Benturan Globalisasi dan Kearifan Lokal

Globalisasi dan Eksesnya Terhadap Ekonomi, Sosial dan
Kearifan lokal; Sebuah Problemmatika Umat
Oleh:
Arya Wicaksana

Cabang Gowa Raya (B)

Sebagai Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Polewali Mandar

Kata Pengantar

Alhamdulillah puji - syukur

atas nikmat dan hidayah Allah swt yang

senantiasa memberi kita kesehatan dan kemampuan dalam menalar untuk
merealisasikan tugas ke khalifaan di muka bumi. Sholawat serta salam semoga
tak lupa kita haturkan kepada Nabi Muhammad Saw, seorang intelek murni yang
mampu menerjemahkan kekuatan langit dan diutus untuk meluruskan akhlak

kader Hmi dan Rahmat bagi alam semesta.
Globalisasi dan Ekses negatif atas ekonomi, sosial dan kearifan lokal;
sebuah problematika umat, merupakan judul makalah yang penulis susun ini.
Makalah ini, sebagai prasyarat dalam mengikuti jengjang pengkaderan
Intermediate Training (LK-2) Hmi Cabang Polewali Mandar. Penulis menyadari
akan kekurangan dan minimnya kualitas makalah yang saya susun ini. Maka dari
itu, saya sangat berharap kritikan dan koreski konstruktif dari saudara (i) untuk
menyempurnakan isi makalah ini dan menjadi konsumsi pengetahuan kepada
kita semua di masa yang akan datang.
Ucapan terimah kasih terkhusus kepada orang tua saya, yang telah
mendukung ananda untuk tetap berproses dan menafkahi kehidupan ananda.
Kepada saudara saya, terimah kasih atas dorongan moral dan materiilnya yang
tetap sabar dalam mendidik. Dan terimah kasih dan hormat kepada seluruh
“insan akademis, pencipta dan pengabdi” Hmi Komisariat Dakwah dan
komunikasi Cabang Gowa Raya baik kanda maupun yunda yang telah mendidik
dan menyalurkan pengetahuaannya kepada saya. Terimah kasih.,,
Wassalam
Yakin Usaha Sampai
Penyusun
Arya Wicaksana


2

Daftar Isi
Kata Pengantar

2

BAB I PENDAHULUAN

4

Rumusan Masalah

6

Tujuan Penulisan

6


BAB II PEMBAHASAN

7

Globalisasi:

7

-

Defenisi Globalisasi

7

-

Ciri – ciri globalisasi; Sebuah Universalitas

9


-

Ekses Globalisasi

Kearifan Lokal:

10
12

-

Defenisi Kearifan Lokal

13

-

Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal

14


-

Cara Meminimalisir Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal 16

-

Re – humanisasi

17

-

Kemampuan Memilih

17

BAB III PENUTUP

18


-

Kesimpulan

18

-

Daftar Pustaka

20

3

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban
manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan

bagian dari proses kehidupan manusia. Kehadiran teknologi informasi dan
teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Dalam
konteks ekonomi – politik, globalisasi juga dianggap sebagai kelanjutan baru
dari penjajahan ekonomi (neo – imperialism) dari akibat kegagalan Negara –
negara yang menganut Teori Keynesian pada kebijakan perekonomiannya,
ke Negara – negara maju di dunia ketiga. Proses produksi dan ekspansi
ruang produksi ekonomi pada suatu wilayah ke wilayah yang lain merupakan
bagian dari neo – imperialism dan neo – liberalism yang mencita – citakan
konektivias global demi efisiensi serta akumulasi capital tak terhingga.
Pada sudut pandang yang lain, proses globalisasi ditandai dengan
integrasi budaya local ke dalam suatu tatanan global.1 Nilai – nilai
kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan suku
kebudayaan luar yang berdiri sendiri dengan kebebasan – kebebasan
ekspresi. Dalam hal itu, globalisasi inheren dengan konstruksi, diaspora dan
internalisasi suatu nilai - nilai budaya tertentu melalui cara yang khusus
seperti produk komersil, maupun adopsi ideologis ke suatu wilayah (Negara)
sebagai konsekuensi logis dari proyek “desa global”.
Dibangun diatas landasan rasionalitas modern ala webberian, yang
pada mulanya berekspektasi untuk menaklukan mitos – mitos abad
pertengahan di tangan kuasa gereja, globalisasi ataupun modernism tidak

luput dari ekses negatif yang timbulkannya. Individualitas, gaya hidup
konsumeristik, teknikalisasi di bidang sosial, skizofernia, cultural shock serta
hyper – realitas dunia visual teknologi yang mengikis relasi sosial yang nyata.
Pada

tataran

komunikasi,

globalisasi

dilihat

sebagai

proses

pengecilan dunia atau pemersatuan dunia melalui sarana teknologi
komunikasi dan dengan perangkat jaringan system internet serba cepat.
Dalam kata lain, manusia dihampir setiap belahan dunia ini, dihimpun pada

ruang pergaulan lintas teritorial Negara. Dari kondisi demikian, proses
1

Irwan Abdullah – Konstruski dan reproduksi kebudayaan (Pustaka Pelajar - 2006 ) hal. 192

4

komunikasi disisi lain memberi kemudahan koneksivitas antara orang melalui
handphone dan media TV yang menjadi corong utama cloning budaya global
yang cenderung menyajikan tayangan – tayangan budaya glamour.
Ada kerisauan khusus yang dibawa arus budaya global tatkala
sebuah nilai – nilai, sistem, dan ilmu pengetahuan - teknologi hasil karya,
cipta dan karsa manusia dari teritori yang lain, menuai kegagapan oleh
manusia pada ruang sosial yang lain dalam merespon, beradaptasi dan
bahkan gagal sehingga sering kali manusia mengalami apa yang disebut
sebagai “kekagetan budaya” disaat budaya global menerpa sebuah nilai yang
diyakini suatu kebajikan dan etika sosial kemasyarakatan harus berkontestasi
bersama budaya global yang bebas nilai. Pun, dengan demikian maka nilai –
nilai yang telah dianut berpotensi tergoyahkan, bahkan sampai berdampak
pada perubahan pola budaya yang sebelumnya telah mengakar dalam

struktur kemasyarakatan.
Suatu nilai – nilai yang terancam eksistensinya atas gelombang
budaya global tersebut adalah yakni kearifan local (local wisdom) bersama
capital kulturalnya. Dalam konteks percaturan ideologi pada tataran global,
kearifan lokal dipandang perlu tetap tumbuh dalam kehidupan sosial ummat,
khususnya di Indonesia yang kini justru mengalami anomali kebudayaan.
Sebuah anomali suatu negeri, yang justru kaya akan kearifan budaya local.
Anomali dari ketidakmampuan membaca ataupun menyesuaikan dengan
arah tujuan kebudayaan global.
Maka dari itu, ikhtiar untuk membumikan kembali semangat dari
kearifan budaya local, wajib menjadi nilai yang dianut dan diwujudkan
bersama. Tanpa mengabaikan dimensi positif – humanis budaya global serta
manfaat globalisasi; mendorong peningkatan etos kerja (dalam arti yang
luas), memperoleh infomasi dan ilmu pengetahuan.

5

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari argument diatas, penulis dapat menarik suatu rumusan
masalah antara lain;

1. Apa defenisi globalisasi ?
2. Apa dampak negatif dan postif globalisasi terhadap suatu bangsa ?
3. Apa yang dimaksud Kearifan Lokal ?
4. Bagaimana Ekses negatife globalisasi terhadap eksistensi Kearifan
Lokal
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yakni;
1. Sebagai proses pembelajaran secara terus – menerus pada ranah
kebudayaan manusia
2. Bertujuan untuk memenuhi persyaratan mengikuti Intermediate
Training HMI Cabang Polewali Mandar

6

BAB II
PEMBAHASAN
A. Globalisasi; ciri – ciri, ekses dan pengaruh ekonomi, sosial dan
kebudayaan
Defenisi Globalisasi secara etimologi adalah sebuah konsep dengan
kata dasar the globe (Inggris) atau la monde (Prancis) yang berarti bumi,
dunia ini. Maka menurut Selo Soemardjan dan Selo soemardi, globalisasi
adalah suatu proses terbentuknya sistem organisasi dan komunikasi antar
masyarakat di seluruh dunia2. Secara terminologis, Albrow mengemukakan
bahwa globalisasi adalah keseluruhan proses di mana manusia di bumi ini
diinkorporasikan

(dimasukkan)

ke

dalam

masyarakat

dunia

tunggal,

masyarakat global. Dari defenisi diatas dapat ditegaskan bahwa globalisasi
merupakan model kehidupan yang membentuk suatu komunitas global yang
bermuara pada komunikasi – informasi dan peleburan ruang - waktu.
Globalisasi bukanlah suatu proses yang baru. Globalisasi berawal
sejak akhir abad ke – 19 dan awal abad 20. Globalisasi berkembang pesat
setelah terjadi revolusi besar-besaran, yaitu dengan berkembangnya alat
komunikasi berupa TV, jaringan Internet dan transportasi udara serta laut.
Hal ini juga, menyebabkan terjadinya percepatan pembangunan di segala
bidang dengan berkembangan yang begitu pesat. Dengan demikian,
globalisasi merupakan dunia terbuka yang benar – benar telah meleburkan
sekat – sekat yang membatasi pergerakan manusia dari dan ke berbagai
Negara.3 Dunia yang didalamnya setiap individu dapat terkoneksi melalui
instrument media komunikasi dengan individu diwilayah Negara berbeda
tanpa harus beranjak dari tempatnya. Disamping itu, globalisasi sebagai
sebuah konsep akan mengacu pada intensifikasi kesadaran sebuah dunia
secara keseluruhan. Perspektif ini mengingatkan pada perdebatan klasik
(Marx – Weber), yakni antara kekuatan dominasi ekonomi dan pluralism
sosio-kultural.4

2

Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Rajawali Pers, 1987) hal. 285
Rusmin Tumanggor, Kholis Ridho & Nurochim – Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Kencana, 2010) hal.
84
4
Ibid.,

3

7

Antara dominasi ekonomi dan sosio – kultural, tampak kedua variable
tersebut memungkinkan dominasi yang lebih akibat konsekuensi logis
globalisasi yang nyaris menyentuh segala aspek kehidupan. Selain dominasi
ekonomi – kultural, teknologi terapan membuka kran semakin kuatnya
dominasi hingga hegemoni arus budaya global yang diterima saja sebagai
sebuah kebaikan atau kebenaran. Budaya global yang dalam artian adalah
kebudayaan kongkret sebuah bangsa atas bangsa yang lain, entah apapun
bentuk kongkretisasi kebudayaan itu. Sebuah dominasi budaya global yang
berpotensi mendikte perilaku manusia terhadap dirinya dan interaksi dengan
manusia lain.
Pada konteks Indonesia, globalisasi secara fisik ditandai dengan
proyek pembangunan era kepemimpinan awal soeharto pada tahun 1969,
ketika membuka ruang kerja sama dibidang ekonomi dengan pemerintah
amerika serikat dengan bantuan berupa dana segar kepada Indonesia untuk
mempermudah pembangunan secara fisik (infra struktur) di indonesia dan
bergabungnya Indonesia pada organisasi International Monetery Financial
(IMF) sekaligus membuka kran liberalism ekonomi yang berkonsekuensi
bebasnya transaksi dagang di Indonesia. Dengan logika demikian, langkah
awal keterlibatan Indonesia untuk merambah dan berelasi dengan arena
global terealisasi.
Satu gejala lain yang perlu kita catat adalah bahwa perkembangan
sejarah modern yang demikian itu telah mengakibatkan sejarah umat
manusia menjadi berputar di dalam jalinan interrelasi dan interpendensi;
antara bangsa satu dengan bangsa lain, antara masyarakat satu dengan
masyarakat yang lain5. Perputaran dan interrelasi dalam tatanan global.
Jalinan interrelasi itu melahirkan jaringan ketergantungan antara yang satu
dengan yang lain. Semakin satu bangsa memiliki ekonomi, teknologi, dan
pengetahuan yang kuat, semakin satu masyarakat mengembangkan
ekonomi,

teknologi

dan pengetahuan itu, semakin kuatlah posisi

kedudukannya di dalam jalinan interrelasi dan jalinan ketergantungan
tersebut6.

5

Ali Moertopo – Strategi Kebudayaan (CSIS, 1978) hal. 33

6

Ibid., Ha.l 32

8

Dalam konteks Indonesia, argument ali moertopo, sepertinya semakin
meniscayakan dominasi global atas kebudayaan di Negara – Negara yang
terbelakang secara ekonomi, teknologi dan pengetahuan. Lantas kemudian
dimana letak “superioritas” globalisasi sehingga semakin menguatkan
pengaruhnya dalam homogenitas budaya ? seperti apa ciri – ciri globalisasi
itu ?
Ciri – ciri globalisasi; Sebuah Spesifikasi Universal
Ada suatu kecenderungan yang menganggap bahwa globalisasi
hanya bersentuhan dengan aspek – aspek kebudayaan yang kongkret saja.
Maka beranjak dari hal itu, berbagai deskripsi mengenai globalisasi yang
telah dijabarkan diatas, dapat menimbulkan kekeliruan apa bila tidak disertai
dengan spesifikasi dari term globalisasi yang secara utuh atau komprehensif.
Berikut ini merupakan ciri – ciri dari proses globalisasi7:
a. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan
hidup, krisis multinasional, dan inflasi regional. Hal ini dikarenakan
integrasi ekonomi sebuah bangsa, turut dicecoki oleh pihak – pihak asing
dalam mengelola alam yang pada realitasnya, banyak mengakibatkan
kerusakan ekologis.
b. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa
(terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga
internasional). Saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan
dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam
budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Selain itu
media komunikasi, TV, sesungguhnya mengaburkan batas – batas fisik
dan budaya sehingga menciptakan “deteritorialisasi”, suatu dunia baru
dengan batas – batas wilayah dan nilai yang bersifat relatif.8
c. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi
saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan
internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan
dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO), serta
d. Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barangbarang seperti pesawat telepon, televisi satelit, dan internet menunjukkan

8

Ibid., Irwan Abdullah, hal. 55

9

bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui
pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan
banyak hal dari budaya yang berbeda.
Meningkatnya masalah bersama pada ranah lingkungan hidup,
“deteritorialisasi” akibat batasan interaksi antara satu budaya dengan
kebudayaan yang lain sangatlah mudah melalui genggaman sarana
komunikasi, interpendensi antara suatu bangsa sebagai akibat keterbukaan
relasi ekonomi dan kemajuan transportasi serta gejala wisatawan asing
membuka ruang interaksi kultural bahkan kemestian akulturasi.
Namun, satu hal yang pasti dari proses globalisasi tersebut bahwa
ketidaksanggupan suatu wilayah Negara dalam meningkatkan kompetensi
dan merespons globalisasi akan menuai permasalahan ketika segala hal dari
proses kebudayaan global mendominasi secara eksponensial ke dalam
sebuah kebudayaan. Integrasi kebudayaan pada tataran global, jelas
menimbulkan perubahan – perubahan sosial – budaya, bukan saja karena
globalisasi memiliki sisi positif bagi proses kehidupan manusia, namun pada
sisi yang lain jelas memiliki permasalahan seperti yang telah dijelaskan
diatas.lantas kemudian masalah apa yang dialami suatu Negara tatkala turut
dalam arus globalisasi ? baik pada bidang ekonomi, sosial dan budaya pada
suatu Negara ?
Maka, sebelum penulis menguraikan sisi positif globalisasi bagi
peradaban umat manusia, terlebih dahulu akan digambarkan secara singkat
dibawah ini, masalah – masalah pada suatu Negara sebagai akibat
konsekuensi logis dari gejala globalisasi.
Ekses Globalisasi
Menurut Anthony Giddens (1990), menyebut bahwa masyarakat
dewasa ini merupakan masyarakat “pengembara dalam ruang waktu”.9
Perkembangan dunia yang begitu pesat membuat manusia seakan tanpa
sekat, arus informasi dan komunikasi bergerak begitu cepat, sehingga dapat
memudahkan

manusia

untuk

memperoleh

informasi,

kemudahan

mengakses. Tanpa disertai dengan filter yang baik, tentunya hal ini akan
berdampak besar pada kehidupan individu itu sendiri dan juga di masyarakat.
Zygmunt Bauman – Globalization: The Human Consequences (Columbia University Press, 1998)
hal. 38

9

10

Sebagai pengertian budaya, globalisasi tidak hanya merupakan harmonisasi
ide – ide dan norma, seperti pluralitas keberagaman, hak – hak asasi, namun
juga gaya hidup konsumerisme dan pornografi10.
Globalisasi digambarkan sebagai ‟pemadatan dunia dan intensifikasi
kesadaran dunia sebagai suatu keseluruhan dunia dan intensifikasi
kesadaran dunia sebagai suatu keseluruhan‟ atau „intensifikasi relasi – relasi
sosial seluas dunia yang menghubungkan lokalitas – lokalitas berjauhan
sedemikian rupa menghubungkan lokalitas – lokalitas berjauhan sedimikian
rupa sehingga peristiwa disatu tempat di tentuakn oleh peristiwa lain yang
terjadi bermil – mil jaraknya dari situ dan sebaliknya11.
Maka dari itu, Berikut ini merupakan ekses negatif dari globalisasi
yang dianggap telah menjadi “hegemoni” pada berbagai spectrum aktivitas
kehidupan kontemporer:
a. Informasi

yang

tidak

terfilter

dengan

baik,

berpotensi

dapat

menyebabkan perubahan tingkah laku yang menyimpang.
b. Aktivitas

produksi

pada

jejaring

jaringan

Global

yang

tidak

memperhatikan serta mengindahkan pencemaran lingkungan, dapat
mengakibatkan disharmony ekologis serta bencana alam. Proyek
MPE3I di Indonesia sebagai bagian dari integrasi ekonomi global,
12

mengarah pada permasalahan tersebut.
c. Melimpahnya

produksi

barang

komersiil

pada

sector

industri

menjadikan peningkatan libido konsumtif masyarakat yang melebihi
proposionalitas. Gejala demikian akibat dominasi dan “westernisasi”
ruang konsumsi ala restoran siap saji (Mcd, starbucks dan sejenisnya)
sebagai bagian dari aktivitas ekonomi dan budaya globalisasi serta
koneksivitas produksi.
d. Secara psikologis, membuat individu malas berinovasi dan berkreasi,
karena banyak hal yang mudah dikerjakan oleh kecanggihan
teknologi terapan.
Oleh karena itu, globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu
jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan
Francis Wahono Nitiprawiro – Teologi Pembebasan (Lkis, 2008) hal. Xix, kata pengantar
Tim Pengelola Short Course Resisit Institute - Pengantar Ekonomi Politik (Resist Institute, 2011)
hal. 121
12
Ibid,. hal. 125

10
11

11

perubahan masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan
pembentukan perbedaan antara orang.13 Kapitalisme karenanya telah
menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu
menata dunia satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat
menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan – perbedaan yang mengarah
pada pembentukan status dan kelas orientasi tertentu.
Proses

globalisasi

mendapatkan

berbagai

tanggapan

oleh

masyarakat yang berbeda yang tampak dari proses integrasi, resistensi yang
melahirkan suatu bentuk disintegrasi, atau terlihat juga dari adaptasi –
adaptasi yang dilakukan suatu masyarakat terhadap berbagai pengaruh
globalisasi. Untuk itu proses “lokalisasi” (semacam usaha penaklukan
kebudayaan global) dapat saja terjadi, yang ini menunjukkan unsur baru yang
masuk.14 Dengan perkata lain, ada usaha untuk meng – counter pengaruh
globalisasi dengan nilai – nilai yang didalamnya terkandung kebijaksanaan
dan kebaikan berupa local wisdom.
B. Kearifan Lokal; sebuah defenisi singkat, pengaruh dan eksesnya
akibat globalisasi
Telah dijelaskan diatas bahwa globalisasi merupakan proses
dehumanistik ketika keterlibatan Kita pada proses globalisasi yang
berlangsung sampai saat ini, tidak disertai dengan komitmen akan suatu nilai.
Maka dari itu, dibawah ini akan gambarkan bagaimana “nasib” kearifan lokal
ditengah gempuran tata nilai – nilai global yang telah menkondisikan
pandangan Kita jauh dari pencerahan nilai kearifan. Dimulai dari defenisi
kearifan lokal bertujuan untuk memberi batasan dari kearifan lokal agar tidak
terjadi tumpang tindih pemahaman. Berlanjut pada pengaruh Globalisasi
terhadap kearifan lokal. Dari pengaruh itu, kemudian strategi apa yang tepat
untuk meminilamlisir pengaruh globalisasi terhadap kearifan lokal.

13
14

Ibid., ilmu budaya dasar, hal. 86
Ibid., Irwan Abdullah, hal 109

12

Defenisi Kearifan Lokal
Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini sangat
banyak diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering
dikaitkan dengan masyarakat lokal dan dengan pengertian yang bervariasi.
Secara Etimologi Kearifan Lokal terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom)
dan lokal (local). Lokal berarti setempat dan kearifan sama dengan nilai - nilai
kebijaksanaan. Dengan kata lain

maka kearifan lokal dapat dipahami

sebagai gagasan – gagasan, nilai – nilai, pandangan-pandangan setempat
(local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam
dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya15. Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh
Kementerian Sosial kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka.16
Jika ditarik dalam pandangan agama, khususnya agama Islam,
Discouers

atau

wacana

narasi

kearifan

lokal

secara

universalitas

kebangsaan, pada substansinya, tidaklah kontradiktif dengan dimensi ajaran
Islam berupa keadilan, toleransi, berorientasi pada kebenaran dan saling
menghidupi. Seorang sufi yang terkenal dengan ajaran kawula manunggali
gusti, yakni syekh siti jennar, pada zamannya mempraktekkan ajaran islam
dengan akulturasi pada adat – istiadat setempat. Disaat para Wali Songo
menganggap bahwa apa yang dipraktekkan oleh Jenar adalah bid‟ah, yang
tidak pernah dilakukan oleh para nabi dan sahabat17. Bahkan jenar memiliki
banyak murid yang diantaranya bukanlah seorang muslim (hindu dan
Buddha), akan tetapi tetap menurunkan ajaran dan dilibatkannya muridnya itu
dalam ajaran Tareqhat sang guru, Syekh Siti Jenar.

15

Sartini, Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafat (Jurnal Filsafat UI, 2010) hal.
19
16

Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil( Departemen Sosial RI, 2006)
hal. 30
17
Achmad Chodjim – “yekh “iti Je ar, Mak a Ke atia “era bi, 2002 hal.

13

Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal
Globalisasi telah mempengaruhi semua aspek kehidupan dalam
masyarakat, mulai dari aspek ekonomi, pendidikan, dan tidak luput
mempengaruhi budaya. Kebudayaan sendiri dapat diartikan sebagai
penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai – nilai insani. Tercakup
didalamnya usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik
maupun sosial18. Budaya dimaknai sebagai pendidikan nilai – nilai
kemanusian, yang awal mulanya bersumber pada penciptaan da penertiban.
Jika nilai – nilai insani kita terjemahkan dalam aras kearifan lokal, maka
wujudnya adalah kebijaksanaan manusia dalam berinteraski terhadap
sesamanya dan meletakkan alam lingkungan bukan sebagai objek taklukkan.
Namun, suatu kenyataan yang sudah dinikmati manusia di era
globalisasi adalah kemakmuran, kemudahan dan kenyamanan. Namun
demikian era yang serba mudah dan nyaman menimbulkan pengaruh positif
dan

juga

hal

negatif

yang

akan

mengancam

dan

sulit

untuk

dihindari.Globalisasi menyebabkan segala aspek dan ruang kehidupan
terpenngaruhi, Sebagai contoh sistem ekonomi, budaya dan lingkungan
hidup manusia. Era globalisasi dalam hal ini perkembangan teknologi dan
informasi memberi andil yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dunia,
bahkan tekhnologi juga menjadi indicator kamajuan suatu negara.
Perkembangan ekonomi akan menjadi lebih cepat apabila didukung
oleh faktor kamajuan teknologi (computer, alat komunikas dll). Teknologi
merupakan langkah lanjut dari peranan, modal dan jasa untuk perkembangan
ekonomi.

Makin

cangggih

tekhnologi

pertumbuhan ekonomi suatu negara.

19

berarti

makin

tinggi

efesiensi

Namun demikian kemajuan teknologi

tidak hanya memberikan dampak-dampak positif pada sistem ekonomi,
dampak negatif juga muncul secara bersamaan. Hal ini juga dapat menjurus
kepada pemborosan sumber daya alam, meningkatkan kriminalitas dan
timbulnya berbagai masalah akibat semakin makmurnya dan sejahteranya
ekonomi suatu negara, sementara di daerah atau negara lain.20

M. Munandar Soelaeman – Ilmu budaya dasar, sebuah pengantar (Refika Aditama, 2005), hal.
21
19
Tim Dosen UPT-MKU Unhas (2009 -2010) Wawasan ipteks (Hasanuddin University Press 2009)
hal.85
20
Ibid,. hal 86
18

14

Selain dampak terhadap perekonomian globalisasi juga berdampak
terhadap sosial budaya masyarakat (kearifan lokal). Globalisasi telah
mendorong terjadinya pergeseran atau perubahan terhadap sistem atau
aturan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Perkembangan
teknologi memiliki andil yang sangat besar dalam menggiring remaja –
remaja kita ke arah dekandensi moral. Rusaknya mental dan akhlak remaja
kita diakibatkan oleh gaya hidup yang konsumtif, materialistik dan
individualistik. Selain itu menjamurnya situs – situs internet yang menyajikan
gambar-gambar vulgar yang bisa diakses secara bebas semakin menambah
deretan kerusakan remaja.21
Pergeseran

sistem

nilai

kebudayaan

yang

dianut

masyarkat

mengalami perubahan – perubahan secara lambat namun, menyentuh
bagian lapisan dari system nilai budaya pada indvidu dan masyarakat, yakni
nilai kearifan. Perubahan tersebut terjadi disebabkan oleh 2 (dua) factor pada
umumnya; (1) bersumber dari masyarakat itu sendiri (internal). Ke (2) yang
bersumber dari luar masyarakat (eksternal).
Disamping itu, menyebabkan kearifan – kearifan yang berlaku dalam
masyarakat mulai terkikis. Masyarakat memiliki adat yang dikenal sebagai
adat kedaerahan (kearifan lokal) yang merupakan simbol kebangsaan,
namun saat ini, hampir tidak ada lagi makna yang benar – benar dan berarti
di era globalisasi. Kita sulit memberikan batasan-batasan yang jelas antara
budaya lokal dan budaya barat.
Berikut adalah ekses negatife atas dampak globalisasi terhadap kearifan
lokal:
1. Pergeseran dan pergantian manusia; kehidupan gotong royong
masyarakat perlahan mulai hilang tatkala globalisasi bersama
perangkat teknologi membangun tembok interaksi masyarakat
2. Kebebasan terkekang; tanpa kendali nilai dan etika atas teknologi,
individu dalam masyarakat dapat mengalami “pemasungan”
kebebasan.
3. Krisis identitas; nilai sebuah sistem kebudayaan yang abstrack
berupa aturan berpakaian dan bergaul secara sosial, tidak lagi jadi
acuan.
21

Ibid,. hal,. 87

15

4. Dan mentalitas instan (teknologi); kemudahan manusia dalam
memperoleh pengetahuan atau memiliki sesuatu, rentan dengan
aksi – aksi instan. Seperti plagiaris, dalam ilmu pengetahuan.
Cara Meminimalisir Pengaruh Globalisasi terhadap Kearifan Lokal
Dari uraian di halaman-halaman sebelumnya, maka jelas betapa
besar pengaruh globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk
kearifan lokal. Olehnya itu, yang perlu kita pikirkan adalah cara-caya yang
dapat dilakukan untuk meredam pengaruh globalisasi terhadap kearifan lokal.
Sungguh sebuah optimisme yang didorong atas kepedulian akan kondisi
ummat hari ini. Meskipun dipandang skeptis atau bahkan utopis, gagasan
kembali kearifan global, paling tidak harus dimulai sejak saat ini, dengan;


Re – humanisasi
Mengembalikan

martabat manusia di era globalisasi sebaiknya

disesuaikan dengan kemampuan adaptasi populasi yang bersangkutan.
Perkembangan nilai-nilai agama, etika, hukum, dan kebijakan lebih lambat
jika dibandingkan dengan perkembangan informasi dan tekhnologi. Olehnya
itu masalah tersebut harus segera ditangani. Artinya lebih jauh manusia
harus

dipandang

secara

utuh

baik

lahir

maupun

batin,

sehingga

pembangunan selalu harus mengarah kepada terwujudnya peningkatan
kesejahteraan manusia seutuhnya antara lahiriah dan batinia. Apabila ini
tidak diperhatikan maka laju kehancuran peradaban manusia tidak akan
dapat diimbangi oleh laju rehumanisasi oleh karena semuanya pihak harus
mengambil bagian dan kontribusi positif. Peningkatan martabat manusia,
pada jauh hari telah dikumandangkan filsuf pada masa sebelum pencerahan,
yang ingin mengangkat martabat manusia diatas mitos – mitos agama yang
menurutnya membelenggu. Namun ikhtiar tersebut ternyata malah berakhir
sebaliknya; dehumanisasi.

16



Kemampuan Memilih
Dengan semakin banyaknya pilihan di era globalisasi,maka akibat

yang timbul adalah kesulitan dalam memilih. Pendidikan pada umumnya
diarahkan pada cara produksi bukan pada cara konsumsi. Ini menyebabkan
nilai-nilai kearifan lokal terkikis dan berefek pada menurunnya antara yang
mungkin dan yang terjadi, bahkan mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang baik dan mana yang buruk sudah sangat susah untuk
dibedakan22.

Segala

yang

teknis

mungkin

akan

dikerjakan,

tidak

dipertentangkan dan disaring berdasarkan nilai-nilai kamanusiaan. Artinya
yang didukung oleh aspek moral keagamaan, sosial, dan aspek-aspek yang
terkait seharusnya menentukan apa yang mungkin diteliti dan dikembangkan
kemudian tidak dilakukan jika tidak sesuai dengan kearifan lokal yang
berlaku.


Revitalisasi
Perlunya upaya positif untuk mencegah distorsi biokultural yang

berkelanjutan. Pembuangunan akan menuju ke suatu kebudayaan baru di
masa depan, sehingga dipersiapkan persiapan-persiapan menyeluruh.
Usaha-usaha revitalisasi akan banyak dipengaruhi baik secara positif
mauoun negatif oleh faktor-faktor dalam maupun luar negeri.

22

Ibid. hal. 115 – 116

17

BAB III
Kesimpulan dan Penutup
Benturan kearifan lokal dan global menimbulkan “chaos” sosial – budaya,
ketika pranata sosial, nilai – nilai

yang selama ini telah terakumulasi dalam

budaya, baik itu yang berwujud materiil sampai pada pandangan hidup,
kesemuanya tergerus oleh kebudayaan global yang cenderung materialistik.
Konsekuensi – konsekuensi dan praktik modernitas tersebut menciptakan impact
– impact yang tak terdeteksi atau tak teramalkan sebelumnya. Spirit modernitas
yang menyertai globalisai tersebut kiranya juga menghantam dunia kehidupan
warga masyarakat23. Alih – alih membawa kemajuan dan solusi persoalan
kehidupan umat, justru

berkecenderungan destruktif atas manusia dan

kemanusiaan.
Konstruksi budaya yang mencita – citakan harmoni, universalitas dan
konsisten, sebagaimana menjadi spirit besar semangat modernitas yang
berwujud dalam globalisasi, di tolak dalam kaitannya dengan wacana Postmodernisme. Kaum postmo meragukan konsep universal yang hanya dibuktikan
dengan usaha – usaha rasio dan menawarkan atau menggantikannya dengan
sikap hormat kepada perbedaan dan penghargaan kepada yang khusus
(particular dan lokal), serta membuang universalitas. Mereka percaya pada hal –
hal yang “irasional” dalam memperoleh pengetahuan, yakni melalui emosi dan
intuisi. Mereka percaya pad local wisdom sebagai budaya tandingan atas
rasionalisme modern.
Masa depan kearifan lokal setiap bangsa, khususnya bangsa Indonesia,
mulai diminta solusinya atas pemecahan terhadap problematika tersebut. Demi
melindungi segenap bangsa Indonesia serta menuntunnya ke arah peta
kehidupan yang lebih baik. Olehnya itu, sinergitas dari seluruh pihak mutlak
dikedepankan untuk mencurahkan sebuah gagasan – gagasan yang berangkat
dari kearifan lokal dan teks suci agama yang memberi ketentraman batin dan
lahir umat manusia.

Benturan kebudayaan lokal dan globalisasi pada bidang ekonomi, sosial,
teknologi dan kebudayaan pada realitasnya mengarah dan bermuara pada:
23

Ibid., hal. 86

18

1. Globalisasi yang tidak adil menerkam wilayah ekonomi Negara –
Negara maju dunia ketiga, dengan meningkatnya kemiskinan dan
pengangguran yang di akibatkan oleh keterlibatan Negara tersebut
dalam sistem ekonomi pasar bebas secara international di bawah
naungan organisasi – organisasi kerja sama ekonomi, seperti WTO,
Bank Dunia, IMF dan APEC.
2. Lemahnya

daya

kompetensi

Negara



Negara

berkembang

mengharuskan mobilitas tenaga kerja (SDM) dari luar, ke suatu
Negara.
3. Kecenderungan materilistik – konsumtif sebagai bangunan ontologis
dari rasionalitas modern, mereproduksi ruang konsumsi makan cepat
saji dari Negara adi kuasa ke Negara dunia ketiga. Marchendeis Lokal
berupa kebutuhan pangan, diganti oleh MCD, Star Bucks, Kfc dan
sebagainya menjadi isme – isme baru.
4. Perangkat ilmu pengetahuan dan teknologi terapan sebagai buah dari
kemajuan budaya, berwujud saluran dan media komunikasi, toh
memiliki ekses negative yang berpotensi memenjarakan manusia
untuk berinteraksi dalam ruang sosial secara nyata.

19

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan.
Konstruski dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
cetakan pertama, 2006
Sukanto, Soerjono.
Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 1987
Tim Dosen UPT-MKU Unhas.
Wawasan ipteks, Makassar: Hasanuddin University, 2009 - 2010
Soelaeman, M. Munandar.
Ilmu budaya dasar, sebuah pengantar. Bandung: Refika Aditama, 2005
Chodjim, Achmad.
Syekh Siti Jenar, “Makna Kematian”. Jakarta: Serambi, 2002
Tim Penyusun Departemen Sosial RI.
Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil. Jakarta:
Lipi, 2006
Menggali, Sartini.
Kearifan Lokal Nusantara, Sebuah Kajian Filsafat: Jakarta: Jurnal Filsafat
Universitas Indonesia, 2010
Tim Pengelola Short Course Resist Institute.
Pengantar Ekonomi Politik . Yogyakarta: Resist Institute, 2011
Wahono, Francis Nitiprawiro
Teologi Pembebasan. Yogyakarta: LKIS, 2008
Bauman, Zygmunt.
Globalization: The Human Consequences. New York: Columbia
University Press, 1998
Moertopo, Ali.
Strategi Kebudayaan. Jakarta: CSIS, 1978
Rusmin Tumanggor, Kholis Ridho & Nurochim.
Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta: Kencana, 2010

20