Jurnal Sosial dan Keagamaan walisongo

Menghunus Waktu

Menyelami Dimensi

Menebas Jarak

Menyelami Sukma

Menadah Embun

Meraik Momentum

ISSN: 2089-3019

MOMENTUM

Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan Volume 3, Nomor 01, Mei 2013

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) BANYUWANGI

Pelindung

Penyunting

Drs. H. Teguh Sumarno, MM Dr. Hasyim Ashari, M.S.I

Umi Najikhah Fikriyati, MA Dra. Hj. Isnaiwati, M.Pd

Penasehat

Vaesol Wahyu Eka, S.Pd.I., M.Pd.I Hendro Juwono, ST., MM

Penanggung Jawab

Drs. Suyitno, M.Pd

Bendahara

Didik Subiyanto, S.Sos

Ketua Redaksi

Dadang Aji P, S.Fil.I., M.Hum.

Layout dan Desain

Sultoni, SS

Wakil Ketua Redaksi

Wisnu Utomo

M. Amir Mahmud, S.H.I., MA

Distributor

Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I Agus Sultoni, S.Fil.I., M.S.I

Redaktur Pelaksana

Hafidz Indri Purbajati, M.Hum

MOMENTUM adalah publikasi ilmiah enam bulanan yang memfokuskan kepada isu-isu sosial dan keagamaan. Naskah artikel dalan jurnal ini dihasilkan dari penelitian empirik dan penelitian konseptual (hasil refleksi kritis atas suatu konsep atau teori tertentu) . Jurnal MOMENTUM diterbitkan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB) Banyuwangi.

Redaksi menerima dan mengundang berbagai kalangan baik dosen, mahasiswa, cendikia, peneliti ataupun para pemikir yang ingin menumpahkan ide-ide kreatif, inovatif dan solutif-nya dalam upaya mengembangkan khazanah ilmu sosial dan keagamaan.

Alamat Redaksi:

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Bakti Indonesia (UBI)

Kampus Terpadu Bumi Cempokosari No. 40 Cluring-Banyuwangi Telp. 0333-392720, Fax. 0333-392216

E-Mail: lppm_stib@yahoo.com dadangprmn@gmail. com

KATA PENGANTAR

Satu kalimat indah yang pantas diucapkan adalah “Syukur Alhamdulillah”. Atas Ridla dan Rahmat Allah SWT yang menaungi segala keterbatasan yang melekat pada diri kami, akhirnya

jurnal Volume. 03, Nomor 01 Mei 2013 yang ditunggu-tunggu ini bisa terbit sesuai dengan waktunya. Di awal perencanaan, kami menginginkan jurnal yang terbit ini memfokuskan kepada enam isu global yang dikaitkan dengan problematika keagamaan masyarakat, yaitu Demokrasi, Ekologi, HAM, Gender, Globalisasi, serta Integrasi Sains dan Agama, namun, keinginan tersebut belum mampu terpenuhi secara paripurna karena berbagai alasan. Kendati demikian, kami telah menyeleksi tulisan-tulisan yang memenuhi standar redaksi dan masuk dalam isu-isu yang telah kami tentukan.

Sebagaimana, edisi sebelumnya, pada jurnal Momentum edisi ini ada tujuh tulisan yang dimuat. Tulisan pertama berbicara masalah Wilayat al-Faqih, model idiologis yang menjadi basis konstitusi negara Republik Islam Iran. Dalam tulisan ini Asy„ari mengupas bagaimana perjuangan dan dedikasi Ayatullah Imam Khomeini dalam merumuskan konsep Wilayat al-Faqih sebagai basis konstitusi negara yang tidak lepas dari doktrin agama Islam, tepatnya peran aktif ulama dalam negara. Tulisan ini cukup representatif dalam menjelaskan sejarah kemunculan, kemandirian dan perkembangan Iran menjadi satu-satunya negara yang mampu menyaingi negara-negara barat yang berbasis demokrasi.

Pada tulisan kedua, masuk pada isu gender. Dalam artikelnya yang berjudul “Keadilan dan Kesetaraan Gender Jalan Surga untuk Kita Semua “, Ahmad Sarkawi menjelaskan secara detil bagaimana budaya patriarkhi membentuk wacana, persepsi dan konsepsi masyarakat tentang posisi dan status perempuan sebagai second sex dan objek ekploitatif. Tidak hanya itu, ia juga menjelaskan bagaimana budaya patriarkhi telah mendominasi dan mengkooptasi model-model penafsiran kitab suci, yang tidak sedikit dari hasil penafsirannya itu mendeskriditkan peran wanita, dan bahkan mereduksi makna kitab suci itu sendiri.

Di tulisan k etiga,“Agama dalam Kerangkeng Konstitusi dan Perundang-Undangan: Telaah Kritis Atas Resolusi Konflik Pemerintah Bagi Ahmadiyah “, Surya Adi Saputra mengkritisi perundang-undangan yang telah ditetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam memutuskan resolusi konflik antar pemeluk agama. Ia secara khusus mengkritisi perundang- undangan itu dalam kaitannya dengan penuntasan kasus-kasus hukum pelaku tindak kekerasan kepada jemaat Ahmadiyah. Tulisan ini memberi warna baru dalam menelaah dan mengkritisi perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan resolusi konflik.

Isu selanjutnya (tulisan ke empat), berkenaan dengan masalah klasik namun menarik, yaitu relasi sains dan agama dalam mengungkapkan kompleksitas dan dinamika alam serta kerangka kerja Tuhan yang diungkapkan sains. Data-data sains yang memiliki implikasi positif untuk pengembangan wacana filosofis dan teologis, terkhusus yang berkaitan dengan kompleksitas eksistensi alam yang bersifat resiprokal dan peran Tuhan di setiap kejadian atau fenomena alam. Dalam artikel yang berjudul “Celah Pencipta di dalam Rangkaian Peristiwa: Telaah Kritis Holisme Ilmiah “, Noviandy dan Dadang Aji mengkritisi para pemuja Holisme Ilmiah yang gandung akan konsep holisme (paradigma holistik) namun kurang memperhatikan konsekuensi teologisnya yang terperosok ke jurang dangkal Deisme dan Panteisme. Melalui artikel tersebut kedua penulis Isu selanjutnya (tulisan ke empat), berkenaan dengan masalah klasik namun menarik, yaitu relasi sains dan agama dalam mengungkapkan kompleksitas dan dinamika alam serta kerangka kerja Tuhan yang diungkapkan sains. Data-data sains yang memiliki implikasi positif untuk pengembangan wacana filosofis dan teologis, terkhusus yang berkaitan dengan kompleksitas eksistensi alam yang bersifat resiprokal dan peran Tuhan di setiap kejadian atau fenomena alam. Dalam artikel yang berjudul “Celah Pencipta di dalam Rangkaian Peristiwa: Telaah Kritis Holisme Ilmiah “, Noviandy dan Dadang Aji mengkritisi para pemuja Holisme Ilmiah yang gandung akan konsep holisme (paradigma holistik) namun kurang memperhatikan konsekuensi teologisnya yang terperosok ke jurang dangkal Deisme dan Panteisme. Melalui artikel tersebut kedua penulis

Tulisan kelima adalah “Pemenuhan Hak Perempuan Sebagai Saksi dalam Islam”. Artikel yang ditulis oleh Ashabul Fadhli ini mengajak kita untuk meninjau ulang sisi maskulinitas dan femininitas dalam permasalahan status persaksian perempuan yang telah dibakukan oleh para Fuqaha terdahulu. Tulisan ini cukup menarik karena berupaya mendekonstruksi kembali konsep- konsep para ulama fiqh terdahulu yang sudah terjerat oleh gurita budaya patriarkhi. Dalam tulisan ini, Fadhli memprovokasi kita untuk menelaah kembali bagaimana seharusnya kita memahami teks-teks keagamaan yang berkaitan dengan masalah status persaksian para wanita yang sesuai dengan Syari‟at Islam.

“Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif” menjadi tulisan keenam yang tidak kalah penting. Dalam artikel ini, Abdul Muis menstimulus kita untuk membaca ulang tentang eksistensi dan peran aktif pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan sekaligus lembaga sosial yang memiliki peranan penting dalam mencetak kader-kader bangsa. Eksistensi pesantren yang seringkali distigmakan hanya sebagai bengkel akhlak, oleh Muis dianggap sebagai pemikiran yang dangkal. Baginya, pesantren adalah solusi dan model pendidikan terbaik bagi masyarakat Indonesia karena dalam sejarah kemunculannya pesantren merupakan inkubator potensial untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas secara intelektual, sosial dan spiritual.

Artikel terakhir ditulis oleh Syaibatul Hamdi. Naskah a rtikel yang berjudul “Pidana Cambuk bagi Pelanggar Maisir di Aceh dalam Perspektif HAM ” menjadi wacana penutup dari jurnal ini. Sekalipun demikian, bukan berarti tulisan ini tidak berbobot. Melalui tulisan ini para pembaca akan mendapat informasi yang banyak mengenai perkembangan wacana HAM di Aceh yang sudah berstatus sebagai wilayah otonom yang berbasis Syari’at Islam. Melalui tulisan ini pula para pembaca akan mengerti bagaimana proses penerapan Syari‟at Islam di Aceh dan berbagai

permasalahan krusialnya ketika dibenturkan dengan konsep HAM, utamanya dalam permasalahan pidana cambuk bagi pelanggar Maisir.

Di atas semua wacana itu, perlu disadari bahwa d alam proses penyusunan jurnal ini banyak orang yang terlibat, dan mereka semua rela meluangkan waktu dan energi yang secara khusus dicurahkan demi jihad ilmiah (transformasi ilmiah). Karena itu, tidak sempurna jika tidak menorehkan nama-nama mereka yang terlibat dan berperan aktif hingga jurnal ini diterbitkan. Dengan segala kerendahan hati, kami haturkan terima kasih kepada pembina dan ketua Yayasan Puspa Dunia, Drs. H.Teguh Sumarno, MM., dan Dra. Hj. Isnaeniwati, M.Pd, yang telah mem-back up kami baik secara finansial maupun emosional. Pun, kepada ketua Sekolah Tingi Islam Blambangan (STIB), Drs. Suyitno, M.Pd, yang dengan segala kesibukannya rela meluangkan waktu untuk terus memantau proses penyusunan jurnal ini dari awal hingga akhir. (semoga keridhoan Allah senantiasa mengiringi di setiap derap langkah mereka. Amin!).

Tidak bisa dipungkiri pula bahwa terbitnya jurnal ini tidak lepas dari keeratan solidaritas dan kekeluargaan yang dibangun oleh seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB). Mereka semua turut andil memperjuangkan agar jurnal Momentum itu bisa terbit secara berkala. Terkhusus, direktur pasca sarjana STIB, Dr. Hasim Ashari, MSI., ketua prodi PAI, Agus Sultoni, MSI. Dan yang paling spesial adalah Amir Mahmud, MA.,Vaesol Eka Wahyu, M.Pd.I, Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I., Didik Subiyanto, S.Sos dan mas Wisnu Utomo. Begitu juga dengan para Tidak bisa dipungkiri pula bahwa terbitnya jurnal ini tidak lepas dari keeratan solidaritas dan kekeluargaan yang dibangun oleh seluruh civitas akademika Sekolah Tinggi Islam Blambangan (STIB). Mereka semua turut andil memperjuangkan agar jurnal Momentum itu bisa terbit secara berkala. Terkhusus, direktur pasca sarjana STIB, Dr. Hasim Ashari, MSI., ketua prodi PAI, Agus Sultoni, MSI. Dan yang paling spesial adalah Amir Mahmud, MA.,Vaesol Eka Wahyu, M.Pd.I, Hadiqoh Asmuni, S.Pd.I., Didik Subiyanto, S.Sos dan mas Wisnu Utomo. Begitu juga dengan para

Wal akhir, kami sangat menyadari akan segala keterbatasan dan kekurangan dalam jurnal ini, oleh karena itu, saran dan kritik membangun selalu kami harapkan demi kebaikan semuanya.

Banyuwangi, 25 Mei 2013

ISSN: 2089-3019

MOMENTUM

Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Keagamaan

Volume.. 03, Nomor 01 Mei 2013

DAFTAR ISI

Halaman

DEWAN REDAKSI PENGANTAR REDAKSI DAFTAR ISI

Wilayah Al-Faqih: Sebuah Pengantar Memahami Republik Islam Iran

Asy’ari .............................................................................................................. 1

Keadilan dan Kesetaraan Gender Jalan Surga Untuk Kita Semua

Ahmad Sarkawi ............................................................................................... 22

Agama dalam Kerangkeng Konstitusi dan Perundang-Undangan

(Telaah Kritis Atas Resolusi Konflik Pemerintah Bagi Ahmadiyah)

Surya Adi Sahfutra ....................................................................................... 37

Celah Pencipta di dalam Rangkaian Peristiwa (Telaah Kritis Holisme Ilmiah)

Noviandy dan Dadang Aji Permana .............................................................. 50

Pemenuhan Hak Perempuan Sebagai Saksi dalam Islam

Ashabul Fadhli ................................................................................................. 73

Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Alternatif

Abdul Muis ...................................................................................................... 88

Pidana Cambuk bagi Pelanggar Maisir di Aceh dalam Perspektif HAM

Syaibatul Hamdi ............................................................................................ 101

WILAYAH AL-FAQIH

(Sebuah Pengantar Memahami Republik Islam Iran)

Oleh

Asy’ari⃰

AbuAmru82@yahoo.com

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang konsep wilayah al-faqih yang dirumuskan oleh Imam Khomeini sebagai basis konstitusi Negara Republik Islam Iran pasca revolusi 1979. Pemahaman akan konstitusi Iran sangat penting karena ia merupakan negara tunggal yang berdiri tegak di atas fondasi Islam yang mampu menyaingi dominasi super power negara-negara barat, dan bahkan menjadi garda terdepan dalam perkembangan dan penguasaan sains dan teknologi. Dalam tulisan diuraikan secara historis bagaimana prosesi kelahiran dan perkembangan konsep wilayah al-faqih beserta fase-fase kritis yang dihadapi oleh Iran yang dicitrakan sebagai biang kejahatan, dan diisolirkan dari kancah internasional baik secara idiologis, ekonomis, ataupun politis.

Kata kunci: wilayah al-faqih, rahbar, khilafah, wilayah.

Pendahuluan

Ada dua fakta mengejutkan berkaitan dengan kehadiran Republik Islam Iran (RII) di tahun 1979. Pertama, Iran yang muncul melalui proses revolusi sosial berbasis agama adalah tonggak baru dalam sejarah idiologi negara vis a vis agama, pasalnya seluruh negara di dunia ketika itu dihadapkan pada dua pilihan idiologi mainsteam, sosialis-komunis dan demokrasi liberal. Kedua, komando jihad Ayatullah Khomeini untuk kemerdekaan Iran di tepian Perancis bukan hanya menumbangkan rezim Pahlevi, tetapi juga meng-knock out Amerika dan Israel yang telah menjadikan Iran sebagai tambang dolar emas hitam, alias minyak.

Di awal-awal pasca revolusi, eksistensi negara Republik Islam Iran dipandang sebelah mata dan diprediksikan -tidak hanya oleh negara barat tetapi oleh negara yang mayoritas beragama Islam- hanya akan eksis dalam waktu singkat dan akan kembali menjadi boneka baru sang tuan polan, Amerika. Terlebih ketika embargo ekonomi dan financial dijatuhkan oleh Amerika dan negara-negara Eropa.

Prediksi pesimis atas Iran ternyata meleset. Embargo yang menjadikan Iran terisolir dari kancah internasional ternyata tidak membuat rakyat Iran mati langkah, tetapi menjadi generator yang membangkitkan nasionalisme dan kedaulatan negara, daya juang, kreativitas serta kemandirian rakyat Iran dalam berbagai hal. Dan bahkan saat ini Iran telah menjadi prototipe negara-negara berkembang (Under-Development Countries) yang mampu terlepas dari

intervensi barat dan menjadi kekuatan baru di wilayah timur tengah yang mampu menyaingi

Israel dan Amerika di berbagai bidang, utamanya perkembangan sains dan teknologi.

MENT

⃰ Dosen STAI Teungku Dirundeng Meulaboh. U

Keberhasilan Iran dalam membangun negaranya tidak bisa lepas dari kecerdikan Ayatullah Uzma Ruhulloh Khomeini dalam mereformulasikan doktrin Islam ke dalam format idiologi negara baru, yaitu, Wilayat al-Faqih. Sebuah konsep tentang konstitusi negara yang roda pemerintahannya dijalankan oleh para ulama kredibel. Secara akademis, konsep Wilayat al-Faqih memang populer, namun sering disalahmengerti. Wilayat al-Faqih acap kali diidentikan dengan konstitusi negara monarki atau orotiter yang berbasis agama, dimana para ulama sebagai agen-agennya.

Jarang sekali yang mengetahui bahwa konsep wilayatul faqih lahir dari pendalaman Ayatullah Khomeini atas khazanah sufistik mengenai Insan Kamil yang dihubungkan dengan konsep “khilafah“ dan “wilayah“. Bagi Khomeini, seorang yang cerdas secara spiritual pasti memiliki beban dan tanggung jawab untuk berperan menjadi pemimpin umat dan menjadi garda terdepan dalam memelihara kedaulatan hidup mereka secara politis. Seorang ulama bagi Khomeini adalah seorang negarawan dan sekaligus seorang ilmuwan. Titik inilah pentingnya mengurai kembali pemikiran Khomeini tentang Wilayat al-Faqih.

Jejak Sejarah Menuju Republik Iran Modern

Iran secara etimo logi berarti negeri bangsa Arya. Sebelum “Iran“, nama “Persia“ adalah sebutan untuk negeri bangsa Arya yang paling popoler. Dalam catatan historis sejarawan, bangsa Arya (Indo-Uuropian) telah bermigrasi ke berbagai belahan dunia, terkhusus ke wilayah Asia Kecil dan India. Sejarah peradaban bangsa Arya sendiri dikenal mulai dari kehadiran kerajaan Elam (3200 SM), kerajaan Parsa dan Medes (600 SM), kerajaan Achaemenid (550 SM), dinasti Parthian (247 SM), dinasti Sasanid (220 M), hingga berada

dalam pelukan bangsa arab Islam (651 M). 1 Will Duran dalam Persian in the History of Civilization mengungkapkan bahwa bangsa

Arya pra-Islam dikenal luas karena berbagai kreasi dan inovasi yang menopang laju peradaban manusia ketika itu. Raja Achaemenid, Cyrus Agung misalnya, menjadi raja pertama yang mendeklarasikan Hak Asasi Manusia (HAM), mempelopori manajemen dan administrasi pemerintah, pengelolaan transportasi masal, teknik-teknik pengairan dan irigasi. Begitu juga di era Sasanid, berbagai cabang ilmu muncul dan berkembang pesat, sebut saja ilmu medis, sastra,

filsafat, sejarah, etika, politik, pendidikan, matematika hingga penulisan biografi. 2 Di Abad ke-

3 M, Universitas Jundisafur adalah pusat ilmiah bangsa Arya yang menjadi tujuan para pencari ilmu seantero dunia dalam menimba berbagai ilmu, seperti matematika, logika, filsafat, kedokteran dan astronomi. Dan konon rumah sakit dan perpustakaan pertama kali muncul di kota Jundisafur. Bahkan menurut Sayyed Hossein Nasr, Jundisyapur menjadi sebuah kota

bangsa Arya yang memberi kontribusi positif dalam perkembangan sains dan teknologi Islam. 3 Invansi bangsa Arab Islam ke tanah Persia di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqash

menjadi tonggak awal perkembangan Islam di negeri Persia, karena proses invasi ini diikuti dengan islamisasi bangsa Arya. Dalam waktu yang relatif singkat, Islam diterima oleh bangsa

Arya dan menjadi agama mayoritas. Salah satu alasan kenapa doktrin Islam mudah diterima

oleh bangsa Arya adalah karena tradisi Zoroastrian bangsa Arya yang rasional memperoleh

ME 1 Makalah Kedutaan RI untuk Iran, “Selayang Pandang Republik Islam Iran. 10 Agustus, 2008, 1.

N 2 Husain Heryanto, Revolusi Saintifik Iran (Jakarta: UI Press & Dubes RII, 2012), 18-19.

TU TU

dalam pengusaan ilmu pengetahuan. Bahkan dalam perkembangannya berperan penting dalam pengembangan tradisi intelektual dan keilmuan Islam. 5

Tidak hanya rasionalitas, bangsa Arya juga populer dengan tradisi tasawwufnya. Dan dalam hal ini eksistensi dinasti Safawiyyahyah bisa dikatakan sebagai era kejayaan bangsa

Arya-Islam dalam hal pengaplikasian nilai-nilai tasawwuf atau sufistik. 6 Di era ini bangsa Iran mampu mengaplikasikan doktrin agama Islam menjadi idiologi negara, yang basis politiknya

lahir dari tradisi sufistik dan s yi‟ah imamah. Di era ini peran ulama dalam pengembangan kerajaan (negara) sangat sentral. Karena ulama dan politik menjadi dua sisi dari satu keping mata uang, tidak bisa dipisahkan, sekalipun pada saat itu peran ulama dalam kancah perpolitikan belum ter-cover baik dalam sebuah konstitusi yang mapan.

Sayangnya, pasca dinasti Safawiyyah runtuh, tanah Persia menjadi medan pertumpahan darah para penjarah untuk mengukuhkan kekuasaannya. Dinasti-dinasti muncul silih berganti, mulai dari dinasti Afshar, dinasti Zand, hingga dinasti Qajar yang bertahan hingga abad ke-19 dengan raja terakhirnya, Ahmad Shah. Di tahun 1921 Ahmad Shah dikudeta lagi oleh Reza Shah Pahlevi. Penguasaan Pahlevi atas Iran menjadi babak baru sejarah negeri para Mullah, Iran. Tragisnya, di bawah komando Pahlevi rakyat Iran digiring ke dalam proyek agung modernisme dan sekulerisme seperti yang dilakukan oleh Mustofa Kamal (Ataturk) di Turki, sekalipun dengan modus operandi yang berbeda.

Kebijakan modernisasi angkatan bersenjata dan sistem birokrasi, penetapan Majusi dan Islam sebagai agama negara, pembaharuan hukum dan pengaplikasian paradigma barat dalam sistem pendidikan, pengawasan yang ketat lembaga pendidikan berbasis agama, pembatasan

4 Yang dimaksud dengan bangsa Arya-Islam di sini adalah bangsa Arya yang sudah memeluk Islam.

5 Berikut adalah tokoh-tokoh penting bangsa Arya yang hidup dalam tradisi bangsa Iran-Islam dan berkontribusi besar dalam pengembangan khazanah ilmu Islam: al-Isfahani (w. 1058 M), al-Ghajali (w. 1111 M), al-Syahrastani (w. 1153 M), Fakhr al-Din al-Razi (w. 1210 M) Bukhori (w. 870 M), Muslim (w. 875 M) Ibn Majah (w. 886 M) Abu Daud (w. 888 M), al-Tirmidzi (w. 892 M) dan al- Nasa‟I (w. 915 M), Nashir al-Din al- Thusi, Abu „Ali Ibn Sina (w. 1037 M), Abu Nasr al-Farabi (w. 950 M), Syhab al-Din Suhrawardi (w. 1191) Shadr al-Din Syiraji (w. 1640), al-Khawarijmi (w. 850 M), Abu al- Wafa‟ al-Buzjani (w. 998), Umar Khayyam (w. 1124 M), Qutb al-Din al-Syirazi (w. 1311), al-Battani (929 M), Abu Haitsam (w. 1039), Abu al-Raihan al-Biruni (w. 1050 M), Abu Hasan „Ali ibn Yunus, Kamal al-Din al-Farisi, al-Khazini, Jabir ibn Hayyan (w. 815), Jakariyya al- Razi (w. 925).

6 Pada awalnya, Dinasti Safawiyyahyah berasal dari gerakan tarikat lokal bermadzhab Syi‟ah Itsna Asyar di bawah pimpinan Safi Al-Din (1252-1334 M) di daerah Ardabil, kota yang terletak di wilayah Azerbaijan. PM. Holt, ed., The Cambridge History of Islam (London: Cambridge University Press, 1970), 394. Nama Safawiyyahyah dikukuhkan menjadi nama dinasti setelah gerakan tarikat ini menjadi kekuatan politik yang besar dan berhasil mendirikan sebuah kerajaan baru di tanah Persia. Mansur M.A, Peradaban Islam: Dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), 62. Pengaruh kuat sufisme (tarikat) Safi Al-Din menginspirasi Imam Junaid (1447-1460 M) untuk memperluas tradisi sufistik dan menjadikannya sebagai gerakan sosial keagamaan sekaligus sebagai basis kekuatan politik. Gerakan tarikat ini mencapai puncaknya ketika tongkat kepemimpinan dipegang oleh Ismail (1501-1524 M). Dalam kendali Ismail gerakan tarikat ini kental dengan nuansa politik, terlebih ketika ia membentuk pasukan khusus bernama Qizilbash (Baret Merah). Melalui kekuatan

M pasukan ini akhirnya Ismail mampu mendirikan kerajaan Safawiyyahyah dan memimpinnya selama sepuluh

O tahun. Masudul Hasan, History of Islam Syah (India: offset Printer, 1995), 280. Dinasti Safawiyyahyah memiliki M kekhasan tersendiri dalam pola institusi negara, yaitu menggabungkan budaya Arya yang rasionalis dengan Islam Syi‟I yang sufistik, sehingga tidak heran jika pada tahun 1501 M pihak kerajaan mengumumkan Syi‟ah sebagai E

madhab negara. Kerajaan ini menjadi babak baru dalam sejarah peradaban Islam karena berhasil memperoleh N kejayaan di berbagai bidang, ekonomi, ilmu pengetahuan, arsitektur dan seni. Badri Yatim, Sejarah Peradaban

TU TU

sekian faktor yang memicu gejolak sosial-kultural rakyat Iran di era Pahlevi. 7 Kebijakan tersebut di atas adalah embrio kebencian rakyat Iran kepada rezim Pahlevi,

terlebih dengan para ulama Iran. Selain mendapat rivalitas dari dalam negeri, rezim Pahlevi juga mendapat tekanan dari sekutu yang membesarkannya, Uni Suviet dan Inggris. Kebencian kedua negara tersebut muncul karena Reza Shah Pahlevi secara perlahan mengurangi dominasi

Uni Suviet dan Inggris atas perekonomian Iran, dan membelot ke arah Jerman. 8 Wal hasil pada tahun 1941, tekanan Uni Suviet dan Inggris memaksa Pahlevi untuk tunduk pada dua

kesepakatan. Pertama, Reza Shah Pahlevi turun tahta dan digantikan oleh anaknya, Muhammad Reza Pahlevi, sebagai siasat untuk meredam gejolak dalam negeri. Kedua, Pemberian keleluasaan kepada korporat asing untuk mengelola sumur-sumur minyak Iran sebagai strategi agar Uni Suviet dan Inggris dapat menguasai kembali sumber-sumber minyak Iran. Tentunya hal itu memicu gejolak politik, karena kontrak politik tersebut tercium oleh tokoh-tokoh nasional Iran, baik dari tokoh kesukuan, intelektual sayap kiri, pengusaha lokal ataupun ulama. Pemimpin front nasional, Muhammad Mussaddeq yang di-back up oleh tokoh- tokoh nasional Iran secara lantang menuntut Pahlevi Junior untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan minyak Iran, utamanya The Anglo-Persian Oil Company yang ketika itu dikelola oleh Inggris.

Karena agitasi, propaganda dan provokasi politik Inggris yang licik, pada tanggal 16 Agustus 1953 koalisi Mussaddeq bersama tokoh nasional Iran berhasil dipecah dan diadu domba hingga terjadi perang saudara selama tiga tahun. Efek singnifikan dari perang saudara ini adalah perekonomian dan kancah perpolitikan Iran semakin carut marut dan tidak menentu. Lebih parahnya, gonjang ganjing politik dan kondisi ekonomi Iran yang rapuh ini menjadi peluang Amerika untuk memainkan bola panasnya dalam kancah perpolitikan Iran dengan cara mendukung rezim Shah.

Dengan politik double standard, 9 Amerika secara perlahan menggeser penguasaan Uni Suviet dan Inggris atas Iran. Dan untuk menguasai ladang-ladang minyak Iran, Amerika tampil

seolah Satrio Piningit yang mendukung program Muhammad Reza Pahlevi untuk mengoptimalkan proyek modernisasi sosial, budaya dan ekonomi Iran. Amerika berusaha menjadi backing utama Iran dalam menajerial ekonomi, politik, hukum serta peningkatan pertahan dan keamanan negara. Untuk membuktikan keseriusannya, Amerika melatih para polisi dan tentara Iran di Israel. Dan bahkan membantu Iran memukul mundur militer Uni Suviet dan mematahkan gerakan separatis pro Uni Suviet di Azerbayjan dan Kurdistan. Namun, tujuan di balik itu semua adalah tambang emas hitam.

Pertengahan tahun 1970 utopia modernisasi dan sekulerisme Muhammad Reza Pahlevi menampakan kegagalan nyata di berbagai bidang. Gonjang-ganjing ekonomi, ketidakjelasan

MO

7 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj. Rahmani Astuti. (Bandung:

M Mizan, 1999), 68-69.

8 Zayar, “The Iranian Revolution-Past, Present and Future.”, diakses tanggal 14 November 2011 dari E http://www.marxist.com/the-Iranian-revolution-past-present-future.htm

9 Politik Double Standard adalah Intrik politik yang memainkan dua wajah. Pada satu sisi memihak,

TU TU

meningkatkan kekecewaan menjadi antipati yang massif. Terlebih dengan adanya sikap oposisi yang ditunjukan oleh ulama, tokoh kesukuan, cendikiawan religius, tokoh berhaluan marxisme,

dan para pemikir liberal. 10 Ayatullah Khomeini, Murtadha Muthahhari, Taleqani, Bahesti, Mehdi Bazargan dan Ali

Syariati adalah dari sekian tokoh yang terang-terangan menentang Pahlepi, dan secara intens

11 memprovokasi rakyat untuk melakukan perubahan konstitusi Iran. 12 Ali syariati misalnya, getol menentang intervensi Amerika atas bangsa Iran seraya menyerukan untuk kembali

mengusung identitas nasional dan religio-budaya Islam Iran (idiologi revolusioner Islam khas Syi‟ah Istna Asyar). 13 Begitu juga dengan Khomeini, dari mimbar ke mimbar Khomeini

melakukan propaganda politik untuk membangkitkan kesadaran rakyat Iran dari bualan kosong program modernisasi Shah Pahlepi yang sudah terkooptasi kekuatan Amerika, Israel dan perusahaan-perusahaan multinasional.

Gencarnya perlawanan Khomeini terhadap rezim Pahlepi -secara perlahan namun pasti- menjadikan populeritas Khomeini semakin menanjak, dan bahkan dijadikan sebagai simbol kekuatan oposisi pemerintahan Iran yang tak kenal kompromi. Namun, gencarnya agitasi dan propaganda politik Khomeini kepada rakyat Iran harus dibayar mahal dengan pengasingannya ke Turki pada tahun 1964, lalu ke Irak pada tahun 1965 dan berakhir di tanah kiblat mode dunia, Perancis, pada tahun 1978. Kendati demikian Khomeini tak pernah berhenti menentang kebijakan-kebijakan Shah Pahlevi yang semakin mengkikis habis budaya bangsa Arya-Islam. Melalui kaset-kaset dan pamflet-pamflet propaganda politik Khomeini diselundupkan dan disebarkan oleh para aktivis ke seantero penjuru Iran. Puncak dari konsistensi Khomeini dalam melawan rezim penguasa itu berakhir pada tahun 1979 dengan tumbangnya rezim Shah Pahlevi melalui revolusi sosial yang sekaligus menjadi akhir dari sistem kerajaan di tanah para mullah.

Republik Islam Iran Pasca Revolusi 1979

Gonjang ganjing politik, carut marut ekonomi, interpresi asing yang berlebihan serta berbagai penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh pergerakan yang dilakukan oleh SAVAK (badan intelejen di era rezim Pahlevi) adalah sekian isu yang didengungkan para mahasiswa saat berdemontrasi di Qum, menuntut rezim Pahlevi lengser dari kekuasaannya. Namun, alih- alih direspon baik, para demonstran dibalas dengan tembakan brutal polisi, korban tak

10 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, 75 11 Ibid., 77. 12 Ali Syariati (1933-1978) adalah seorang intelektual muslim jebolan universitas Sorbonne yang dibunuh

satu tahun sebelum revolusi Iran terjadi. Terilhami dengan karya besar Max Weber, The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism , Syariati berusaha mereformasi doktrin Islam menjadi idiologi revolusioner untuk mengubah kondisi sosial bangsa Iran dengan ide kontroversialnya “Islamic Protestant”. Kendati demikian pemikIran Syariati

M banyak mempengaruhi kalangan intelektual Iran yang salah satunya teraplikasikan dalam gerakan menumbangkan

O Muhammad Reza Pahlevi melalui Revolusi. Mojtaba Mahdafi, Max Weber in Iran: Does Islamic Protentant M matter? (University Of Westrn Ontario), 9

13 Doktrin Syi‟ah yang berkembang di Iran adalah Syi‟ah Istna „Asyar (syi‟ah Imam Dua Belas). Yaitu E doktrin akan adanya dua belas imam yang menjadi pemimpin religio-politik umat Islam. Imam kedua belas yang

N dinamakan dengan Imam Mahdi adalah imam yang menghilang pada tahun 874 yang kelak akan muncul kembali

TU TU

Pasca revolusi, Iran dihadapkan pada dua masalah fundamental, yaitu: Pertama, Identitas nasional (idiologi negara). Identitas yang menyatukan rakyat Iran dalam satu kedaulatan negara. Wilayat al-Faqih yang berbasis pada Syari‟at Islam madzhab Syi‟ah Istna Asyar adalah jawaban Khomeini untuk hal ini. Kedua, hubungan diplomatik dengan negara-negara di belahan dunia. Sikap keras Khomeini yang menentang Amerika dan sekutunya berujung pada embargo ekonomi yang menyebabkan rakyat Iran terkucilkan dari kancah internasional dan

harus hidup berdikari. 14 Apalagi setelah adanya orasi oposisi Khomeini yang mengumandangkan “Mary Bar Amerika“ (Mampuslah Amerika). Seperti diungkapkan John L.

Esposito, karena orasi tersebut Komeini dianggap sebagai icon revolusioner yang berpotensi menjadi ancaman Amerika dan sekutunya. Apalagi setelah duta besar Amerika dan Israel diusir

dari negerinya. 15 Dalam Madkhal Ela Al-Siyasah Al-Kharigiyah Li-Gumhouriyat EIran Al-Eslamiyah Birn

Izdy, mantan petinggi Iran di Kementrian Luar Negeri Iran, mendeskripsikan konstalasi politik dan arah kebijakan Iran pasca revolusi ke dalam empat fase. 16 Fase pertama adalah fase yang

bergulir antara tahun 1979-1980. Masalah krusial yang harus dihadapi pada fase ini adalah perdebatan sengit antara kubu liberal dan kubu konservatif mengenai arah kebijakan pemerintah Iran dalam menentukan hubungan diplomatik dengan dunia internasional. Revolusi konstitusi dari monarkhi menjadi Republik Islam Iran secara otomatis mengubah haluan negara. Iran yang sangat vokal menentang imperialisme Amerika dan dikenai embargo dengan tegas memutuskan untuk membatasi diri dari kancah dunia internasional dan berusaha berdikari dan berbenah diri. Keputasan ini tentunya semakin menyulut amarah Amerika dan sekutunya .

Fase kedua adalah fase yang berjalan antara tahun 1980-1988. Fase ini bisa dikatakan sebagai momen penting dari tahap-tahap awal kemajuan Iran yang terkucil dari pentas internasional. Namun, kemajuan Iran ini semakin memompa adrenalin kebencian Amerika. Pententangan antara Amerika dengan Iran pun semakin bergejolak dan melibatkan beberapa negara untuk memediasi konflik keduanya. Namun Iran tidak mengindahkan mediator dari negara lain karena bargain politik yang ditawarkan dalam proses mediasi tersebut merugikan pihak Iran. Karena merasa dipermalukan Iran, Amerika pun memperpanjang sanksi embargo ekonomi dan financial atas Iran.

Fase ketiga adalah fase yang berjalan antara tahun 1988-1997. Pada fase ini Iran berupaya untuk meraih simpati dunia internasional, utamanya negara-negara kawasan teluk Arab dan Eropa. Karena itu Iran yang dipimpin Hasyemi Rafsanjani bersikap lebih kooperatif, terbuka dan moderat. Rapuhnya perekonomian dalam negeri kerena embargo ekonomi dan

MO

14 Ira M. Lapindus, Sejarah Sosial Umat Islam, terj. G hufron A Mas‟adi (Rajawali Press, Jakarta 1999),

59. E 15 John L Esposito & John O Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, 66

16 Lihat. Strategi Politik Luar Negeri Iran http://www.eramuslim.com/berita/analisa/strategi-politik-iran-

TU TU

Fase keempat adalah fase yang berjalan antara tahun 1997-2005. Pada fase ini Iran dipimpin oleh Mohammed Khatami. Dialog of Civilization (dialog antar peradaban) adalah isu

utama yang digaungkan oleh Khatami untuk meraih simpati dunia internasional. 17 Isu yang menyerukan penghapusan sekat-sekat idiologis, rasis dan religius dalam pergaulan

internasional. Namun, kebijakan Khatami yang lebih demokratis ini banyak menuai kritik dari tokoh-tokoh konservatif Iran, terutama setelah adanya kontrak politik dengan Presiden Israel, Moshe Katsav pada bulan April 2005. Sebuah kesepakatan yang tidak bisa lepas dari kepentingan Amerika.

Dengan mengacu kepada empat fase Birn Izdy dan sebagai kelanjutannya, peralihan kekuasaan dari Mohammed Khatami ke Ahmadinejad 2005 hingga 2012 penulis anggap

sebagai fase kelima dari konstalasi politik Iran. 18 Kepemimpinan Ahmadinejad ini bisa dikatakan sebagai fase pengulangan kebijakan pendahulunya, Khomeini, yang menentang

Amerika, namun dengan modus operandi yang berbeda. Di era Ahmadinejad isu nuklir (senjata pemusnah massal) menjadi poin penting yang syarat politis. Konflik politis antara Amerika dan Iran selalu dibalut dengan isu nuklir yang melibatkan peran negara-negara anggota PBB.

Rivalitas Amerika dan Iran semakin meruncing setelah peristiwa 11 September 2001 yang menghancurkan icon kemapanan ekonomi Amerika, WTC (World Trade Center). Terlebih ketika Wasington menuduh Iran sebagai biang terroris dan axis of evil (poros kejahatan) dunia yang berada di balik serangan WTC bersama dengan kelompok Taliban dan

Al-Qaeda. 19 Tuduhan Amerika atas Iran tentunya sangat ironis, karena, seperti diungkapkan Hasan Hanafi, embrio gerakan terroris yang diidentikan dengan gerakan fundamentalisme

Islam pertama kali muncul dari proses kaderisasi martir yang dididik Amerika dalam rangka melawan invasi Uni Soviet ke Afganistan. 20

Melalui berbagai media mas a, baik cetak atau elektronik, kata “Terroris” menjadi isu utama –memperkuat isu nuklir- yang diangkat oleh Amerika untuk menjatuhkan reputasi Iran di mata dunia. Negara-negara anggota PBB didesak untuk sepakat menginfeksi senjata nuklir Iran. Meskipun infeksi badan atom dunia, IAEA, yang diketuai El-Faraday tidak menemukan senjata nuklir, Amerika tetap menekan Iran. Bahkan Amerika dan sekutunya mengangkat isu lain untuk menjatuhkan Iran. Kali ini isu yang diangkat adalah Iran sebagai biang terror yang

17 Secara akademis dan secara terang-terangan, tema agung ini pernah digaungkan oleh Khatami di Florence University pada tanggal 10 Maret 1999. Shen Qurong, ”Dialog among Civilization: Implications for Internasional Relations .” dalam Journal of China Institute of Contemporary International Relations, September 2001.

O putaran, tanggal 17 dan 24 juni 2005, Ahmadinejad berhasil dikukuhkan menjadi presiden dengan perolehan suara M sebanyak 7.248.782 (61,95%) mengalahkan lawannya mantan presiden Rafsanjani.

18 Mahmouh Ahmaddinejad berasal dari kubu konservatif. Dalam pemilu presiden yang berjalan dua

19 Mahmood Sariolghalam, “Understanding Iran: Getting Past Stereotypes And mythology.” dalam The E Wasington Quarterly , Autum 2003, 69

20 Hasan Hanafi, New direction In Islamic Thought, makalah yang disampaikan di Goergetown University

TU TU

Ahmadinejad mengungkapkan bahwa kebencian Amerika atas Iran sebenarnya bukan karena masalah nuklir, teroris, politik praktis dan kekuatan militer Iran, tetapi dipicu oleh

kemajuan pesat sains dan teknologi Iran yang mulai merontokan dominasi Amerika. 21 Maklum, pada tahun 2010 pusat pengembangan sains dan teknologi Iran (The Regional Centre for

Science Parks and Technology Incubators Development) yang terletak di kota Isfahan 2010 telah menjadi prototipe beberapa negara yang tergabung dalam Economic Cooperation Organization (ECO), yaitu Afghanistan, Azerbaijan, Kazakhstan, Kyrgyz, Pakistan, Tajikistan,

Turki. 22 Dan bahkan pada tahun 2011 Iran telah dinobatkan sebagai negara yang paling pesat pertumbuhan sains dan teknologinya. 23 Amerika menyadari bahwa jika Iran dibiarkan, maka

akan menjadi negara kuat berbasis Islam yang dapat mengilhami negara-negara berkembang untuk lepas dari ketergantungan Amerika.

Diplomasi intensif Ahmadinejad dengan Rusia dan China menambah ketakutan Amerika atas Iran karena keduanya memiliki pengaruh kuat di dewan keamanan dunia (PBB). 24 Amerika

semakin Pobia ketika Iran diketahui dekat dengan Korea Utara, Venezuela dan Cuba. Alasan kuat pobia ini dikarenakan konstalasi kekuatan Amerika dihantam oleh tiga kubu besar dunia yang memiliki persenjataan militer yang canggih, yaitu: kubu kuning (simbol asia) yang diwakili oleh Korea Utara, kubu merah (simbol komunis) diwakili oleh Cuba dan Venezuela, dan kubu hijau (Islam) yang diwakili oleh Iran.

Ketika Barrack Obama naik tahta dan memainkan peran di Phentagon, citra negatif Amerika atas Islam perlahan mulai berubah, dan bahkan kebijakannya tidak seagresif Bush. Sayangnya sikap ini tidak bertahan lama karena obama tersangkut oleh tekanan oposisi dan korporat yahudi. Sikap obama ini sebenarnya sudah diprediksikan oleh Dr. Manouchehr Mottaki, menteri luar negeri Iran. Dalam pidatonya yang disiarkan di berbagai station televisi ia mengungkapkan bahwa dengan naiknya Obama sebagai Presiden Amerika sama sekali tidak akan mempengaruhi dan memberi efek positif bagi Iran, siapapun presidennya, Amerika pasti akan menekan Iran karena Iran satu-satunya negara Islam yang berpotensi besar merontokan dominasi Amerika.

Di atas, penulis telah menguraikan sejarah singkat berdirinya negara Republik Islam Iran dari awal sampai tegak berdiri menjadi prototife negara-negara berkembang dalam berdaulat, mandiri, berdikari, dan lepas dari interpensi Amerika. Jika kita mencermati secara serius Iran, tentunya akan bertanya-tanya kenapa Iran mampu menjadi negara yang kokoh dan menjadi garda terdepan dalam penguasaan sains dan teknologi. Jawabanya memang kompleks dan tidak bisa direduksi pada satu masalah. Meskipun demikian mayoritas pengamat mengungkapkan bahwa secara teoritis-idiologis titik keberhasilan Iran berpangkal pada konsep “Wilayat al-

21 President: Enemies Fearing Iran‟s Scientific Progress. http://english.farnews.com/newstext.php?nn.

M September 2010.

22 Lihat. Yusuf Assidiq, Islam di Iran: Menuju Penguasaan Teknologi, Republika, Islam Digest Ahad, 26

O 23 Lihat. Royal Society Report 2011. M

24 Dua negara yang acap kali menjadi penengah resolusi konflik antara Amerika dan Iran adalah China dan Rusia. Alasannya, bagi Rusia Iran adalah mitra strategis di bidang persenjataan militer. Iran sendiri tercatat

E sebagai negara yang banyak membeli persenjataan rusia seperti, tank T-72C, kendaraan lapis baja, suku cadang

N MIG-29, SU-24 dan Kapal Selam. Adapun bagi China, Iran adalah mintra ekonomi China, Iran menjadi pangsa

TU

Faqih“ yang diformulasikan oleh Ayatullah Imam Khomeini. Atas dasar inilah kita perlu meninjau lebih jauh bagaimana konsep Wilayat al-Faqih dirumuskan dan diaplikasikan sebagai idiologi Negara.

Wilayatuh Al-Faqih : Ulama dan Negara

Konsep Wilayat al-Faqih adalah konsep orisinal Imam Khomeini sebagai respon atas kemandulan para ulama dalam mengejawantahkan doktrin Islam dalam kaitannya dengan dinamika politik, idiologi, sistem dan administrasi negara. Namun, untuk memahami konsep Wilayat al-Faqih secara utuh, terlebih dahulu kita harus memahami latar historis pemikiran Imam Khomeini.

1. Selintas Mengenai Imam Khomeini

Ruhullah, demikian panggilan kecil yang diberikan Sayyid Mustafa dan Banu Hajar kepada anaknya, Ayatullah Khomeini, yang dilahirkan pada tanggal 24 September 1902 di sebuah daerah bermana Khomen, beberapa ratus kilo meter dari kota Isfahan. Sang ayah dan kakek dikenal sebagai dua pribadi religius dan memiliki garis keturunan dari Imam Musa Al-Kazhim bin Ja'far Al-Shadiq ibn Muhammad Al-Baqir ibn 'Ali Zainal 'Abidin ibn Husin ibn 'Ali bin Abi Thalib. Ayatollah Sayid Mostafa Musavi adalah seorang ulama kaya yang peduli kaum dhu‟afa. Ia meninggal dibunuh oleh seorang bandit ketika sedang menolong petani kecil. Ketika itu Ruhullah kecil masih berusia lima bulan. Sepeninggalan sang ayah, Ruhullah kecil berada dalam pengasuhan ibu dan bibinya, Sahebeh Khanoum, sampai keduanya meninggal pada saat Ruhullah berusia enam belas tahun. Setelahnya, Ruhullah dibimbing oleh sang kakak, Sayyid Murtaza,

yang akrab disapa dengan Ayatullah Pasandida. 25

Secara akademik, perubahan draktis dalam pribadi Ruhullah terjadi saat usia sembilan belas tahun. Atas rujukan sang kakak, Ruhullah pergi ke Arak untuk menimba ilmu kepada ulama terkemuka, Ayatullah 'Abdul Karim Ha‟iri (w. 1936), murid dari ulama kondang S yi‟ah di Irak, Mirza Hasan Shirazi. Namun saat di Arak, Ruhullah tidak bisa langsung belajar di bawah bimbingan Abdul Karim Ha‟iri karena tingkat keilmuannya belum memadai. Untuk bisa dibimbing langsung oleh Abdul Karim Ha‟iri, ia terlebih dahulu diharuskan belajar fiqh, bahasa Arab dan logika kepada ulama lain.

Setahun setelah Khomeini tinggal di Arak, Abdul Karim Ha‟iri menerima undangan penduduk dan para sarjana Qum untuk tinggal di sana. Di Qum Abdul Karim Ha‟iri mendirikan sebuah lembaga pembelajaran keagamaan. Lembaga ini menjadi pelopor dari rangkaian sejarah perkembangan Qum sebagai pusat ilmiah dan spiritual Islam di Iran. Di Qum, nama besar Abdul Karim Ha‟iri dijadikan simbol ulama yang menentang rezim Pahlevi.

Keinginan Khomeini untuk dibimbing oleh Abdul Karim Ha‟iri sangat kuat. Karena

keinginannya ini pula Khomeini akhirnya hijrak ke Qum. Di Qum inilah Khomeini

dididik langsung oleh Abdul Karim Ha‟iri, dan bahkan Khomeini menjadi salah satu

murid Ha‟iri yang cemerlang, ia banyak menguasai disiplin ilmu yang luas, terkhusus E

NT NT

Hasrat khomeini untuk memperdalam „irfan sangat kuat, karena itu Khomeini melanjutkan pengembaraan ilmiahnya kepada Sayyid Abu'l-Hasan Rafi'i Qazvini (w.1975) dan Ayatullah Muhammad 'Ali Shahabadi (w.1950). Dari sosok Shahabadi,

wacana filsafat dan „irfan diperkenalkan kepada Ruhullah melalui karya-karya penting seperti; Komentar Daud Qusyairi (w.1350) atas Fushush al-Hikam Ibn 'Arabi, Miftah al-Ghayb Shadr Al-Din Al-Qunawi (w.1274) dan Manazil al- Sa‟irin Khawajah 'Abdullah Anshari (w.1089). Selain disiplin „irfan, Shahabadi adalah guru yang menjadi inspirator Ruhullah dalam masalah integrasi agama dan politik. Hal ini dikarenakan pada saat itu Shahabadi kerap kali mengkritik kebijakan pemerintah Shah yang getol dengan proyek modernisasi dan sekulerisasinya.

Kecerdasan Khomeini kian tercium dan acap kali dijadikan nara sumber untuk kajian-kajian ilmiah. Seiring dengan waktu, populeritas Khomeini di dunia ilmiah melonjak, terlebih dalam penguasaan bidang etika, filsafat dan „irfan. Dalam kajian ilmiah yang diadakannya dua kali dalam seminggu dan selalu dihadiri oleh ratusan jamaah, Khomeini memperkenalkan hikmah melalui pendekatan „irfan dengan merujuk kepada kitab al-Asfar al-'Arba'ah dan Sharh Manzhumah . Konsep „irfan yang diperkenalkan oleh Khomeini banyak mengilhami tokoh-tokoh penting dalam revolusi Iran, termasuk Ayatullah Muntaziri dan Murtadha Muthahhari. Aktivitas ilmiah Khomeini di Qum ini bertepatan dengan awal-awal pendirian Negara Iran Modern oleh Reza Pahlevi dengan mengubah sistem monarki menjadi kediktatoran modern, sebuah bentuk totaliterianisme yang mengeliminasi peran Islam sebagai basis kekuatan politik,

sosial dan kultural. 26 Dan tak ayal Khomeini terlibat dalam mengkritisi kebijakan- kebijakan Pahlevi yang pro barat dan otoriter.

Pada tahun 1962, pasca wafat pemimpin lembaga keagamaan yang didirikan Abdul Karim Ha‟iri, Ayatullah Burujirdi, 27 Khomeini menjadi sosok sentral yang paling

disegani dan dianggap paling layak untuk menjadi pemegang otoritas tertinggi lembaga keagamaan itu sekaligus menjadi simbol perlawanan rezim Shah Pahlevi menggantikan Burujirdi. Karena alasan ini ruang gerak Khomeini selalu diawasi dan dibatasi oleh pemerintah karena selalu dianggap subversif dan membahayakan stabilitas negara.

Titik kulminasi pembatasan ruang gerak Khomeini terjadi pada tahun 1964 dimana ia diasingkan ke Turki dengan kawalan agen polisi rahasia. Di Turki Khomeini di tempatkan di Ankara dan kemudian dipindah ke Bursa, kota kecil di bagian barat Turki, sebuah tempat yang didominasi kaum Sunni dan secara politik cenderung sekuler. Pemerintah Shah Pahlevi mengasingankan Khomeini di kota ini agar tidak memiliki basis masa dan terkucil dari kelompok Syi‟i. Namun, karena tekanan publik yang

berkesinanbungan, akhirnya pada tahun 1965 rezim Shah Pahlevi mengijinkan

Khomeini untuk tinggal di Najaf, kota yang berbasis Syi‟ah di Irak.

ME

26 Ibid., 14 N

27 Pemimpin lembaga keagamaan yang didirikan oleh Abdul Karim Ha‟iri (w. 1937) setelah, Ayatullah

TU

Shah Pahlevi menyetujui pemindahan Khomeini ke Najaf karena ia meyakini bahwa pengaruh Khomeini akan redup oleh ulama-ulama besar yang berada di Najaf. Namun, prediksinya salah. Kepindahan Khomeini ke Najaf ternyata menjadikan posisi Khomeini semakin kukuh dan dikenal oleh para tokoh muslim sebagai ulama yang berpengaruh, terlebih ketika bertemu dengan Muhsin Al-Hakim dan Muhammad Al- Baqir Shadr. Aktivitas politik Khomeini di Najaf yang sangat sentral ternyata harus dibayar dengan kematian anaknya, Hajj Mustafa, pada tanggal 23 November 1977 yang dibunuh oleh Agen rahasia rezim Shah (SAVAK) bersama dengan aktivis lainnya.

Kematian para aktivis, gonjang ganjing ekonomi, korupsi yang berjalan secara massif dan isu bahwa Khomeini sebagai agen kekuatan barat yang dibuat oleh rezim Shah, menjadi awal dari pergolakan politik yang diikuti dengan demontrasi anti pemerintahan Shah di sepanjang Qum. Pasa saat ini pula Imam Khomeini menghembuskan isu berkenaan dengan perubahan sistem pemerintah Iran dari monarki menjadi Republik Islam Iran. Karena isu tersebut pada bulan oktober 1978 Khomeini diasingkan kembali ke kota Neauphle le Chateau, Perancis. Walaupun ditawarkan beberapa negara Islam sebagai tempat pengasingannya, Khomeini enggan untuk memilih negara Islam, ia lebih memilih Perancis. Alasannya, lebih mudah menjalankan aktivitas politiknya. Di Perancis Melalui berbagai media massa Imam Khomeini menyerukan rakyatnya untuk menentang pemerintah Syah. Wal hasil pada 10 Februari 1979 terjadi Revolusi. Pasca revolusi, Imam Khomeini kembali ke negaranya dan mengubah format negara Iran menjadi negara Republik Islam Iran dengan basis idiologi Islam dan sistem pemerintahannya yang dikenal dengan Wilayat al-Faqih. Sistem yang secara konstitusional dituangkan ke dalam Konstitusi Republik Islam Iran pasal 107 sampai 112. Diawal perjalanan Iran, Imam Khomeini menjadi Faqih (Rahbar) yang mengendalikan pemerintahan Iran dan juga dalam permasalahan keagamaan rakyatnya sampai wafat pada 1989.