BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BETOK (Anabas testudineus Bloch, 1792) DI RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR [Reproductive biology of climbing perch (Anabas testudineus Bloch, 1792) in floodplain of Mahakam River, East Kalimantan]

DI RAWA BANJIRAN SUNGAI MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR

[Reproductive biology of climbing perch (Anabas testudineus Bloch, 1792)

in floodplain of Mahakam River, East Kalimantan]

1 1 Yunizar Ernawati 2 , M. Mukhlis Kamal , dan Noncy Ayu Yolanda Pellokila

1 Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB

2 Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Dep. MSP FPIK IPB  Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan, FPIK IPB

Jl. Agatis, Gd. FPIK Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 e-mail korespondensi: buerna@yahoo.com

Diterima: 21 Juli 2009, Disetujui: 17 November 2009

ABSTRACT

A study that head for to find out some aspects biology reproduction of climbing perch (Anabas testudineus) in floodplains of Mahakam River, East Kalimantan that have been conducted of November until January with survey method. Floodplain in the Mahakam River is one of area freshwater fishing which plays an important role for East Kalimantan ’s societies. Results research suggested that classified water quality from Mahakam’s drainage basin floodplain as still be able to support of climbing perch life. Climbing perch has growth patterns as a whole is negative allometric (b<3). Most Climbing perch are caught are fish had entered the GMR 3 and 4 (gonado maturity). Climbing perch classified potentially high reproduction because it has a large fecundity.

Key words: Climbing perch, fecundity, floodplain, gonado maturity index, gonado maturity rate, reproductive.

PENDAHULUAN

eksploitasi ini juga diiringi dengan kerusakan Rawa

lingkungan yang terjadi di Sungai Mahakam dan merupakan salah satu bagian dari perairan umum

sekitarnya yang di perkirakan dapat membawa yang

dampak buruk terhadap sumber daya ikan betok menghasilkan ikan air tawar (Samuel et al.,

memegang peranan

penting

dalam

di habitatnya (Media Indonesia, 2003). 2002). Salah satu jenis ikan yang sering

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ditangkap baik pada musim kemarau maupun

beberapa aspek biologi reproduksi ikan betok (A. penghujan

testudineus ) di Rawa Banjiran Sungai Mahakam, testudineus ). Ikan betok mempunyai nilai

adalah ikan

betok

(Anabas

Kalimantan Timur. Penelitian ini diharapkan ekonomis dan harga jualnya pun cukup tinggi.

dapat menjadi informasi tambahan dalam upaya Harga ikan betok di Provinsi Kalimantan Timur

pengelolaan sumber daya ikan betok (A. antara tahun 2002-2008 adalah Rp 10 579,- pada

testudineus ) agar dapat dimanfaatkan secara tahun 2004 dan Rp 14 494,- pada tahun 2005

berkesinambungan, guna (DKP, 2006). Selain itu, ikan ini juga

optimal

dan

terjaminnya kelestarian sumber daya dan dimanfaatkan sebagai target pancingan dan ikan

keberlanjutan hasil tangkapan ikan ini di alam. hias di Eropa (Kuncoro, 2009). Potensi betok menjadi ikan konsumsi dan ikan hias yang

BAHAN DAN METODE

diiringi dengan meningkatnya

Penelitian ini dilakukan dari bulan konsumen,

permintaan

November 2007 hingga Januari 2008 di rawa mengandalkan hasil tangkapan dari alam

banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap

(Gambar 1). Stasiun penelitian ditentukan penurunan populasi ikan ini di kemudian hari

berdasarkan pertimbangan karakteristik habitat (Isriansyah & Sukarti, 2007). Peningkatan

masing-masing stasiun dan informasi dari

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

nelayan setempat yang berkaitan dengan lokasi diambil secara acak dari ukuran terbesar hingga penangkapan

ukuran terkecil sekurang-kurangnya 10% dari Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditetapkan

dan pemijahan

ikan betok.

total hasil tangkapan nelayan. Alat tangkap yang tiga stasiun penelitian yaitu (1) rawa, (2) sungai,

digunakan adalah perangkap/keblat (rawa), dan (3) danau. Ikan contoh yang dikumpulkan,

tangkul (sungai), dan jaring insang (danau).

EL TP EN YING UK GAH AN UL M EL IN M IN EL UDA NG

# Stasiun 1 Penyinggahan Ulu

MELINTANG MELINTANG

0 °16'00" N

2 0 2 Penyinggahan Ilir

Gambar 1. Lokasi penelitian di rawa banjiran Sungai Mahakam

dengan menggunakan berdasarkan stasiun penelitian. Ikan contoh lalu

Ikan betok hasil tangkapan dipisahkan

dapat

ditentukan

klasifikasi TKG ikan belanak (Mugil dussumieri) diawetkan dengan larutan formalin 10% dan

menurut Cassie (1956) in Effendie (1979). dibawa ke laboratorium untuk dibedah dan di

Diameter telur contoh diukur pada tiga bagian analisis. Setelah ikan dibedah gonad ikan

gonad yaitu bagian anterior, median, dan diawetkan dengan menggunakan formalin 4%.

posterior, masing-masing bagian sebanyak 50 Penentuan tingkat kematangan gonad

butir. Telur contoh dideretkan di atas gelas objek (TKG) ikan betok (A. testudineus) secara

lalu dilakukan pengamatan dengan menggunakan morfologi

mikroskop yang telah dilengkapi dengan

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

mikrometer okuler yang sebelumnya sudah ditera Untuk membandingkan jumlah ikan jantan dan dengan mikrometer objektif. Diameter telur

rumus perbandingan contoh yang diukur adalah diameter telur contoh

betina

digunakan

berdasarkan Mattjik & Sumertajaya (2002) : yang memiliki ukuran terpanjang.

X  Sebaran frekuensi panjang total dan

B diameter

telur dapat

X = nisbah kelamin

J = jumlah ikan jantan (ekor) Sumertajaya, 2002). Hubungan panjang bobot

menggunakan

rumus Sturges (Mattjik

B = jumlah ikan betina (ekor)

dapat dianalisis dengan menggunakan rumus Keseragaman sebaran nisbah kelamin dianalisis

Hile (1963) in Effendie (1979) yaitu :

b dengan uji “Chi-Square” (Steel & Torrie, 1993) :

W  aL

2 ( oi  ei Keterangan : ) X  

W = Bobot tubuh ikan (gram) ei L = panjang total ikan (mm)

Keterangan :

a,b = konstanta

X 2 = nilai peubah acak X 2 yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran

Chi-square. o i = jumlah frekuensi ikan jantan dan betina ke- panjang bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b.

Korelasi parameter

dari

hubungan

i yang diamati.

Untuk lebih menguatkan pengujian dalam

e i = jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina yaitu frekuensi ikan jantan

menentukan keeratan hubungan kedua parameter ditambah frekuensi ikan betina dibagi dua (nilai b), dilakukan uji t untuk menguji apakah b

= 3 atau tidak dengan rumus berikut (Walpole, Berdasarkan Effendie (1979) Indeks Kematangan 1992) :

Gonad (IKG) dapat dihitung dengan rumus:

BG T 

IKG 

x 100

BT Keterangan :

hit

Sb

Keterangan : Sb = simpangan baku IKG = indeks kematangan gonad

b = konstanta IBG = bobot gonad (gram) BT = bobot tubuh (gram)

Berdasarkan Effendie (1979), nilai faktor kondisi Prosedur penentuan fekunditas dilakukan dengan ikan betok dapat dihitung dengan rumus berikut: metode gabungan antara gravimetrik dan

volumetrik (Effendie, 1979):

aL b

GxVxX Keterangan :

Q K n = faktor kondisi relatif

W = bobot ikan (gram)

Keterangan :

L = panjang total ikan (mm)

F = fekunditas (butir)

a,b = konstanta

G = bobot gonad (gram)

V = volume pengenceran (ml)

X = jumlah telur tiap ml (butir) Nisbah

Q = bobot telur contoh (gram) menggunakan perbandingan antara jumlah ikan

jantan dan betina yang terdapat dalam setiap Analisis kualitas air dilakukan secara bulan dan stasiun pengambilan ikan contoh.

deskriptif dengan menggunakan nilai kisaran

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

melalui penyajian tabel yang menunjukkan

HASIL DAN PEMBAHASAN

hubungan parameter utama dan parameter Kondisi umum perairan rawa banjiran Sungai Mahakam

pendukung. Parameter utama adalah komposisi ikan betok dan parameter pendukung adalah

Fluktuasi air merupakan kondisi yang sangat memengaruhi kualitas air di rawa

parameter kualitas air yang terdiri atas parameter banjiran. Untuk mengetahui kondisi perairan di

fisika (suhu, kedalaman, dan kekeruhan), kimia (pH, oksigen terlarut, dan alkalinitas), dan

daerah rawa banjiran tersebut, maka dilakukan biologi (penutupan tumbuhan air). Parameter

pengamatan parameter fisika, kimia, dan biologi secara umum yang dapat dilihat pada Tabel 1.

pendukung digunakan untuk melengkapi data parameter utama.

Tabel 1. Kisaran nilai parameter fisika, kimia, dan biologi perairan rawa banjiran Sungai Mahakam

Danau Ikan Fisika

6,23 – 6,93 Oksigen Terlarut

Tumbuhan Air

*Berdasarkan Kuncoro (2009)

Fluktuasi air berubah setiap bulan, dimana Suhu yang sesuai sebagai syarat hidup dari ketiga bulan penelitian curah hujan tertinggi

C (Dinas Perikanan terdapat pada bulan Desember. Tingginya muka

ikan betok adalah 15-31 o

Daerah Tingkat I Jambi 1995), 29 o C air akan berpengaruh terhadap suhu, kedalaman,

C (Kuncoro, 2009), kekeruhan, pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan o dan 22-30

(Purwakusuma 2002), 24-30 o

C (www.fishbase.org). Persentase persentase penutupan tumbuhan air. Semakin

penutupan tum-buhan air pada tiap stasiun tinggi paras muka air maka suhu akan semakin

penelitian cukup bervariasi dan yang terbesar rendah,

terdapat pada stasiun rawa (70,70-85,97%/m 2 ). meningkat, dan derajat keasaman (pH) akan

kedalaman dan

kekeruhan

akan

Tumbuhan air tersebut merupakan makanan mudah ternetralisir dengan masuknya air dari

serangga (nyamuk dan lalat air) yang pada tropik sungai utama (Samuel et al., 2002). Kekeruhan

level selanjutnya merupakan makanan ikan yang terjadi diduga disebabkan oleh adanya

betok.

pencampuran massa air oleh angin dan arus pada Kisaran rata-rata nilai parameter fisika, saat terjadi banjir. Selain itu, banyaknya partikel

kimia, dan biologi pada semua stasiun penelitian lumpur yang terbawa arus juga mempengaruhi

masih dalam batas aman dan sesuai dengan kekeruhan perairan.

kebutuhan ikan (Tabel 1), walaupun pada stasiun

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

rawa terlihat adanya penurunan nilai pH dan Komposisi tangkapan ikan betok oksigen terlarut tetapi hal tersebut tidak terlalu

Ikan betok yang tertangkap selama berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan

penelitian berjumlah 400 ekor yang terdiri atas betok. Hal ini disebabkan oleh adanya alat

235 ekor ikan jantan dan 165 ekor ikan betina. pernapasan tambahan (labirin) yang dimiliki oleh

Jumlah tangkapan terbanyak terdapat pada ikan betok sehingga ikan betok dapat mengambil

stasiun rawa yaitu 122 ekor (Tabel 2). Panjang oksigen bebas dari udara saat perairan tempat

total ikan yang tertangkap berkisar antara 71-195 hidupnya kekurangan oksigen (Sterba, 1969;

mm. Secara keseluruhan ikan betok hasil Nelson, 1984). Alat pernapasan tambahan yang

tangkapan terbanyak berada pada kisaran sama juga ditemukan pada ikan serandang

panjang 123-135 mm, dengan jumlah terbesar (Channa pleurophthalmus) di DAS Musi (Said,

berada pada stasiun rawa diikuti oleh stasiun 2006).

danau dan stasiun sungai (Tabel 3). Tingginya Utomo & Asyari (1999) melaporkan

persentase penutupan tumbuhan air dengan bahwa ikan betok masih ditemukan pada perairan

kedalaman dan kekeruhan yang relatif rendah yang berlumpur, sedikit air, dengan kandungan

dibandingkan stasiun yang lain me-mungkinkan oksigen rendah di Sungai Kapuas, Kalimantan

adanya ketersediaan makanan yang lebih banyak Barat. Ikan betok juga ditemukan pula di

di rawa. Hal ini mengindikasikan stasiun rawa ekosistem rawa banjiran Sungai Kampar Kiri

dapat memberikan tempat hidup yang lebih baik (Simanjuntak et al., 2006) dan Rawa Gambut di

bagi ikan betok daripada stasiun yang lainnya. Sungai Barito (Nurdawati et al., 2007).

Tabel 2. Komposisi tangkapan ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian

Total Stasiun

Jantan

Betina

BT±SD n

BT±SD

PT±SD

BT±SD

PT±SD (mm) (gram) Rawa

PT±SD (mm)

122 ± 17 31 ± 14 PT=PanjangTubuh; BT=Bobot tubuh ; SD=Standar deviasi

Tabel 3. Komposisi tangkapan ikan betok jantan dan betina berdasarkan selang ukuran panjang

Selang Ukuran Panjang

Nilai

Frekuensi (ekor)

Danau Total

Jantan Betina 71 - 83

(Xi)

Jantan

Betina

Jantan

Betina

77 2 4 0 0 2 3 11 84 - 96

90 7 4 0 1 2 1 15 97 - 109

23 18 6 0 7 4 58 110 - 122

44 16 11 6 28 13 118 123 - 135

37 26 12 12 28 19 134 136 - 148

8 14 9 8 3 8 50 149 - 161

1 4 0 1 0 1 7 162 - 174

0 0 1 0 0 0 1 175 - 187

0 1 2 0 0 0 3 188 - 200

0 0 1 1 1 0 3 Total

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Kuncoro (2009) menyatakan bahwa ikan Panjang maksimum ikan betok yang betok merupakan ikan demersal yang suka hidup

tertangkap di lokasi penelitian adalah 195 mm, bergerombol dibawah tumbuhan air untuk

lebih kecil ukurannya dari panjang panjang mencari makan dan memijah. Makanannya

maksimum ikan betok yang dilaporkan pernah berupa larva serangga, jentik-jentik nyamuk,

tertangkap di Indonesia yaitu 200 mm (DPPD, kutu air, ikan kecil, cacing, detritus, serta

1995), 250 mm (www.fishbase.org), dan 350 mm plankton. Selain di rawa banjiran Sungai

(Kuncoro, 2009). Perbedaan ini diduga Mahakam, Kalimantan Timur, ikan betok dengan

disebabkan oleh perbedaan lokasi penangkapan, tingkah laku yang sama juga ditemukan di Danau

keterwakilan contoh yang diambil, kondisi Arang -arang Provinsi Jambi (Samuel et al.,

lingkungan, dan faktor genetis ikan itu sendiri. 2002). Tingkah laku ikan yang berhubungan dengan keberadaan tumbuhan air juga ditemukan

Hubungan panjang bobot ikan betok pada ikan lain seperti ikan gabus (Channa

Model persamaan hubungan panjang striata ) di aliran Sungai Kampar Kanan, Riau

bobot ikan betok jantan dan betina secara sebagai tempat pemijahan (Pulungan 2008a) dan

berurutan adalah W = 8 x 10 -5 L 2,6735 dan W = 4 x ikan motan (Thynnichthys polylepis) di waduk

10 -5 L 2,8181 , sedangkan model persamaan secara PLTA Koto Panjang, Riau sebagai tempat

keseluruhan (gabungan ikan jantan dan betina) perlindungan (Pulungan, 2008b).

adalah W = 5 x 10 -5 L 2,7544 . Berdasarkan uji t Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa

diperoleh nilai b ikan betok jantan dan ikan betok frekuensi tangkapan ikan betok mengalami

gabun gan berbeda nyata dengan 3 (b≠3) kenaikan pada selang ukuran kecil (71-109 mm),

disimpulkan bahwa pola mencapai puncak pada selang ukuran sedang

sehingga dapat

pertumbuhan ikan betok jantan dan ikan betok (110-161 mm), kemudian menurun kembali pada

secara keseluruhan adalah allometrik negatif selang ukuran besar (162-200 mm). Selain itu,

(b<3) yang berarti pertambahan panjang ikan terlihat adanya dominasi ikan betok pada selang

dibandingkan pertambahan ukuran sedang, sehingga dapat diduga bahwa

lebih

dominan

bobotnya. Nilai b ikan betok betina tidak berbeda ikan betok yang tertangkap sedang dalam periode

3 (b=0) sehingga dapat pertumbuhan. Perbedaan alat tangkap dan

nyata

dengan

disimpulkan bahwa pola pertumbuhan ikan betok ketersediaan makanan di setiap stasiun diduga

betina adalah isometrik yang berarti pertambahan menjadi salah satu penyebab berfluktuasinya

panjang dan bobotnya seimbang. Hubungan frekuensi dan ukuran ikan betok hasil tangkapan.

panjang bobot ikan betok jantan dan betina pada Perangkap (keblat) dan jaring insang yang

setiap stasiun penelitian dapat dilihat pada Tabel dioperasikan pada stasiun rawa dan danau

4. Dengan mengetahui hubungan panjang bobot, memungkinkan ikan betok yang tertangkap

dapat diketahui pola pertumbuhan ikan betok. berada pada selang ukuran kecil sampai sedang.

Pola pertumbuhan ini dapat digunakan untuk me- Tangkul yang dioperasikan pada stasiun sungai

nentukan faktor kondisi ikan betok, musim cenderung bisa menangkap ikan betok dengan

pemijahan, dan perubahan lingkungan (Effendie, ukuran yang lebih bervariasi.

1997), sehingga dapat disimpulkan bahwa

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

kondisi perairan pada stasiun rawa dan danau makanan dan pertama kali ikan matang gonad lebih stabil dalam mendukung kehidupan ikan

dan memengaruhi betok di kawasan rawa banjiran Sungai

dapat

menentukan

pertumbuhan. Dari pembahasan tersebut dapat Mahakam.

disimpulkan bahwa spesies ikan yang sama pada Makanan merupakan faktor penting dari

lokasi yang berbeda akan memiliki pola pada suhu perairan untuk pertumbuhan ikan di

pertumbuhan yang berbeda karena faktor-faktor daerah

tropik. Keberhasilan

mendapatkan

tersebut di atas.

Tabel 4. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan betok jantan dan betina pada setiap stasiun penelitian Stasiun

r Pola Pertumbuhan Rawa

W = 0,00003L 2,8571 0,00003

0,9187 Allometrik negatif

0,9622 Isometrik Sungai

B 87 W = 0,00003L 2,931 0,00003

42 W = 0,00007L 2,6729 0,00007

0,8786 Allometrik negatif

0,8476 Isometrik Danau

B 29 W = 0,00001L 3,0143 0,00001

71 W = 0,0001L 2,5665 0,0001

0,8172 Allometrik negatif

B 49 W = 0,00008L 2,6656 0,00008

0,8358 Allometrik negatif

Faktor kondisi kecuali pada ikan betina stasiun danau. Keadaan Nilai faktor kondisi ikan betok jantan dan

ini dapat dipahami karena meningkatnya TKG betina berdasarkan stasiun penelitian dapat

merupakan salah satu akibat dari perkembangan dilihat pada Gambar 2. Nilai rata-rata faktor

bobot gonad yang pada akhirnya dapat kondisi tertinggi berada pada stasiun rawa,

tubuh ikan secara diikuti oleh stasiun sungai dan terendah terdapat

meningkatkan

bobot

keseluruhan (Yani, 1994). Beberapa faktor lain pada stasiun danau. Periode pemijahan ikan

yang diduga menjadi penyebab terjadinya dapat diduga dengan mengetahui nilai faktor

perbedaan kondisi ini adalah ketersediaan kondisi tertinggi ikan yang bersangkutan. Nilai

makanan, kondisi lingkungan, TKG, perbedaan rata-rata faktor kondisi tertinggi ikan betok

umur, ukuran ikan, dan tingkah laku ikan itu terdapat pada stasiun rawa sehingga dapat diduga

sendiri Effendie (1997).

bahwa stasiun rawa merupakan tempat terbaik Menurut Tamsil (2000), faktor kondisi bagi ikan betok untuk melakukan proses

ikan akan terus berkembang pada setiap pemijahan.

siklusnya dan akan mencapai nilai maksimum Faktor kondisi ikan betok jantan dan

pada TKG IV, kemudian menurun saat betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun

memasuki TKG V, karena ikan sudah melakukan penelitian bervariasi dan berfluktuatif (Gambar

pemijahan. Akan tetapi pada kondisi lingkungan 3). Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi

yang tidak memungkinkan, penurunan faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang

kondisi dapat terjadi sebelum mencapai TKG V berbeda pada setiap stasiun penelitian. Nilai

(sebelum memijah) apabila terjadi atresia yaitu faktor kondisi cenderung meningkat seiring

penyerapan kembali oosit oleh tubuh ikan karena dengan meningkatnya TKG ikan jantan dan

adanya gangguan dalam proses reproduksi pada betina hampir pada semua stasiun penelitian dan

tahap perkembangan gonad. Hal tersebut diduga kemudian menurun saat memasuki TKG V

yang terjadi pada ikan betina stasiun danau.

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Gambar 2. Faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian

Rawa

Jantan Betina

Jantan Betina

1.50 1.54 1.34 1.68 1.44 1.41 r Ko

d n 2.00

is

k 1.00 to

Danau Jantan

I Tingkat Kematangan Gonad (TKG) II III IV V

Gambar 3. Faktor kondisi ikan betok jantan dan betina berdasarkan TKG pada setiap stasiun penelitian

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Nisbah kelamin Berdasarkan uji Chi-Square pada selang Nisbah kelamin ikan betok pada setiap

kepercayaan 95 % (α=0,05), nisbah kelamin ikan stasiun penelitian bervariasi (Gambar 4). Setelah

betok jantan dan betina yang memiliki TKG III dilakukan

dan IV pada setiap stasiun penelitian seimbang kepercayaan 95 % (α=0,05), nisbah kelamin ikan

uji

Chi-Square pada

selang

(mengikuti pola 1:1). Keseimbangan jumlah betok pada setiap stasiun penelitian tidak

ikan jantan dan betina yang memiliki TKG III seimbang (tidak mengikuti pola 1:1). Hal ini

dan IV berdasarkan stasiun pada setiap bulan diduga disebabkan oleh penyebaran ikan betok

penelitian mengindikasikan bahwa satu ikan jantan dan betina yang tidak merata pada setiap

betok jantan akan membuahi satu ikan betok stasiun penelitian.

lamin in e m la 1.50

Rawa

Sungai

ba 1.00 Danau

Bulan Penelitian Bulan

Gambar 4. Nisbah kelamin ikan betok pada setiap stasiun penelitian

Tingkat kematangan gonad Sumatera Selatan umumnya matang gonad dan Berdasarkan Gambar 5, dapat dilihat

siap memijah pada bulan November yang bahwa persentase ikan betok jantan dan betina

merupakan awal musim penghujan (Utomo et al., yang sudah memasuki TKG III dan IV

1990 in Utomo & Asyari, 1999). mendominasi pada semua stasiun penelitian,

Tingkat kematangan gonad ikan betok sehingga dapat diduga bahwa pada bulan-bulan

jantan dan betina meningkat seiring dengan penelitian (November-Januari) ikan betok sudah

bertambahnya ukuran panjang (Gambar 6). memasuki musim pemijahan. Musim pemijahan

Ukuran ikan betok betina terkecil yang sudah ikan betok biasanya dimulai saat memasuki

matang gonad ditemukan pada stasiun rawa musim penghujan, ketika kenaikan massa air

dengan panjang 91 mm, sedangkan ikan betok memberikan rangsangan bagi ikan untuk

jantan terkecil juga ditemukan pada stasiun yang memijah. Di Kalimantan Timur, bulan Oktober

sama dengan panjang 93 mm. Jika diasumsikan merupakan awal musim penghujan.

ukuran panjang merupakan cerminan dari umur Pada umumnya puncak musim pemijahan

maka ikan betina lebih cepat mencapai ikan perairan umum berlangsung pada saat

kedewasaan dibandingkan ikan jantan. musim penghujan, ketika ikan - ikan sungai

Ukuran ikan pertama kali matang gonad beruaya ke arah rawa banjiran untuk melakukan

tidak selalu sama. Berdasarkan Gambar 6, pemijahan. Ikan lais (Kryptopterus spp.) di

terlihat bahwa ikan betina cenderung lebih perairan rawa banjiran Sungai Lempuing

dahulu matang gonad dibandingkan ikan jantan.

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Hal ini disebabkan oleh perbedaan strategi hidup pertama kali matang gonad terdapat pada ukuran atau pola adaptasi ikan itu sendiri (Biusing, 1987

91 mm (rawa), 110 mm (sungai), dan 109 mm in Nasution, 2008). Berdasarkan hasil penelitian,

(danau). Secara keseluruhan dapat disimpulkan ditemukan bahwa ikan jantan pertama kali

bahwa ikan betok pertama kali matang gonad matang gonad pada ukuran 93 mm (rawa), 107

pada ukuran 84-109 mm.

mm (sungai), dan 102 mm (danau). Ikan betina

e s e J o v e s e N J D N D N D N D Rawa

Stasiun Penelitian

Gambar 5. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian

Indeks kematangan gonad Terjadinya penurunan nilai IKG pada TKG V Secara keseluruhan, IKG ikan betok

diduga disebabkan oleh berkurangnya sebagian betina cenderung lebih tinggi dibandingkan

besar gonad yang dikeluarkan pada waktu proses dengan ikan jantan (Gambar 7). Nilai IKG ikan

pemijahan. Menurut Tamsil (2000), umumnya betok berkisar antara 0,14-17,77%, dengan

gonad ikan akan terus berkembang dan akan kisaran IKG ikan jantan sebesar 0,14-7,67%, dan

mencapai nilai maksimum pada TKG IV, ikan betina sebesar 0,19-17,77%. Bagenal (1973)

kemudian menurun saat memasuki TKG V, in Yustina dan Arnentis (2002), menyatakan

karena ikan sudah melakukan pemijahan. Secara bahwa ikan yang mempunyai nilai IKG lebih

keseluruhan, IKG ikan betok betina cenderung kecil dari 20% merupakan kelompok ikan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ikan jantan. dapat memijah lebih dari sekali dalam setahun.

Biasanya ovarium pada ikan betina akan lebih Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai

berat daripada testis pada ikan jantan. Pada IKG ikan betok jantan dan betina cenderung

umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan meningkat seiring dengan bertambahnya TKG

betina berkisar 10%-25% dari bobot tubuhnya, sampai pada TKG IV kemudian menurun saat

sedangkan pada ikan jantan berkisar 10%-15% memasuki TKG V (Gambar 8). Kondisi ini

(Effendie, 1997) atau 5%-10% (Affandi & Tang, terjadi pada setiap stasiun selama penelitian.

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Fekunditas

g (36±14 g). Fekunditas ikan betok tertinggi Nilai fekunditas total ikan betok yang

ditemu-kan pada ikan TKG IV dengan panjang diperoleh dari gonad 128 ekor ikan betina yang

total 183 mm dan bobot tubuh 81 g. Fekunditas berada pada TKG III (43 ekor) dan IV (85 ekor)

Ikan betok terendah ditemukan pada ikan TKG berkisar antara 964-30.208 butir (7496±5176

III dengan panjang total 136 mm dan bobot butir) dengan kisaran panjang total antara 91-183

tubuh 42 g.

mm (127±14 mm) dan bobot tubuh antara 13-81

Jantan

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm)

Selang Ukuran Panjang (mm) Selang Ukuran Panjang (mm)

Gambar 6. Persentase tingkat kematangan gonad ikan betok jantan dan betina berdasarkan selang ukuran panjang (mm)

Pulungan & Amin (1993) in Andrijana 12.725 butir telur (Samuel et al., 2002). Menurut (1995) melaporkan bahwa fekunditas ikan betok

Makmur (2006), ikan betok dengan kisaran bobot berkisar antara 712-8.224 butir. Selain itu,

tubuh 15-110 gram dan bobot gonad 2,42-15,96 fekunditas ikan betok yang ditemukan di Danau

gram, mempunyai jumlah telur (fekunditas) Arang-arang Jambi berkisar antara 12.300-

berkisar antara 4.882-19.248 butir. Adanya

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

perbedaan fekunditas yang dihasilkan oleh ikan membiarkan telur-telurnya mengapung bebas di betok tersebut diduga berkaitan dengan strategi

permukaan air (telurnya mengandung butiran pemijahan ikan itu sendiri. Meskipun tidak

minyak yang besar sehingga bobotnya menjadi semua telur yang dikeluarkan akan menetas dan

ringan) tanpa adanya penjagaan induk (Britz & menjadi ikan dewasa, fekunditas yang lebih besar

Cambray, 2001), sehingga ikan betok diduga akan memberi peluang rekruitmen yang lebih

memiliki fekunditas yang besar. Selain itu, banyak. Beberapa faktor yang berperan terhadap

perbedaan habitat, kondisi perairan, ukuran jumlah telur yang dihasilkan oleh ikan betina

gonad, panjang dan bobot tubuh ikan, umur, serta antara lain fertilitas, frekuensi pemijahan,

makanan juga berpengaruh. perlindungan induk (parental care), ukuran telur,

ketersediaan

Effendie (1997) menyatakan bahwa fekunditas kondisi lingkungan, dan kepadatan populasi

suatu jenis ikan berhubungan erat dengan (Moyle & Cech, 1988).

lingkungannya, dalam hal ini berkaitan dengan Ikan betok adalah salah satu spesies

kelimpahan makanan yang tersedia di lingkungan ikan yang tidak membuat sarang saat memijah,

Bulan Penelitian

Sungai Betina

Bulan Penelitian

6.00 IK G 4.00

Bulan Penelitian

Gambar 7. Indeks kematangan gonad rata-rata ikan betok jantan dan betina berdasarkan stasiun penelitian

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Jantan Betina

Gambar 8. Hubungan IKG dengan TKG ikan betok jantan dan betina

Diameter telur dan pola pemijahan dari pada telur yang berukuran kecil (Effendie Diameter telur ikan betok diukur dari

1997). Menurut Britz & Cambray (2001), ikan gonad 128 ekor ikan betina yang mempunyai

betok (A. testudineus) mempunyai ukuran telur TKG III (43 ekor) dan IV (85 ekor). Ukuran

yang kecil dengan diameter berkisar antara 0,9- diameter telur ikan betok yang telah matang

1,0 mm. Kisaran diameter telur yang sama juga gonad berkisar antara 0.23-1.42 mm, dengan

dimiliki oleh anggota famili Anabantidae yang frekuensi terbesar berada pada selang ukuran

lain seperti Ctenopoma cf. pellegrini dan 0.68-0.75 mm pada semua stasiun penelitian

Ctenopoma weeksii . Selain itu, telur ikan betok (Gambar 9).

cenderung ringan karena mempunyai kandungan Ukuran telur biasanya dipakai untuk

besar sehingga menentukan kandungan kualitas kuning telur,

memungkinkan telur tersebut mengapung di dimana telur yang berukuran besar akan

permukaan air (Britz & Cambray, 2001). menghasilkan larva yang berukuran lebih besar

Rawa

Sungai

TKG IV

i 1500

ns 1500 ue 1000 ns e k

0 0 7 5 2 0 7 5 2 0 7 5 2 0 7 5 2 Fr 0

1 Selang Ukuran Diameter Telur Selang Ukuran Diameter Telur

Danau

TKG III

TKG IV

ti 2500 (bu i 2000

ns 1500 ue

k 1000 Fre 500

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 Selang Ukuran Diameter Telur .3

Gambar 9. Sebaran diameter telur ikan betok pada TKG III dan IV berdasarkan stasiun penelitian

Ernawati et al. - Biologi reproduksi ikan betok (Anabas testudineus Bloch, 1792) di rawa banjiran Sungai Mahakam, Kalimantan Timur

Dari sebaran frekuensi diameter telur ikan Andrijana, E. 1995. Pengaruh dosis kotoran ayam terhadap kualitas media pemeliharaan

betok TKG III dan IV yang hanya terlihat adanya ikan betok (Anabas testudineus Bloch) satu puncak penyebaran dapat disimpulkan

Skripsi . Program Studi Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan,

Institut Pertanian bahwa pola pemijahan ikan betok adalah pola Bogor. Bogor. 1-14 pp.

pemijahan secara serentak (total spawner). Hal Britz, R. & Cambray, J.A. 2001. Structure of

ini berarti bahwa selama bulan penelitian egg surfaces and attachment organs in anabantoids. Ichtyol. Explor. Freshwaters,

pengeluaran telur masak oleh ikan betok

12 (3): 267-288.

dilakukan secara serentak dalam satu waktu [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan.

pemijahan. 2006. Data statistik perairan umum Provinsi

Kalimantan Timur .

http://www.dkp.co.id// statistik/perairan

KESIMPULAN

umum kalimantan timur. Diunduh tanggal Ikan betok memijah sepanjang musim

29 April 2008.

penghujan dengan puncak pemijahan terjadi pada [DPPD] Dinas Perikanan Provinsi Daerah Tingkat I Jambi. 1995. Pengenalan jenis- bulan Desember saat curah hujan tertinggi. Ikan

jenis ikan perairan umum Jambi Bagian 1: betok yang ditemukan selama penelitian banyak

Ikan-Ikan Sungai Utama Batang Hari- Jambi . Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi.

yang telah matang gonad dengan hasil tangkapan

17-19 pp.

tertinggi terdapat pada stasiun rawa. Ikan betok Effendie, M.I. 1979. Metode biologi perikanan. pertama kali matang gonad terdapat pada selang

Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 p. ukuran 84-109 mm. Berdasarkan sebaran

Effendie, M.I. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p.

diameter telur, pola pemijahan ikan betok dalam Froese, R. & Pauly, D. Editors. 2010. FishBase.

jangka waktu 3 bulan penelitian (November- World Wide Web electronic publication. Januari) adalah pola pemijahan secara serentak.

www.fishbase.org, version (05/2010). [1 April 2009].

Ikan betok memiliki potensi reproduksi yang Isriansyah & Sukarti, K. 2007. Efektivitas

L-askorbil-2-monofosfat 30.208 butir (7496±5176 butir). Tingkat

tinggi dengan fekunditas berkisar antara 964-

suplementasi

magnesium dalam ransum terhadap proses rematurasi dan kualitas telur ikan papuyu

kerusakan yang tinggi di Sungai Mahakam (Anabas testudineus Bloch). Laporan membawa

dampak buruk

bagi

kondisi

penelitian . Tidak dipublikasikan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas

lingkungan sekitarnya, terutama bagi ikan betok

Mulawarman. 1-3.

sehingga membuat ikan betok harus beradaptasi Kuncoro, E.B. 2009. Ensiklopedia populer ikan dengan lingkungan yang baru, salah satunya

air tawar . Lily Publisher. Yogyakarta. 134: 27-28.

dengan matang gonad sebelum waktunya (pada Makmur, S. 2006. Sudahkah anda tahu? Ikan ukuran yang lebih kecil). Hal tersebut

betok (Anabas testudineus) ikan konsumsi mencerminkan perairan rawa banjiran Sungai

bernilai ekonomi, Edisi September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Balai

Mahakam kurang menyediakan

Perairan Umum. lingkungan yang baik untuk pertumbuhan ikan

berkala]. http://www.brppu_palembang.com.

betok. Diunduh tanggal 29 September 2007. Mattjik, A.A. & Sumertajaya, I.M. 2002.

DAFTAR PUSTAKA

Perancangan percobaan dengan aplikasi Affandi, R. & Tang, U.M. 2002. Fisiologi

sas dan minitab. Jilid I. Edisi kedua. IPB hewan air . Unri Press. Pekanbaru. 213 p.

Press. 281 p.

Jurnal Iktiologi Indonesia, 9(2): 113-127, 2009

Media Indonesia. 2003. Sungai Mahakam harus

Tangkap. Departemen segera diselamatkan 85% ekosistemnya

Perikanan

Pemanfaatan Sumber daya Perikanan, rusak

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, http://www.inawater.com/news/wmview.ph

parah .

Institut Pertanian Bogor. 78-84 pp. p?ArtID=896. Diunduh tanggal 21 April

Samuel, Adjie, S. & Nasution, Z. 2002. Aspek 2008. lingkungan dan biologi ikan di Danau

Moyle, P.B. & Cech, J.J. 1988. Fishes an

Provinsi Jambi. Jurnal introduction

Arang-arang,

Penelitian Perikanan Indonesia 8(1): 1-11. Edition. Departemen of Wildlife and

Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Prinsip dan Fisheries Biology University of California,

Davis. Prentice Hall, Englewood Cliffs, prosedur statistika . [Terjemahan dari

Statistics Procedure]. New Jersey. 309 – 310 pp. Diterjemahkan Sumantri, B. PT. Gramedia

Principle

and

Nasution, S.H. 2008. Ekobiologi dan dinamika Pustaka Utama. Jakarta. 748 p. stok sebagai dasar pengelolaan ikan endemik bonti-bonti (Paratherina striata

Sterba, H.G. 1969. Freshwater fishes of the world . Tucker, D.W. (Translated and

Aurich) di Danau Towuti, Sulawesi Selatan. Disertasi . Sekolah Pascasarjana, Institut

revised). British Museum. The Pet Library, Ltd. New York. 778-780 pp.

Pertanian Bogor. Bogor. 152 p. Nelson, J.S. 1984. Fishes of the world. 2 nd Simanjuntak, C.P.H.; Rahardjo, M.F. & Sukimin,

S. 2006. Iktiofauna rawa banjiran Sungai edition. A Wiley-Interscience Publication.

John Wiley & Sons. Kampar Kiri. Jurnal Iktiologi Indonesia, 6 (2): 99-109.

Nurdawati, S.; Husnah; Asyari & Prianto, E. 2007. Fauna ikan di perairan danau rawa

Tamsil, A. 2000. Studi beberapa karakteristik reproduksi prapemijahan dan kemungkinan

gambut di Barito Selatan Kalimantan Tengah. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7 (2):

pemijahan

buatan ikan bungo (Glossogobius cf. aureus) di Danau Tempe

89-97. dan Danau Sidenreng Sulawesi Selatan.

Pulungan, C.P. 2008a. Biologi ikan gabus Disertasi . Tidak dipublikasikan. Program (Channa striata Bl.). [terhubung berkala].

Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. http://ikan-riau-pulungan.blogspot.com/.

Bogor. 177 p.

Diunduh tanggal 1 April 2009. Utomo, A.D. & Asyari. 1999. Peranan

Pulungan, C.P. 2008b. Biologi ikan motan ekosistem hutan rawa air tawar bagi (Thynnichthys polylepis) dari Waduk PLTA

kelestarian sumber daya perikanan di Koto Panjang Riau . [terhubung berkala].

Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Jurnal http://ikan-riau-pulungan.blogspot.com/.

Penelitian Perikanan Indonesia , 5(3): 1-14. Diunduh tanggal 1 April 2009.

Walpole, R.E. 1992. Pengantar statistika. Edisi Purwakusuma, W. 2002. Anabas testudineus,

ketiga. Diterjemahkan Bambang Sumantri. ornamental

Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 p. highlight .

http://www.o- Yani, A. 1994. Pola reproduksi ikan bentulu,

C.V (Cyprinidae, fish.com/DirektoriIkanTawar/Anabas_

Barbichtys

laevis

testudineus.htm. Diunduh tanggal 1 April Ostariophysi) di Sungai Indragiri, Riau. Tesis . Program Pascasarjana, Institut

2009. Pertanian Bogor. Bogor. 117 p.

Said, A. 2006. Penelitian beberapa aspek Yustina & Arnentis. 2002. Aspek Reproduksi biologi

pleurophthalmus ) di daerah aliran Sungai

ikan

(Puntius schwanenfeldii Bleeker) di Sungai Rangau-Riau, Sumatra.

kapiek

Musi Sumatera Selatan. Sondita, M.F.A. et al . (eds.). Prosiding Seminar Nasional

Jurnal Matematika dan Sains , 7(1): 5-14.

Dokumen yang terkait

HABITAT PEMIJAHAN IKAN WADER PARI (Rasbora lateristriata) DI SUNGAI NGRANCAH, KABUPATEN KULON PROGO [Spawning habitat of Rasbora lateristriata in Ngrancah River, Kulon Progo Regency]

1 0 9

PERTUMBUHAN IKAN TENGADAK ALBINO DAN HITAM (Barbonymus schwanenfeldii) DALAM KOLAM [Growth performance of the albino and black tinfoil barb (Barbonymus schwanenfeldii) in pond] Gleni Hasan Huwoyon1 dan Irin Iriana Kusmini1

0 0 8

Lumban Batu - Determination of residual oxytetracycline in fishes by high performance liquid chromatography

0 0 11

DISTRIBUSI SPASIAL IKAN BERONANG (Siganus canaliculatus) DI PADANG LAMUN SELAT LONTHOIR, KEPULAUAN BANDA, MALUKU [Spatial distribution of rabbitfish Siganus canaliculatus in the seagrass beds of Lonthoir Strait, Banda Archipelago, Moluccas] Munira 1,2 , S

0 0 9

Lumban Batu - Effect of drug-metabolizing enzyme activity induced by polychlorinated biphenyl on the duration of

0 0 7

ASPEK REPRODUKSI IKAN LIDAH, Cynoglossus lingua H.B. 1822 DI PERAIRAN UJUNG PANGKAH, JAWA TIMUR [Reproductive aspect of long tonguesole, Cynoglossus lingua H.B 1822 in Ujung Pangkah Waters, East Java]

0 0 11

PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN LAYANG BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN MALUKU UTARA [Growth and reproduction of mackerel scads, Decapterus macarellus (Cuvier, 1833) in North Moluccas waters]

0 0 12

VARIASI SPASIO-TEMPORAL JENIS MAKANAN IKAN MOTAN, Thynnichthys polylepis DI RAWA BANJIRAN SUNGAI KAMPAR KIRI, RIAU [Spatio-temporal variation in the diet of Thynnichtys polylepis in floodplain river of Kampar Kiri, Riau]

0 0 9

SEBARAN SPASIO-TEMPORAL IKAN YANG TERTANGKAP DENGAN JARING PANTAI DI PERAIRAN TELUK AMBON BAGIAN DALAM [Spatio-temporal distribution of fishes catched by beach seine in inner Ambon Bay]

0 3 13

KEBIASAAN MAKANAN IKAN TILAN (Mastacembelus erythrotaenia, Bleeker 1850) DI SUNGAI MUSI [Food habit of fire eel, Mastacembelus erythrotaenia Bleeker 1850 in Musi River]

0 0 10