Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB I
Bab Satu
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kampung Warsambin adalah salah satu kampung yang terletak
di distrik Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Sebelum mengalami
pemekaran distrik, Teluk Mayalibit terdiri atas 10 kampung
berdasarkan PERDA No. 3 Tahun 2006. Sekarang distrik Teluk
Mayalibit dibagi menjadi 2 yaitu distrik Tiplol Mayalibit (6 kampung)
dengan ibu kota distrik kampung Go, dan distrik Teluk Mayalibit (4
kampung) dengan ibu kota distrik kampung Warsambin, berdasarkan
PERDA No. 2 Tahun 2012.1 Pada masa sebelum pemekaran kabupaten
Raja Ampat, untuk sampai ke Teluk Mayalibit hanya bisa ditempuh
dengan menggunakan transportasi laut. Namun setelah pemekaran
untuk sampai ke Teluk Mayalibit dari kota Waisai bisa ditempuh
dengan kendaraan darat selama ± 1 jam 40 menit dengan kondisi jalan
terbuat dari sirtu2. Pembangunan jalan ini merupakan bagian dari mega
proyek Trans-Waigeo yang dicanangkan oleh pemerintah untuk
membangun transportasi darat mencapai kampung-kampung yang ada
di kepulauan Waigeo.
1
2
Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari
2015.
Sirtu adalah kepanjangan dari pasir dan batu. Kondisi jalan ini biasanya merupakan
tahap awal untuk pengaspalan jalan.
1
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
Sebagai ibu kota distrik Teluk Mayalibit, kampung Warsambin
mengalami perkembangan yang cukup pesat terlebih ketika akses jalan
darat mulai terbuka. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat sangat terasa. Pengenalan akan teknologi sudah mulai
dirasakan masyarakat semenjak kampung Warsambin mulai terbuka
dengan adanya akses jalan darat. Misalnya teknologi komunikasi
dengan telepon genggam. Hampir sebagian masyarakat memiliki
telepon walaupun di kampung tersebut tidak mendapatkan signal
selular. Ini bukan berarti di Teluk Mayalibit tidak ada pemancar
jaringan selular. Pada tahun 2011 telah dibangun pemancar dari salah
satu perusahaan penyedia jasa jaringan selular yaitu TELKOMSEL,
tetapi sampai akhir tahun 2011 ketika penulis berada di tempat
penelitian, pemancar tersebut belum berfungsi. Bahkan ketika kedua
kalinya penulis turun ke lapangan pada Desember 2014 sampai dengan
akhir Januari 2015 tower tersebut belum berfungsi. Lalu telepon
genggam yang dimiliki oleh masyarakat digunakan untuk apa?
Beberapa di antara masyarakat menggunakannya ketika berkunjung ke
ibu kota kabupaten Raja Ampat yaitu Waisai. Sedangkan sebagiannya
dipergunakan untuk memutar musik. Fenomena ini penulis sampaikan
ke pembaca bahwa terbukanya suatu daerah oleh karena pemekaran
wilayah dan pembangunan akses transportasi yang lebih mudah
memberikan pengaruh besar pada perubahan-perubahan yang terjadi
di masyarakat.
Perubahan setelah pemekaran kabupaten yang berujung pada
pembukaan akses transportasi ternyata memberikan dampak bagi
perkembangan pariwisata di Teluk Mayalibit. Kini Teluk Mayalibit
menjadi salah satu destinasi wisata di kabupaten Raja Ampat. Teluk
Mayalibit yang menyimpan cerita sejarah masyarakat asli kepulauan
Waigeo dengan situs-situs bersejarahnya ternyata menjadi daya tarik
sendiri bagi wisatawan baik dalam dan luar negeri.
Selain terkenal dengan situs-situs bersejarah yang menyimpan
cerita sejarah Raja Ampat, Teluk Mayalibit juga terkenal dengan
keanekaragaman hayati laut. Teluk mayalibit yang ekosistem
pesisirnya relatif didominasi oleh hutan mangrove yang terhampar
2
Pendahuluan
mulai dari mulut teluk sampai teluk bagian terdalam.3 Dengan
ekosistem seperti ini, Teluk Mayalibit merupakan kawasan endemik
bagi reproduksi biota laut. Maka tentu perairan di Teluk Mayalibit
dapat dipastikan memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa. Di
sekitar mulut teluk dapat dijumpai paus dan lumba-lumba yang
meliputi paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrochepalus),
paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca), lumba-lumba hidung
botol umum (Tursiops truncatus), lumba-lumba hidung botol
indopasifik (Tursiops aduncus), paus pembunuh palsu (Pseudorca
crassidens), lumba-lumba spinner (Stenella longirostris), lumba-lumba
risso (Grampus griseus), lumba-lumba bongkok (Sousa chinensis) di
dalam teluk atau masyarakat Teluk Mayalibit menyebut lumba-lumba
putih dan dugong/duyung (Dugong dugon).4
Dengan potensi sumber daya alam dan kondisi ekosistem
perairan yang sangat baik ini, bersamaan itu pula ancaman berupa
eksploitasi sumber daya alam menjadi persoalan serius yang akan
dihadapi oleh masyarakat Teluk Mayalibit secara umum, terlebih
khusus masyarakat kampung Warsambin. Mengapa demikian?
Masyarakat
kampung
Warsambin
yang
kesehariannya
menggantungkan hidup pada hasil laut. Masyarakat di kampung
Warsambin mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai
nelayan, lebih tepatnya nelayan subsisten.5 Ketika ada ancaman
eksploitasi dan kerusakan lingkungan itu terjadi maka mata
pencaharian masyarakat menjadi terganggu.
3
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. 2012. Rencana Pengelolaan Taman Pulaupulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat : Data dan Analisa, Hal. 96, Raja Ampat,
4
Ibid.
5
Soetrisno, Loekman. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah
Tinjauan Sosiologis. Hal. 3, Penerbit Kanisius. Jakarta. Sama halnya dengan petani,
nelayan subsisten juga memanfaatkan hasil tangkapan ikannya sebagian besar
untuk kepentingan diri sendiri. Dan mereka akan melaut disesuaikan dengan
kondisi cuaca, jika musim angin selatan yang mengkibatkan gelombang air laut
meninggi, nelayan akan lebih memilih mengganti profesinya untuk sementara
menjadi petani.
3
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
Ditengah kekhawatiran inilah, masyarakat lewat kearifan
lokalnya menggiatkan kembali budaya sasi dalam rangka memproteksi
sumber daya alam yang mereka miliki. Pada tahun 2010 deklarasi sasi
Mon atas wilayah perairan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat
marga Ansan. Dalam pengertiannya sasi adalah suatu bentuk larangan
pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam kurun
waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam dapat
tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013). Sasi
dilakukan dengan harapan bahwa sumber daya alam yang dimiliki oleh
masyarakat tidak mengalami eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Pemerintah kabupaten Raja Ampat, jauh sebelum itu juga
memiliki semangat yang sama dalam memproteksi sumber daya alam di
Raja Ampat. Menyusun kebijakan lewat Perda No. 27 Tahun 2008
tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat,
Pemerintah menunjukkan iktikad baik untuk melindungi sumber daya
alam laut Raja Ampat. Alasan pemerintah dalam menyusun kebijakan
ini adalah pemerintah harus mampu meningkatkan kapasitasnya untuk
melindungi sumber daya alam laut yang adalah mata pencaharian
masyarakat. Pembuatan kebijakan KKLD ini sendiri terinspirasi dari
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yaitu budaya sasi.
Dari kedua sikap yang diambil oleh masyarakat kampung
Warsambin dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, penulis menduga
adanya bentuk perlawanan bersama terhadap ancaman eksploitasi
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Dan negara (pemerintah
daerah) serta masyarakat menggunakan budaya sasi sebagai bentuk
perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk melawan perilaku
eksploitatif yang dilakukan oleh nelayan lokal ataupun nelayan dari
luar Raja Ampat.
Dengan problematika serta dugaan yang disampaikan penulis
diatas, maka penelitian ini dirumuskan dalam 2 pertanyaan penelitian
yaitu : (1). Bagaimanakah pelaksanaan budaya sasi yang dilakukan oleh
masyarakat kampung Warsambin, distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten
Raja Ampat? (2) Bagaimakah bentuk dan strategi perlawanan yang
dilakukan oleh negara (pemerintah daerah) dan masyarakat dalam
4
Pendahuluan
menjawab ancaman eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan.
Tujuan Penelitian
Dengan memahami 2 pertanyaan penelitian diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahanan dan
informasi bagaimana budaya sasi itu dilaksanakan oleh masyarakat
kampung Warsambin, dan memperoleh pemahaman tentang bentuk
serta strategi perlawanan negara (pemerintah daerah) dan masyarakat
dalam menjawab ancaman eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan.
Melalui penelitian ini pula diharapkan : (1) akan memperkaya
khasanah informasi tentang pelaksanaan budaya sasi sebagai kearifan
lokal yang mampu menjadi cara masyarakat melindungi sumber daya
alam, (2) melengkapi studi-studi kearifan lokal bagi daerah-daerah
yang memiliki potensi sumber daya alam, (3) memberikan masukan
praktis dalam pengembangan kapasitas oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, (4) memberikan pemahaman baru tentang relasi
negara dan masyarakat yang bisa bersinergi dalam usaha pembangunan
daerah.
Metode Penelitian
Metode sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahanpermasalahan penelitian. Oleh karena itu persoalan penting yang patut
diperhatikan dalam metode penelitian adalah dengan cara apa dan
bagaimana data yang diperlukan dapat dikumpulkan sehingga hasil
akhir penelitian dapat menjawab permasalahan penelitian dan
memberikan informasi yang jelas. (Bungin 2003:42).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Menurut Banister, penelitian kualitatif yaitu metode untuk menangkap
dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode
untuk mengksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk
memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. Banister
menambahkan bahwa esensi dari fenomena biasanya tidak berada di
5
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
atas permukaan, melainkan dibawah permukaan atau tersembunyi.
Setiap individu yang memaknai sebuah fenomena tidak lagi lantas
dengan mudah menjelaskan makna tersebut. Penelitian kualitatif
dengan segala kekhasannya mampu menengok tabir dan menangkap
sesuatu yang dimaksud oleh individu, sehingga makna tersebut dapat
dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.6 Jenis penelitian ini
dipilih untuk mampu memberikan gambaran yang komperhensif
mengenai pelaksanaan budaya sasi dan memberikan gambaran tentang
perlawanan negara dan masyarakat. Tentu ini akan tersajikan dengan
menguak makna-makna dibalik setiap fenomena yang terjadi.
Dan untuk pendekatan penelitian, menggunakan pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini berguna untuk
mengamati fenomena-fenomena konseptual subyek yang diamati
melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang
disusun oleh subyek di sekitar kejadian sehari-hari.7 Dengan
menggunakan pendekatan ini, diharapkan pengumpulan data dalam
bentuk wawancara dan observasi serta analisanya mendapatkan hasil
yang maksimal. Pendekatan fenomenologis ini pula mampu mengamati
perilaku dan tindakan masyarakat dalam melakukan budaya sasi serta
bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, pengumpulan data lewat wawancara menjadi salah
satu cara yang ditempuh penulis untuk menggali berbagai informasi.
Melakukan wawancara dengan perspektif tradisi lisan sangat
membantu penulis untuk mendapatkan informasi. Melihat kondisi
masyarakat di tempat penelitian adalah masyarakat tradisional yang
mewariskan cerita sejarah dan peristiwa lewat tutur, maka perspektif
tradisi lisan diperlukan dalam proses pencapaian informasi. Tradisi
lisan diartikan sebagai pesan-pesan lisan yang proses penyampaian
pesan lewat perkataan mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai
pesan tersebut menghilang. Maka dari itu setiap tradisi lisan adalah
6
7
6
Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Imu-ilmu Sosial,
Hal. 8. Salemba Humanika. Jakarta.
George, Ritzer. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Hal. 37-42,
Diterjemahkan oleh Alimandan. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Pendahuluan
sebuah versi pada satu masa, sebuah elemen dalam sebuah proses
pengembangan lisan yang dimulai oleh komunikasi awal.8 Dalam
proses penciptaan pesan ini dikelompokkan menjadi dua jenis
kelompok utama: komunikasi yang menyampaikan berita dan
komunikasi yang melambangkan sebuah penafsiran dari situasi yang
sudah ada.9 Kedua pengelompokan dari proses penciptaan ini akan
sangat berguna dalam memilah-milah data wawancara untuk melihat
apakah bagian itu adalah berita ataukah sebuah penafsiran dari kondisi
yang pernah terjadi.
Lokasi penelitian terletak di kampung Warsambin, distrik
Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Alasan metodologis dalam
memilih lokasi penelitian adalah karena tulisan-tulisan akademik yang
membahas tentang sasi kebanyakan berada pada kepulauan besar
Misool dan Batanta, sedangkan pelaksanaan budaya sasi di kepulauan
besar Waigeo belum pernah ada. Alasan lainnya adalah persoalan
rentang kendali. Sebagai wilayah yang berkarakter kepulauan
tantangan paling berat adalah persoalan transportasi dan cuaca. Satusatunya wilayah yang dapat dijangkau dengan mudah hanyalah
kampung Warsambin Teluk Mayalibit. Namun alasan ini tidak
sedikitpun mengurangi esensi utama dari penelitian ini.
Kerangka Pemaparan
Sistematika dari pemaparan ini dibagi menjadi empat bagian
besar. Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri atas dua bab. Kedua,
pengenalan wilayah penelitian yang terdiri atas dua bab. Ketiga, hasil
penelitian, analisa dan pembahasan yang terdiri atas dua bab. Keempat,
Penutup.
Bagian yang pertama, berisi dua bab yaitu pendahuluan dan
tinjauan teori. Dalam bagian ini berisikan latar belakang masalah yang
menjelaskan tentang apa sebenarnya masalah penelitian. Dan juga
8
Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, Hal. 1. Diterjemahkan oleh Astrid
Reza dkk. Penerbit Ombak. Yogyakarta.
9
Ibid
7
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
berisi tentang tinjauan teori yang nantinya akan digunakan sebagai
pisau analisa dalam bab pembahasan.
Bagian yang kedua, berisi dua bab yaitu pengenalan lokasi
penelitian secara global yaitu Raja Ampat pada bab tiga, sedangkan bab
empat berisikan pengenalan kampung Warsambin. Pada bagian ini
pengenalan akan dilakukan dari segi geografis, demografi sampai pada
potensi-potensi daerah.
Bagian yang ketiga, berisi dua bab yaitu bab hasil penelitian
dan bab analisis serta pembahasan. Bagian ini akan berisikan tentang
temuan-temuan dilapangan menyangkut pelaksanaan sasi. Dan
dilanjutkan bab berikut sebagai pembahasan dengan memakai tinjauan
teori yang sudah dibuat.
Bagian yang keempat, berisi satu bab yaitu penutup. Pada
bagian penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
8
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Kampung Warsambin adalah salah satu kampung yang terletak
di distrik Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Sebelum mengalami
pemekaran distrik, Teluk Mayalibit terdiri atas 10 kampung
berdasarkan PERDA No. 3 Tahun 2006. Sekarang distrik Teluk
Mayalibit dibagi menjadi 2 yaitu distrik Tiplol Mayalibit (6 kampung)
dengan ibu kota distrik kampung Go, dan distrik Teluk Mayalibit (4
kampung) dengan ibu kota distrik kampung Warsambin, berdasarkan
PERDA No. 2 Tahun 2012.1 Pada masa sebelum pemekaran kabupaten
Raja Ampat, untuk sampai ke Teluk Mayalibit hanya bisa ditempuh
dengan menggunakan transportasi laut. Namun setelah pemekaran
untuk sampai ke Teluk Mayalibit dari kota Waisai bisa ditempuh
dengan kendaraan darat selama ± 1 jam 40 menit dengan kondisi jalan
terbuat dari sirtu2. Pembangunan jalan ini merupakan bagian dari mega
proyek Trans-Waigeo yang dicanangkan oleh pemerintah untuk
membangun transportasi darat mencapai kampung-kampung yang ada
di kepulauan Waigeo.
1
2
Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari
2015.
Sirtu adalah kepanjangan dari pasir dan batu. Kondisi jalan ini biasanya merupakan
tahap awal untuk pengaspalan jalan.
1
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
Sebagai ibu kota distrik Teluk Mayalibit, kampung Warsambin
mengalami perkembangan yang cukup pesat terlebih ketika akses jalan
darat mulai terbuka. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di
masyarakat sangat terasa. Pengenalan akan teknologi sudah mulai
dirasakan masyarakat semenjak kampung Warsambin mulai terbuka
dengan adanya akses jalan darat. Misalnya teknologi komunikasi
dengan telepon genggam. Hampir sebagian masyarakat memiliki
telepon walaupun di kampung tersebut tidak mendapatkan signal
selular. Ini bukan berarti di Teluk Mayalibit tidak ada pemancar
jaringan selular. Pada tahun 2011 telah dibangun pemancar dari salah
satu perusahaan penyedia jasa jaringan selular yaitu TELKOMSEL,
tetapi sampai akhir tahun 2011 ketika penulis berada di tempat
penelitian, pemancar tersebut belum berfungsi. Bahkan ketika kedua
kalinya penulis turun ke lapangan pada Desember 2014 sampai dengan
akhir Januari 2015 tower tersebut belum berfungsi. Lalu telepon
genggam yang dimiliki oleh masyarakat digunakan untuk apa?
Beberapa di antara masyarakat menggunakannya ketika berkunjung ke
ibu kota kabupaten Raja Ampat yaitu Waisai. Sedangkan sebagiannya
dipergunakan untuk memutar musik. Fenomena ini penulis sampaikan
ke pembaca bahwa terbukanya suatu daerah oleh karena pemekaran
wilayah dan pembangunan akses transportasi yang lebih mudah
memberikan pengaruh besar pada perubahan-perubahan yang terjadi
di masyarakat.
Perubahan setelah pemekaran kabupaten yang berujung pada
pembukaan akses transportasi ternyata memberikan dampak bagi
perkembangan pariwisata di Teluk Mayalibit. Kini Teluk Mayalibit
menjadi salah satu destinasi wisata di kabupaten Raja Ampat. Teluk
Mayalibit yang menyimpan cerita sejarah masyarakat asli kepulauan
Waigeo dengan situs-situs bersejarahnya ternyata menjadi daya tarik
sendiri bagi wisatawan baik dalam dan luar negeri.
Selain terkenal dengan situs-situs bersejarah yang menyimpan
cerita sejarah Raja Ampat, Teluk Mayalibit juga terkenal dengan
keanekaragaman hayati laut. Teluk mayalibit yang ekosistem
pesisirnya relatif didominasi oleh hutan mangrove yang terhampar
2
Pendahuluan
mulai dari mulut teluk sampai teluk bagian terdalam.3 Dengan
ekosistem seperti ini, Teluk Mayalibit merupakan kawasan endemik
bagi reproduksi biota laut. Maka tentu perairan di Teluk Mayalibit
dapat dipastikan memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa. Di
sekitar mulut teluk dapat dijumpai paus dan lumba-lumba yang
meliputi paus sperma atau sperm whale (Physeter Macrochepalus),
paus pembunuh atau killer whale (Orcinus orca), lumba-lumba hidung
botol umum (Tursiops truncatus), lumba-lumba hidung botol
indopasifik (Tursiops aduncus), paus pembunuh palsu (Pseudorca
crassidens), lumba-lumba spinner (Stenella longirostris), lumba-lumba
risso (Grampus griseus), lumba-lumba bongkok (Sousa chinensis) di
dalam teluk atau masyarakat Teluk Mayalibit menyebut lumba-lumba
putih dan dugong/duyung (Dugong dugon).4
Dengan potensi sumber daya alam dan kondisi ekosistem
perairan yang sangat baik ini, bersamaan itu pula ancaman berupa
eksploitasi sumber daya alam menjadi persoalan serius yang akan
dihadapi oleh masyarakat Teluk Mayalibit secara umum, terlebih
khusus masyarakat kampung Warsambin. Mengapa demikian?
Masyarakat
kampung
Warsambin
yang
kesehariannya
menggantungkan hidup pada hasil laut. Masyarakat di kampung
Warsambin mayoritas mata pencaharian mereka adalah sebagai
nelayan, lebih tepatnya nelayan subsisten.5 Ketika ada ancaman
eksploitasi dan kerusakan lingkungan itu terjadi maka mata
pencaharian masyarakat menjadi terganggu.
3
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat. 2012. Rencana Pengelolaan Taman Pulaupulau Kecil Daerah (TPPKD) Raja Ampat : Data dan Analisa, Hal. 96, Raja Ampat,
4
Ibid.
5
Soetrisno, Loekman. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah
Tinjauan Sosiologis. Hal. 3, Penerbit Kanisius. Jakarta. Sama halnya dengan petani,
nelayan subsisten juga memanfaatkan hasil tangkapan ikannya sebagian besar
untuk kepentingan diri sendiri. Dan mereka akan melaut disesuaikan dengan
kondisi cuaca, jika musim angin selatan yang mengkibatkan gelombang air laut
meninggi, nelayan akan lebih memilih mengganti profesinya untuk sementara
menjadi petani.
3
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
Ditengah kekhawatiran inilah, masyarakat lewat kearifan
lokalnya menggiatkan kembali budaya sasi dalam rangka memproteksi
sumber daya alam yang mereka miliki. Pada tahun 2010 deklarasi sasi
Mon atas wilayah perairan adat yang dimiliki oleh masyarakat adat
marga Ansan. Dalam pengertiannya sasi adalah suatu bentuk larangan
pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam kurun
waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam dapat
tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013). Sasi
dilakukan dengan harapan bahwa sumber daya alam yang dimiliki oleh
masyarakat tidak mengalami eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Pemerintah kabupaten Raja Ampat, jauh sebelum itu juga
memiliki semangat yang sama dalam memproteksi sumber daya alam di
Raja Ampat. Menyusun kebijakan lewat Perda No. 27 Tahun 2008
tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat,
Pemerintah menunjukkan iktikad baik untuk melindungi sumber daya
alam laut Raja Ampat. Alasan pemerintah dalam menyusun kebijakan
ini adalah pemerintah harus mampu meningkatkan kapasitasnya untuk
melindungi sumber daya alam laut yang adalah mata pencaharian
masyarakat. Pembuatan kebijakan KKLD ini sendiri terinspirasi dari
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yaitu budaya sasi.
Dari kedua sikap yang diambil oleh masyarakat kampung
Warsambin dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, penulis menduga
adanya bentuk perlawanan bersama terhadap ancaman eksploitasi
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan. Dan negara (pemerintah
daerah) serta masyarakat menggunakan budaya sasi sebagai bentuk
perlawanan. Perlawanan ini dilakukan untuk melawan perilaku
eksploitatif yang dilakukan oleh nelayan lokal ataupun nelayan dari
luar Raja Ampat.
Dengan problematika serta dugaan yang disampaikan penulis
diatas, maka penelitian ini dirumuskan dalam 2 pertanyaan penelitian
yaitu : (1). Bagaimanakah pelaksanaan budaya sasi yang dilakukan oleh
masyarakat kampung Warsambin, distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten
Raja Ampat? (2) Bagaimakah bentuk dan strategi perlawanan yang
dilakukan oleh negara (pemerintah daerah) dan masyarakat dalam
4
Pendahuluan
menjawab ancaman eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan.
Tujuan Penelitian
Dengan memahami 2 pertanyaan penelitian diatas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahanan dan
informasi bagaimana budaya sasi itu dilaksanakan oleh masyarakat
kampung Warsambin, dan memperoleh pemahaman tentang bentuk
serta strategi perlawanan negara (pemerintah daerah) dan masyarakat
dalam menjawab ancaman eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan
lingkungan.
Melalui penelitian ini pula diharapkan : (1) akan memperkaya
khasanah informasi tentang pelaksanaan budaya sasi sebagai kearifan
lokal yang mampu menjadi cara masyarakat melindungi sumber daya
alam, (2) melengkapi studi-studi kearifan lokal bagi daerah-daerah
yang memiliki potensi sumber daya alam, (3) memberikan masukan
praktis dalam pengembangan kapasitas oleh pihak-pihak yang
berkepentingan, (4) memberikan pemahaman baru tentang relasi
negara dan masyarakat yang bisa bersinergi dalam usaha pembangunan
daerah.
Metode Penelitian
Metode sangat dibutuhkan untuk menjawab permasalahanpermasalahan penelitian. Oleh karena itu persoalan penting yang patut
diperhatikan dalam metode penelitian adalah dengan cara apa dan
bagaimana data yang diperlukan dapat dikumpulkan sehingga hasil
akhir penelitian dapat menjawab permasalahan penelitian dan
memberikan informasi yang jelas. (Bungin 2003:42).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif.
Menurut Banister, penelitian kualitatif yaitu metode untuk menangkap
dan memberikan gambaran terhadap suatu fenomena, sebagai metode
untuk mengksplorasi fenomena, dan sebagai metode untuk
memberikan penjelasan dari suatu fenomena yang diteliti. Banister
menambahkan bahwa esensi dari fenomena biasanya tidak berada di
5
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
atas permukaan, melainkan dibawah permukaan atau tersembunyi.
Setiap individu yang memaknai sebuah fenomena tidak lagi lantas
dengan mudah menjelaskan makna tersebut. Penelitian kualitatif
dengan segala kekhasannya mampu menengok tabir dan menangkap
sesuatu yang dimaksud oleh individu, sehingga makna tersebut dapat
dipahami dengan lebih mudah dan sederhana.6 Jenis penelitian ini
dipilih untuk mampu memberikan gambaran yang komperhensif
mengenai pelaksanaan budaya sasi dan memberikan gambaran tentang
perlawanan negara dan masyarakat. Tentu ini akan tersajikan dengan
menguak makna-makna dibalik setiap fenomena yang terjadi.
Dan untuk pendekatan penelitian, menggunakan pendekatan
fenomenologis. Pendekatan fenomenologis ini berguna untuk
mengamati fenomena-fenomena konseptual subyek yang diamati
melalui tindakan dan pemikirannya guna memahami makna yang
disusun oleh subyek di sekitar kejadian sehari-hari.7 Dengan
menggunakan pendekatan ini, diharapkan pengumpulan data dalam
bentuk wawancara dan observasi serta analisanya mendapatkan hasil
yang maksimal. Pendekatan fenomenologis ini pula mampu mengamati
perilaku dan tindakan masyarakat dalam melakukan budaya sasi serta
bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, pengumpulan data lewat wawancara menjadi salah
satu cara yang ditempuh penulis untuk menggali berbagai informasi.
Melakukan wawancara dengan perspektif tradisi lisan sangat
membantu penulis untuk mendapatkan informasi. Melihat kondisi
masyarakat di tempat penelitian adalah masyarakat tradisional yang
mewariskan cerita sejarah dan peristiwa lewat tutur, maka perspektif
tradisi lisan diperlukan dalam proses pencapaian informasi. Tradisi
lisan diartikan sebagai pesan-pesan lisan yang proses penyampaian
pesan lewat perkataan mulut ke mulut selama beberapa waktu sampai
pesan tersebut menghilang. Maka dari itu setiap tradisi lisan adalah
6
7
6
Herdiansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Imu-ilmu Sosial,
Hal. 8. Salemba Humanika. Jakarta.
George, Ritzer. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Hal. 37-42,
Diterjemahkan oleh Alimandan. PT. Grafindo Persada. Jakarta.
Pendahuluan
sebuah versi pada satu masa, sebuah elemen dalam sebuah proses
pengembangan lisan yang dimulai oleh komunikasi awal.8 Dalam
proses penciptaan pesan ini dikelompokkan menjadi dua jenis
kelompok utama: komunikasi yang menyampaikan berita dan
komunikasi yang melambangkan sebuah penafsiran dari situasi yang
sudah ada.9 Kedua pengelompokan dari proses penciptaan ini akan
sangat berguna dalam memilah-milah data wawancara untuk melihat
apakah bagian itu adalah berita ataukah sebuah penafsiran dari kondisi
yang pernah terjadi.
Lokasi penelitian terletak di kampung Warsambin, distrik
Teluk Mayalibit, kabupaten Raja Ampat. Alasan metodologis dalam
memilih lokasi penelitian adalah karena tulisan-tulisan akademik yang
membahas tentang sasi kebanyakan berada pada kepulauan besar
Misool dan Batanta, sedangkan pelaksanaan budaya sasi di kepulauan
besar Waigeo belum pernah ada. Alasan lainnya adalah persoalan
rentang kendali. Sebagai wilayah yang berkarakter kepulauan
tantangan paling berat adalah persoalan transportasi dan cuaca. Satusatunya wilayah yang dapat dijangkau dengan mudah hanyalah
kampung Warsambin Teluk Mayalibit. Namun alasan ini tidak
sedikitpun mengurangi esensi utama dari penelitian ini.
Kerangka Pemaparan
Sistematika dari pemaparan ini dibagi menjadi empat bagian
besar. Pertama, berisi pendahuluan yang terdiri atas dua bab. Kedua,
pengenalan wilayah penelitian yang terdiri atas dua bab. Ketiga, hasil
penelitian, analisa dan pembahasan yang terdiri atas dua bab. Keempat,
Penutup.
Bagian yang pertama, berisi dua bab yaitu pendahuluan dan
tinjauan teori. Dalam bagian ini berisikan latar belakang masalah yang
menjelaskan tentang apa sebenarnya masalah penelitian. Dan juga
8
Vansina, Jan. 2014. Tradisi Lisan Sebagai Sejarah, Hal. 1. Diterjemahkan oleh Astrid
Reza dkk. Penerbit Ombak. Yogyakarta.
9
Ibid
7
BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam
berisi tentang tinjauan teori yang nantinya akan digunakan sebagai
pisau analisa dalam bab pembahasan.
Bagian yang kedua, berisi dua bab yaitu pengenalan lokasi
penelitian secara global yaitu Raja Ampat pada bab tiga, sedangkan bab
empat berisikan pengenalan kampung Warsambin. Pada bagian ini
pengenalan akan dilakukan dari segi geografis, demografi sampai pada
potensi-potensi daerah.
Bagian yang ketiga, berisi dua bab yaitu bab hasil penelitian
dan bab analisis serta pembahasan. Bagian ini akan berisikan tentang
temuan-temuan dilapangan menyangkut pelaksanaan sasi. Dan
dilanjutkan bab berikut sebagai pembahasan dengan memakai tinjauan
teori yang sudah dibuat.
Bagian yang keempat, berisi satu bab yaitu penutup. Pada
bagian penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
8