Aliansi dan Institusi Keamanan Regional
Institusi Keamanan Internasional : Aliansi dan Institusi Regional
Tugas Tutorial Keamanan Internasional kelas A-4
Disusun oleh :
Annisa Ridhatul Khatimah
Ahmad Tajudin
Mediansyah
M Fais Fajari
Sari Sarlita
Surya Patria Jumantara
Kasalla Lynk Uno
135120400111045
135120401111045
135120401111042
135120400111021
135120401111028
135120407111005
135120407111049
Dosen Pengampu : Mely Noviryani, MM
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Definisi Aliansi
a) Menurut Waltz, aliansi didefinisikan sebagai hubungan kerjasama keamanan yang dapat
bersifat formal atau informal antara dua atau lebih negara berdaulat (1987: 1). 1 Definisi yang
hampir sama juga digunakan oleh Michael Barnett seorang asisten Professor Ilmu Politik di
Universitas Wisconsin, Madison2 dan Jack Levy Profesor Ilmu Politik di Rutgers University,
New Jersey yang mengemukakan bahwa aliansi merupakan hubungan antara dua atau lebih
negara dan melibatkan harapan dalam kebijakan bersama demi menghadapi masa depan
yang sulit untuk diprediksi. 3Serta menurut Patricia Weitsman,4 menggambarkan aliansi
adalah sebagai 'perjanjian bilateral atau multilateral untuk menyediakan beberapa unsur
keamanan untuk penandatanganan' (2004: 27).5
b) Menurut Goldstein, Aliansi adalah sebuah koalisi negara-negara yang mengkoordinasikan
tindakan mereka untuk sejumlah tujuan tertentu. Aliansi secara umum memiliki tujuan untuk
menambah kekuasaan relatif para anggotanya terhadap negara-negara lain. Dengan memiliki
kapabilitas yang lebih besar maka akan mempengaruhi posisi tawar negara anggota dengan
negara lainnya. Bagi negara kecil, aliansi dapat dijadikan elemen kekuasaan yang penting,
Sedangkan bagi negara besar, sturktur aliansi dapat membentuk konfigurasi kekuasaan dalam
sistem. Kebanyakan aliansi dibentuk untuk merespon adanya ancaman. Ketika kekuataan
sebuah negara meningkat dan mengancam saingannya, maka akan dibentuk sebuah aliansi
untuk membatasi peningkatan kekuatan negara tadi (Goldstein, 204: 102)6.
c) Dalam tulisan John Hillen and Michael P. Noonan yang berjudul The Geopolitics of NATO
Enlargement, definisi aliansi adalah Aliansi merupakan perjanjian untuk saling mendukung
1Ibid.
2International Organization, Domestic sources of alliances and alignments: the case of Egypt1962–73. diakses dari
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?
fromPage=online&aid=4309532&fileId=S0020818300033142 , pada tanggal 26 april 2015
3Benjamin Zyla, Sharing the Burden?: NATO and its Second-Tier Powers. 2015. Diakses di
https://books.google.co.id/books?
id=ONfTBgAAQBAJ&pg=PA4&lpg=PA4&dq=definition+alliances+by+Michael+Barnett+and+Jack+Levy&sour
ce=bl&ots=Yi7pMzyPHD&sig=bkUW3LlX0YPiBKBmHvRDXBDwFO0&hl=en&sa=X&ei=Tp08Vc_7KcW2uATw6
YCQDw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false tanggal 26 April 2015 pukul 03:19
4Patricia Weitsman, ProfesorI lmu Politik dan Direktur Studi Perangdan Perdamaian di Ohio University.
5Paul D. Williams, op. cit., h. 293
6 Obsatar, S. AliansiJepang-AS dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Selatan.
Dosen HI UNPAD.
secara militer jika salah satu negara penandatangan perjanjian diserang oleh negara lain;
selain itu aliansi ditujukan untuk memajukan kepentingan bersama di antaranegara anggota.
Aliansi dapat bersifat bilateral maupun multilateral, rahasia atau terbuka,sederhana atau
sangat terorganisasi, dapat berjangka lama atau pendek, serta dapat dikendalikan untuk
mencegah atau memenangkan sebuah perang. Adanya system Balance of Power cenderung
mendorong pakta militer untuk mengimbangi pergeseran dalam keseimbangan kekuasaan.7
Stephen Walt juga menambahkan bahwa aliansi pada dasarnya adalah ofensif atau defensif
dan mungkin menawarkan "a restraining influence on allies and adversaries alike" atau
menahan pengaruh sekutu dan musuh yang sama." tetapi bagaimanapun juga yang paling
penting dari pernyataanya adalah bahwa aliansi adalah bukan merupakan bagian dari aturan
collective security.8
Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh berbagai macam dan luasnya definisi aliansi
adalah seperti kegagalan untuk membedakan berbagai macam bentuk kerjasama keamanan.
Definisi-definisi yang telah disebutkan diatas terlihat seperti aliansi itu terbentuk untuk
merangkul segala macam kerjasama keamanan, tidak peduli bahaya yang mungkin ada
didalamnya dan hanya terbatas sebagai aliansi dalam bentuk dukungan atau bantuan ekonomi
yang dianggap sebagai tujuan keamanan. hal tersebut demikian bisa kita katakan sebagai bentuk
aliansi tradisional tetapi bagaimanapun juga dalam aliansi ada penekanan bahwa negara-negara
menempatkan bantuan militer terutama penggunaan kekuatan seperti apa yang sudah sering kita
lihat.9
7John Hillen and Michael P. Noonan, The Geopolitics of NATO Enlargement, diakses dari
http://strategicstudiesinstitute.army.mil/pubs/parameters/Articles/98autumn/hillen.htm tanggal 26 April 2015 pukul
02:40
8Ibid
9Ibid
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Urgensi Aliansi
Aliansi sendiri merupakan suatu hal tidak dapat kita pisahkan dari sebuah fenomena
bernama perang dan keamanan sehingga secara umunya, aliansi lebih dikaitkan pada studi
keamanan dan politik dunia. Bahkan ilmuwan politik Amerika, George Modelski
mendeskripsikan aliansi sebagai suatu istilah kunci dari hubungan internasional. Secara khusus
aliansi juga merupakan instrumen yang sangat bernilai untuk memajukan kepentingan suatu
negara dan dengan begitu negara akan merasa aman dari segala ancaman baik itu ancaman dari
dalam maupun ancaman dari luar.ketika berfokus pada ranah internasional, Kenneth Waltz
sebagai tokoh Neo-Realism yang paling kompeten terhadap fenomena-fenomena politik
internasional mencatat bahwa ada dua upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara untuk
mencapai tujuannya yakni yang pertama upaya internal dan yang kedua adalah upaya eksternal,
serta usaha untuk memperkuat dan memperbesar aliansi sendiri ataupun melemahkan dan
memperkuat lawan lain.
Adapun untuk negara lain yang sumber dayanya terbatas, ketergantungan pada suatu
aliansi bisa dikatakan sebagai satu-satunya pilihan. Oleh karena itu, pembentukan dan
penggunaan aliansi sendiri merupakan suatu tindakan untuk merespon atau menanggapi bahaya
di dalam sistem internasional. Sangat tidak mengeherankan ketika aliansi menjadi sesuatu yang
banyak dibahas dan menjadi kata-kata yang umum terlebih lagi pada sejarah modern.
Berdasarkan database yang berasal dari Alliance Treaty Obligations and Provisions (ATOP),
jumlah aliansi antara tahun 1815 dan 2003 adalah sebanyak 648 aliansi. Ada beberapa negara
yang memiliki aliansi kecil dengan jumlah anggota lebih dari tiga serta beberapa negara besar
yang sudah sering kita dengar namanya yakni negara-negara eropa yang memiliki aliansi terbesar
dan sampai saat ini keberadaannya masih eksis.10
3.2 Keberlangsungan dan keruntuhan aliansi
Jumlah aliansi yang terdaftar di database ATOP yakni sebanyak 648 total aliansi, dimana
sekitar 263 aliansi defensive yang eksis ditahun 1815 hingga tahun 2003, perlahan-lahan aliansialiansi tersebut kehilangan eksistensiannya hingga pada akhirnya direntan tahun 1945, 1995, dan
menuju di tahun 2003 hanya ada sekitar 42 jenis aliansi saja. Lalu apa faktor dari
10Paul D. Williams. Security Studies: An Introduction. Routledge, New York, 2008, h.292
keberlangsungan maupun keruntuhan dari aliansi itu? Jadi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan aliansi dapat bertahan atau runtuh. Salah satu faktor utama yang jelas adalah
perang dan pergeseran dalam peta politik internasional dan kenyataan bahwa perang menjadi
salah satu penyebab runtuhnya suatu aliansi. Dari sekitar 40 aliansi yang terbentuk sebelum
tahun 1870, hanya dua aliansi yang bertahan lebih lama dalam perang penyatuan Jerman.
Demikian juga, hanya dua aliansi yang ada sebelum Perang Dunia Pertama tetapi musnah setelah
konflik itu berakhir. Dengan demikian hanya ada lima dari aliansi yang terbentuk sebelum
Perang Dunia II, termasuk seperti pasangan periperal Turki-Afghanistan dan Rusia-Mongolia,
bahkan mereka tetap ada ketika gejolak perang itu berakhir. Dengan kata lain, perang yang besar
cenderung menyapu bersih aliansi.
Pendapat lain diserukan oleh Waltz dalam tulisannya yang berjudul survival. Menurut
Walt sebuah aliansi dapat bertahan meskipun ada perubahan drastis yang berasal dari luar
dikarenakan setiap anggota merasa bahwa aliansi tersebut lebih baik dibandingkan dengan
aliansi yang lain. di sisi lain, mereka dapat bertahan meskipun setelah itu akan ada sebuah
kewajiban yang diakibatkan oleh politik domestik, mispersepsi (misperception) maupun human
error. Hal demikian dikarenakan kehidupan politik adalah merupakan elemen gabungan dari
sesuatu yang rasional dan tidak rasional.masih pendapat dari Walt, sebab dari keruntuhan aliansi
adalah karena negara-negara didalamnya sudah tidak memiliki ketertarikan terhadap satu sama
lain. Dalam keadaan yang seperti ini, keputusan untuk mengakhiri aliansi dapat dilihat sebagai
respon yang rasional terhadap suatu kondisi yang baru. secara alternatifnya, sebuah aliansi dapat
runtuh dikarenakan sebab yang hampir sama dengan bagaimana sebuah aliansi dapat bertahan
yakni alasan tidak rasional seperti politik domestik dan misperception padahal jika dilihat
kebelakang, sebenarnya ada saja alasan untuk sebuah aliansi itu dapat bertahan.11
3.3 Alliance Institutionalization And Socialization12
Aliansi merupakan suatu bentuk kerjasama antar negara dalam bidang keamanan yang
dimana memiliki bentuk dan tujuan tertentu. kerjasama ini terjadi karena alasan tertentu seperti
NATO yang terbentuk karena adanya ancaman dari Uni Soviet pada saat itu. Namun, aliansi juga
tidak memiliki umur yang cukup panjang dengan alasan bahwa suatu tujuan dari aliansi tersebut
11Stephen M. Walt, Survival: Global Politics and Strategy, diakses dari
http://polsci.colorado.edu/sites/default/files/6B_Walt.pdf tanggal 26 April 2015 pukul 04:48
12 William, Paul.2012.Security Study : An Introduction. Routledge.Hlm 343-345.
telah dicapai atau bisa dikatakan dengan telah hilangnya sebuah ancaman yang sebelumnya melatarbelakangi terbentuknya sebuah aliansi tersebut.
Penjelasan di atas memunculkan pertanyaan “mengapa beberapa aliansi masih tetap
berdiri walaupun ancaman terhadap aliansi tersebut telah tiada?”. Pertanyaan ini akan penulis
jelaskan mengapa sebuah aliansi dapat bertahan hingga sekarang walaupun ancaman yang ada
sebelumnya telah hilang.
a) Institutionalization
Faktor mengapa sebuah institusi mampu bertahan, salah satunya adalah
institusionalisasi. Dimana beberapa aliansi yang ada mampu bertahan karena telah terbentuk
sebuah struktur atau menguatnya struktur yang ada dalam sebuah institusional dengan implikasi
bahwa
untuk
mempertahankan
kekuatan
aliansi
maupun
negara-negara
anggotanya.
Institusionalisasi pun ada dua penjelasan yang dapat menjelaskan secara gamblang mengenai
institusionalisasi yang terjadi dalam sebuah aliansi.
Pertama, adalah sebuah aliansi dapat mengembangkan atau membentuk sebuah
organisasi antar negara untuk memfasilitasi negara-negara anggota dari aliansi tersebut.
Organisasi ini dibentuk secara struktural, memiliki sebuah birokrasi yang jelas dengan negaranegara anggotanya, serta melihat otonomi dan kepentingan dari berbagai negara tersebut dalam
birokrasi yang bertujuan untuk merekatkan hubungan antar negara anggota dalam sebuah aliansi.
perilaku serta kepentingan anggota juga sangat berpengaruh dalam sebuah aliansi dalam
mempertahankan eksistensinya serta memperbarui misi dari aliansi tersebut.
Kedua , kapabilitas sebuah intitusi yang dapat digunakan untuk memperbaharui misi
ataupun tujuan dari yang sebelumnya telah terbentuk. Hal ini terjadi ketika misi dari aliansi telah
selesai , maka anggota memiliki kewenangan untuk menggunakan aset dari institusi yaitu untuk
menunjuk ancaman yang baru dan lebih memperhatikan dalam keamanan negara-negara
anggotanya.
Kedua faktor yang telah dijelaskan diatas merupakan beberapa alasan yang dapat
membuat aliansi dapat bertahan lebih lama.
b) Sosialisasi
Proses lain yang dapat menambah umur dari sebuah aliansi adalah sosialisasi antar
negara-negara anggotanya, lebih tepatnya adalah hubungan antar pemerintah mereka. seperti
menurut Walt bahwa aliansi akan tetap bertahan karena anggotanya telah mampu melihat bahwa
mereka berada dalam sebuah komunitas politik. Proses sosialisasi ini sifatnya juga lebih tertuju
pada substansinya dimana hal ini dilakukan melalui pertemuan secara rutin antar anggota aliansi.
sosialisasi juga mampu untuk menghilangkan ketakutan atau rasa curiga terhadap anggota
lainnya.
c) NATO after cold war13
NATO merupakan sebuah bentuk aliansi yang terbentuk pada tahun 1949 atas hasil
North Atlantic Treaty yang telah ditandatangani di Washington D.C ibu kota Amerika Serikat
dengan jumlah anggota awal yaitu 12 negara. Aliansi yang terbentuk untuk menahan ekspansi
dari Uni Soviet dan untuk menekan kekuatan Uni Soviet ini mampu bertahan hingga usai perang
dingin bahkan hingga sekarang. Setelah berbagai konflik yang muncul ketika perang dingin
muncul perjanjian baru sebagai tanda akan munculnya sebuah organisasi setelah aliansi yang
terbentuk atas dasar perjanjian North Atlantic, perjanjian baru ini yaitu Brussel Treaty. Dimana
struktur aliansi ini diperkuat seperti adanya struktur pembagian jumlah militer yang lebih jelas
dalam aliansi, serta adanya perencanaan regional.
Meskipun demikian muncul beberapa perdebatan mengenai umur NATO yang dapat
bertahan hingga sekarang. Jika dianalisa lebih dalam, NATO seusai perang dingin dapat
dikatakan bahwa tidak memiliki ancaman dari pihak luar yang dapat menekan NATO. Dimana
ancaman NATO pada awalnya adalah Uni Soviet, dan pada tahun 1991 Uni Soviet pecah dan
merupakan sebuah tanda perang dingin telah usai serta ancaman dari negara berpaham komunis
ini dinyatakan berkurang. Peristiwa ini sesungguhnya adalah akhir dari misi NATO , karena misi
NATO adalah menahan sikap Uni Soviet yang ekspansif, serta untuk melindungi diri dari Uni
Soviet. Perubahan yang terjadi usai perang dingin dimana struktur dunia berubah dari bipolar
menjadi multipolar menjadikan aliansi ini tidak lebih kuat disaat perang dingin. Walt mengatakan
bahwa sebuah aliansi dikatakan memiliki kekuatan yang lebih bila memiliki jumlah anggota
yang banyak.
Pernyataan dari Walt terbukti dari bertambahnya 11 anggota baru yang masuk dalam
aliansi ini. Serta tidak hanya itu, artikel 5 juga mengatakan bahwa bila salah satu anggota dari
aliansi ini diserang maka NATO akan berusaha untuk membantu serta memberikan bantuan
terhadap negara anggotanya, dimana hal ini terjadi pada 11 september 2001 di Amerika.
13 Brooking.1999.NATO after Cold War: Nato s Purpose. Diakses melalui
http://www.brookings.edu/fp/projects/1999nato_reportch1.pdf
Penjelasannya mengapa NATO tetap eksis terletak pada dua faktor utama ini. Pertama
adalah sisa-sisa dari ancaman NATO saat perang dingin yang dulunya adalah Uni Soviet,
sekarang adalah Rusia dengan kekuatan yang hampir serupa, dan merupakan ancaman bagi
NATO itu sendiri. Ancaman dalam bentuk kapabilitas militer, serta dalam bentuk ideologi yang
bertentangan dengan ideologi yang dibawa oleh NATO yaitu demokrasi. Faktor kedua mengapa
NATO tetap eksis adalah munculnya ancaman-ancaman baru yang ada pada negara-negara
anggotanya. Seperti terorisme dimana isu ini dibawa oleh Amerika Serikat yang sebelumnya
disinyalir diserang oleh teroris pada tanggal 11 September 2001. Peristiwa itu membuat NATO
ikut turun tangan karena negara yang diserang oleh teroris adalah negara-anggotanya, hingga
muncul keadaan yang disebut dengan “War on Terror”.
Beberapa faktor utama telah disebutkan sebelumnya dalam menjelaskan mengapa
NATO dapat mampu bertahan hingga sekarang, lalu bagaimana NATO dapat eksis bila dilihat
melalui institusionalisasi dan sosialisasi?. Pertanyaan sebelumnya merupakan bagaimana cara
untuk sebuah aliansi bertahan, dan apakah NATO sudah menerapkan hal tersebut ? hal ini dapat
dijelaskan melalui bentuk organisasi yang muncul dalam aliansi ini, yang telah membentuk
birokrasi yang jelas bahkan memiliki markas besar di Brussels. Sedangkan dalam sosialisasi ,
hubungan negara anggotanya usai perang dingin berubah menjadi saling kerjasama antar
berbagai bidang seperti investasi, pertukaran pelajar , dan perdagangan mampu memperkuat
hubungan antar negara anggota secara substansi. Serta NATO juga memberikan sebuah praktek
demokratis
kepada negara-negara anggotanya, seperti transparansi yang dilakukan pada
anggaran biaya dalam pertahanan.
3.4 Teori Pembentukan Aliansi14
Dalam proses pembentukan aliansi, teori pembentukan aliansi ini dibagi pada 2
katagori, faktor internasional dan domestik. Penjelasan mengenai pembentukan aliansi ini
sebenarnya muncul dari perspektif realisme, sebagai akibat bahwa harus adanya balance of
threat, karena negara merasa bahwa perlu adanya perimbangan ancaman sehingga pada akhirnya
membentuk sebuah aliansi itu sendiri. Dalam prinsipnya, negara bisa bebas membuat aliansi,
tetapi pada prakteknya bagaimananpun
mereka tidak boleh masuk dengan alasan
mempertimbangkan keuntungan maupun kerugian jiga ikut dalam suatu aliansi. Selain itu,
14 Stephen M Walt. Testing Theories of Alliance Formation. Vol. 42, No. 2, Spring, 1988.Diakses melalui
http://www.jstor.org/discover/10.2307/2706677?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21106725697013
negara juga harus mempertimbangkan apakah dengan ikut dalam suatu aliansi pada akhirnya
negaranya akan mengalami ketergantungan dengan negara lain atau tidak.
a) International Determinant: Capabilities Aggregation Model
Sebenarnya penjelasan mengenai pembentukan aliansi ini dikenal juga sebagai
capabilities aggregation models, yang merupakan faktor internasional dalam teori pebentukan
aliansi ini. Capabilities aggregation models ini
menekankan bahwa bagaimana negara
membentuk aliansi untuk menyatukan kekuatan militer mereka dan meningkatkan posisi
keamanannya. Hal ini mengikuti paham neorealist yang menganggap bahwa sistem internasional
adalah anarkis, bahwa tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara sehingga setiap
negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan
bahwa setiap negara bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun
keamanan. Keneeth Waltz seorang tokoh realis memandang bahwa kepemilikan power oleh
sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan
dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya.
Perubahan penting dari teori balance of power adalah teori balance of threat.Karena
terkadang, aliansi muncul mencadi ketidakseimbangan
power.
Contohnya adalah selama
perang dingin, aliansi terpusat pada AS yang mempunyai power lebih, terlihat pada
kapabilitasnya. Meskipun aggregate power merupakan komponen penting dari ancaman, itu
bukan satu-satunya. Bagaimana mengancam sebuah negara memunculkan tujuan dari kedekatan
geografisnya, kapabilitas offensifnya, dan agresivitas dari tujuan tersebut.
b) Domestic Determinants
Teori balance of power bisa dikatakan lebih kepada penjelasan bentuk aliansi,
ketahanan, dan kehancuran.
Kontrasnya, teori balance of threat menjelaskan lebih kepada
pendekatan. Kemudain muncul pertanyaan negara apakah yang akan mendapatkan ancaman dari
negara lainnya?. Dalam pembentukan aliansi terdapat determinan domestik dari pembentukan
aliansi. Penjelasan pertama fokus pada persamaan dan perbedaan dari budaya, ideologi, dan
institusi politik suatu negara. Argumen umumnya bahwa semuanya harus sama, negara yang
memiliki orientasi politik monarki akan cenderung beraliansi dengan negara yang memiliki
orientasi politik monarki juga. Para scholars, menyatakan bahwa aliansi antara negara yang
menganut demokrasi liberal akan sangat kuat dan elastis. Alasannya adalah stabilitas relatif
publik dan keberlanjutan kepemimpinan nasional yang baik. Proses demokrasi akan memastikan
bahwa transisi kepemimpinan akan berjalan baik dan pergantian kebijakan secara mendadak
tidak akan disukai. Dalam komitmen internasional, yang
menghubungkan dengan aliansi
menjadi lebih terikat dengan hukum dan institusi domestik. Kecenderungan tersebut, diikuti
dengan penghargaan lebih untuk komitmen legal, memungkinkan pemimpin demokrasi liberal
mengikat penerus mereka dengan kebijakannya.
3.5 Perkembangan Institusi Keamanan Regional15
a) Era Perang Digin (Eropa-Amerika)
Perkembangan Institusi Keamanan Regional pada masa Perang Dingin diwarnai
dengan dominasi yang dilakukan oleh aliansi-aliansi yang dibentuk oleh dua blok yag menjadi
aktor utama dalam Perang Dingin yaitu Amerika Serikat bersama sekutunya dengan NATO dan
Uni Soviet dengan Pakta Warsawa yang dimilikinya. Kedua blok keamanan tersebut menjadi
aktor yang paling berpengaruh dan berkompetisi untuk menanamkan pengaruhnya di dunia
internasional. Dalam Perang Dingin sendiri selain terjadi peperangan ideologi yang dibawa oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet meskipun pada saat itu juga terjadi perlombaan senjata nuklir
yang dikembangkan oleh dua negara tersebut. Pengembangan kapabilitas khususnya militer
yang dilakukan dua aliansi tersebut secara tidak langsung memunculkan sebuah balance of
power di dunia saat itu. Karena terdapat dua hegemon yang saling berlomba dalam menanamkan
kepentingannya. Dua aliansi itu benar-benar menjadi kekuatan utama yang sangat berpengaruh
selama Perang Dingin.
b) Pasca Perang Dingin
Pada awal paska perang dingin, nampak upaya untuk membuat regionalisme yang
lebih universal. Tercermin dari etos yang tertanam dalam Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, menjadikan suatu gagasan ideal
bagi dunia dan mewujudkan perdamaian
global. Presiden George Bush menyebut ini sebagai Dunia Orde Baru. Sedangkan proses
regionalisasi sendiri hanya dianggap sebagai batu loncatan untuk mencapai tahap
global.
Kerjasama lintas regional yang dapat diilustrasikan pada eropa barat dengan kawasan non
eropa, yang tumbuh cepat paska perang dingin. Fokusnya bergeser dari kerjasama ekonomi
menjadi kejasama bidang keamanan juga. Hal ini akhirnya dicoba diadopsi di tingkat daerah dan
non eropa.
15 Louis, Fewsett.2012.The Regional Security of Global Security Diakses melalui
http://www.eolss.net/sample-chapters/c04/e1-68-02.pdf
Regionalisme ditafsirkan sebagai respon dari globalisasi dengan memperpanjang
proyek yang telah dimulai secara kedaerahan negara dunia ketiga dan kedua. Pasca perang
dingin, menunjukan struktur global lebih multilateral, karena tuntutan internasional terhadap
negara untuk bekerjasama lebih besar daripada angka konflik. Melihat fenomena ini, akan ada
banyak intervensi eksternal yang muncul berasal dari negara-negara bekas aliansi yang bersatu
kembali. Negara-negara lemah harus mengembangkan kemampuan self-help untuk bisa
mengatasi ancaman keamanan baru. Hal ini sanggup diatasi berkat kekuatan lembaga regional.
NATO telah mengatasi keraguan tentang dampak perang dingin di masa depan, dengan
menarik beberapa anggota baru dan terlibat operasi di luar area dari wilayah Kosovo ke
Afganistan. Dari kubu Uni-Soviet sendiri, membangun institusi (CIS, CSTO, CaCO) sebagai
langkah untuk mengimbangi kesenjangan akibat runtuhnya struktur perang dingin. Negaranegara di Eropa Timur dan Baltik pun melihat barat sebagai tujuan kerjasama dalam bentuk
assosiasi seperti Uni Eropa dan NATO. Dari sisi Rusia telah membentuk (SCO) sebagai penerus
dari Sanghai Five. Dimana Asia Tengah dapat ikut serta ke dalam assosiasi regional ini.
3.6 Institusi Kemanan Internasional Di Masa Sekarang16
Pertumbuhan Institusi regional menjadi tindakan umum yang dilakukan negara-negara
paska perang dunia dua. Ada tiga model institusi regional yang muncul di awal paska perang
dunia dua. Ketiga organisasi aliansi pertahanan, seperti NATO, SEATO, CENTO. Yang dimaksud
disini adalah institusi dengan komponen pertahanan terbuka. Dalam keamanan regional, terdapat
tiga gelombang pertumbuhan institusi yang teridentifikasi
sejak 1945 sampai sekarang.
pertama, tepat pada awal periode paska perang dunia dua, dan awal perang dingin. Kedua,
selama pertengahan sampai akhir perang dingin. Tiga gelombang yang paling baru satu dekade
paska perang dingin. Institusi-institusi tersebut bergerak secara berkelanjutan, mengembangkan
dan memperluas kapasitasnya di wilayah yang berbeda-beda.
Sebelum perang dunia dua, hanya terdapat beberapa institusi keamanan regional, dan
tidak begitu eksis. sebagai contoh, Inter-American system di akhir abad 19 awalnya bukanlah
institusi keamanan formal, meskipun diwujudkan dalam pernyataan sebuah rezim keamanan,
Dalam Monroe Doctrine yang menjelaskan bahwa Amerika merupakan bagian dari ruang United
States. Pada abad 19 di eropa, terjadi upaya pembentukan rezim, untuk tujuan keseimbangan
kekuasaan. caranya dengan membuat kesepahaman pemerintah negara anggota rezim. Namun
16 Ibid.,
rezim tersebut akhirnya runtuh, pada permulaan Perang Dunia I. Selanjutnya dipimpin oleh
Presiden US pada masa itu Woodrow Wilson membentuk institusi keamanan formal yang diberi
nama Liga Bangsa-Bangsa.
Namun, Regionalisme saat ini lebih memandang isu-isu penting namun masih tetap
dalam aspek regionalisme, dimana terdapat penjelasan dalam kerjasama yang berbeda yaitu
keamanan internasional adalah area dimana teori institusionalis beranggapan bahwa kerjasama
akan menjadi hal yang paling sulit untuk dicapai. Terdapat dua hal yang paling menonjol dalam
kerjasama ini, pertama adalah telah terjadi perubahan di penggerak utama dalam regional
mengenai urusan keamanan dimana hal tersebut membuat negara lebih merespon pergeseranpergeseran keseimbangan kekuatan global maupun regional. Kerjasama saat ini telah menjadi
sarana untuk menciptakan keamanan, dimana hal tersebut telah menciptakan lembaga-lembaga
yang mengatur negara-negara kuat maupun baru/lemah. Isu terbaru yang terjadi setelah kejadian
9/11 menyebabkan institusi regional harus mampu beradaptasi dalam menghadapi ancamanancaman terbaru, merespon isu keamanan oleh kekuatan global yang dominan, yang paling
utama adalah terorisme. Kedua, yaitu nilai institusi suatu negara, mereka telah bertahan dan
mengembangkan fungsi yang baru, menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi, termasuk
perubahan rezim dan berbagai jenis negara. Dalam memberikan prediksi yang lebih dalam
kerjasama maupun negosiasi di dunia yang saling ketergantungan, meraka telah menjadi alat
yang sangat berharga bagi diplomasi dan kenegaraan (Duffield 2006).
3.7 Penilaian terhadap Institusi Keamanan Regional
Pada teori institutionalis dapat dilihat bahwa untuk mencapai kemanan internasional
dengan cara kerjasama masih sulit untuk dicapai. Terdapat 2 hal yang menonjol dalam bidang
kerjasama. Pertama yaitu, penggerak utama suatu regional dalam mencapai keamanannya adalah
setiap negara wajib merespon perubahan global dan mencapai balance of power di masing –
masing regional. Kerjasama tidak hanya menjadi cara untuk meningkatkan keamanan suatu
negara, tetapi juga dapat mempengaruhi dan sebagai bargaining power. Perkembangan terbaru
tepatnya setelah tragedi 9/11 membuat organisasi regional harus dapat beradaptasi dengan
ancaman – ancaman baru dan bagaimana merespon terorisme yang mengancam kemanan global.
Kedua adalah nilai dari institusi negara, dalam melakukan kerjasama dan negosiasi, institusi
negara menjadi sarana yang penting dalam berdiplomasi dan tatanan negara17.
Institusi regional merupakan sarana untuk menangani ancaman keamanan dan
melindungi negara yang lemah dalam lingkungan internasional yang saling bermusuhan (Ayoob
1995). Adapun laporan yang menyorot arti penting kemanan regional yaitu ‘Responsibility to
Protect’: negara yang dapat membuat aliansi kuat di regional, keadaan internal yang damai, civil
society yang kuat dan indpenden merupakan keuntungan dari era globalisasi. Institusi regional
juga mengatur perilaku dan memberikan parameter anggotanya dalam melakukan suatu
tindakan, tapi institusi cenderung merubah perannya dalam menanggapi perubahan sistemik serta
menyarankan korelasi yang erat antara material interest dan collective behaviour. PBB
merupakan organisasi internasional yang kemungkinan untuk mengganti peran institusi regional
dimasa mendatang. Negara yang kuat akan terus mencari peran untuk melegitimasi institusi
regional, dan negara – negara lemah akan mendapat keuntungan dari negara kuat dari aliansi
yang terbentuk.
3.8 Studi Kasus :Aliansi Multilateral Jepang, As, Korea Selatan di Kawasan Asia Timur
1) Sejarah Aliansi Multilateral (Jepang-AS-Korsel)
AS-Jepang : Aliansi antara Jepang dan Amerika Serikat muncul pada saat berakhirnya
perang dingin. Pasca perang dingin, terlihat di wilayah Asia Timur semakin banyak negara yang
berusaha meningkatkan kekuatan militernya. Aliansi yang dibentuk Jepang sebagai akibat dari
negara tetangga Jepang yang terus menerus meningkatkan kapabilitas militer, seperti Korea
Utara yang melakukan uji coba nuklir dan China yang terus menerus meningkatkan kapabilitas
militernya yang membuat Jepang merasa terancam.
Hal ini sebagai bentuk dari sistem
internasional yang anarki itu sendiri dan pada akhirnya membuat Jepang merasa perlu untuk
melindungi negaranya dengan melakukan aliansi dengan Amerika Serikat. Aliansi dengan
Amerika Serikat disebut sebagai paying pertahanan Jepang.
Sebagai negara yang pernah mengalami lemahnya keamanan nasional, tepatnya
ketika wilayah Hiroshima dan Nagasaki terkena bom nuklir, berkaca dari kejadian tersebut
maka Jepang melakukan aliansi dengan Amerika Serikat sebagai upaya untuk menjaga keamanan
17Paul D. Williams, Security Studies : An Introduction, USA and Canada : Routledge, 2008), hal. 323.
nasional dan membuat perimbangan kekuatan dengan negara-negara di Asia Timur, seperti Korea
Utara dan China.
2) Perjanjian aliansi dengan Amerika Serikat
Jepang memanfaatkan perjanjian yang telah dibentuk Pemerintah Jepang dan Amerika
Serikat pada tahun 1951 yang menyepakati adanya perjanjian tentang aliansi, yaitu Japan – U.S
Mutual Coorperation and Security Treaty dan perjanjian ini diperbaharui pada tanggal 19
Januari 1960. Perjanjian ini menyetujui tentang adanya ketergantungan militeristik Jepang
terhadap negara Amerika Serikat. Pasca perang dingin, mereka terus menerus meningkatkan
kapabilitas militernya dengan melakukan hubungan intensif dengan Amerika Serikat, maka pada
tahun 2004 dibuat kembali kesepakatan Japan – US Security Arrangement yang tertulis pada
buku putih pertahanan jepang. Perjanjian ini lebih kepada menjaga keamanan nasional Jepang
dan menciptakan perdamaianan antar negara di Asia Timur serta pada perjanjian ini
menghasilkan kebijakan pertahanan Jepang yang direvisi dalam National Defense Program
Guidelines dan pada tahun 2007 menghasilkan Kementerian Pertahanan Jepang18.
Pasca Perang Dingin, kawasan Asia timur ditandai dengan berbagai konflik regional dan
masalah
internasional yang mengundang perhatian masyarakat dunia, khususnya tentang
masalah keamanan yang menyangkut kapabilitas militer negara-negara di kawasan ini, seperti
Jepang, China, Korea Selatan, Korea Utara dan Taiwan. Adanya pembangunan kapabilitas militer
negara-negara Asia Timur khususnya China dan Korea Utara membuat Jepang merasa terancam.
3) Tujuan, Fungsi, dan Proses Aliansi
Telah dijelaskan di awal tentang tatanan dunia yang anarki, beberapa negara tentu
memikirkan masadepan bangsanya sebagai bentuk tindakan survival, dalam hal ini fokus kami
adalah tentang fungsi dan tujuan hubungan aliansi negara Jepang dengan Amerika Serikat dalam
hal keamanan. Tidak dipungkiri, adanya pengembangan sistem rudal oleh negara tetangga di
kawasan ASEAN, seperti China dan Korea Utara,membuat Jepang hawatir akan keamanan
internal maupun eksternal negara tersebut. Hubungan aliansi Jepang dengan As merupakan satu
konsep yang telah diatur dalam ketentuan Blue Print pemerintah jepang yang dikenal dengan
istilah Japan-US Security Aranggement.19 Tujuan Aliansi tersebut adalah untuk merespon
18Sinaga, Obsatar. “AliansiJepang-Amerika SerikatdalamMenghadapi Pembangunan KapabilitasMiliter China dan
Korea Utara”.Jatinangor-Sumedang
19 Obsatar Sinaga. ALIANSI JEPANG-AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI PEMBANGUNAN
KAPABILITAS MILITER CHINA DAN KOREA UTARA. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
ancaman yang datang terutama dari China dan Koreas Utara, selain itu tujuan lainya adalah
arahan pada ekonomi, politi, sosial, bnahkan budaya. Salah satu kesepakatan yang dibangun oleh
Jpemerintah Jepang dan AS adalah kesepakatan ”Initial Actions for the Implementation of the
Joint Statement” pada 13 februari 2007.
Fungsi dan tujuan aliansi tersebut antara lain: 20 (1) mempromosikan nilai-nilai
demokrasi, Good Governaces, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar dalam Asia
Tenggara, serta membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan
transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. (2) Meningkatkan kerjasama
untuk memperkuat kerjasama dalam APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran
penting dalam mencapai stabilitas, keamanan, dan keamakmuran di kawasan. (3) kerjasama yang
lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian
dan keamanan serta tujuan strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat. (4) Menjaga
keamanan dunia dan regional ASEAN. (5) Operasi perdamaian internasional, bencana alam, dan
respon terhadap situasi maupun ancaman di sekitar Jepang.
4) Jepang-As plus Korea Selatan
Mengingat kedekatan Amerika Serikat dengan Korea Selatan terkait masalah sejak
lama yaitu melawan Korea Utara sebagai backingan China, maka aliansi Jepang AS berkembang
dengan Korea Selatan yang sebelumnya juga sudah menjadi aliansi AS. Terdapat beberapa
aliansi yang dilakukan oleh negara Jepang AS, dan Korea Selatan, antara lain General Security of
Military Information Agreement (GSOMIA).21 GSOMIA bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran
informasi serta membangun
program intelijen dan pertahanan antara negara. Juga kerjasama
Chemical, Biological, Radiological, and Nuclear Defense Working Group yang berfungsi untuk
meningkatkan kesiapan keamanan kedua negara dalam menghadapi senjata kimia, biologi, radiologi,
dan nuklir serta memfokuskan menghadapi serangan senjata pemusnah massal.
Alaiansi keamanan yang dilakukan oleh pemerintah negara Jepang, AS, dan Korea Selatan
saat ini banyak dilakukannya implementasi di lapangan, beberapa agenda dan pembuktian lapangn
antara lain adalah22 (1) kerjasama melalui relokasi personil Marine Expeditionary Force (MEF) III
content/uploads/2014/02/aliansi_jepang_amerika_serikat.pdf, pada tanggal 06 Mei 2015
20 Ibid.
21 Okezon. Korsel Bentuk Pakta Intelijen dengan Jepang. Diakses dari:
http://news.okezone.com/read/2012/06/29/413/655774/large, pada tanggal 06 Mei 2015
22 Op. cit
dari Okinawa ke Guam pada 2014. (2) Latihan kapal induk pada Maret 2007, (3) penggunaan
Yokota airspace pada September 2006 dan pengembalian kontrol Yokota Airspace kepada Jepang
pada September 2008. (4) Juni-juli 2006 Jepang, Amerika, dan Korea Selatan Serikat saling bertukar
informasi melalui fasilitas koordinasi Yokota Air Base, juga sharing yang dilakukan oleh negara
yang beraliansi secara rutin mengenai pertahanan misil balistik dan informasi operasional melalui
Bilateral Common Operational Picture (BOP) (Japan Defense White Paper 2006).23
5) Analisis Persepsi Ancaman bagi Jepang
Pengembangan sistem rudal dan misil yang dilakukan beberapa negara di dunia,
khususnya di Asia Timur telah membuat Jepang mengubah persepsinya. Dengan semakin
canggih teknologi, pengembangan nuklir dan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass
Destruction) bukanlah suatu hal yang sulit. Aktor negara yang secara eksplisit disebut Jepang
sebagai ancaman bagi Jepang adalah China dan Korea Utara. Namun, peningkatan anggaran
militer China dan pembangunan kapabilitas nuklir Korea Utara merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dari Taiwan sebagai rival China dan masalah Semenanjung Korea bagi Korea
Utara. Hal inilah yang membuat keadaan di Asia Timur semakin kompleks dengan adanya
pembangunan kapabilitas militer sejumlah negara dalam kawasan tersebut.
6) Analisis Persepsi ancaman bagi AS
Tingkat kecemasan yang melandasi Jepang meningkatkan kapabilitas pertahanannya
memberi alasan yang cukup bagi Tokyo untuk berbagi beban dan persepsi dengan kepentingan
Amerika Serikat di kawasan, terutama perspektif strategi Amerika Serikat dalam menyikapi
pesatnya kemampuan militer China serta kemungkinan perbenturan dua proyeksi kekuatan utama
tersebut di Asia Pasifik di masa depan.
Aliansi Jepang dan Amerika Serikat mendorong komitmen baru dan meluas untuk
menjalin kerjasama keamanan dengan menciptakan tujuan strategis bersama, membuat komando
bersama, secara eksplisit mengidentifikasi stabilitas Selat Taiwan dan Semenanjung Korea
sebagai prioritas utama dalam kawasan Asia Pasifik, dan meminta China untuk memberikan
transparansi mengenai modernisasi militernya.
DAFTAR PUSTAKA
23 Obsatar Sinaga. Ibid.
Benjamin Zyla, Tanpa Tahun. Sharing the Burden?: NATO and its Second-Tier Powers. 2015.
[online] (Diakses di https://books.google.co.id/books?
id=ONfTBgAAQBAJ&pg=PA4&lpg=PA4&dq=definition+alliances+by+Michael+Bar
nett+and+Jack+Levy&source=bl&ots=Yi7pMzyPHD&sig=bkUW3LlX0YPiBKBmHvR
DXBDwFO0&hl=en&sa=X&ei=Tp08Vc_7KcW2uATw6YCQDw&redir_esc=y#v=onep
age&q&f=false
Brooking.1999.NATO after Cold War: Nato s Purpose. Diakses melalui
http://www.brookings.edu/fp/projects/1999nato_reportch1.pdf
International Organization. 2009. Domestic sources of alliances and alignments: the case of
Egypt1962–73. [online] (diakses dari
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?
fromPage=online&aid=4309532&fileId=S0020818300033142 , pada tanggal 26 april
2015)
John Hillen and Michael P. Noonan.1998. The Geopolitics of NATO Enlargement. [online]
(diakses dari
http://strategicstudiesinstitute.army.mil/pubs/parameters/Articles/98autumn/hillen.htm,
pada tanggal 26 April 2015)
Louis, Fewsett.2012.The Regional Security of Global Security Diakses melalui
http://www.eolss.net/sample-chapters/c04/e1-68-02.pdf
Stephen M Walt. Testing Theories of Alliance Formation. Vol. 42, No. 2, Spring, 1988.Diakses
melalui http://www.jstor.org/discover/10.2307/2706677?
uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21106725697013 tanggal 26 April 2015)
Obsatar Sinaga. ALIANSI JEPANG-AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI
PEMBANGUNAN KAPABILITAS MILITER CHINA DAN KOREA UTARA. Diakses dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/02/aliansi_jepang_amerika_serikat.pdf, pada tanggal 06 Mei 2015
Walt, Stephen M. 1997: Why alliances endure or collapse, Survival: Global Politics and
Strategy, 39:1, 156-179. [online] (diakses dari
http://polsci.colorado.edu/sites/default/files/6B_Walt.pdf, pada tanggal 26 April 2015)
Williams, Paul D. 2008. Security Studies: An Introduction. Routledge, New York
Tugas Tutorial Keamanan Internasional kelas A-4
Disusun oleh :
Annisa Ridhatul Khatimah
Ahmad Tajudin
Mediansyah
M Fais Fajari
Sari Sarlita
Surya Patria Jumantara
Kasalla Lynk Uno
135120400111045
135120401111045
135120401111042
135120400111021
135120401111028
135120407111005
135120407111049
Dosen Pengampu : Mely Noviryani, MM
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Definisi Aliansi
a) Menurut Waltz, aliansi didefinisikan sebagai hubungan kerjasama keamanan yang dapat
bersifat formal atau informal antara dua atau lebih negara berdaulat (1987: 1). 1 Definisi yang
hampir sama juga digunakan oleh Michael Barnett seorang asisten Professor Ilmu Politik di
Universitas Wisconsin, Madison2 dan Jack Levy Profesor Ilmu Politik di Rutgers University,
New Jersey yang mengemukakan bahwa aliansi merupakan hubungan antara dua atau lebih
negara dan melibatkan harapan dalam kebijakan bersama demi menghadapi masa depan
yang sulit untuk diprediksi. 3Serta menurut Patricia Weitsman,4 menggambarkan aliansi
adalah sebagai 'perjanjian bilateral atau multilateral untuk menyediakan beberapa unsur
keamanan untuk penandatanganan' (2004: 27).5
b) Menurut Goldstein, Aliansi adalah sebuah koalisi negara-negara yang mengkoordinasikan
tindakan mereka untuk sejumlah tujuan tertentu. Aliansi secara umum memiliki tujuan untuk
menambah kekuasaan relatif para anggotanya terhadap negara-negara lain. Dengan memiliki
kapabilitas yang lebih besar maka akan mempengaruhi posisi tawar negara anggota dengan
negara lainnya. Bagi negara kecil, aliansi dapat dijadikan elemen kekuasaan yang penting,
Sedangkan bagi negara besar, sturktur aliansi dapat membentuk konfigurasi kekuasaan dalam
sistem. Kebanyakan aliansi dibentuk untuk merespon adanya ancaman. Ketika kekuataan
sebuah negara meningkat dan mengancam saingannya, maka akan dibentuk sebuah aliansi
untuk membatasi peningkatan kekuatan negara tadi (Goldstein, 204: 102)6.
c) Dalam tulisan John Hillen and Michael P. Noonan yang berjudul The Geopolitics of NATO
Enlargement, definisi aliansi adalah Aliansi merupakan perjanjian untuk saling mendukung
1Ibid.
2International Organization, Domestic sources of alliances and alignments: the case of Egypt1962–73. diakses dari
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?
fromPage=online&aid=4309532&fileId=S0020818300033142 , pada tanggal 26 april 2015
3Benjamin Zyla, Sharing the Burden?: NATO and its Second-Tier Powers. 2015. Diakses di
https://books.google.co.id/books?
id=ONfTBgAAQBAJ&pg=PA4&lpg=PA4&dq=definition+alliances+by+Michael+Barnett+and+Jack+Levy&sour
ce=bl&ots=Yi7pMzyPHD&sig=bkUW3LlX0YPiBKBmHvRDXBDwFO0&hl=en&sa=X&ei=Tp08Vc_7KcW2uATw6
YCQDw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false tanggal 26 April 2015 pukul 03:19
4Patricia Weitsman, ProfesorI lmu Politik dan Direktur Studi Perangdan Perdamaian di Ohio University.
5Paul D. Williams, op. cit., h. 293
6 Obsatar, S. AliansiJepang-AS dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Selatan.
Dosen HI UNPAD.
secara militer jika salah satu negara penandatangan perjanjian diserang oleh negara lain;
selain itu aliansi ditujukan untuk memajukan kepentingan bersama di antaranegara anggota.
Aliansi dapat bersifat bilateral maupun multilateral, rahasia atau terbuka,sederhana atau
sangat terorganisasi, dapat berjangka lama atau pendek, serta dapat dikendalikan untuk
mencegah atau memenangkan sebuah perang. Adanya system Balance of Power cenderung
mendorong pakta militer untuk mengimbangi pergeseran dalam keseimbangan kekuasaan.7
Stephen Walt juga menambahkan bahwa aliansi pada dasarnya adalah ofensif atau defensif
dan mungkin menawarkan "a restraining influence on allies and adversaries alike" atau
menahan pengaruh sekutu dan musuh yang sama." tetapi bagaimanapun juga yang paling
penting dari pernyataanya adalah bahwa aliansi adalah bukan merupakan bagian dari aturan
collective security.8
Beberapa masalah yang ditimbulkan oleh berbagai macam dan luasnya definisi aliansi
adalah seperti kegagalan untuk membedakan berbagai macam bentuk kerjasama keamanan.
Definisi-definisi yang telah disebutkan diatas terlihat seperti aliansi itu terbentuk untuk
merangkul segala macam kerjasama keamanan, tidak peduli bahaya yang mungkin ada
didalamnya dan hanya terbatas sebagai aliansi dalam bentuk dukungan atau bantuan ekonomi
yang dianggap sebagai tujuan keamanan. hal tersebut demikian bisa kita katakan sebagai bentuk
aliansi tradisional tetapi bagaimanapun juga dalam aliansi ada penekanan bahwa negara-negara
menempatkan bantuan militer terutama penggunaan kekuatan seperti apa yang sudah sering kita
lihat.9
7John Hillen and Michael P. Noonan, The Geopolitics of NATO Enlargement, diakses dari
http://strategicstudiesinstitute.army.mil/pubs/parameters/Articles/98autumn/hillen.htm tanggal 26 April 2015 pukul
02:40
8Ibid
9Ibid
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Urgensi Aliansi
Aliansi sendiri merupakan suatu hal tidak dapat kita pisahkan dari sebuah fenomena
bernama perang dan keamanan sehingga secara umunya, aliansi lebih dikaitkan pada studi
keamanan dan politik dunia. Bahkan ilmuwan politik Amerika, George Modelski
mendeskripsikan aliansi sebagai suatu istilah kunci dari hubungan internasional. Secara khusus
aliansi juga merupakan instrumen yang sangat bernilai untuk memajukan kepentingan suatu
negara dan dengan begitu negara akan merasa aman dari segala ancaman baik itu ancaman dari
dalam maupun ancaman dari luar.ketika berfokus pada ranah internasional, Kenneth Waltz
sebagai tokoh Neo-Realism yang paling kompeten terhadap fenomena-fenomena politik
internasional mencatat bahwa ada dua upaya yang dapat dilakukan oleh negara-negara untuk
mencapai tujuannya yakni yang pertama upaya internal dan yang kedua adalah upaya eksternal,
serta usaha untuk memperkuat dan memperbesar aliansi sendiri ataupun melemahkan dan
memperkuat lawan lain.
Adapun untuk negara lain yang sumber dayanya terbatas, ketergantungan pada suatu
aliansi bisa dikatakan sebagai satu-satunya pilihan. Oleh karena itu, pembentukan dan
penggunaan aliansi sendiri merupakan suatu tindakan untuk merespon atau menanggapi bahaya
di dalam sistem internasional. Sangat tidak mengeherankan ketika aliansi menjadi sesuatu yang
banyak dibahas dan menjadi kata-kata yang umum terlebih lagi pada sejarah modern.
Berdasarkan database yang berasal dari Alliance Treaty Obligations and Provisions (ATOP),
jumlah aliansi antara tahun 1815 dan 2003 adalah sebanyak 648 aliansi. Ada beberapa negara
yang memiliki aliansi kecil dengan jumlah anggota lebih dari tiga serta beberapa negara besar
yang sudah sering kita dengar namanya yakni negara-negara eropa yang memiliki aliansi terbesar
dan sampai saat ini keberadaannya masih eksis.10
3.2 Keberlangsungan dan keruntuhan aliansi
Jumlah aliansi yang terdaftar di database ATOP yakni sebanyak 648 total aliansi, dimana
sekitar 263 aliansi defensive yang eksis ditahun 1815 hingga tahun 2003, perlahan-lahan aliansialiansi tersebut kehilangan eksistensiannya hingga pada akhirnya direntan tahun 1945, 1995, dan
menuju di tahun 2003 hanya ada sekitar 42 jenis aliansi saja. Lalu apa faktor dari
10Paul D. Williams. Security Studies: An Introduction. Routledge, New York, 2008, h.292
keberlangsungan maupun keruntuhan dari aliansi itu? Jadi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan aliansi dapat bertahan atau runtuh. Salah satu faktor utama yang jelas adalah
perang dan pergeseran dalam peta politik internasional dan kenyataan bahwa perang menjadi
salah satu penyebab runtuhnya suatu aliansi. Dari sekitar 40 aliansi yang terbentuk sebelum
tahun 1870, hanya dua aliansi yang bertahan lebih lama dalam perang penyatuan Jerman.
Demikian juga, hanya dua aliansi yang ada sebelum Perang Dunia Pertama tetapi musnah setelah
konflik itu berakhir. Dengan demikian hanya ada lima dari aliansi yang terbentuk sebelum
Perang Dunia II, termasuk seperti pasangan periperal Turki-Afghanistan dan Rusia-Mongolia,
bahkan mereka tetap ada ketika gejolak perang itu berakhir. Dengan kata lain, perang yang besar
cenderung menyapu bersih aliansi.
Pendapat lain diserukan oleh Waltz dalam tulisannya yang berjudul survival. Menurut
Walt sebuah aliansi dapat bertahan meskipun ada perubahan drastis yang berasal dari luar
dikarenakan setiap anggota merasa bahwa aliansi tersebut lebih baik dibandingkan dengan
aliansi yang lain. di sisi lain, mereka dapat bertahan meskipun setelah itu akan ada sebuah
kewajiban yang diakibatkan oleh politik domestik, mispersepsi (misperception) maupun human
error. Hal demikian dikarenakan kehidupan politik adalah merupakan elemen gabungan dari
sesuatu yang rasional dan tidak rasional.masih pendapat dari Walt, sebab dari keruntuhan aliansi
adalah karena negara-negara didalamnya sudah tidak memiliki ketertarikan terhadap satu sama
lain. Dalam keadaan yang seperti ini, keputusan untuk mengakhiri aliansi dapat dilihat sebagai
respon yang rasional terhadap suatu kondisi yang baru. secara alternatifnya, sebuah aliansi dapat
runtuh dikarenakan sebab yang hampir sama dengan bagaimana sebuah aliansi dapat bertahan
yakni alasan tidak rasional seperti politik domestik dan misperception padahal jika dilihat
kebelakang, sebenarnya ada saja alasan untuk sebuah aliansi itu dapat bertahan.11
3.3 Alliance Institutionalization And Socialization12
Aliansi merupakan suatu bentuk kerjasama antar negara dalam bidang keamanan yang
dimana memiliki bentuk dan tujuan tertentu. kerjasama ini terjadi karena alasan tertentu seperti
NATO yang terbentuk karena adanya ancaman dari Uni Soviet pada saat itu. Namun, aliansi juga
tidak memiliki umur yang cukup panjang dengan alasan bahwa suatu tujuan dari aliansi tersebut
11Stephen M. Walt, Survival: Global Politics and Strategy, diakses dari
http://polsci.colorado.edu/sites/default/files/6B_Walt.pdf tanggal 26 April 2015 pukul 04:48
12 William, Paul.2012.Security Study : An Introduction. Routledge.Hlm 343-345.
telah dicapai atau bisa dikatakan dengan telah hilangnya sebuah ancaman yang sebelumnya melatarbelakangi terbentuknya sebuah aliansi tersebut.
Penjelasan di atas memunculkan pertanyaan “mengapa beberapa aliansi masih tetap
berdiri walaupun ancaman terhadap aliansi tersebut telah tiada?”. Pertanyaan ini akan penulis
jelaskan mengapa sebuah aliansi dapat bertahan hingga sekarang walaupun ancaman yang ada
sebelumnya telah hilang.
a) Institutionalization
Faktor mengapa sebuah institusi mampu bertahan, salah satunya adalah
institusionalisasi. Dimana beberapa aliansi yang ada mampu bertahan karena telah terbentuk
sebuah struktur atau menguatnya struktur yang ada dalam sebuah institusional dengan implikasi
bahwa
untuk
mempertahankan
kekuatan
aliansi
maupun
negara-negara
anggotanya.
Institusionalisasi pun ada dua penjelasan yang dapat menjelaskan secara gamblang mengenai
institusionalisasi yang terjadi dalam sebuah aliansi.
Pertama, adalah sebuah aliansi dapat mengembangkan atau membentuk sebuah
organisasi antar negara untuk memfasilitasi negara-negara anggota dari aliansi tersebut.
Organisasi ini dibentuk secara struktural, memiliki sebuah birokrasi yang jelas dengan negaranegara anggotanya, serta melihat otonomi dan kepentingan dari berbagai negara tersebut dalam
birokrasi yang bertujuan untuk merekatkan hubungan antar negara anggota dalam sebuah aliansi.
perilaku serta kepentingan anggota juga sangat berpengaruh dalam sebuah aliansi dalam
mempertahankan eksistensinya serta memperbarui misi dari aliansi tersebut.
Kedua , kapabilitas sebuah intitusi yang dapat digunakan untuk memperbaharui misi
ataupun tujuan dari yang sebelumnya telah terbentuk. Hal ini terjadi ketika misi dari aliansi telah
selesai , maka anggota memiliki kewenangan untuk menggunakan aset dari institusi yaitu untuk
menunjuk ancaman yang baru dan lebih memperhatikan dalam keamanan negara-negara
anggotanya.
Kedua faktor yang telah dijelaskan diatas merupakan beberapa alasan yang dapat
membuat aliansi dapat bertahan lebih lama.
b) Sosialisasi
Proses lain yang dapat menambah umur dari sebuah aliansi adalah sosialisasi antar
negara-negara anggotanya, lebih tepatnya adalah hubungan antar pemerintah mereka. seperti
menurut Walt bahwa aliansi akan tetap bertahan karena anggotanya telah mampu melihat bahwa
mereka berada dalam sebuah komunitas politik. Proses sosialisasi ini sifatnya juga lebih tertuju
pada substansinya dimana hal ini dilakukan melalui pertemuan secara rutin antar anggota aliansi.
sosialisasi juga mampu untuk menghilangkan ketakutan atau rasa curiga terhadap anggota
lainnya.
c) NATO after cold war13
NATO merupakan sebuah bentuk aliansi yang terbentuk pada tahun 1949 atas hasil
North Atlantic Treaty yang telah ditandatangani di Washington D.C ibu kota Amerika Serikat
dengan jumlah anggota awal yaitu 12 negara. Aliansi yang terbentuk untuk menahan ekspansi
dari Uni Soviet dan untuk menekan kekuatan Uni Soviet ini mampu bertahan hingga usai perang
dingin bahkan hingga sekarang. Setelah berbagai konflik yang muncul ketika perang dingin
muncul perjanjian baru sebagai tanda akan munculnya sebuah organisasi setelah aliansi yang
terbentuk atas dasar perjanjian North Atlantic, perjanjian baru ini yaitu Brussel Treaty. Dimana
struktur aliansi ini diperkuat seperti adanya struktur pembagian jumlah militer yang lebih jelas
dalam aliansi, serta adanya perencanaan regional.
Meskipun demikian muncul beberapa perdebatan mengenai umur NATO yang dapat
bertahan hingga sekarang. Jika dianalisa lebih dalam, NATO seusai perang dingin dapat
dikatakan bahwa tidak memiliki ancaman dari pihak luar yang dapat menekan NATO. Dimana
ancaman NATO pada awalnya adalah Uni Soviet, dan pada tahun 1991 Uni Soviet pecah dan
merupakan sebuah tanda perang dingin telah usai serta ancaman dari negara berpaham komunis
ini dinyatakan berkurang. Peristiwa ini sesungguhnya adalah akhir dari misi NATO , karena misi
NATO adalah menahan sikap Uni Soviet yang ekspansif, serta untuk melindungi diri dari Uni
Soviet. Perubahan yang terjadi usai perang dingin dimana struktur dunia berubah dari bipolar
menjadi multipolar menjadikan aliansi ini tidak lebih kuat disaat perang dingin. Walt mengatakan
bahwa sebuah aliansi dikatakan memiliki kekuatan yang lebih bila memiliki jumlah anggota
yang banyak.
Pernyataan dari Walt terbukti dari bertambahnya 11 anggota baru yang masuk dalam
aliansi ini. Serta tidak hanya itu, artikel 5 juga mengatakan bahwa bila salah satu anggota dari
aliansi ini diserang maka NATO akan berusaha untuk membantu serta memberikan bantuan
terhadap negara anggotanya, dimana hal ini terjadi pada 11 september 2001 di Amerika.
13 Brooking.1999.NATO after Cold War: Nato s Purpose. Diakses melalui
http://www.brookings.edu/fp/projects/1999nato_reportch1.pdf
Penjelasannya mengapa NATO tetap eksis terletak pada dua faktor utama ini. Pertama
adalah sisa-sisa dari ancaman NATO saat perang dingin yang dulunya adalah Uni Soviet,
sekarang adalah Rusia dengan kekuatan yang hampir serupa, dan merupakan ancaman bagi
NATO itu sendiri. Ancaman dalam bentuk kapabilitas militer, serta dalam bentuk ideologi yang
bertentangan dengan ideologi yang dibawa oleh NATO yaitu demokrasi. Faktor kedua mengapa
NATO tetap eksis adalah munculnya ancaman-ancaman baru yang ada pada negara-negara
anggotanya. Seperti terorisme dimana isu ini dibawa oleh Amerika Serikat yang sebelumnya
disinyalir diserang oleh teroris pada tanggal 11 September 2001. Peristiwa itu membuat NATO
ikut turun tangan karena negara yang diserang oleh teroris adalah negara-anggotanya, hingga
muncul keadaan yang disebut dengan “War on Terror”.
Beberapa faktor utama telah disebutkan sebelumnya dalam menjelaskan mengapa
NATO dapat mampu bertahan hingga sekarang, lalu bagaimana NATO dapat eksis bila dilihat
melalui institusionalisasi dan sosialisasi?. Pertanyaan sebelumnya merupakan bagaimana cara
untuk sebuah aliansi bertahan, dan apakah NATO sudah menerapkan hal tersebut ? hal ini dapat
dijelaskan melalui bentuk organisasi yang muncul dalam aliansi ini, yang telah membentuk
birokrasi yang jelas bahkan memiliki markas besar di Brussels. Sedangkan dalam sosialisasi ,
hubungan negara anggotanya usai perang dingin berubah menjadi saling kerjasama antar
berbagai bidang seperti investasi, pertukaran pelajar , dan perdagangan mampu memperkuat
hubungan antar negara anggota secara substansi. Serta NATO juga memberikan sebuah praktek
demokratis
kepada negara-negara anggotanya, seperti transparansi yang dilakukan pada
anggaran biaya dalam pertahanan.
3.4 Teori Pembentukan Aliansi14
Dalam proses pembentukan aliansi, teori pembentukan aliansi ini dibagi pada 2
katagori, faktor internasional dan domestik. Penjelasan mengenai pembentukan aliansi ini
sebenarnya muncul dari perspektif realisme, sebagai akibat bahwa harus adanya balance of
threat, karena negara merasa bahwa perlu adanya perimbangan ancaman sehingga pada akhirnya
membentuk sebuah aliansi itu sendiri. Dalam prinsipnya, negara bisa bebas membuat aliansi,
tetapi pada prakteknya bagaimananpun
mereka tidak boleh masuk dengan alasan
mempertimbangkan keuntungan maupun kerugian jiga ikut dalam suatu aliansi. Selain itu,
14 Stephen M Walt. Testing Theories of Alliance Formation. Vol. 42, No. 2, Spring, 1988.Diakses melalui
http://www.jstor.org/discover/10.2307/2706677?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21106725697013
negara juga harus mempertimbangkan apakah dengan ikut dalam suatu aliansi pada akhirnya
negaranya akan mengalami ketergantungan dengan negara lain atau tidak.
a) International Determinant: Capabilities Aggregation Model
Sebenarnya penjelasan mengenai pembentukan aliansi ini dikenal juga sebagai
capabilities aggregation models, yang merupakan faktor internasional dalam teori pebentukan
aliansi ini. Capabilities aggregation models ini
menekankan bahwa bagaimana negara
membentuk aliansi untuk menyatukan kekuatan militer mereka dan meningkatkan posisi
keamanannya. Hal ini mengikuti paham neorealist yang menganggap bahwa sistem internasional
adalah anarkis, bahwa tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara sehingga setiap
negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan
bahwa setiap negara bertindak untuk mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun
keamanan. Keneeth Waltz seorang tokoh realis memandang bahwa kepemilikan power oleh
sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan
dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya.
Perubahan penting dari teori balance of power adalah teori balance of threat.Karena
terkadang, aliansi muncul mencadi ketidakseimbangan
power.
Contohnya adalah selama
perang dingin, aliansi terpusat pada AS yang mempunyai power lebih, terlihat pada
kapabilitasnya. Meskipun aggregate power merupakan komponen penting dari ancaman, itu
bukan satu-satunya. Bagaimana mengancam sebuah negara memunculkan tujuan dari kedekatan
geografisnya, kapabilitas offensifnya, dan agresivitas dari tujuan tersebut.
b) Domestic Determinants
Teori balance of power bisa dikatakan lebih kepada penjelasan bentuk aliansi,
ketahanan, dan kehancuran.
Kontrasnya, teori balance of threat menjelaskan lebih kepada
pendekatan. Kemudain muncul pertanyaan negara apakah yang akan mendapatkan ancaman dari
negara lainnya?. Dalam pembentukan aliansi terdapat determinan domestik dari pembentukan
aliansi. Penjelasan pertama fokus pada persamaan dan perbedaan dari budaya, ideologi, dan
institusi politik suatu negara. Argumen umumnya bahwa semuanya harus sama, negara yang
memiliki orientasi politik monarki akan cenderung beraliansi dengan negara yang memiliki
orientasi politik monarki juga. Para scholars, menyatakan bahwa aliansi antara negara yang
menganut demokrasi liberal akan sangat kuat dan elastis. Alasannya adalah stabilitas relatif
publik dan keberlanjutan kepemimpinan nasional yang baik. Proses demokrasi akan memastikan
bahwa transisi kepemimpinan akan berjalan baik dan pergantian kebijakan secara mendadak
tidak akan disukai. Dalam komitmen internasional, yang
menghubungkan dengan aliansi
menjadi lebih terikat dengan hukum dan institusi domestik. Kecenderungan tersebut, diikuti
dengan penghargaan lebih untuk komitmen legal, memungkinkan pemimpin demokrasi liberal
mengikat penerus mereka dengan kebijakannya.
3.5 Perkembangan Institusi Keamanan Regional15
a) Era Perang Digin (Eropa-Amerika)
Perkembangan Institusi Keamanan Regional pada masa Perang Dingin diwarnai
dengan dominasi yang dilakukan oleh aliansi-aliansi yang dibentuk oleh dua blok yag menjadi
aktor utama dalam Perang Dingin yaitu Amerika Serikat bersama sekutunya dengan NATO dan
Uni Soviet dengan Pakta Warsawa yang dimilikinya. Kedua blok keamanan tersebut menjadi
aktor yang paling berpengaruh dan berkompetisi untuk menanamkan pengaruhnya di dunia
internasional. Dalam Perang Dingin sendiri selain terjadi peperangan ideologi yang dibawa oleh
Amerika Serikat dan Uni Soviet meskipun pada saat itu juga terjadi perlombaan senjata nuklir
yang dikembangkan oleh dua negara tersebut. Pengembangan kapabilitas khususnya militer
yang dilakukan dua aliansi tersebut secara tidak langsung memunculkan sebuah balance of
power di dunia saat itu. Karena terdapat dua hegemon yang saling berlomba dalam menanamkan
kepentingannya. Dua aliansi itu benar-benar menjadi kekuatan utama yang sangat berpengaruh
selama Perang Dingin.
b) Pasca Perang Dingin
Pada awal paska perang dingin, nampak upaya untuk membuat regionalisme yang
lebih universal. Tercermin dari etos yang tertanam dalam Liga Bangsa-Bangsa dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, menjadikan suatu gagasan ideal
bagi dunia dan mewujudkan perdamaian
global. Presiden George Bush menyebut ini sebagai Dunia Orde Baru. Sedangkan proses
regionalisasi sendiri hanya dianggap sebagai batu loncatan untuk mencapai tahap
global.
Kerjasama lintas regional yang dapat diilustrasikan pada eropa barat dengan kawasan non
eropa, yang tumbuh cepat paska perang dingin. Fokusnya bergeser dari kerjasama ekonomi
menjadi kejasama bidang keamanan juga. Hal ini akhirnya dicoba diadopsi di tingkat daerah dan
non eropa.
15 Louis, Fewsett.2012.The Regional Security of Global Security Diakses melalui
http://www.eolss.net/sample-chapters/c04/e1-68-02.pdf
Regionalisme ditafsirkan sebagai respon dari globalisasi dengan memperpanjang
proyek yang telah dimulai secara kedaerahan negara dunia ketiga dan kedua. Pasca perang
dingin, menunjukan struktur global lebih multilateral, karena tuntutan internasional terhadap
negara untuk bekerjasama lebih besar daripada angka konflik. Melihat fenomena ini, akan ada
banyak intervensi eksternal yang muncul berasal dari negara-negara bekas aliansi yang bersatu
kembali. Negara-negara lemah harus mengembangkan kemampuan self-help untuk bisa
mengatasi ancaman keamanan baru. Hal ini sanggup diatasi berkat kekuatan lembaga regional.
NATO telah mengatasi keraguan tentang dampak perang dingin di masa depan, dengan
menarik beberapa anggota baru dan terlibat operasi di luar area dari wilayah Kosovo ke
Afganistan. Dari kubu Uni-Soviet sendiri, membangun institusi (CIS, CSTO, CaCO) sebagai
langkah untuk mengimbangi kesenjangan akibat runtuhnya struktur perang dingin. Negaranegara di Eropa Timur dan Baltik pun melihat barat sebagai tujuan kerjasama dalam bentuk
assosiasi seperti Uni Eropa dan NATO. Dari sisi Rusia telah membentuk (SCO) sebagai penerus
dari Sanghai Five. Dimana Asia Tengah dapat ikut serta ke dalam assosiasi regional ini.
3.6 Institusi Kemanan Internasional Di Masa Sekarang16
Pertumbuhan Institusi regional menjadi tindakan umum yang dilakukan negara-negara
paska perang dunia dua. Ada tiga model institusi regional yang muncul di awal paska perang
dunia dua. Ketiga organisasi aliansi pertahanan, seperti NATO, SEATO, CENTO. Yang dimaksud
disini adalah institusi dengan komponen pertahanan terbuka. Dalam keamanan regional, terdapat
tiga gelombang pertumbuhan institusi yang teridentifikasi
sejak 1945 sampai sekarang.
pertama, tepat pada awal periode paska perang dunia dua, dan awal perang dingin. Kedua,
selama pertengahan sampai akhir perang dingin. Tiga gelombang yang paling baru satu dekade
paska perang dingin. Institusi-institusi tersebut bergerak secara berkelanjutan, mengembangkan
dan memperluas kapasitasnya di wilayah yang berbeda-beda.
Sebelum perang dunia dua, hanya terdapat beberapa institusi keamanan regional, dan
tidak begitu eksis. sebagai contoh, Inter-American system di akhir abad 19 awalnya bukanlah
institusi keamanan formal, meskipun diwujudkan dalam pernyataan sebuah rezim keamanan,
Dalam Monroe Doctrine yang menjelaskan bahwa Amerika merupakan bagian dari ruang United
States. Pada abad 19 di eropa, terjadi upaya pembentukan rezim, untuk tujuan keseimbangan
kekuasaan. caranya dengan membuat kesepahaman pemerintah negara anggota rezim. Namun
16 Ibid.,
rezim tersebut akhirnya runtuh, pada permulaan Perang Dunia I. Selanjutnya dipimpin oleh
Presiden US pada masa itu Woodrow Wilson membentuk institusi keamanan formal yang diberi
nama Liga Bangsa-Bangsa.
Namun, Regionalisme saat ini lebih memandang isu-isu penting namun masih tetap
dalam aspek regionalisme, dimana terdapat penjelasan dalam kerjasama yang berbeda yaitu
keamanan internasional adalah area dimana teori institusionalis beranggapan bahwa kerjasama
akan menjadi hal yang paling sulit untuk dicapai. Terdapat dua hal yang paling menonjol dalam
kerjasama ini, pertama adalah telah terjadi perubahan di penggerak utama dalam regional
mengenai urusan keamanan dimana hal tersebut membuat negara lebih merespon pergeseranpergeseran keseimbangan kekuatan global maupun regional. Kerjasama saat ini telah menjadi
sarana untuk menciptakan keamanan, dimana hal tersebut telah menciptakan lembaga-lembaga
yang mengatur negara-negara kuat maupun baru/lemah. Isu terbaru yang terjadi setelah kejadian
9/11 menyebabkan institusi regional harus mampu beradaptasi dalam menghadapi ancamanancaman terbaru, merespon isu keamanan oleh kekuatan global yang dominan, yang paling
utama adalah terorisme. Kedua, yaitu nilai institusi suatu negara, mereka telah bertahan dan
mengembangkan fungsi yang baru, menyesuaikan diri terhadap perubahan kondisi, termasuk
perubahan rezim dan berbagai jenis negara. Dalam memberikan prediksi yang lebih dalam
kerjasama maupun negosiasi di dunia yang saling ketergantungan, meraka telah menjadi alat
yang sangat berharga bagi diplomasi dan kenegaraan (Duffield 2006).
3.7 Penilaian terhadap Institusi Keamanan Regional
Pada teori institutionalis dapat dilihat bahwa untuk mencapai kemanan internasional
dengan cara kerjasama masih sulit untuk dicapai. Terdapat 2 hal yang menonjol dalam bidang
kerjasama. Pertama yaitu, penggerak utama suatu regional dalam mencapai keamanannya adalah
setiap negara wajib merespon perubahan global dan mencapai balance of power di masing –
masing regional. Kerjasama tidak hanya menjadi cara untuk meningkatkan keamanan suatu
negara, tetapi juga dapat mempengaruhi dan sebagai bargaining power. Perkembangan terbaru
tepatnya setelah tragedi 9/11 membuat organisasi regional harus dapat beradaptasi dengan
ancaman – ancaman baru dan bagaimana merespon terorisme yang mengancam kemanan global.
Kedua adalah nilai dari institusi negara, dalam melakukan kerjasama dan negosiasi, institusi
negara menjadi sarana yang penting dalam berdiplomasi dan tatanan negara17.
Institusi regional merupakan sarana untuk menangani ancaman keamanan dan
melindungi negara yang lemah dalam lingkungan internasional yang saling bermusuhan (Ayoob
1995). Adapun laporan yang menyorot arti penting kemanan regional yaitu ‘Responsibility to
Protect’: negara yang dapat membuat aliansi kuat di regional, keadaan internal yang damai, civil
society yang kuat dan indpenden merupakan keuntungan dari era globalisasi. Institusi regional
juga mengatur perilaku dan memberikan parameter anggotanya dalam melakukan suatu
tindakan, tapi institusi cenderung merubah perannya dalam menanggapi perubahan sistemik serta
menyarankan korelasi yang erat antara material interest dan collective behaviour. PBB
merupakan organisasi internasional yang kemungkinan untuk mengganti peran institusi regional
dimasa mendatang. Negara yang kuat akan terus mencari peran untuk melegitimasi institusi
regional, dan negara – negara lemah akan mendapat keuntungan dari negara kuat dari aliansi
yang terbentuk.
3.8 Studi Kasus :Aliansi Multilateral Jepang, As, Korea Selatan di Kawasan Asia Timur
1) Sejarah Aliansi Multilateral (Jepang-AS-Korsel)
AS-Jepang : Aliansi antara Jepang dan Amerika Serikat muncul pada saat berakhirnya
perang dingin. Pasca perang dingin, terlihat di wilayah Asia Timur semakin banyak negara yang
berusaha meningkatkan kekuatan militernya. Aliansi yang dibentuk Jepang sebagai akibat dari
negara tetangga Jepang yang terus menerus meningkatkan kapabilitas militer, seperti Korea
Utara yang melakukan uji coba nuklir dan China yang terus menerus meningkatkan kapabilitas
militernya yang membuat Jepang merasa terancam.
Hal ini sebagai bentuk dari sistem
internasional yang anarki itu sendiri dan pada akhirnya membuat Jepang merasa perlu untuk
melindungi negaranya dengan melakukan aliansi dengan Amerika Serikat. Aliansi dengan
Amerika Serikat disebut sebagai paying pertahanan Jepang.
Sebagai negara yang pernah mengalami lemahnya keamanan nasional, tepatnya
ketika wilayah Hiroshima dan Nagasaki terkena bom nuklir, berkaca dari kejadian tersebut
maka Jepang melakukan aliansi dengan Amerika Serikat sebagai upaya untuk menjaga keamanan
17Paul D. Williams, Security Studies : An Introduction, USA and Canada : Routledge, 2008), hal. 323.
nasional dan membuat perimbangan kekuatan dengan negara-negara di Asia Timur, seperti Korea
Utara dan China.
2) Perjanjian aliansi dengan Amerika Serikat
Jepang memanfaatkan perjanjian yang telah dibentuk Pemerintah Jepang dan Amerika
Serikat pada tahun 1951 yang menyepakati adanya perjanjian tentang aliansi, yaitu Japan – U.S
Mutual Coorperation and Security Treaty dan perjanjian ini diperbaharui pada tanggal 19
Januari 1960. Perjanjian ini menyetujui tentang adanya ketergantungan militeristik Jepang
terhadap negara Amerika Serikat. Pasca perang dingin, mereka terus menerus meningkatkan
kapabilitas militernya dengan melakukan hubungan intensif dengan Amerika Serikat, maka pada
tahun 2004 dibuat kembali kesepakatan Japan – US Security Arrangement yang tertulis pada
buku putih pertahanan jepang. Perjanjian ini lebih kepada menjaga keamanan nasional Jepang
dan menciptakan perdamaianan antar negara di Asia Timur serta pada perjanjian ini
menghasilkan kebijakan pertahanan Jepang yang direvisi dalam National Defense Program
Guidelines dan pada tahun 2007 menghasilkan Kementerian Pertahanan Jepang18.
Pasca Perang Dingin, kawasan Asia timur ditandai dengan berbagai konflik regional dan
masalah
internasional yang mengundang perhatian masyarakat dunia, khususnya tentang
masalah keamanan yang menyangkut kapabilitas militer negara-negara di kawasan ini, seperti
Jepang, China, Korea Selatan, Korea Utara dan Taiwan. Adanya pembangunan kapabilitas militer
negara-negara Asia Timur khususnya China dan Korea Utara membuat Jepang merasa terancam.
3) Tujuan, Fungsi, dan Proses Aliansi
Telah dijelaskan di awal tentang tatanan dunia yang anarki, beberapa negara tentu
memikirkan masadepan bangsanya sebagai bentuk tindakan survival, dalam hal ini fokus kami
adalah tentang fungsi dan tujuan hubungan aliansi negara Jepang dengan Amerika Serikat dalam
hal keamanan. Tidak dipungkiri, adanya pengembangan sistem rudal oleh negara tetangga di
kawasan ASEAN, seperti China dan Korea Utara,membuat Jepang hawatir akan keamanan
internal maupun eksternal negara tersebut. Hubungan aliansi Jepang dengan As merupakan satu
konsep yang telah diatur dalam ketentuan Blue Print pemerintah jepang yang dikenal dengan
istilah Japan-US Security Aranggement.19 Tujuan Aliansi tersebut adalah untuk merespon
18Sinaga, Obsatar. “AliansiJepang-Amerika SerikatdalamMenghadapi Pembangunan KapabilitasMiliter China dan
Korea Utara”.Jatinangor-Sumedang
19 Obsatar Sinaga. ALIANSI JEPANG-AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI PEMBANGUNAN
KAPABILITAS MILITER CHINA DAN KOREA UTARA. Diakses dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
ancaman yang datang terutama dari China dan Koreas Utara, selain itu tujuan lainya adalah
arahan pada ekonomi, politi, sosial, bnahkan budaya. Salah satu kesepakatan yang dibangun oleh
Jpemerintah Jepang dan AS adalah kesepakatan ”Initial Actions for the Implementation of the
Joint Statement” pada 13 februari 2007.
Fungsi dan tujuan aliansi tersebut antara lain: 20 (1) mempromosikan nilai-nilai
demokrasi, Good Governaces, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar dalam Asia
Tenggara, serta membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan
transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. (2) Meningkatkan kerjasama
untuk memperkuat kerjasama dalam APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran
penting dalam mencapai stabilitas, keamanan, dan keamakmuran di kawasan. (3) kerjasama yang
lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian
dan keamanan serta tujuan strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat. (4) Menjaga
keamanan dunia dan regional ASEAN. (5) Operasi perdamaian internasional, bencana alam, dan
respon terhadap situasi maupun ancaman di sekitar Jepang.
4) Jepang-As plus Korea Selatan
Mengingat kedekatan Amerika Serikat dengan Korea Selatan terkait masalah sejak
lama yaitu melawan Korea Utara sebagai backingan China, maka aliansi Jepang AS berkembang
dengan Korea Selatan yang sebelumnya juga sudah menjadi aliansi AS. Terdapat beberapa
aliansi yang dilakukan oleh negara Jepang AS, dan Korea Selatan, antara lain General Security of
Military Information Agreement (GSOMIA).21 GSOMIA bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran
informasi serta membangun
program intelijen dan pertahanan antara negara. Juga kerjasama
Chemical, Biological, Radiological, and Nuclear Defense Working Group yang berfungsi untuk
meningkatkan kesiapan keamanan kedua negara dalam menghadapi senjata kimia, biologi, radiologi,
dan nuklir serta memfokuskan menghadapi serangan senjata pemusnah massal.
Alaiansi keamanan yang dilakukan oleh pemerintah negara Jepang, AS, dan Korea Selatan
saat ini banyak dilakukannya implementasi di lapangan, beberapa agenda dan pembuktian lapangn
antara lain adalah22 (1) kerjasama melalui relokasi personil Marine Expeditionary Force (MEF) III
content/uploads/2014/02/aliansi_jepang_amerika_serikat.pdf, pada tanggal 06 Mei 2015
20 Ibid.
21 Okezon. Korsel Bentuk Pakta Intelijen dengan Jepang. Diakses dari:
http://news.okezone.com/read/2012/06/29/413/655774/large, pada tanggal 06 Mei 2015
22 Op. cit
dari Okinawa ke Guam pada 2014. (2) Latihan kapal induk pada Maret 2007, (3) penggunaan
Yokota airspace pada September 2006 dan pengembalian kontrol Yokota Airspace kepada Jepang
pada September 2008. (4) Juni-juli 2006 Jepang, Amerika, dan Korea Selatan Serikat saling bertukar
informasi melalui fasilitas koordinasi Yokota Air Base, juga sharing yang dilakukan oleh negara
yang beraliansi secara rutin mengenai pertahanan misil balistik dan informasi operasional melalui
Bilateral Common Operational Picture (BOP) (Japan Defense White Paper 2006).23
5) Analisis Persepsi Ancaman bagi Jepang
Pengembangan sistem rudal dan misil yang dilakukan beberapa negara di dunia,
khususnya di Asia Timur telah membuat Jepang mengubah persepsinya. Dengan semakin
canggih teknologi, pengembangan nuklir dan senjata pemusnah massal (Weapon of Mass
Destruction) bukanlah suatu hal yang sulit. Aktor negara yang secara eksplisit disebut Jepang
sebagai ancaman bagi Jepang adalah China dan Korea Utara. Namun, peningkatan anggaran
militer China dan pembangunan kapabilitas nuklir Korea Utara merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dari Taiwan sebagai rival China dan masalah Semenanjung Korea bagi Korea
Utara. Hal inilah yang membuat keadaan di Asia Timur semakin kompleks dengan adanya
pembangunan kapabilitas militer sejumlah negara dalam kawasan tersebut.
6) Analisis Persepsi ancaman bagi AS
Tingkat kecemasan yang melandasi Jepang meningkatkan kapabilitas pertahanannya
memberi alasan yang cukup bagi Tokyo untuk berbagi beban dan persepsi dengan kepentingan
Amerika Serikat di kawasan, terutama perspektif strategi Amerika Serikat dalam menyikapi
pesatnya kemampuan militer China serta kemungkinan perbenturan dua proyeksi kekuatan utama
tersebut di Asia Pasifik di masa depan.
Aliansi Jepang dan Amerika Serikat mendorong komitmen baru dan meluas untuk
menjalin kerjasama keamanan dengan menciptakan tujuan strategis bersama, membuat komando
bersama, secara eksplisit mengidentifikasi stabilitas Selat Taiwan dan Semenanjung Korea
sebagai prioritas utama dalam kawasan Asia Pasifik, dan meminta China untuk memberikan
transparansi mengenai modernisasi militernya.
DAFTAR PUSTAKA
23 Obsatar Sinaga. Ibid.
Benjamin Zyla, Tanpa Tahun. Sharing the Burden?: NATO and its Second-Tier Powers. 2015.
[online] (Diakses di https://books.google.co.id/books?
id=ONfTBgAAQBAJ&pg=PA4&lpg=PA4&dq=definition+alliances+by+Michael+Bar
nett+and+Jack+Levy&source=bl&ots=Yi7pMzyPHD&sig=bkUW3LlX0YPiBKBmHvR
DXBDwFO0&hl=en&sa=X&ei=Tp08Vc_7KcW2uATw6YCQDw&redir_esc=y#v=onep
age&q&f=false
Brooking.1999.NATO after Cold War: Nato s Purpose. Diakses melalui
http://www.brookings.edu/fp/projects/1999nato_reportch1.pdf
International Organization. 2009. Domestic sources of alliances and alignments: the case of
Egypt1962–73. [online] (diakses dari
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?
fromPage=online&aid=4309532&fileId=S0020818300033142 , pada tanggal 26 april
2015)
John Hillen and Michael P. Noonan.1998. The Geopolitics of NATO Enlargement. [online]
(diakses dari
http://strategicstudiesinstitute.army.mil/pubs/parameters/Articles/98autumn/hillen.htm,
pada tanggal 26 April 2015)
Louis, Fewsett.2012.The Regional Security of Global Security Diakses melalui
http://www.eolss.net/sample-chapters/c04/e1-68-02.pdf
Stephen M Walt. Testing Theories of Alliance Formation. Vol. 42, No. 2, Spring, 1988.Diakses
melalui http://www.jstor.org/discover/10.2307/2706677?
uid=3738224&uid=2&uid=4&sid=21106725697013 tanggal 26 April 2015)
Obsatar Sinaga. ALIANSI JEPANG-AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI
PEMBANGUNAN KAPABILITAS MILITER CHINA DAN KOREA UTARA. Diakses dari:
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/02/aliansi_jepang_amerika_serikat.pdf, pada tanggal 06 Mei 2015
Walt, Stephen M. 1997: Why alliances endure or collapse, Survival: Global Politics and
Strategy, 39:1, 156-179. [online] (diakses dari
http://polsci.colorado.edu/sites/default/files/6B_Walt.pdf, pada tanggal 26 April 2015)
Williams, Paul D. 2008. Security Studies: An Introduction. Routledge, New York