku bagi seluruh anggota keluarga, baik
suami, istri maupun anak. Adapun persoaln yang masih menjadi ikhtilaf diantara para ulama
adalah masalah jima’. Pada dasarnya, dalil secara eksplisit yang menyebutkan kedudukan suami
dan istri adalah jima’ meruapakn hak bagi seorang istri dan kewajiban bagi seorang istri. namun,
disisi lain muncul pemahaman bahwa adanya unsur ketidakadilan apabila masalah jima’
merupakan hak istri, sedangkan istri hanya memberikan pelayanan atau tempat menyalurkan
syahwat suaminya. padahal, islam tidak pernah mengajarkan penganutnya untuk bersifat
diksriminasi atau bersikap tidak adil. Oleh karena itu, apakah ada hak istri dalam jima’.untuk
mengetahui hal tersebut lebih lanjut dan jelas dapat dilihat dalam makalh ini.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hak suami dalam hal jima’ ?
2. Bagaimanakah hak istri dalam hal jima’ ?
3. Apakah seorang istri boleh menolak ajakan suaminya untuk berjima’ ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui hak seorang suami dalam hal jima’
2. Untuk mengetahui hak seorang istri dalam hal jima’
3. Untuk mengetahui boleh atau tidak seorang menolak suami untuk berjima’

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

1

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jima’
Dalam Bahasa Arab, kata jima’ berarti hubungan seksual, senggama, atau bersetubuh. Kata
jima’ disebut juga dengan al-wath’u seperti yang ditulis dalam kitab mu’jam lughat al-fuqaha
yaitu memasukan zakar kedalam farji. Para ulama Ushul Fiqh selalu mengaitkan kata al-wath’u
atau jima’ dalam konteks nikah. Dengan kata lain, yaitu jima’ antara laki-laki dan wanita yang

dihalalkan ketika sudah menikah atau jima’ yang dilakukan oleh suami dan isteri, bila tidak
demikian maka dihukum zina. 1
B. Hak Suami dalam Jima’
Diantara hak suami yang paling besar yang harus ditunaikan isteri adalah hak suami untuk
menggaulinya. Jika isteri menolak ajakan suami tanpa sebab yang syar’i, berarti ia telah
melakukan dosa besar. Karena, dalam ajaran islam mengajarkan bahwa persoalan jima’ sudah
menjadi hak bagi suami dan kewajibaan bagi istri. Adapun hadis nabi yang berbicara tentang hak
suami dalam masalah jima’.
1. Shahih Bukhari, Kitab Permulaan Penciptaan Makhluq, Bab Penjelasan tentang Malaikat
No. Hadist : 29982

‫سال قَسسا َل َر ُسسو ُل ا‬
‫ضس َي ا‬
َ ‫اُ َع ْنسهُ قَس‬
َ ‫از ٍم ع َْن أَبِي ه َُر ْيس‬
ِ‫ا‬
ِ ‫سرةَ َر‬
ِ ‫َح ادثَنَا ُم َس اد ٌد َح ادثَنَا أَبُو َع َوانَةَ ع َْن ْالَ ْع َم‬
ِ ‫ش ع َْن أَبِي َح‬
‫صلاى ا‬

ْ َ‫اش ِه فَأَب‬
‫ت فَبَاتَ غَضْ بَانَ َعلَ ْيهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َم َلئِ َكةُ َحتاى تُصْ بِ َح‬
َ
ِ ‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلا َم إِ َذا َدعَا ال ار ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َر‬
“Telah bercerita kepada kami Musaddad telah bercerita kepada kami Abu 'Awanah dari Al
A'masy dari Abu Hazim dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu
istrinya menolaknya sehingga dia melalui malam itu dalam keadaan marah, maka malaikat
melaknat istrinya itu hingga shubuh".

1
2

Gus Arifin, Menikah Untuk Bahagia (Jakarta: Quanta, 2013), hlm. 188
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 680

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

2


2. Shahih Muslim, Kitab Nikah, Bab larangan bagi wanita untuk menolak saat diajak
bersetubuh, No. Hadist : 25943

ُ ‫سال َس س ِمع‬
َ‫ْت قَتَسسا َدة‬
َ ‫ار َواللا ْفظُ ِلب ِْن ْال ُمثَناى قَ َال َح ادثَنَا ُم َح ام ُد بْنُ َج ْعفَ ٍر َح ادثَنَا ُش ْعبَةُ قَس‬
ٍ ‫َح ادثَنَا ُم َح ام ُد بْنُ ْال ُمثَناى َوابْنُ بَ اش‬
‫صلاى ا‬
ُ ‫ي َُحد‬
ْ ‫ال إِ َذا بَسسات‬
‫اش‬
َ ‫َت ْال َمسسرْ أَةُ هَسسا ِج َرةً فِ س َر‬
َ َ‫اُ َعلَ ْي ِه َو َسلا َم ق‬
َ ‫ّث ع َْن ُز َرا َرةَ ب ِْن أَوْ فَى ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ ع َْن النابِ ّي‬
‫زَ وْ ِجهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َم َلئِ َكةُ َحتاى تُصْ بِ َح‬
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Ibnu Basysyar “
sedangkan lafazhnya dari Al Mutsanna keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dia berkata; Saya pernah
mendengar Qatadah telah menceritakan dari Zurarah bin Aufa dari Abu Hurairah dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila seorang istri enggan bermalam dengan


".”memisahkan diri dari tempat tidur suaminya, maka Malaikat akan melaknatnya sampai pagi
3. Abu Daud, Kitab Nikah, Bab Hak suami atas isteri, No. Hadist : 18294

‫صسلاى ا‬
ُ‫ا‬
َ ‫سرةَ ع َْن النابِ ّي‬
َ ‫ساز ٍم ع َْن أَبِي ه َُر ْيس‬
ِ ‫اازيّ َحس ادثَنَا َج ِريس ٌر ع َْن ْالَ ْع َم‬
ِ ‫ش ع َْن أَبِي َحس‬
ِ ‫َح ادثَنَا ُم َح ام ُد بْنُ َع ْم ٍرو السر‬
ْ َ‫اش ِه فَأَب‬
‫ت فَلَ ْم تَأْتِ ِه فَبَاتَ غَضْ بَانَ َعلَ ْيهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َم َلئِ َكةُ َحتاى تُصْ بِ َح‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلا َم قَا َل إِ َذا َدعَا ال ار ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َر‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amr Ar Razi, telah menceritakan kepada
kami Jarir, dari Al A'masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, beliau bersabda: "Apabila seorang laki-laki memanggil isterinya ke ranjangnya
(mengajak melakukan hubungan badan), kemudian sang istri menolak dan tidak datang
kepadanya sehingga suaminya melewati malam (tidur) dalam keadaan marah, maka Malaikat
akan melaknatnya hingga pagi."

Menurut Ibn Abu Jamrah, lafal ‫( إِ َذا َدعَا ال ار ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َرا ِش ِه‬Apabila seseorang laki-laki
memanggil istrinya ke tempat tidurnya) secara zhahir kata ”tempat tidur” di sini merupakan
kiasan dari perbuatan jima’. Hal ini didukung pleh sabdanya ‫ الولد للفراش‬yang berarti suami yang
sah, yakni untuk mereka melakukan hubungan intim di tempat tidur. “makna zhahir hadis adalah
pengkhususan laknat kepada mereka yang melakukan hal itu semalaman berdasarkan
perkataannya’hingga subuh’. Seakan-akan rahasianya adalah penekanan bagi hal itu di waktu
3
4

Muhammad Fuad Abdul Baqi, Shahih Muslim. Jilid 2 (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2010), hlm. 761
A. Syinqithy Djamaluddin, Sunan Abu Daud. jilid 3 (Semarang: CV. Asy-syifa, 1992), hlm. 60

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

3

malam dan kuatnya dorongan kepadanya. Namun, tidak berarti istri boleh menolak di siang hari.
Hanya saja malam disebutkan secara khusus., karena ia merupakan waktu dimana banyak terjadi
perbuatan tersebut.5
‫( لَ َعنَ ْتهَا ْال َم َلئِ َكةُ َحتاى تُصْ بِ َح‬Malaikat melaknatnya sampai subuh). Dalam hadis ini dikatakan

bahwa malaikat mendoakan kecelakaan bagi pelaku maksiat selama mereka berada dalam
kemaksiatannya. Ini menunjukan mereka juga mendoakan kebaikan bagi pelaku ketaatan selama
mereka berada dalam ketaatan. Demikian dikatakan Al-Muhallab, namun juga perlu ditinjau
kembali. Ibn Abi Jamrah berkata, “apakah malaikat yang melaknatnya adalah para pemelihara
atau selain mereka? Ada dua kemungkinan. “saya berakata, kemungkinan ada sebagian malaikat
yang ditugaskan khusus untuk itu. Kemungkinan ini diindikasikan pernyataan umum dalam
riwayat Muslim, yaitu kalimat, “yang berada di langit”, jika yang dimaksudkan adalah
penghuninya.6
Imam Nawawi ra berkata, “ini adalah dalil diharamkannya isteri menolak saat diajak
melakukan hubungan intim tanpa alasan syar’i, dan haid bukanlah alasan untuk menolak, sebab
suami tetap berhak menikmati tubuh isterinya di bagian selain kemaluan.” Selain itu, hadis
tersebut juga bermakna bahwa laknat akan jatuh kepadanya sampai maksiatnya hilang dengan
datangnya pagi. Untuk menghapuskan laknat itu, ia harus bertobat dan mau diajak melakukan
hubungan intim kembali”7. Hak besar dapat merusak rumah tangga, bahkan tak jarang wanita
bisa menjadi penyebab suami kabur dari rumah dan terjerumus ke lembah nista yang penuh dosa.
Jika seorang lelaki berhasrat terhadap seorang wanita di luar, ia akan pulang ke rumah
menjumpai isterinya. Apabila ia telah menggauli isterinya, lenyaplah segala keinginan yang ada
dalam hatinya terhadap wanita lain itu, sebab apa yang ada pada diri wanita lain itu juga ada
pada isterinya. Sebaliknya, jika isteri menolak maka hasratnya akan makin menggebu.
Dengan demikian, persoalan jima’ merupakan suatu hal yang sangat penting untuk

diapahami oleh seorang istri dalam menjalankan kewajibannya, serta menekankan sikap ketaatan
total seorang istri kepada suaminya. Hal ini menunjukan bahwa kewajiban istri yang hakiki
adalah selalu berupaya membahagiakan hati suaminya dengan tidak menolak bila dibutuhkan
kapan saja oleh suaminya.8 Sehingga, pentingnya jima’ dalam hubungan suami dan istri, para
ualam berbeda pendapat.
5

Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari. jilid 25 (Jakarta: pustaka azzam, 2007),hlm
Ibn Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari. jilid 25 (Jakarta: pustaka azzam, 2007),hlm.
7
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Perkawinan Idaman (Jakarta: Qisthi Press, 2011), hlm.74
8
Muhammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2001), hlm. 210
6

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

4

Menurut Syafi’I dan Hanbali, seorang istri tidak wajib melakukan pekerjaan yang

berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, juga tidak perlu mengurusinya, karena
yang benar-benar menjadi kewajiban bagi seorang sitri adalah memberikan pelayanan dan servis
yang bagus kepada suaminya. Jadi, seorang istri itu tidak wajib memasak nasi, air, mencucui
pakaian, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Demikian juga, tidak wajib pergi ke sawah,
belanja ke pasar dan sebagainya.
Tetapi, menurut Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Abu Ishak al-Juzjani, bahwa seorang
istri harus punya peran dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang berkaitan dengan
keperluan sehari-hari rumah tangganya. Ini berlandaskan kepada kisah ‘Ali bin Abi Thalib dan
Siti Fatimah ketika mengadu permasalahn rumah tanggannya kepada Rasulullah saw. Kemudian
beliau memutuskan, bahwa Siti Fatimah bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang berkaitan
dengan urusan rumah tangga, sedangkan ‘Ali bin Abu Thalib bertanggung jawab terhadap
pekerjaan diluar rumah tangga, yaitu mencari nafkah untuk kelangsungan dan kesempurnaan
rumah tangga yang didirikan bersama. Ini yang menjadi perbedaan dengan pendapat Syafi’I dan
Hanbali, bahwa peran seorang istri yang berkaitan dengan pekerjaan urusan rumah tangga bukan
merupakan kewajiaban dan tanggung jawabnya, tetapi hanya merupakan tradisi yang erlaku pada
suatu negeri tertentu, yang berkaiatan dengan sopansantun dan tata cara pergaulan yang biasa
dilakukan oleh suami istri untuk saling tolong-menolong dan bantu membantu dalam urusan
rumah tangga.9
Mengenai hal tersebut, dalam kitab Syarah Riyadhus Shalihin Imam Nawawi karya Dr.
Musthafa Dib al-Bugha menyebutkan bahwa, inti sari dari hadis tersebut adalah tentang

kewajiban seorang isteri mematuhi suaminya apabila ia membutuhkannya kalau tidak ada udzur.
Penolakan isteri terhadap ajakan suaminya termasuk dosa besar yang dapat menjauhkannya dari
rahmat Allah swt. serta penolakn isteri terhadap ajakan suaminya terkadang dapat menyebabkan
suami terjerumus ke dalam maksiat.10

C. Hak Istri dalam Jima’

9

Muhammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan (Yogyakarta: Darussalam, 2001), hlm. 211
Dr. Musthafa Dib Al-Bugha, Syarah Riyadhush Shalihin Imam An-Nawawi (Jakarta: Gema Insani, 2012), hlm.
301-302
10

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

5

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masalah jima’ pada umumnya
merupakan salah satu kajian hukum keluarga tentang hak suami dan istri, yang mana, jima’

meruapakan hak bagi suami dan kewajiban bagi istri. Hal ini secara tidak langsung memberikan
pemahan bahwa kedudukan istri bagi suami dalam masalah jima’ merupakan tempat bagi suami
untuk menyalurkan hawa nafsunya dan tempat untuk mendapatkan kenikmatan secara individual,
tanpa memikirkan pihak istri, apakah ia juga mendapatkan hal yang sama atau tidak. Sehingga,
ini akan menimbulkan kesalah pahaman dan unsur ketidakadilan antara suami dan istri. Padahal,
dalam masalah jima’ ini walaupun secara eksplisit merupakan hak suami dan kewajiban istri,
bukan berarti istri tidak memiliki hak terhadap hal tersebut. Rasulullah saw. bersabda:

‫أَ َل إِ ان لَ ُك ْم َعلَى نِ َسائِ ُك ْم َحقًّا َولِنِ َسائِ ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم َحقًّا‬
“Ketahuilah, sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri kalian, dan isteri kalian juga
mempunyai hak atas kalian” (H.R Tirmidzi, Kitab Penyusuan, Bab Hak istri atas suami, No.
Hadist : 1083)
Juga terdapat dalam Firman Allah Swt.,
      
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf” (al-Baqarah:228)
Imam al-Qurthubi menafsrikan bahwa istri memiliki hak yang serupa dengan hak yang
dimiliki oleh para suami, begitu juga dengan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan
keduanya. Karena ayat inilah Ibn Abbas pernah mengatakan : aku selalu menghias diri (terlihat
rapi untuk istriku, sebagaimana ia juga selalu menghias dirinya untukku. Karena aku sangat
senang untuk menerima hakku atasnya, maka begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, aku akan
selalu melakukan semua kewajibanku atasnya, agar istriku pun dapat berbuat yang sama, yakni
menghias diri dengan sesuatu yang tidak diharamkan dan tidak berlebih-lebihan.11
Disamping itu, at-Thabari juga menafsirkan ayat ini yaitu mereka berhak tidak disakiti
sebagaimana mereka juga berkewajban tidak menyakiti. Ibn Zaid juga menafsirkan yaitu
hendaknya mereka bertakwa kepada Allah atas apa yang mereka lakukan kepada sumai-suami
mereka, sebagaimana suami-suami mereka juga berkewajiban memperlakukan istrinya atas dasar
ketakwaan kepada Allah swt. 12

11
12

Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 271
Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 271

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

6

Dengan demikian, persoalan jima’ bukanlah semata-mata merupakan kewajiban bagi istri
untuk melayani suaminya, akan tetapi ia juga memiliki hak yang sama dengan suaminya. Oleh
sebab itu, menurut penulis ada beberapa hal yang menjadi hak istri dalam masalah jima’.
1. Menggaulinya dengan cara yang baik serta memberikan kepuasan yang sama
Allah swt. memerintahkan untuk menjaga hubungan yang baik antara pasangan suami
dan istri. Suami harus mempergauli istrinya dengan baik dan penuh kelembutan,
menyanyanginya, dan menjauhkan penderitaan darinya. Hukum suami tersebut adalah, wajib.
Allah swt. berfirman dalam Surat an-Nisa’ ayat 19 :
   
“Dan bergaulah dengan mereka secara patut,”
Ayat di atas menyatakan “Dan bergaullah dengan mereka secara patut” ini bermakna
gunakankanlah tutur kata yang baik kepada istri dan baguskanlah perliaku dan tindakanmu
terhadap istri sesuai dengan kemampuanmu. Pendapat ini diperkuat dengan sabda Rasulullah
saw. “Orang yang paling baik diantara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.
Aku adalah orang yang paling baik diantara kamu terhadap keluargaku.”
Diantara akhlak Rasulullah saw. adalah beliau bergaul dengan baik, bermuka manis,
mencumbui istrinya, bersikap lembut terhadap mereka bahkan beliau pernah mengalah dalam
balap lari guna menyenangkan Aisyah. Setiap malam, beliau mengumpulkan seluruh istrinya di
rumah istri yang menjadi giliran beliau untuk menginap. Kadang-kadang beliau makan malam
bersama mereka. Kemudian para istrinya itu kembali ke rumahnya masing-masing. Apabila
beliau telah shalat isya dan masuk rumah, maka sebelum tidur beliau mengajak istri untuk
mengobrol guna menyenangkan mereka.13 Pendapat ini diperkuar dalam Surat al-Ahdzab ayat
21, ‘Sesungguhnya pada diri Rasulullah benar-benar terdapat suri tauladan yang baik bagimu.”
Selaian itu, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an tentang keseimbangan hak antara
suami dan istri, dimana kepuasan yang diperoleh dalam jima’ bukan hanya milik oleh suami saja,
akan tetapi istri juga memiliki hak untuk mendapatkan hal tersebut. Hal ini menurut Ibn
Qudamah dalam bukunya al-mughni menyebutkan bahwa para suami perlu mengetahui
mengamalkan perkataan dari Umar bin Abdul Aziz
‫ل تواقعها إل وقد أتاها من الشهوة مثل ما أتا لكيل تسبقها بالفراغ‬
13

Muhammad Nasin ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 1 (Jakarta: Gema Insani,
2011), hlm. 509.

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

7

”Janganlah kamu menjima’ istrimu, kecuali dia (istrimu) telah mendapatkan syahwat seperti
yang engkau dapatkan, supaya engkau tidak mendahului dia menyelesaikan jima’nya
(maksudnya engkau mendapatkan kenikmatan sedangkan istrimu tidak).”14
2. Mengajak Suami Berjima’
Dalam hadis tentang larangan istri menolak ajakan suami berjima’ menjelaskan bahwa
jima’ merupakan hak suami dan kewajiban istri, karena itu kapanpun dan dimanapun istri harus
melayani suaminya, apabila istri menolak maka ia akan rugi dan celaka baik di dunia dan di
akhirat. Di dunia akan dilaknat dan di akhirat ia akan di seret ke neraka bersama dengan setansetan yang menghinakan15. Namun, golongan-golongan yang mengatasnamakan keadilan
mengatakan bahwa ini merupakan bias gender dan diskriminasi terhadap perempuan, lalu mereka
mengatakan bagaimana jika seorang istri mengajak jima’ dan suami menolak, apakah hukuman
akan sama dengan penolakan istri terhadap ajakan suami ?
Untuk memahami persoalan ini, perlu merujuk kembali kepada dalil al-Qur’an dan Hadis
Nabi yang menjelaskan bahwa antara suami dan istri memiliki hak yang sama, dan untuk
mendapatkan jawaban dalam masalah ini dapat menggunakan kaidah ushul fiqh tentang
“Dalalah ad-Dalalah,” yaitu petunjuk lafal bahwa hukum yang ada pada teks itu berlaku juga
pada sesuatu yang tidak disebutkan dalam teks, karena ada kesamaan ‘illah yang dipahami dari
konteks bahasa.16
Berdasarkan kaidah ushul al-fiqh Dalalah ad-Dalalah tersebut ketika memahami teks
yang ada dalam hadits tentang laknat malaikat pada istri yang tidak mau melayani kemauan
suami untuk berhubungan seksual, disisi lain apabila menggunakan teori hukum Islam Dalalah
ad-Dalalah, maka laknat malaikat juga akan berlaku pada suami yang yang menolak tanpa
alasan yang syar’i.17
Persoalan ini, Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam memahami kewajiban suami
untuk menggauli istrinya. Mazhab Maliki berpendapat, persetubuhan wajib dilakukan oleh suami
kepada istrinya jika tidak ada halangan. Mazhab Syafi’I berpendapat, persetubuhan hanya
diwajibkan sekali saja karena ini adalah hak milik suami. Karena yang mengajak kepada
14

Ibn Qudamah, Al-Mughni (Beirut: Darul Fikr, tt), hlm. 136
Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas ? Kajian Hadits-Hadits “Misoginis” (Yogyakarta: elSAQ Press, 2008),
hlm. 218
16
Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri al-Islami (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1964), hlm 240.
17
Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas ? Kajian Hadits-Hadits “Misoginis” (Yogyakarta: elSAQ Press, 2008),
hlm. 221.
15

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

8

persetubuhan adalah nafsu syahwat dan rasa cinta. Oleh karena itu tidak mungkin diwajibkan.
Sedangkan madzhab Hambali berpendapat, suami wajib menggauli istrinya dalam setiap empat
bulan sekali, jika tidak ada halangan.18
Ibnu Qudamah: “Berhubungan seks wajib bagi suami jika tidak ada udzur”. Maksud dari
Ibnu Qudamah tersebut adalah bahwasanya wajib bagi suami untuk memuaskan istrinya karena
ini hak istri atas suami. Sebagaimana diketahui bahwa wanita teramat tersiksa bilamana hak ini
(hubungan badan) tidak terpenuhi karena pada umumnya fitrah wanita sangat besar nafsunya.
Oleh sebab itu, wajib yang dimaksud dalam persoalan ini adalah wajib disini adalah
apabila perkara ini tidak ditunaikan maka akan mendatangkan dosa atas pelanggaran syara’
dalam hak dan kewajiban dalam pernikahan. Dan hendaknya seorang istri menuntut haknya dan
suami menuruti tuntutan istrinya atas haknya dan menjalankan kewajibanya selaku suami.
3. Hak Istri Menolak untuk Berjima’
Melayani kemauan suami untuk berjima’ merupakan kewajiban bagi seorang istri, jika ia
menolak maka ia akan berdosa, akan tetapi, seorang istri dapat menolak ajakan suami selama itu
merupakan alasan yang syar’i. banyak ulama menyarankan untuk tidak memahami hadis secara
harfiah.
Menurut Syeikh Sa’ad Yusuf Abdul Aziz dalam Shahih Washaya ar-Rasul lin Nisa,
seorang istri boleh saja menolak ajakan suaminya berhubungan badan sepanjang hal itu
merupakan udzur syar’i atau sesuatu yang dibolehkan agama. Musatafa Muhammad ‘Imarah
mengatakan bahwa laknat malaikat hanya terjadi jika penolakan istri dilakukan dengan tanpa
alasan. Dan Wahbah az-Zuhaili juga mengatakan bahwa laknat dalam hadis terebut harus diberi
catatan, yaitu selagi istri longgar dan tidak dalam ketakutan.19
Oleh sebab itu, menurut penulis ada beberapa keadaan yang membolehkan istri untuk
menolak ajakan suami untuk berjima’
a. Dalam Keadaan Haid
Jima’ dalam kondisi istri sedang haid hukumnya adalah haram. Karena, Islam melarang
telah suami untuk melakukan hubungan badan dengan istri dalam keadaan haid, hal ini seperti
yang terdapat dalam firman Allah swt.

18

Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 297.
.Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas ? Kajian Hadits-Hadits “Misoginis” (Yogyakarta: elSAQ Press, 2008),
hlm. 219
19

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

9

            
 
Mereka bertanya kepadamu tentang hadh, kataakanlah: “ haidh itu adalah suatu kotoran “.
Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.. (QS. Al-Baqarah :222)
Rasulullah saw bersabda:

‫اصْ نَعُوا ُك ال َش ْي ٍء إِ ال النّ َكا َح‬
“perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah (bersenggama)”(H.R Muslim, kitab haid, bab
bolehnya wanita haid membasuh kepala suami, menyisir dan menggunakan sisa bekas airnya,
No. Hadis 445)
Ahli tafsir menyebutkan sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang di riwayatkan Imam
Ahmad dari Anas bahwa Yahudi ketika seorang wanita di antara mereka menstruasi tidak boleh
makan bersama mereka dan tidak boleh berkumpul dalam rumah, sahabat bertanya kepada Nabi
saw., turunlah ayat tersebut. Beliau bersabda sesuai dengan hadis diatas yaitu:“Buatlah segala
sesuatu kecuali nikah”.
As-Syaukani rahimahullah berkata, “Tak ada pertentangan di antara ulama dalam hal
keharamman mendatangi wanita tengah haid. Ini termasuk hal yang sudah mutlak dalam agama
dan tak bisa disanggu gugat (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah)20
Sudah sangat jelas pengharaman menggauli istri yang sedang haid, dan para ulama fiqih
menyepakati atas haramnya menggauli yang sedang haid, karena hal ini memiliki dampak buruk
yang besar sekali, begitupun juga dari aspek medis, para dokter umumnya menyatakan bahwa
menggauli istri yang sedang haid, akan mendatangkan bahaya buruk bagi kesehatan, baik wanita
maupun pria. Perbuatan ini dapat mendatangkan kemandulan bagi suami, karena masuknya
partikel-partikel haid yang membawa kuman-kuman yang sangat berbahaya kepada suami, atau
paling tidak sekurangnya dia akan mendatangkan infeksi berbahaya pada kedua biji pelir. Hal itu
juga akan mengakibatkan infeksi berbahaya bagi sang istri, di sebabkan masuknya kuman-kuman
menuju kedalam vagina, sehingga pada akhirnya mengakibatkan infeksi dalam melahirkan serta
menyebabkan kemandulan pada wanita.” Disamping itu, mereka menyarankan, untuk menjauhi
istri dalam masa itu, sampai dia bersih dan bersuci setelah darahnya berhenti. Tidak di bolehkan
20

Syaikh Mahmud Al-Mashri. Bekal Pernikahan (Jakarta: Qisthi Press, 2012), hlm. 406

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

10

menggauli istri sebelum bersuci dari haid sampai haid itu harus benar-benar berhenti, kemudian
dia bersuci dengan mandi wajib.21
b. Dalam Keadaan Sakit
Dalam kondisi sakit, seorang istri boleh menolak ajakan suami untuk jima’. Karena,
seandainya seorang istri memaksakan keinginannya untuk melayani suaminya, maka akan dapat
menimbulkan kemudharan bagi dirinya. Rasulullah saw bersabda:

‫ض َرار‬
َ ‫َل‬
ِ ‫ض َر َر َو َل‬
"Tidak boleh membahayakan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.
( H.R Ahmad. Kitab musnad bani hasyim, bab awal musnad Abdullah bin abbas, No. Hadis
2719)
Inilah yang menjadi sandaran bagi beberapa para ulama, bahwa seorang istri yang
sedang sakit boleh menolak ajakan suami untuk berjima’, demi menghindari kemudharatan atau
bahaya bagi istri.
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin pernah ditanya, “Apakah seseorang wanita
berdosa jika menolak ajakan suaminya untuk berhubungan intim karena ada kondisi psikologi
tertentu yang tengah melandanya, atau karena penyakit yang ia derita ?” Beliau menjawab,
“Seseorang wanita wajib memenuhi ajakan suaminya untuk berhubungan intim. Namun, jika ia
menderita sakit yang tidak memungkinkan untuk berjima’, atau gangguan psikologi, dalam
kondisi ini suami tidak bolek melaksanakannya, sesuai dengan hadis diatas “tidak ada bahaya
dan tidak ada yang dibahayakan”. Dan ia boleh menahan diri atau menikmati istrinya dengan
cara yang baik yang tidak menimbulkan bahaya baginya. 22
Selain itu, al-Syirazi juga mengatakan, meskipun pada dasarnya istri wajib melayani
permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya ia boleh
menawarnya atau menangguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi istri yang sedang sakit atau
tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya
hilang. Jika suami tetap memaksa pada hakikatnya ia telah melanggar prinsip mu’asyarah bil
ma’ruf, dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi. 23
21

Adil Fathi Abdullah, Ketiaka Suami Istri Hidup Bermasalah (Jakarta: Gema insani, 2005), hlm. 30
Syaikh Mahmud Al-Mashri, Perkawinan Idaman (Jakarta: Qisthi Press, 2011), hlm. 75
23
Dr. Tutik Hamidah, Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), hlm. 109
22

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

11

Dari Fatawa al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan seorang istri wajib memenuhi
ajakan suaminya bila ia mengajak berhubungan badan. Tapi jika si istri sedang sakit tubuhnya
yang menyebabkannya tidak mampu melayani suaminya atau karena menderita penyakit batin,
maka dalam kondisi seperti ini suami tidak boleh memintanya, berdasarkan sabda Nabi saw.,
“Tidaklah boleh membahayakannya (diri sendiri) dan tidak boleh menimbulkan bahaya (bagi
orang lain).” Hendaknya ia menahan diri dan cukup dengan cara yang tidak menimbulkan
bahaya.24
c. Dalam Keadaan Hamil
Dari berbagai literatur yang penulis temukan, tidak adanya dalil yang menjelaskan
larangan bagi suami menggauli istri dalam keadaan hamil. Sehingga, para ulama memiliki
perbedaan pendapat dalam hal tersebut, ada yang melarang dan ada juga yang membolehkan.
1. Yang Melarang
Menurut fatwa Syaikh Ibn Utsaimin dalam buku fatwa ulama mengatakan jika hal itu bisa
membahayakan dirinya atau janinnya maka hal itu dilarang bagi suami untuk melakukan sesuatu
yang membahayakan istrinya. Kemudian, jika dalam kondisi tidak membahayakan, hanya saja
sangat memberatkan istrinya maka yang lebih baik adalah tidak melakukan hubungan intim.
Karena tidak melakukan sesuatu yang memberatkan sang istri, merupakan bentuk pergaulan
yang baik kepada istri. dan ini sesuai dengan firman Allah swt tentang mu’asyarah bil ma’ruf.
Akan tetapi, terdapat hadis yang menyebutkan larangan menggauli wanita hamil.

‫َض َع‬
َ ‫َل تُوطَأ ُ َحا ِم ٌل َحتاى ت‬
“wanita hamil tidak boleh digauli hingga melahirkan”(H.R Abu Daud, Kitab Nikah, Bab
Mensetubuhi tawanan wanita, No. Hadist 1843)
Yang dimaksud dari hadis ini adalah seperti yang dijelaskan dalam Musnad ar-Rabi’ bin
Habib yaitu wanita hamil pada hadis ini bukan istri, tapi wanita tawanan perang atau budak yang
hamil dari suami pertama.
2. Yang Membolehkan
Pada dasarnya tidak aada dalil dalam al-qur’an maupun hadis yang menyebutkan
larangan menggauli istri saat hamil. Dalam kaidah ushul fiqh hal ini termasuk kedalam perkara
mubah (boleh)
24

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa-Fatwa Terkini (Jakarta: Darul Haq, 2003), hlm. 527

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

12

‫الصأل في الشأياء البإاحة‬
“hukum asal urusan dunia adalah mubah/boleh”
Menurut Syaikh Khatib asy-Syarbaini dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj menyebutkan
"Disunnahkan agar tidak meninggalkan senggama disaat pulang dari bepergian dan tidak haram
bersenggama disaat istri hamil dan menyusui”,Dalam Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah (komite
Fatwa di Saudi) dijelaskan:

‫وإن كان القصد وطء الزوج لزوجته الحامل فل بأس ب؛للنأ لن ا لم يحرم وطء الزوجة إل في حالة الحيض‬
.‫أو النفاس أو الحرام‬
“Adapun jika yang dimaksudkan adalah seorang suami menyetubuhi istrinya yang hamil, maka
tidak mengapa/boleh. Karena Allah tidaklah melarang mencampuri istri kecuali pada masa
haidh, nifas dan ihram.”25
Kalau dilihat dari susut pandang ilmu medis,

Menurut ahli andrologi dan

seksologi, Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, hubungan seksual selama hamil
tetap boleh dilakukan. “Tapi, pada tiga bulan pertama kehamilan, sebaiknya
frekuensi hubungan seksual tak dilakukan sesering seperti biasanya,” ujar
peneliti di bidang reproduksi dan seksualitas manusia ini. Pasalnya, jika
hubungan

seksual

dipaksakan

pada

masa

tiga

bulan

pertama

usia

kehamilan, dikhawatirkan bisa terjadi keguguran spontan.
Disamping itu, berdasarkan informasi yang penulis kutip dari sriwijaya
post online menyebutkan manfaat atau keuntungan melakukan hubungan
intim

saat

hamil

yaitunya:

menhilangkan

stress,

mengurangi

nyeri,

meningkatkan kekebalan tubuh, membakar kalori, meningkatkan kesehatan
jantung,

meningkatkan

rasa

percaya

diri,

mempererat

hubungan,

meningkatkan kualitas tidur, mengurangi risiko kanker prostat, memperkuat
otot panggul.
Dengan demikian, menurut penulis, walaupun tidak adanya dalil yang menjelaskan tentang
larangan maupun membolehkan suami menggauli istrinya dalam keadaan hamil, perlunya
melihat dari sisi medis, dengan cara melakukan konsultasi dengan dokter atau orang yang ahli
dalam persoalan tersebut, apakah berjima’ dengan istri hamil berdampak buruk atau tidak.
25

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah, Fatwa no. 16591

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

13

D. Analisis Masalah
Pada umunya, persoalan jima’ merupakan hak bagi seorang suami dan kewajiban bagi
istri. dalam beberapa dalil menunjukan bahwa apabila seorang suami mengajak istrinya untuk
berjima’ maka seorang istri harus melayaninya, kalau ia menolak maka ia akan dilaknat di dunia
dan di akhirat. Sehingga, pemahaman seperti ini yang dapat menimbulkan kontroversi diantara
para ulama maupun cendikiwan, khsusunya bagi mereka yang berasal dari gerakan tokoh-tokoh
perempuan yang mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dan diskriminasi bagi perempuan.
Dalam menanggapi masalah ini, penulis lebih cenderung memahami dengan
mengedepankan sikap adil, yaitu adanya persamaan hak antara suami dan istri, walaupun secara
eksplisit dalil yang menunjukan bahwa masalah jima’ merupakan hak suami dan kewajiban istri.
Namun, hal itu bukan berarti istri hanya berkewajiban untuk melayani suaminya tanpa
memperoleh hak dari kewajiban tersebut. Padahal, dalam sumber ajaran islam telah
menyebutkan adanya kesamaan hak antara suami dan istri, seperti dalam Al-Qur’an surat albaqarah ayat 228 tentang keseimbangan hak bagi perempuan. Serta hadis nabi yang juga
menyebutkan hal yang sama. Dan adapun hak istri dalam jima’ seperti menggaulinya (istri)
dengan cara yang ma’ruf dan hak untuk menolak ajakan dengan udzur yang syar’i. dan tidak
menutup kemungkinan juga, seorang istri juga memiliki hak mengajak suaminya untuk berjima’.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan makalah diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa persoalan jima’
meruapakan salah satu tujuan dari pernikahan, tidak hanya menambah keturunan akan tetapi
Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

14

saling memberikan kenikmatan bathin antara suami dan istri. akan tetapi masalah jima’ masih
menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kedudukan suami dan istri dalam masalah
jima’ ini. Umunya, masalah jima’ merupakan hak seorang suami dan kewajiban bagi istri.
Sehingga, pemahaman seperti ini banyak menimbulkan kontroversi, khususnya bagi mereka
yang berasal dari golongan feminis, sebab adanya unsur ketidakadilan serta bias gender. Seolaholah kedudukan istri dalam masalah ini hanya menjadi kewajiban untuk melayani suami tanpa
adanya timbal balik dari kewajiban yang ia lakukan yaitu berupa hak yang dapat diperoleh. Oleh
karena itu, hal ini yang masih menjadi perdebatan bagi para ulama. Padahal, dalam berbagai dalil
yang ada secara implisit mengandung bahwa persoalan jima’ bukan hanya menjadi hak suami
dan kewajiban istri akan tetapi juga merupakan kewajiban suami dan hak bagi istri. Sebab, jima’
adanya unsur yang sama antara suami dan istri, yang mana suami memiliki hak dan istri juga
memiliki hak.
B. Saran
Penulis merasa, makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, demi
kesempurnaan makalah ini penulis mengaharapkan kritikan dan saran dari pembaca yang
mendukung kesempurnaan makalah ini kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Waminuddin, Ringkasan Shahih Bukhori Jilid 3. Jakarta: Pustaka
Azzam, 2013.
Al-Mashri, Syaikh Mahmud, Perkawinan Idaman. Jakarta: Qisthi Press, 2010.
Arifin, Gus, Menikah untuk Bahagia. Jakarta: Quanta, 2013.
Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

15

As-Subki, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga (Pedoman berkeluarga dalam Islam). Jakarta:
Pustaka Amzah. 2010.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta:
Amzah, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani, 2010.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Shahih Muslim Jilid 2. Jakarta: As-Sunnah, 2010.
Djamluddin, Bey Arifin Asy-Syingity, Sunan Abu Daud jilid 3. Semarang. CV. AsySyifa’, 1992.
Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dialog Fiqih
Pemberdayaan. Bandung: Mizan, 1997.

Hak Suami dan Istri dalam Hal jima’

16