MAKALAH MATA KULIAH KOMUNIKASI POLITIK

Perilaku dan Gaya Komunikasi Politik Suharto
Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Komunikasi Politik

Disusun Oleh:
1. Amirudin Masbait
2. Anita Deki
3. Atmojo Laogu
4. Zulfikhar

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA
2016

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Memasuki usia 71 tahun sejak negeri ini merdeka, telah tujuh orang presiden bergonta-ganti

menjalankan rezimnya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari zaman
Sukarno hingga Joko Widodo yang saat ini memimpin, telah banyak perubahan yang terjadi.
Di bidang politik, Indonesia telah sungguh-sungguh mempraktikkan sistem demokrasi sebagai
sistem politiknya menyusul lengsernya Suharto pada 1998 silam. Kendati, dalam perjalanannya
masih banyak persoalan yang perlu dibenahi. Terutama, usaha untuk mengakhiri model
demokrasi prosedural. Yakni pemahaman terhadap demokrasi sejauh pada ukuran ketertiban
mekanisme yang dijalankan. Bukan pada kualitas mekanisme itu sendiri (baca: demokrasi
substansial) sehingga berimbas pada kemunculan banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang
sejatinya belum memiliki integritas yang memadai.
Selain itu, situasi politik di negara kita saat ini tengah di bayang-bayangi kekuatan-kekuatan
non-negara yang berupaya melemahkan kedaulatan politik negara. Betapa kita menyaksikan
ketidakberdayaan pemerintah kita dalam menghadapi kekuatan perusahaan-perusahaan
multinasional yang mengeksploitasi sumber daya alam kita. Misalnya, kasus PT. Freeport
beberapa waktu lalu yang hendak mempengaruhi pemerintah kita untuk memperpanjang kontrak
perusahaan asal Amerika itu sebelum waktunya (baca: 2019). Juga yang sedang ramai sekarang
adalah kasus reklamasi teluk Jakarta oleh perusahaan real estate yang berkepentingan dengan
pemerintah dan DPRD DKI Jakarta.
Kedaulatan politik kita juga terancam dengan adanya peristiwa teror bom di ibu kota beberapa
bulan silam. Penyerangan mendadak yang digerakkan oleh kelompok teroris Santoso yang
bersembunyi di belantara Poso, Sulawesi Tengah. Teror yang sama juga datang tiada hentihentinya dari kelompok separatis yang berusaha melemahkan keberadaan pemerintah Indonesia

di Papua yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM bahkan kini mendapat pengakuan dari
negara-negara Pasifik (seperti Papua Nugini, Solomon, Vanuatu dan Fiji). Sekira tiga bulan lalu,
OPM bahkan telah mendirikan sebuah organisasi payung yang diposisikan sebagai pemerintah

2

bayangan di Wamena yang di kenal dengan United Liberty Movement for West Papua
(ULMWP). ULMWP di bentuk untuk mempersiapkan segala kebutuhan ketika kelak Papua
berhasil merdeka.
Di bidang ekonomi, negara kita telah melalui periode kapitalisme negara yang dikendalikan
oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Namun, alih-alih kembali pada model ekonomi Pancasila
atau Kerakyatan, ekonomi kita hari ini justru tersungkur lebih dalam ke dalam jurang kapitalisme
global yang tak berujung. Kapitalisme yang dulunya hanya melibatkan kroni-kroni Suharto,
sekarang menjadi arena persaingan bebas yang memberikan kesempatan kepada semua warga
negara untuk ikut berkompetisi. Tidak terkecuali warga negara asing.
Sementara itu, bagi mereka yang tak memiliki kekuatan kapital memadai atau kalah dalam
persaingan itu, dengan sendirinya lalu bekerja pada para pengusaha-pengusaha itu. Dengan upah
seadanya. Syukur-syukur jika memperolehnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan
tidak lebih rendah dari UMP. Jika tidak, maka serikat buruh akhirnya turun tangan
mengadvokasi. Melakukan advokasi berarti memunculkan dua konsekuensi: berhasil atau gagal.

Untuk yang terakhir, konflik berkepanjanganlah yang kemudian terjadi.
Hasil alam dalam negeri Indonesia pun mengalami keadaan yang tidak jauh berbeda. Saat ini
para petani, peternak dan nelayan diperlakukan lebih buruk dari zaman Orde Baru. Kalau dulu
pasokan pasar dalam negeri berasal dari tanah-tanah mereka, kini komoditas yang beredar di
pasar juga datang dari luar negeri. Kalau dulu garam dan singkong tak pernah di impor, sekarang
dua komoditas itu tidak segan-segan di impor pemerintah.
Di bidang kebudayaan, situasi negara kita tambah memprihatinkan. Para generasi muda kita
kini telah dipengaruhi gaya hidup generasi muda di negara-negara maju. Hidup foya-foya,
mengonsumsi narkoba, minuman keras dan pornografi, sudah menjadi gaya hidup tak
terpisahkan dari kebanyakan mereka. Sehingga berujung pada kerusakan moral dan adab.
Pembunuhan, perampokan, perzinaan dan pemerkosaan sebagai eksesnya adalah informasi yang
setiap hari kita saksikan di layar televisi dan headline surat kabar.
Sementara itu, kearifan lokal dan warisan budaya nenek moyang telah banyak di anggap para
generasi muda sebagai satu hal yang kuno dan tidak populer. Pola hidup sederhana dan tidak
berlebihan yang dulunya tumbuh subur telah mulai ditinggalkan. Sebaliknya, persaingan
memamerkan ponsel jenis terbaru dengan jumlah lebih dari yang dibutuhkan, berpakaian
mengikuti tren berbusana, berlomba-lomba memamerkan jenis tunggangan dan budaya

3


konsumtif bergeser dari kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer sehingga dianggap
mendesak untuk dipenuhi.
Fenomena semacam ini mendesak untuk di benahi sesegera mungkin. Untuk itu,
kepemimpinan

nasional yang kuatlah kunci utamanya. Namun, untuk mencapai ekspektasi

tersebut, dibutuhkan strategi jitu agar kebijakan-kebijakan politik pemerintah dapat dijalankan.
Dari sinilah kemudian komunikasi politik menjadi relevan. Dengan tujuan tidak lain merubah
opini publik yang menyimpang, sehingga nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat kembali dilestarikan.
Para presiden yang selama ini memimpin Indonesia memiliki gaya komunikasi politik yang
berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi oleh pertama, situasi politik internasional saat itu.
Kedua, situasi ekonomi dan politik dalam negeri. Ketiga, sistem politik dan ekonomi yang
dijalankan. Dan keempat, tingkat partisipasi politik warga dan civil society.
Makanya, kita menyaksikan perbedaan yang sangat mencolok antara gaya komunikasi politik
Sukarno yang begitu energik berapi-api membakar semangat massa dan tegas melawan
intervensi asing, dengan pembawaan diri Suharto yang tenang dan cenderung hati-hati dalam
menanggapi suatu isu, pragmatis, tetapi terbuka pada segala hal yang datang dari luar. Terkhusus
dalam pengelolaan ekonomi nasional dan sumber daya alam.

Latar belakang gaya komunikasi yang berbeda tersebut tentu dapat kita telusuri menggunakan
beberapa variabel tadi. Tentu saja berbeda situasi politik pada tahun-tahun pasca revolusi
kemerdekaan dimana bayang-bayang kolonialisme Belanda masih menghantui. Ketimbang
dekade 1960-an, yang identik dengan menguatnya resonansi perang dingin antara Blok Barat dan
Blok Timur. Adanya kompetisi antara kedua kutub tersebut, dimana banyak negara-negara dunia
ketiga ikut ambi bagian di dalamnya, menempatkan Indonesia pada posisi yang sebelumnya
netral namun segera berubah 180 derajat menyusul pergantian kepemimpinan nasional ke tangan
Suharto.
Setali tiga uang dengan perubahan rezim politik, paham ekonomi Indonesia saat itu juga ikut
menyesuaikan diri. Posisi ekonomi yang tadinya dikendalikan oleh negara mendadak berubah
pada kompromi dengan mekanisme pasar. Munculnya undang-undang Nomor 1 tahun 1967
tentang penanaman modal asing merupakan salah satu bukti yang menunjukkan peralihan itu.
Menyusul dikeluarkannya undang-undang tentang penanaman modal dalam negeri pada tahun
berikutnya.

4

Bagaimana pun juga, komunikasi politik memperoleh posisi penting untuk menyelamatkan
kepentingan masing-masing rezim yang pernah berkuasa. Hal yang sama berlaku pula pada rezim
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berakhir pada 2014 silam dan Joko Widodo pada masa

sekarang.
Gaya komunikasi SBY yang cukup toleran dan amat santun menjadikan pesan-pesan
politiknya lebih mudah diterima rakyat. Efek yang diharapkan dari komunikasi yang dibangun
melalui gesture tubuhnya yang tertata rapi dan tenang cukup memperoleh sambutan positif dari
masyarakat Indonesia. Kendati, hal ini tentu saja tidak berlaku pada lapisan masyarakat yang
lebih terdidik dan paham politik serta kaum oposan. Begitu juga yang terjadi Joko Widodo
dengan pembawaan dirinya yang sangat merakyat. Menggunakan blusukan sebagai metode
pengawasan dan evaluasi kepemimpinannya, dikombinasikan dengan sifatnya yang amat terbuka
dan dekat dengan media, di tambah retorikanya yang amat sederhana dan mudah dipahami,
menjadikan Joko Widodo sebagai sosok presiden pasca Reformasi yang dianggap paling populis
dan di cintai rakyat Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi politik?
2. Bagaimana gaya komunikasi politik di masa Presiden Suharto?
C. TUJUAN MAKALAH
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perilaku dan gaya komunikasi politik
Presiden Suharto?

5


BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PERILAKU DAN KOMUNIKASI POLITIK
a. Definisi Perilaku Politik
Menurut Ramlan Surbakti (2010), perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan
masyarakat di antara lembaga-lembaga pemerintah dan di antara kelompok dan individu dalam
masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.1
Perilaku politik di sini diposisikan sebagai sikap pemerintah ke luar. Yakni terhadap struktur
di bawah yang diperintahnya, atau pun terhadap struktur yang berdiri sejajar dengannya seperti
lembaga legislatif dan yudikatif. Segala tindak tanduk pemerintah, benar dan salah, baik dan
buruk, di sebut sebagai bagian dari pada perilaku politik.
Perilaku politik tidak jauh berbeda dengan perilaku keseharian manusia. Bahwa ada manusia
yang jujur, demawan, rajin membantu sesama. Juga ada yang pembohong, pelit, individualis dan
lain-lain. Adanya perilaku ini kemudian menentukan sikap pemerintah terhadap masyarakat atau
sebaliknya. Pada gilirannya kemudian menentukan status pemerintahan dan masyarakat apakah
sudah ideal atau belum.
Masih menurut Surbakti, perilaku politik di bagi dua, yakni (1) perilaku politik lembagalembaga dan para pejabat pemerintah, dan (2) perilaku politik warga negara biasa (baik individu
maupun kelompok). Tipe perilaku yang terakhir ini dalam ilmu politik sering di sebut partisipasi
politik. 2
Dalam melakukan analisa terhadap perilaku politik, tersedia tiga kemungkinan unit analisis,

yakni (1) individu aktor politik. Meliputi aktor politik (pimpinan), aktivis politik dan individu
warga negara biasa. (2) agregasi politik yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti
kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa,
sedangkan (3) tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter,
machiavelis dan demokrat. Tipe ini menggunakan sudut pandang psikologi politik untuk
menganalisa perilaku seorang pemimpin politik. Untuk selanjutnya penulis menggunakan
tipologi terakhir ini untuk menganalisa perilaku politik Suharto.
1

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Hlm. 20

2

Loc. Cit.

6

B. KOMUNIKASI POLITIK
a. Definisi Komunikasi Politik
Membicarakan gaya komunikasi Suharto tak terasa lengkap tanpa memahami terlebih dahulu

apa itu komunikasi politik. Dan yang paling mendasar adalah definisi dari komunikasi itu sendiri.
Istilah komunikasi berasal dari kata communis yang berarti membuat kebersamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari kata Latin
communico yang berarti membagi. 3
Definisi lain juga di buat oleh pakar Ilmu Politik Harold Laswell. Menurutnya, komunikasi
adalah “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa,
dan apa pengaruhnya.”
Definisi dari Laswell ini menarik. Sebab hampir mirip dengan definisi yang ditulisnya tentang
politik. Yakni politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Perlu di catat, dari
definisi yang dibuat Laswell di atas, kemudian mempengaruhi perkembangan ilmu komunikasi
ke depan. Terutama komunikasi politik. Empat kata kunci dari definisi yang dibuatnya itu
kemudian diabadikan menjadi empat komponen komunikasi politik. Yaitu; komunikator politik,
pesan politik, komunikan politik dan efek politik.
Sedangkan definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri
pada studi komunikasi antar manusia (human communication) menyatakan bahwa “komunikasi
adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya
dengan (1) membangun hubungan antar sesame manusia, (2) melalui pertukaran informasi; (3)
untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan
tingkah laku itu.”4
Sementara itu, komunikasi politik merupakan perkembangan dari ilmu komunikasi yang

diaplikasikan dalam aktivitas berpolitik. Segala aktivitas berkomunikasi yang menyangkut
kepentingan orang banyak di dalamnya dapat disebut sebagai bagian dari komunikasi politik.
Kendati, hal tersebut bukan satu-satunya contoh.

3

Cangara, M.Sc., Prof. Dr. H. Hafie. Pengantar Ilmu Komunikasi. Hlm. 20

4

Ibie., Hlm. 22

7

Menurut Denton dan Woodward, komunikasi politik adalah wacana publik mengenai alokasi
sumber-sumber daya milik publik, kewenangan (otoritas) sah dan sanksi yang legitimate.5 Pokok
dari definisi adalah kehendak komunikator untuk mempengaruhi lingkungan politik.
Sedangkan seorang pakar komunikasi politik Amerika, Dr. Catherine H. Palezewski
mendefinisikan komunikasi politik “any form of communication that implements, negotiates, and
recognize power relation”.6 Menurut Palezewski, komunikasi politik hanya memiliki tiga hakikat

yakni melaksanakan (implements), negosiasi (negotiates) dan mengakui hubungan kekuasaan
(recognize power relation). Kata kuncinya adalah hubungan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan
sebagai penanda dimana selama komunikasi itu terjalin dalam hubungan kekuasaan, maka itu
adalah komunikasi politik.
Di bawah ini beberapa ahli mendefinisikan cakupan komunikasi politik sebagai berikut:
1. Fagen:
Komunikasi politik merupakan segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan
antara sistem politik itu dengan lingkungannya.
2. Muller:
Komunikasi politik merupakan hasil yang bersifat politik (political outcomes) dari kelas
sosial, pola bahasa, dan pola sosialisasi.
3. Galnoor:
Komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai
interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan
kekuasaan masuk ke dalam peredaran.
4. McNair
Komunikasi politik murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publik yang memiliki
nilai (apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi), petugas yang memiliki kewenangan
untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau peraturan
(apakah itu legislatif atau eksekutif), dan sanksi-sanksi (apakah itu dalam bentuk
penghargaan atau denda). 7

5

Lismana M.A., Prof. Dr.Tjipta. 2013. Bola Politik dan Politik Bola. Hlm. 145

6

Ibie., Hlm. 146

7

Rahmawati, Dian Eka. 2009. Diktat Komunikasi Politik. Hlm. 19

8

Sementara itu, komunikasi politik menurut Cangara (mengadopsi pendapat McNair dan Goran
Hedebro) memiliki fungsi atau kontribusi sebagai berikut:
1.

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang usaha-usaha yang
dilakukan oleh lembaga politik maupun dalam hubungan pemerintah dan masyarakat.

2.

Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, kegiatan, tujuan
lembaga politik.

3.

Memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para
pendukung partai politik.

4.

Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat
sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik.

5.

Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi dan sosialisasi
tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak suara.

6.

Menjadi “hiburan” bagi masyarakat sebagai “pesta demokrasi”
dengan menampilkan juru kampanye, artis, pengamat politik.

7.

Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan untuk
menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan
nasional.

8.

Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan
melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan
demokratisasi.

9.

Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita,
agenda setting, maupun komentar-komentar politik.

10.

Menjadi watchdog dalam membantu terciptanya good governance
yang transparan dan akuntabel.

b.

Komponen Komunikasi Politik
Dari pelbagai definisi tentang komunikasi politik di atas, secara umum dapat dijabarkan ke

dalam komponen-komponen yang menyusun cakupan komunikasi politik. Komponen-komponen
ini penting untuk diketahui sebab merupakan satu ukuran untuk menganalisa satu perilaku
pemimpin politik bisa di sebut sedang melakukan komunikasi politik atau tidak. Komponen

9

komunikasi ini terbagi menjadi komunikator atau sender, pesan, komunikan atau receiver dan
efek yang ditimbulkannya:
1. Komunikator komunikasi politik adalah pihak yang menyampaikan pesan-pesan politik
kepada pihak lain. Komunikator disini dapat bersifat individual maupun lembaga atau
kelompok.
2. Pesan politik adalah pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan,
baik secara tertulis maupun verbal, secara terang-terangan ataupun tersembunyi, disadari
maupun tidak disadari, yang isinya mengandung muatan politik.
3. Media atau saluran politik adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikator untuk
menyampaikan pesan politik kepada komunikan. Komunikator atau sasaran atau target
politik adalah anggota masyarakat dalam bentuk individual, kelompok, ataupun lembaga
yang menjadi sasaran penyampaian pesan-pesan politik.
4. Efek atau pengaruh komunikasi politik adalah dampak atau efek yang diharapkan oleh
komunikator dari komunikan setelah menerima pesan-pesan politik yang disampaikan oleh
komunikator. Efek disini bisa berupa efek kognitif, afektif, ataupun tingkah laku.8
Dampak kognitif berupa dampak berubahnya pikiran si komunikan setelah proses
komunikasi berlangsung. Dengan kata lain, tujuan komunikator adalah untuk mengubah
pikiran komunikan menjadi tahu tentang sesuatu.
Dampak afektif berupa dampak tersentuhnya atau tergeraknya hati si komunikan, sehingga
menimbulkan perasaan tertentu. Dampak afektif tidak sekedar si komunikan mengetahui
sesuatu, tapi lebih jauh lagi merasakan sesuatu.
Dampak perilaku (behavioral) berupa dampak berubahnya perilaku, tindakan, atau kegiatan
si komunikan setelah dia mengetahui dan merasakan sesuatu. Jadi, dampak perilaku ini
merupakan tingkatan tertinggi dari dampak proses komunikasi.9
c.

Tipologi Komunikator Komunikasi Politik
Komunikator dalam komunikasi politik merupakan orang-orang yang berperan dalam

menyampaikan pesan-pesan politik kepada komunikan. Mereka adalah kelompok orang yang
memiliki kepentingan dengan adanya informasi atau isu politik yang tersebar. Sementara
8

Ibie., Hlm. 20

9

Ibie., Hlm. 7

10

komunikan di sini adalah masyarakat luas yang diharapkan reaksinya terhadap pesan yang
tersebar itu. Menurut Dan Nimmo, komunikator politik terbagi ke dalam tiga kelompok:
1.

Politisi
Politisi yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah calon pemegang jabatan atau pemegang
jabatan, tidak peduli apakah mereka dipilih atau ditunjuk, pejabat politik atau pejabat karir,
baik itu jabatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Nimmo mengklasifikasikan para
politisi sebagai komunikator politik dalam 3 golongan:
a.

Politikus di dalam atau di luar jabatan pemerintah.

b.

Politikus yang berpandangan nasional atau sub nasional.

c.

Politikus yang berurusan dengan masalah ganda atau masalah tunggal.

Meskipun politikus melayani beraneka ragam tujuan dengan berkomunikasi, namun menurut
Daniel Katz, politikus akan selalu mengarahkan pengaruhnya pada dua arah:

2.

1)

Bertindak mewakili kepentingan suatu kelompok tertentu.

2)

Bertindak sebagai ideolog.

Profesional
Dan Nimmo membedakan politikus yang menggunakan pemerintahan atau politik, alih-alih
komunikasi, sebagai sumber nafkahnya. Politikus mencari pengaruh melalui komunikasi,
sedangkan komunikator profesional mencari nafkah dengan berkomunikasi baik di dalam
maupun di luar arena politik. Profesinya di bidang komunikasi, bukan politik. Komunikator
profesional, menurut Nimmo, adalah sebuah peran sosial yang relatif baru bersamaan
munculnya dengan revolusi komunikasi yang sedikitnya memiliki 2 dimensi utama:
a.

Munculnya media massa yang melintasi batas rasial, etnis, kelas, wilayah, dan
pekerjaan untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional.

b.

Perkembangan media-media khusus (majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio,
dsb) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan.

Sebagaimana halnya politisi, komunikator profesional juga bisa dibedakan dalam 2 tipe:
a.

Mewakili kepentingan tertentu / wakil partisan. Yaitu : promotor, orang yang dibayar
untuk mengajukan kepentingan tertentu seperti PR, pejaBat informasi publik pada
jawatan pemerintah (jubir), sekretaris kepresidenan, personel periklanan perusahaan,
manajer kampanye dan pengarah publisitas kandidat politik spesialis teknis yang
dibayar untuk kepentingan tokoh masyarakat atau kandidat politik tertentu.

11

b.

Ideolog. Yaitu: jurnalis. Sebagai komunikator profesional, jurnalis adalah karyawan
organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa
mengatur para pemimpin pemerintah untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan
para pemimpin dengan publik umum atau sebaliknya, dan membantu menempatkan
masalah atau peristiwa pada agenda diskusi publik.

3.

Aktivis
Aktivis yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah orang-orang yang peduli pada masalahmasalah politik dan berperan aktif dalam berbagai organisasi kelompok kepentingan,
kelompok penekan, mahasiswa, dan lain-lain.10

C. PERILAKU DAN GAYA KOMUNIKASI POLITIK SUHARTO
a.

10

Perilaku Politik Suharto

Ibie., Hlm. 23

12

Sebelumnya telah diuraikan di atas, penulis menggunakan tipologi kepribadian politik yang
dirumuskan Ramlan Surbakti untuk menganalisa perilaku politik Suharto selama 32 tahun
masa kepemimpinannya. Dalam proses penganalisaannya, tipe ini membagi tiga perilaku
pemimpin. Yaitu (1) otoriter, (2) machiavelis dan (3) demokrat.
Jika kita menelusuri sepak terjang kepemimpinan Suharto selama 32 tahun, dapat
disimpulkan secara umum negara di masa itu berada dalam tiga kondisi. Pertama, kebebasan
berserikat dan berpolitik di tekan sehingga situasi politik dan keamanan relatif stabil. Kedua,
kondisi perekonomian relatif lebih bebas dan terbuka dengan perusahaan-perusahaan
multinasional asing. Kendati masih dalam kendali Negara dalam hal ini, Suharto, keluarga dan
kroni-kroninya. Ketiga, penegakan hukum berjalan tebang pilih dan sering digunakan untuk
kepentingan penguasa.
Latar belakang terciptanya situasi tersebut dilandasi atas aktualisasi dari Trilogi
Pembangunan yang di anut oleh rezim Suharto. Yaitu (1) stabilitas nasional, (2) pertumbuhan
ekonomi tinggi dan (3) pemeretaan hasil-hasil pembangunan.
Ekses dari aktualisasi konsep tersebut berdampak pada: Pertama, pelarangan aktivitas
politik mahasiswa melalui kebijakan NKK-BKK pada tahun 1978. Kedua, terjadinya
Peristiwa Lampung yang merenggut nyawa warga tidak bersalah pada permulaan dekade
1980-an. Ketiga, Peristiwa Priok yang mengorbankan nyawa puluhan warga Jakarta.
Keempat, penggusuran ratusan warga Kedung Ombo pada akhir 1980-an untuk pembuatan
bendungan. Peristiwa itu setidaknya menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan di tiga
kabupaten di Jawa Tengah. Keempat, meletusnya Peristiwa 27 Juli 1996 yang mengorbankan
puluhan orang tak berdosa di Jakarta. Kelima, penculikan aktivis mahasiswa dan partai politik
menjelang Pemilu 1997 oleh Angkatan Darat. Akibat peristiwa ini, setidaknya belasan orang
aktivis masih menghilang hingga sekarang. Keenam, terjadinya Tragedi Trisakti yang
menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti dan melukai puluhan lainnya.
Ketujuh, pemerkosaan etnis Tionghoa dalam kerusuhan 1998 menjelang lengsernya Suharto.
Kedelapan, Pembantaian warga Timor-Timur oleh Angkatan Darat pada dekade 1990-an.
Kesembilan, pembunuhan dan pembakaran ratusan orang secara misterius saat kerusuhan
1998. Kesepuluh, fusi partai politik menjadi tiga partai pada 1973. Kesebelas, pemaksaan asas
tunggal Pancasila untuk semua organisasi masyarakat dan partai politik. Kedua belas,

13

pemberlakuan politik massa mengambang yang melarang partai politik selain Golkar
berkampanye pada teritorial negara di bawah kecamatan.
Dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku politik Suharto adalah perilaku
politik otoriter. Sebab, Suharto dalam memerintah tidak pernah menghiraukan penegakan
HAM, kebebasan berserikat dan berpolitik, demokrasi, persamaan dalam memerintah. Justru
yang dilakukan Suharto adalah sebaliknya. Meratifikasi pasar bebas dan kapitalisme sebagai
pandangan ekonomi Indonesia yang bertentangan dengan konsep ekonomi Indonesia yang
berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.
b.

Gaya Komunikasi Politik Suharto
Presiden Suharto memiliki gaya komunikasi yang sangat berbeda dengan Sukarno. Jika

Sukarno berpidato dengan retorika berapi-api dan menarik simpati massa, Suharto tidak
demikian. Justru ia berpidato dengan retorika yang berkebalikan. Sangat dingin, tanpa
ekspresi, tanpa menarik simpati, bertele-tele dan high context.
Latar belakangnya yang berasal dari militer tidak kemudian mempengaruhi cara ia
berkomunikasi. Jika Sukarno di kenal sebagai sosok presiden yang enerjik. Suharto justru
tidak. Ia lebih dikenal sebagai sosok yang kalem dengan pembawaan yang tenang. Persis
seperti kebanyakan bangsawan Jawa.
Jika dulu Sukarno di tuduh oleh pihak oposisi sebagai presiden otoriter. Suharto juga tidak
jauh dari tuduhan itu. Dalam kepribadian sehari-hari Suharto merupakan sosok yang tenang,
tapi dalam aktivitas berpolitik, ia justru di kenal sebagai presiden paling tegas, dispilin dan
juga kejam.
Hal ini dapat kita telusuri dari naiknya Suharto ke tampuk kepemimpinan nasional
menggeser Sukarno. Banyak para ilmuan politik dan sejarawan menulis bahwa proses suksesi
itu berjalan lancar disebabkan kekuatan pendukung Sukarno seperti Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan kaum Sukarnois telah di tertibkan terlebih dahulu menggunakan Supersemar dan
dalih pembunuhan para jenderal di tahun 1965. Mereka menyebut suksesi itu sebagai “Kudeta
Merangkak.” Yakni mendelegitimasi posisi politik Sukarno sebagai presiden dengan
mengumbar kekeliruan yang dilakukan Sukarno. Seperti penolakannya untuk membubarkan
PKI dan ketidakmampuan Sukarno untuk mengatur aktivitas perekonomian.

14

Karakter komunikasi Suharto sangat high context (konteks tinggi). Ia tidak to the point
dalam menarasikan pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi pada terjadinya keterpecahan
pemahaman atas maksud dari pesan yang ia sampaikan. Terutama bagi para bawahanbawahannya.
Gaya komunikasi Suharto sangat kental dengan kultur jawa: banyak kepura-puraan
(impression management) dan sangat santun. Komunikasinya penuh simbol, tertib, satu arah,
singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal
communication. Orangnya tertutup, konsistensi cukup tinggi dan konteks komunikasi pada
umumnya high context. Maka wajar jika hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi
dengannya yang dapat memahami pola komunikasinya.11
Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan
atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI
Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini,
Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal
dari perintah ”atasan”. Sementara, Faisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah
memerintahkan penyerbuan itu. 12
Yang menarik, dalam keadaan marah, Suharto juga menggunakan bahasa tinggi. Semisal,
pernah ketika salah seorang menteri di panggil ke istana. Tiba-tiba saja menteri itu di suruh
Suharto meminum minuman yang tersedia. Itu artinya, menteri tersebut dipersilahkan
meninggalkan istana. Makanya, tidak heran ketika jika setiap kali Menteri Penerangan,
Harmoko, berbicara di depan media atau ketika berpidato. Ia selalu saja mengutip sepenggal
kalimat di awal; “sesuai instruksi bapak presiden.” Hal ini ia lakukan agar pidato yang
disampaikannya dianggap “resmi” berasal dari Suharto. Bukan merupakan tafsiran atas
perintah The Smiling General itu.
Sikapnya yang dingin tersebut bukan berarti membuat Suharto menjadi orang yang
berpikiran terbuka, kompromistik dan toleran. Suharto justru adalah seorang pemimpin yang
anti-kritik. Ia pemimpin yang mudah sekali curiga. Apalagi terhadap pihak oposisi dan lawanlawan politiknya.

11

Soeikin, Op. Cit

12

Sungatno, Op. Cit

15

Hal ini sesuai dengan falsafah politik Suharto yang berkiblat pada budaya Jawa. Di mana
kekuasaan dipahami sebagai sesuatu yang konkret. Kekuasaan adalah sesuatu yang ajeg, tetap,
tidak berubah-ubah. Jika ada pihak yang mengambil sikap polemik, bahkan melawan
penguasa, maka kekuasaan yang dimiliki penguasa dianggap telah berkurang. Satu-satunya
cara untuk memulihkannya adalah dengan menghabisi sang lawan hingga ke akarnya.

16

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Ramlan Surbakti (2010), perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan
masyarakat di antara lembaga-lembaga pemerintah dan di antara kelompok dan individu
dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan
politik.
Masih menurut Surbakti, perilaku politik di bagi dua, yakni (1) perilaku politik lembagalembaga dan para pejabat pemerintah, dan (2) perilaku politik warga negara biasa (baik
individu maupun kelompok). Tipe perilaku yang terakhir ini dalam ilmu politik sering di sebut
partisipasi politik.
Dalam melakukan analisa terhadap perilaku politik, tersedia tiga kemungkinan unit
analisis, yakni (1) individu aktor politik. Meliputi aktor politik (pimpinan), aktivis politik dan
individu warga negara biasa. (2) agregasi politik yaitu individu aktor politik secara kolektif
seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan
bangsa, sedangkan (3) tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin
otoriter, machiavelis dan demokrat. Tipe ini menggunakan sudut pandang psikologi politik
untuk menganalisa perilaku seorang pemimpin politik. Untuk selanjutnya penulis
menggunakan tipologi terakhir ini untuk menganalisa perilaku politik Suharto.
Istilah komunikasi berasal dari kata communis yang berarti membuat kebersamaan atau
membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari kata
Latin communico yang berarti membagi.
Menurut pakar Ilmu Politik, Harold Laswell, komunikasi adalah “siapa yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa
pengaruhnya.”
Sementara itu, menurut pakar komunikasi politik Amerika, Dr. Catherine H. Palezewski
komunikasi politik adalah “any form of communication that implements, negotiates, and
recognize power relation”. Menurut Palezewski, komunikasi politik hanya memiliki tiga
hakikat yakni melaksanakan (implements), negosiasi (negotiates) dan mengakui hubungan

17

kekuasaan (recognize power relation). Kata kuncinya adalah hubungan kekuasaan. Hal ini
dimaksudkan sebagai penanda dimana selama komunikasi itu terjalin dalam hubungan
kekuasaan, maka itu adalah komunikasi politik.
Menurut Dan Nimmo, komunikator politik terbagi ke dalam tiga kelompok:
1. Politisi
Politisi yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah calon pemegang jabatan atau
pemegang jabatan, tidak peduli apakah mereka dipilih atau ditunjuk, pejabat politik atau
pejabat karir, baik itu jabatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
2. Profesional
Dan Nimmo membedakan politikus yang menggunakan pemerintahan atau politik,
alih-alih komunikasi, sebagai sumber nafkahnya. Politikus mencari pengaruh melalui
komunikasi, sedangkan komunikator profesional mencari nafkah dengan berkomunikasi
baik di dalam maupun di luar arena politik. Profesinya di bidang komunikasi, bukan
politik.
3. Aktivis
Aktivis yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah orang-orang yang peduli pada
masalah-masalah politik dan berperan aktif dalam berbagai organisasi kelompok
kepentingan, kelompok penekan, mahasiswa, dan lain-lain
Sebelumnya telah diuraikan di atas, penulis menggunakan tipologi kepribadian politik yang
dirumuskan Ramlan Surbakti untuk menganalisa perilaku politik Suharto selama 32 tahun
masa kepemimpinannya. Dalam proses penganalisaannya, tipe ini membagi tiga perilaku
pemimpin. Yaitu (1) otoriter, (2) machiavelis dan (3) demokrat.
Jika kita menelusuri sepak terjang kepemimpinan Suharto selama 32 tahun, dapat
disimpulkan secara umum negara di masa itu berada dalam tiga kondisi. Pertama, kebebasan
berserikat dan berpolitik di tekan sehingga situasi politik dan keamanan relatif stabil. Kedua,
kondisi perekonomian relatif lebih bebas dan terbuka dengan perusahaan-perusahaan
multinasional asing. Kendati masih dalam kendali Negara dalam hal ini, Suharto, keluarga dan
kroni-kroninya. Ketiga, penegakan hukum berjalan tebang pilih dan sering digunakan untuk
kepentingan penguasa.

18

Jadi, perilaku politik Suharto adalah perilaku politik otoriter. Sebab, Suharto dalam
memerintah tidak pernah menghiraukan penegakan HAM, kebebasan berserikat dan
berpolitik, demokrasi, persamaan dalam memerintah. Justru yang dilakukan Suharto adalah
sebaliknya. Meratifikasi pasar bebas dan kapitalisme sebagai pandangan ekonomi Indonesia
yang bertentangan dengan konsep ekonomi Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 33.
Suharto memiliki gaya komunikasi dan perilaku politik yang berbeda dengan presiden
sebelum dan sesudahnya.
Karakter komunikasi Suharto sangat high context (konteks tinggi). Ia tidak to the point
dalam menarasikan pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi pada terjadinya keterpecahan
pemahaman atas maksud dari pesan yang ia sampaikan. Terutama bagi para bawahanbawahannya.
Gaya komunikasi Suharto sangat kental dengan kultur jawa: banyak kepura-puraan
(impression management) dan sangat santun. Komunikasinya penuh simbol, tertib, satu arah,
singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal
communication. Orangnya tertutup, konsistensi cukup tinggi dan konteks komunikasi pada
umumnya high context. Maka wajar jika hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi
dengannya yang dapat memahami pola komunikasinya.
B. SARAN
Penulis masih merasa sangat kekurangan dari segi sumber dan referensi mengenai topik
makalah ini. Sehingga, dengan terpaksa harus mengambil dari beberapa artikel di internet. Di
mana standar keilmiahannya masih perlu dikaji kembali. Mudah-mudahan bagi proyek
penulisan berikutnya, masalah seperti ini dapat diatasi.

19

DAFTAR PUSTAKA

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Cetakan ke-VII. Jakarta: Grasindo.
Cangara, M.Sc., Prof. Dr. H. Hafied. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali
Press.
Lesmana M.A., Prof. Dr.Tjipta. 2013. Bola Politik dan Politik Bola. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Rahmawati, Dian Eka. 2009. Diktat Komunikasi Politik. Yogyakarta: Laboratorium Ilmu
Pemerintahan UMY.
Sungatno, MG. Perbandingan Komunikasi Politik Presiden Indonesia.
http://www.akbartandjunginstitute.org/read/content/1122/perbandingan-komunikasi-politikpresiden-indonesia. Diakses pada 27 April 2016.
Sodikin, Ali. Mengurai Gaya Kepemimpinan Pemimpin-Pemimpin Indonesia.
http://angintimur147.blogspot.co.id/2011/01/mengurai-gaya-komunikasi-presiden.html. Diakses
pada 27 April 2016

20