Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB VI

Bab Enam

Kearifan Lokal, Usaha
Konservasi SDA,
Perlawanan Negara dan
Masyarakat dalam Wujud
Budaya Sasi
Pengantar
Melindungi dan menjaga sumber daya alam sebagai modal dari
pembangunan yang berkelanjutan adalah sebuah keharusan. Sebab
tanpa sumber daya alam tentu tidak akan pernah ada yang namanya
pembangunan. Berbagai cara dapat dilakukan untuk melindungi
sumber daya alam yang dimiliki sebuah daerah.
Demikian juga dengan kabupaten Raja Ampat yang merupakan
daerah pemekaran baru. Raja Ampat membutuhkan upaya
perlindungan untuk tetap menjaga ekosistem dan sumber daya
alamnya. Mengapa demikian? Setelah pemekaran kabupaten Raja
Ampat mengalami pertumbuhan penduduk cukup pesat. Menurut
catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat dari tahun 20112013, Raja Ampat mengalami pertambahan penduduk 1.248 jiwa dari
tahun 2011 yang berjumlah 43.320 jiwa menjadi 44.568 jiwa pada


109

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

tahun 2013.82 Ini berarti pertambahan penduduk tentu akan
berdampak pada meningkatnya konsumsi sumber daya alam. Ketika
sumber daya alam yang dipergunakan sebagai konsumsi tanpa ada
pemberdayaan dan pemeliharaan dapat dipastikan semakin bertambah
jumlah penduduk semakin tinggi resiko krisis sumber daya alam. Selain
itu, meningkatnya pengunjung wisatawan yang berkunjung ke Raja
Ampat menambah daftar ancaman terhadap kerusakan lingkungan
oleh pariwisata. Penulis bersepakat bahwa dunia pariwisata adalah
salah satu cara meningkatkan kualitas hidup ekonomi masyarakat,
tetapi itu bukan berarti bahwa efek negatif dari pariwisata menjadi
tidak ada. Ketut Gede Dharma Putra (2006) dalam sebuah tulisannya
mengungkapkan :83
“Keramaian wisatawan memberikan dampak kepada
perubahan perilaku binatang yang ditunjukkan dengan
tingkah

agresif
yang
seringkali
membahayakan.
Pembangunan fasilitas kepariwisataan (akomodasi, dan
sarana penunjang lainnya), selain menyebabkan kerusakan
bentang alam, potensi peningkatan longsor dan banjir,
ternyata memunculkan daerah-daerah kumuh di sekitarnya.
Hal ini sebagai akibat datangnya pencari kerja yang tidak
memiliki keterampilan yang terjebak dengan mimpinya
tentang keindahan dunia gemerlap pariwisata. Namun,
setelah sadar dengan kesukaran lapangan kerja tidak berani
pulang karena malu. Akhirnya mereka menyambung hidup
dengan tinggal di daerah kumuh dan terperangkap dengan
pekerjaan yang amoral.

Dibutuhkan sebuah pengelolaan pariwisata oleh pemerintah
yang bertanggungjawab untuk menjawab semua tantangan ini. Tidak
hanya itu saja, masyarakat pun dituntut juga untuk mengambil peran
serta dalam menjawab tantangan ini. Arus jumlah wisatawan di Raja

Ampat dalam 2 tahun belakangan ini meningkat sangat drastis. Dari
catatan BPS Kabupaten Raja Ampat, dari tahun 2011-2013, jumlah
82

83

Badan Pusat Statistik Kabupaten Raja Ampat, 2014. “Statistik Daerah Kabupaten
Raja Ampat 2014”, Hal. 7, BPS Kabupaten, Raja Ampat.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/2/28/o2.htm

110

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

wisatawan yang datang ke Raja Ampat meningkat sebanyak 3.884
wisatawan. Dengan data dasar jumlah wisatawan pada tahun 2011
berjumlah 7.253 wisatawan dan pada tahun 2013 bertambah menjadi
11.137 wisatawan. Maka ancaman terhadap kerusakan lingkungan juga
akan berpotensi semakin besar.

Tidak hanya itu saja, seperti yang telah penulis ungkapkan
dalam bab sebelumnya tentang bagaimana perilaku nelayan dari luar
Raja Ampat, dan juga nelayan lokal, yang menangkap ikan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan juga menjadi persoalan serius.
Bom ikan, akar bore, pukat harimau, dan semua jenis cara tangkap ikan
yang mengabaikan ekosistem lingkungan adalah ancaman yang serius
dihadapi Raja Ampat.
Lalu apakah yang seharusnya dilakukan masyarakat dan
pemerintah untuk menghadapi tantangan dan ancaman ini? Pada bab
sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang temuan penelitian
lapangan yang berlangsung di kampung Warsambin, distrik Teluk
Mayalibit, kabupaten Raja Ampat tentang bagaimana budaya sasi
dilaksanakan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat adalah salah
satu cara untuk memproteksi sumber daya alam yang mereka miliki.
Dan pada bab ini, penulis akan melakukan analisa dan pembahasan
terhadap objek penelitian (budaya sasi) dengan memakai teori yang
sudah tersampaikan pada bab II.

Budaya Sasi,
Warsambin


Kearifan

Lokal

Masyarakat

Kampung

Jika merujuk pada sejarah bagaimana budaya sasi bisa
dilakukan oleh masyarakat di kampung Warsambin, tidak ada
informasi yang sangat akurat untuk menjawab kapan sasi mulai
pertama dilakukan. Yang dapat diketahui tentang budaya sasi adalah
jauh sebelum istilah itu digunakan masyarakat kampung Warsambin
sudah memiliki budaya yang sama dengan sasi yaitu kabus. Kehadiran
gereja menjadi salah satu faktor terjadinya pergantian istilah dari Kabus
menjadi sasi.
111

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber

Daya Alam

Perubahan nama dari kabus menjadi sasi, bukan berarti sasi itu
bukan produk dari sebuah kearifan lokal. Ayatroheidi (1986)
mengatakan salah satu ciri-ciri dari kearifan lokal adalah mempunyai
kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya
asli.84 Dan ini juga terjadi dengan budaya sasi, dimana ada integrasi
nilai budaya sasi di Maluku ke dalam budaya kabus yang sudah dimiliki
oleh masyarakat kampung. Walaupun pada akhirnya nama yang
digunakan adalah budaya sasi, tetapi pada beberapa tatanan
pelaksanaan sasi dilakukan sesuai dengan kebiasaan adat di kampung
Warsambin. Misalnya sesembahan yang disebut masyarakat dengan
kakes tetap dipakai dalam pelaksanaan sasi.
Budaya sasi dapat dikatakan sebagai sebuah kearifan lokal
masyarakat kampung Warsambin. Kehadiran budaya sasi yang ingin
menjawab tantangan dan ancaman terhadap kerusakan lingkungan
serta eksploitasi oleh nelayan dari luar Raja Ampat dan nelayan lokal
sendiri. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat kampung
Warsambin, juga dapat dikatakan sebagai usaha untuk mengatur
tatanan kehidupan masyarakat dalam persoalan pemanfaataan sumber

daya alam. Sehingga kemudian terciptanya keseimbangan kehidupan
dengan alam, dimana masyarakat menjadi arif dan bijaksana untuk
menggunakan hasil sumber daya alam. Itulah yang kemudian
diutarakan oleh Sibarani (2012) tentang kearifan lokal, bahwa kearifan
lokal juga dapat didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat
dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara
arif atau bijaksana.85
Sasi Hadir Ditengah Ancaman
Dalam bab V, penulis menyampaikan temuan di lapangan
tentang bagaimana budaya sasi itu hadir dalam kehidupan
masyarakat Raja Ampat. Ketika kabus kemudian dihilangkan oleh
gereja dengan alasan sangat sarat dengan praktek penyembahan

84
85

Lihat BAB II Hal. 11
Lihat BAB II Hal. 11

112


Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

berhala, bersamaan itu pula ancaman eksploitasi dan kerusakan
ekosistem pun mulai terjadi.
Terbukanya sebuah daerah yang sebelumnya sudah di
kabus lalu kemudian terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja, hal
ini menjadi „makanan empuk‟ bagi para nelayan yang berasal dari
sekitar Raja Ampat untuk mengeruk hasil alam yang ada, bahkan
dengan cara tangkap ikan yang tidak ramah dengan lingkungan.
Itupun berlaku bagi daerah daratan, ketika kabus mulai
dihilangkan untuk sebuah wilayah hutan, maka saat itupula para
penjarah kayu mulai menguras isi hutan dengan melakukan
penebangan ilegal (Illegal logging).
Nah, ditengah kondisi inilah kemudian gereja bersama
dengan masyarakat mulai berpikir kembali untuk bagaimana
mampu menahan ancaman terhadap eksploitasi ini. Lahirlah
sebuah kesadaran etis baru dalam gereja dan masyarakat untuk
bertanggungjawab terhadap keberlangsungan sumber daya alam.

Memberikan rasa hormat dan peduli terhadap kelangsungan semua
kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang
antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme,
adalah makna dibalik budaya sasi. Kesadaran baru inilah yang
menurut Keraf (2002) yang melahirkan sebuah kearifan lokal
(budaya sasi) yang berasal dari semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis.86
Dengan kata lain bahwa sasi adalah sebuah kearifan lokal
yang lahir di tengah-tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan
lingkungan. Lahir dengan sebuah kesadaran baru untuk melihat
bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya yang seharusnya
dilindungi dan dijaga kelestariannya. Dan gereja pada saat itu
merekonstruksi sebuah nilai-nilai baru dalam masyarakat dalam
setiap ajaran kekristenan yaitu memandang alam sebagai sesama

86

Lihat BAB II Hal. 12


113

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

ciptaan Tuhan yang sudah sepantasnya dihormati dan dihargai
dengan perilaku menjaga dan melindungi alam. Pemahaman ini
juga yang memperkokoh keberadaan budaya sasi sebagai kearifan
lokal masyarakat di kampung Warsambin.
Budaya Sasi Riwayatmu Kini
Ketika berada di lapangan untuk mengumpulkan informasi
dan data terkait dengan pelaksanaan budaya sasi. Kesulitan penulis
saat itu adalah mencari narasumber-narasumber yang memiliki
kapasitas dan kapabilitas dalam menjelaskan tentang budaya sasi
ini.
Sekalipun budaya sasi ini adalah kearifan lokal yang
seharusnya bersifat historis dan terus diwariskan kepada generasi
muda lewat tradisi lisan, ternyata itu tidak berlangsung maksimal
di kampung Warsambin. Para pemuda di kampung ini hampir

semua yang saya temui mengatakan bahwa mereka tidak bisa
menjelaskan apa itu budaya sasi. Tapi mereka pernah tahu, bahwa
di kampungnya tersebut ada sebuah budaya yang disebut sasi yang
sering dilakukan oleh masyarakat pada jaman dahulu. Bahkan ada
yang menolak untuk diwawancarai oleh karena benar-benar tidak
mengetahui apa itu budaya sasi.
Menurut Ataupah (2004) seharusnya kearifan lokal yang
bersifat historis itu, harus menjadi informasi penting dalam bentuk
nilai-nilai yang ditanamkan kepada generasi selanjutnya dan tidak
diterima secara pasif melainkan melakukan inovasi sehingga
warisan tersebut akan menjawab persoalan dengan kontekstual.
Namun berbeda dengan budaya sasi di kampung Warsambin ini,
proses transfer informasi berlangsung sangat tidak maksimal.
Faktor lain yang membuat generasi muda di kampung
Warsambin ini tidak mengetahui secara pasti apa itu budaya sasi,
oleh karena sudah jarang sekali praktek sasi itu dilakukan oleh
masyarakat. Terakhir masyarakat melakukan sasi pada tahun 2010
dalam deklarasi sasi Mon. Setelah diselenggarakan deklarasi sasi
Mon itulah generasi muda di kampung Warsambin mengetahui
114

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

bagaimana budaya sasi itu dilakukan. Namun tetap saja, hal-hal
mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi budaya sasi itu,
tidak pernah diketahui dan dipahami oleh generasi muda di
kampung Warsambin.
Kesimpulan Sementara
Budaya sasi dalam sejarah perjalanannya di kampung
Warsambin memang mengalami pasang surut. Di awal
kehadirannya ingin mengatasi ancaman berupa eksploitasi dan
kerusakan lingkungan oleh perilaku oknum yang melakukan
penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan
dan oknum yang melakukan penebangan liar, sempat tidak
mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat. Ketidakseriusan
dapat terlihat dari intensitas pelaksanaan budaya sasi yang semakin
jarang dilakukan oleh masyarakat. Ditambah juga dengan
ketidaktahuan generasi muda tentang apa itu budaya sasi dan
pelaksanaannya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat
untuk menghidupkan kembali budaya sasi ini. Dikarenakan
ancaman terhadap sumber daya alam berupa eksploitasi dan
kerusakan lingkungan ternyata masih menjadi problem yang sama
sampai hari ini.
Tetap menjadikan budaya sasi sebagai kearifan lokal yang
harus dipertahankan serta juga diwariskan kepada generasi
selanjutnya adalah cara yang paling tepat untuk melakukan
perlindungan terhadap sumber daya alam di Raja Ampat, terlebih
khusus di kampung Warsambin.

Budaya Sasi itu Konservasi Sumber Daya Alam
“Ade Edo, coba bapa tanya ko?” sergah Abraham Goram diselasela wawancara penulis bersama beliau. “Iya apa itu bapa?” jawab
penulis. “Coba ade ko bayangkan, bapa kasih tugas ko pi ke
masyarakat di kampung. Dan bapa minta ko jelaskan ke mereka
tentang apa itu konservasi? Apa ade ko bilang ke mereka?” tanya
Bambang sambil tersenyum. Penulis tertegun sejenak dan berpikir. “Sa
115

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

akan jelaskan ke mereka tentang konsep konservasi lebih dahulu.
Bahwa konservasi itu adalah usaha untuk mengelola, melindungi, dan
mempergunakan sumber daya alam dengan arif dan bijaksana” jawab
penulis dengan lancar. “Kira-kira kalo ade kasih penjelasan kayak
begitu dong paham atau tidak?” tanya Bambang selanjutnya. “Tra tau e
bapa, mungkin paham mungkin juga dong bingung” jawab penulis lalu
diikuti gelak tawa kami berdua yang memenuhi ruang meeting di
kantor Conservation International, perwakilan cabang Sorong. “Kalau
sa yang disuruh pergi ke masyarakat kampung untuk menjelaskan apa
itu konservasi, maka sa cuma bilang ke mereka kalau konservasi itu
budaya sasi” lanjut Bambang. Sejenak ruang meeting tersebut jadi
senyap seketika. Penulis menatap tajam kepada nara sumber sambil
mengernyitkan dahi. “Sasi?” tanya kembali penulis kepada sosok yang
ada dihadapan penulis untuk memastikan apa yang baru saja penulis
dengarkan. “Iya budaya sasi, sasi yang sekarang ade datang mo lakukan
penelitian itu” jawab Bambang dengan suara penuh keyakinan sambil
menyunnggingkan senyuman yang khas.87
Seketika pikiran penulis pun mulai mencari-cari jawaban,
bagaimanakah untuk menjelaskan tentang konservasi kepada
masyarakat di kampung, cukup dengan menjawab konservasi itu
budaya sasi. “Ade ingat, untuk memberikan pemahaman kepada
masyarakat dikampung jang pake bahasa yang tinggi-tinggi atau
konsep yang dong tidak pernah ketahui. Cukup ade ambil contoh dari
sekitar kehidupan mereka saja sehari-hari itu justru lebih relevan dan
mudah dimengerti” lanjut Bambang.
Setelah penulis turun ke lapangan untuk mencari segala
informasi tentang budaya sasi, penulis baru memahami mengapa
jawaban yang diberikan Bambang Goram tentang konservasi
sesederhana itu. Ya! Budaya sasi itulah konservasi.

87

Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

116

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

Pengertian Sasi dan Konservasi Sumber Daya Alam
Dalam pengertiannya sasi adalah suatu bentuk larangan
pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam
kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam
dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013).88
Sedangkan konservasi sumber daya alam menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah pengelolaan sumber daya alam (hayati)
dengan pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin
kesinambungan persediaan dengan tetap memelihara dan
meningkatkan kualitas nilai dan keragamannya.89
Berdasarkan kedua pengertian diatas, maka secara garis
besar budaya sasi dan konservasi SDA sama-sama berbasis pada
pemanfaatan dan pengelolaan SDA secara arif dan bijaksana. Kedua
konsep diatas menekankan pada bagaimana menggunakan SDA
yang dimiliki tanpa kehilangan sistem ketahanan sumber daya, dan
memperhatikan keberlangsungan sumber daya tersebut. Hal ini
juga berarti bahwa budaya sasi dan konservasi SDA secara bersama
melawan perilaku eksploitatif terhadap SDA yang berdampak pada
krisis SDA itu sendiri.
Budaya Sasi Mencapai Sasaran, Tujuan dan Manfaat Konservasi
Jika kita mengamati pelaksanaan budaya sasi dan dampak
yang ditimbulkan, maka kita akan menemukan bahwa keseluruhan
budaya sasi itu sudah mencakup keseluruhan dari sasaran, tujuan
dan manfaat konservasi itu sendiri. Secara sederhana dapat penulis
katakan bahwa dengan melaksanakan budaya sasi sebetulnya
masyarakat kampung Warsambin sudah melakukan aktifitas
konservasi itu sendiri.
Misalnya dapat kita ambil contoh pada sasaran konservasi.
Salah satu sasaran konservasi adalah menjamin terpeliharanya
keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya
sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan
88

Lihat Bab. V Hal. 78

89

Lihat Bab. II Hal 14

117

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia
yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan.
Lewat pelaksanaan budaya sasi pun sasaran ini dapat tercapai.
Berbicara tentang terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik
dan tipe-tipe ekosistemnya ternyata dalam budaya sasi sangat
terperhatikan. Pelarangan pengambilan sumber daya berdasarkan
salah satu jenis biota adalah bagian dari upaya untuk memelihara
keanekaragaman sumber genetik. Dengan adanya pelarangan ini,
kita memberikan kesempatan bagi sumber genetik tersebut untuk
bertumbuh dan kemudian bereproduksi, yang pada akhirnya
perilaku ini justru meminimalisir kepunahan sumber genetik yang
dimaksudkan.
Begitu pula jika kita memperhatikan makna dari tujuan
dilaksanakan konservasi. Secara sederhana kita dapat melihat
tujuan dari konservasi itu meliputi proteksi SDA, pemulihan
terhadap kondisi yang mengancam produktifitas SDA, penentuan
lokasi yang tepat guna dan integrasi sehingga pelaksanaan
konservasi tidak mengabaikan kepentingan yang lainnya.
Tujuan dari konservasi ini termuat dan terakomodir dalam
budaya sasi. Misalnya persoalan proteksi SDA, budaya sasi adalah
cara tradisional yang digunakan masyarakat untuk melindungi
SDA. Lewat sasi sebenarnya proteksi itu dapat berlangsung lebih
kuat karena berangkat dari nilai budaya lokal, dan dengan sanksi
yang lebih kuat, melihat masyarakat di kampung Warsambin
adalah masyarakat tradisional yang terikat kuat dengan akar
budaya. Dengan proteksi yang dilakukan budaya sasi terhadap
salah satu sumber daya alam juga sekaligus terjadi pemulihan
terhadap kondisi lingkungan yang bisa meningkatkan produktifitas
SDA. Misalnya sasi taripang yang dilakukan oleh masyarakat
Kalitoko di Distrik Tiplol Mayalibit, masyarakat merasakan
bertambahnya jumlah produksi taripang selepas melakukan budaya
sasi. Jika melihat sasi Mon yang dilaksanakan oleh masyarakat
kampung Warsambin, karena belum dibuka memang belum ada
kepastian apakah terjadi peningkatan hasil produksi ikan ataukah
118

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

tidak. Namun lewat wawancara penulis pada Januari 2015,
beberapa masyarakat mengutarakan bahwa memang sekarang hasil
tangkapannya lumayan mudah dan tinggi, terlebih ketika mereka
memancing pada wilayah di pinggiran yang di sasi.
Pemulihan kondisi terhadap produktifitas SDA ini juga
nampak pada pemulihan terumbu karang. Budaya sasi yang
menutup beberapa area laut sangat membantu proses pemulihan
terumbu karang. Dan ini juga berdampak pada bertambahnya
jumlah populasi ikan, sebab ekosistemnya yaitu terumbu karang
yang semakin membaik. Walaupun untuk terumbu karang pulih
dan baik kembali memakan waktu yang sangat panjang, tetapi jika
budaya sasi dilakukan dengan rutin dan berkelanjutan maka sangat
membantu proses pemulihan terumbu karang.
Selain itu, persoalan penentuan lokasi dan integrasi dalam
konservasi ternyata berlaku juga dalam budaya sasi. Misalnya
pemilihan lokasi untuk sasi Mon. Awalnya alasan budaya, oleh
karena wilayah yang disasi masuk dalam wilayah adat masyarakat
Ansan. Dan selaku salah satu pelopor serta penopang deklarasi sasi
Mon, LSM Conservation International juga mendukung wilayah
yang diajukan oleh masyarakat sebagai wilayah sasi. Alasan
dukungannya oleh karena wilayah yang dimaksud termasuk
wilayah hutan mangrove pesisir, dimana wilayah ini memiliki
ekosistem yang mendukung proses reproduksi ikan. Soal integrasi,
pelaksanaan budaya sasi pun tidak mengabaikan/mengganggu
kepentingan masyarakat dalam mata pencaharian. Sebab masih
tetap ada wilayah yang dipergunakan oleh masyarakat sebagai
lahan pencaharian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi pemborosan
atau eksploitasi terhadap sumber daya alam.
Demikian juga dari sudut pandang manfaat konservasi,
budaya sasi pun memberikan manfaat yang sama seperti
konservasi. Seperti misalnya, konservasi dapat memberikan
manfaat berupa terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan.
Sama halnya dengan yang dilakukan budaya sasi, dimana
memberikan kesempatan bagi sumber daya untuk memiliki
119

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

kesempatan bereproduksi sehingga terhindar dari segala macam
bentuk ancaman kepunahan, sebab ada pengendalian dan
pengaturan dalam soal pemanfaatan sumber daya alam.
Ada satu hal yang menurut penulis belum menjadi
perhatian pemerintah dalam soal kontribusi kearifan lokal bagi
kepariwisataan. Budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat
kampung Warsambin sangat berpotensi sebagai salah satu objek
wisata budaya. Dikepulauan Maluku seperti di Seram, sasi sudah
menjadi salah satu destinasi wisata budaya yang sering didatangi
para wisatawan. Sekalipun memang pelaksanaannya bersamaan
pada saat tutup sasi yang mungkin dalam setahun hanya terjadi
sekali atau dua kali tergantung berapa lamanya masyarakat
melakukan tutup sasi tersebut. Tetapi ini sudah menjadi salah satu
destinasi wisata baik bagi wisatawan lokal bahkan sampai
internasional. Pemerintah Raja Ampat juga bisa melakukan hal
yang serupa dalam rangka memperkenalkan potensi budaya
daerah, sekaligus menjadi motivasi bagi masyarakat sendiri untuk
terus menyelenggarakan sasi.
Budaya Sasi dan Konservasi Membutuhkan Peran Serta Masyarakat
Dalam usaha peningkatan perlindungan dan pelestarian
sumber daya alam, faktor yang tidak boleh terlupakan adalah peran
serta masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam usaha
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam menjadi sangat
penting sebab merekalah yang berada pada garis depan usaha
konservasi. Oleh sebab itu, sumber daya manusia yang berwawasan
ramah lingkungan dan memiliki jiwa konservasi harus dibangun
semenjak dini.
Berbeda kasusnya pada pelaksanaan budaya sasi yang
berawal dari pemikiran untuk melakukan perlindungan terhadap
hak kepemilikan pribadi atau klan, yang pelakunya adalah
masyarakat sendiri. Tentu ini akan lebih mudah dilakukan karena
yang dilindungi adalah wilayah milik sendiri. Lalu bagaimana
dengan kesatuan wilayah diluar kepemilikan pribadi atau klan,
120

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

padahal disanalah letak potensi ekosistem sebagai penghasil sumber
daya terbesar. Maka memang yang harus dilakukan adalah
membangun sebuah kesadaran baru mengenai betapa pentingnya
perlindungan dan pelestarian sumber daya alam bukan hanya
karena persoalan milik pribadi atau klan, melainkan demi
kelangsungan kehidupan generasi mendatang.
Dalam persoalan menanamkan nilai-nilai pada masyarakat
tentang bagaimana melindungi dan melestarikan alam, menurut
penulis, gereja sudah mengambil bagiannya. Dalam khotbahkhotbah minggu di gereja, pelayan firman baik itu pendeta, guru
jemaat, majelis jemaat yang berkhotbah selalu menyampaikan agar
masyarakat sudah seharusnya menghormati dan melindungi alam
sebagai bagian dari tanggungjawab manusia kepada Allah. Nilai
yang disebarluaskan lewat mimbar gereja ini diharapkan mampu
mendorong keterlibatan masyarakat jauh lebih besar untuk
melindungi dan melestarikan potensi sumber daya alam yang
dimiliki oleh kampung Warsambin.
Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa dengan
penanaman nilai ini lewat mimbar gereja, tidak secara otomatis
membuat masyarakat/warga jemaat patuh. Masih juga sering
ditemukan oknum-oknum masyarakat yang mencari ikan dengan
cara tangkap yang tidak ramah lingkungan dan dapat merusak
ekosistem.
Sehingga membentuk SDM masyarakat yang memiliki
wawasan ramah lingkungan dan memiliki kemampuan untuk
melakukan perlindungan dan pelestarian sumber daya alam
terlebih khusus untuk menggiatkan kembali budaya sasi,
merupakan sesuatu yang urgent untuk dilakukan sekarang ini.
Kesimpulan Sementara
Jika menerjemahkan apa itu budaya sasi dalam kaca mata
konservasi, maka jawabannya adalah budaya sasi itulah konservasi.
Untuk melakukan upaya konservasi dalam rangka perlindungan
dan pelestarian SDA maka mengaktifkan atau menggiatkan
121

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

kembali aktifitas kearifan lokal masyarakat setempat menjadi
sangat penting untuk segera dilakukan. Selama potensi ancaman itu
ada walaupun masih kecil pengaruhnya, bukan berarti kita tidak
perlu khawatir karena kecil pengaruhnya. Melainkan kita harus
mempersiapkan cara, paling tidak untuk meminimalisir potensi
ancaman agar tidak membesar.
Pengaktifan dan penggiatan kembali kearifan lokal, harus
pula diimbangi dengan pengembangan SDM. Mengapa demikian?
Posisi masyarakat dalam usaha perlindungan dan pelestarian SDA
terletak di barisan terdepan, sebab mereka yang berada di lapangan
dan langsung berhadapan dengan alam. Maka penguatan SDM
masyarakat sehingga tercapainya masyarakat yang berwawasan
lingkungan dan menopang konservasi menjadi suatu kenyataan.
Memberikan peran kepada masyarakat untuk terlibat
langsung dalam aktifitas penggiatan kembali budaya sasi dan
konservasi adalah cara agar kesinambungan dan keberlanjutan bagi
generasi ke depan bisa terlaksana. Proses transfer nilai dan transfer
ilmu adalah proses yang sepatutnya dilewati dalam rangka
penguatan SDM masyarakat yang berwawasan lingkungan.

Perlawanan Negara dan Masyarakat Dalam Wujud Budaya
Sasi
Deklarasi sasi Mon diselenggarakan pada tahun 2010 di Teluk
Mayalibit, pada saat itu dianggap merupakan deklarasi paling meriah
yang pernah dilakukan oleh masyarakat Teluk Mayalibit. Semua
lapisan masyarakat yang berada di Teluk Mayalibit hadir dan
memeriahkan deklarasi sasi Mon tersebut. Tidak hanya itu pemerintah
pun ikut terlibat aktif dan memberi dukungan penuh pada deklarasi
sasi Mon saat itu. Menurut Abraham Goram, itulah deklarasi sasi yang
luas cakupan wilayah sasi terbesar selama CI dengan masyarakat di
kepulauan Indonesia bagian timur itu melakukan sasi. Luas wilayah
sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 3.194 ha dan sekaligus ditetapkan
sebagai salah satu zona inti atau sering disebut sebagai No Take Zone
(zona pelarangan ambil). Ini berarti keseluruhan wilayah yang disasi
122

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

saat itu masuk dalam kawasan perairan tertutup bagi aktifitas
pencaharian ikan. Wilayah sasi Mon di Teluk Mayalibit adalah 6.01%
dari total luas wilayah perairan Kawasan Konservasi Laut Teluk
Mayalibit yaitu 53.100 ha. Yang menarik dari bagian ini adalah peran
serta pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon. Sebab dalam setiap
upacara tutup sasi, yang hadir hanyalah tokoh masyarakat dan tokoh
agama, sedangkan pemerintah biasanya paling tinggi cuma dihadiri
oleh kepala kampung. Namun sasi Mon kali ini, langsung dihadiri oleh
kepala SKPD dan beberapa pejabat daerah.90
Dalam bagian tulisan ini, penulis akan memaparkan tentang
analisa dan bahasan mengenai dukungan pemerintah terhadap
pelaksanaan budaya sasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai
bentuk perlawanan Negara dan masyarakat.
Teori Perlawanan Sosial Scott dan Budaya Sasi Sebagai Bentuk
Perlawanan
Jika merujuk pada tulisan James C. Scott tentang
perlawanan sosial yang dilakukan oleh para petani di Asia
Tenggara, kita akan mendapat pengertian perlawanan sebagai
segala tindakan yang dilakukan oleh kaum atau kelompok
subordinat yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim
(misalnya harga sewa atau pajak) yang dibuat oleh pihak atau
kelompok superdinat terhadap mereka.91 Pada pengertian ini Scott
menjelaskan bahwa telah terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh
kelompok superdinat yaitu negara yang memberlakukan kebijakan
dengan menaikkan harga sewa lahan tahan ataupun pajak
pendapatan bagi para petani. Kebijakan fiskal yang sangat ketat dan
banyak jumlahnya ditimpakan kepada kaum tani. Negara dalam hal
ini juga tidak sendiri, melainkan negara bersama dengan kaum elit
pemilik tanah (tentu dalam sebuah konspirasi) meraup keuntungan
dari hasil pajak dan kebijakan agraris. Kebijakan fiskal ini adalah
90
91

Wawancara dengan Yakub, Kamis, 8 Januari 2015, Pukul. 08.30 WIT.
Scott, James C., 1981. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, LP3ES, Jakarta.

123

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

sebuah celah bagi para pemilik tanah dan rentenir untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari kaum petani.92
Dari sinilah kemudian muncul respon perlawanan yang
begitu besar dari kelompok subordinat yaitu para petani.
Munculnya perlawanan menurut Scott salah satunya oleh karena
telah terjadi yang namanya kerawanan ekologis, dimana
kemampuan produksi petani dari lahan pertanian mereka semakin
menurun tetapi kebijakan fiskal justru membuat kondisi semakin
runyam.93 Sebagai contoh Scott bercerita tentang kondisi yang
terjadi di salah satu tempat penelitiannya:
“Sudah barang tentu curah hujan hanya merupakan
salah satu penyebab variasi tahunan yang besar dalam
persediaan pangan. Di daerah-daerah yang beririgasi
terdapat juga distrik-distrik, seperti Hanthawaddy di
Burma Hilir, dimana bahaya yang sering mengancam
panen dengan kerusakan (kali ini berupa banjir) telah
menumbuhkan suatu tradisi pemberontakan yang paling
jelas menampakkan diri setelah panen yang buruk” 94

Kerawanan ekologis yang berdampak pada menurunnya
hasil panen bagi Scott adalah salah satu sebab munculnya
perlawanan dari kaum petani. Kondisi ini diperparah dengan
ketidakberpihakan negara bagi kepentingan kaum tani. Pada saat
yang bersamaan pula ditengah ketidakadilan struktural yang
menimpa kaum tani justru muncul sebuah perilaku yang bagi Scott
disebut dengan “moral ekonomi” yang membimbing mereka
sebagai warga desa dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif
dan hubungan sosial resiprokal saat menghadapi tekanan-tekanan
struktural dari hubungan kekuasaan baru yang mencengkam.
Tekanan struktural dari pasar kapitalistik, pengorganisasian negara
kolonial dan paska-kolonial, dan proses modernisasi di Asia

92
93
94

Ibid, Hal. 300
Ibid, Hal. 302
Ibid, Hal. 304

124

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

Tenggara mengacaukan “moral ekonomi” itu dan menyebabkan
kaum tani berontak.
Pengalaman empirik yang didapatkan Scott dalam
rangkaian penelitiannya di Asia Tenggara membawa penulis
melihat pengalaman empirik yang didapatkan selama berada di
penelitian lapangan. Dan penulis menemukan adanya pengalaman
empirik yang sama dengan pengalaman empirik Scott.
Salah satu kesamaan pengalaman empirik antara Scott dan
penelitian ini adalah perilaku masyarakat yang muncul akibat
adanya sebuah ancaman ekologis yang dialami. Dalam Scott petani
merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis yang berakibat
pada menurunnya hasil panen. Sedangkan pada penelitian ini
masyarakat merasa terancam oleh karena kerawanan ekologis
berupa eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang berakibat pada
menurunnya hasil sumber daya alam. Jika Scott menggambarkan
kerawanan ekologis datang secara alamiah dari alam oleh karena
cuaca bahkan peristiwa alam seperti curah hujan yang tinggi
mengakibatkan hasil tanam petani menjadi gagal. Dalam penelitian
ini kerawanan ekologis disebabkan oleh perilaku manusia yaitu
nelayan dari seputar kepulauan Raja Ampat dan juga nelayan lokal
sendiri yang menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah
lingkungan sehingga berdampak pada kerusakan ekosistem laut.
Ancaman yang dirasakan oleh petani di Asia Tenggara dan
masyarakat di kampung Warsambin ini menghasilkan perilaku.
Jika dalam Scott perilaku yang dihasilkan adalah perlawanan dalam
bentuk pemberontakan kaum tani terhadap negara, oleh karena
dalam kondisi terancam itu petani justru tidak mendapatkan
perlindungan dari negara. Melainkan negara justru mengambil
kebijakan yang semakin melemahkan kondisi para petani.
Untuk penelitian ini perilaku yang dihasilkan adalah
menggiatkan kembali budaya sasi sebagai kearifan lokal dalam
usaha memproteksi segala sumber daya alam yang dimiliki oleh
masyarakat. Apakah perilaku ini merupakan bentuk perlawanan
masyarakat? Menurut penulis, disinilah letak perlawanan
125

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

masyarakat untuk menghadapi setiap ancaman eksploitasi dan
kerusakan lingkungan akibat penangkapan ikan yang berlebihan
dan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Budaya sasi
digunakan oleh masyarakat kampung Warsambin untuk
memproteksi seluruh sumber daya alam lautnya dari perilaku yang
mengancam ekosistem dan sekaligus juga melakukan usaha
pelestarian terhadap ekosistem laut agar terjadi keberlanjutan
sumber daya alam.
Sehingga dapat dikatakan demikian, dalam penelitian yang
dilakukan Scott di Asia Tenggara, perlawanan kaum petani
berangkat dari moral ekonominya yang terbentuk dalam kondisi
terancam secara ekologis terwujudkan pada bentuk pemberontakan
kaum tani dengan kekerasan. Sedangkan penelitian ini
mengungkapkan bahwa perlawanan masyarakat lokal yang
berangkat dari ancaman eksploitasi dan kerusakan ekosistem laut
oleh karena cara tangkap berlebihan dan tidak ramah lingkungan,
terwujudkan dalam bentuk menggiatkan kembali kearifan lokal
yaitu budaya sasi untuk memproteksi sumber daya alam. Dengan
kata lain jika Scott menggambarkan pemberontakan kaum tani
dengan kekerasan (Hard Weapon) sedangkan penelitian ini
menggambarkan
perlawanan
masyarakat
lokal
dengan
menggunakan kearifan lokalnya yaitu budaya sasi (Soft Weapon).
Nah, yang menjadi menarik adalah pertanyaan dimanakah
posisi pemerintah disaat ancaman ini terjadi? Apakah sama dengan
yang dialami para petani di Asia Tenggara, dimana negara berada
pada posisi yang berlawanan dengan masyarakat bersama dengan
kaum kapitalis yang ingin mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya lewat pajak yang tinggi dan kebijakan agraria. Untuk
penelitian ini jawabannya adalah negara berada pada posisi
bersama dengan masyarakat menghadapi ancaman eksploitasi dan
kerusakan ekosistem laut! Lalu siapakah lawan dari negara dan
masyarakat disini? Lawannya adalah nelayan lokal maupun

126

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

nelayan dari luar Raja Ampat yang melakukan penangkapan secara
eksploitatif dan tidak ramah lingkungan.95
Sikap Pemerintah Tentang Budaya Sasi
“Sasi merupakan budaya yang sudah dilakukan
masyarakat Raja Ampat secara turun-temurun dari
semenjak nenek moyang kita. Oleh sebab itu sebetulnya
tidak ada alasan bagi pemerintah ataupun masyarakat
sendiri menolak melakukan sasi. Sesuai dengan arahan
Pak Bupati bahwa kearifan lokal sekarang ini harus
digiatkan kembali, salah satunya adalah sasi. Karena itu
cara yang paling dekat dan dipahami oleh masyarakat
untuk mereka mampu melindungi sumber daya alam
Raja Ampat.” ungkap Lucky.96

Dalam wawancara secara tegas Lucky menyatakan
keseriusan pemerintah kabupaten Raja Ampat untuk mendukung
pelaksanaan sasi di tataran masyarakat. Harapan dari digiatkannya
kembali budaya sasi, adalah masyarakat bisa dilibatkan oleh
pemerintah menjadi pelopor bagi keselamatan ekosistem lautnya.
Keseriusan pemerintah ini ditunjukkan dengan menaikkan
kapasitas keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan budaya sasi.
Masyarakat terus diminta untuk sebisa mungkin melakukan
deklarasi sasi disetiap kampung sehingga setiap wilayah di Raja
Ampat terdapat wilayah-wilayah sasi yang menjadi basis sumber
daya atau reproduksi ikan. Dengan menggiatkan budaya sasi,
sebenarnya masyarakat sedang mengisi “lumbung laut” mereka
sendiri dengan potensi sumber daya ikan. Keberadaan pemerintah
adalah menjamin bahwa sasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa
terus berjalan dengan baik dan berkelanjutan.
95

Wawancara dengan Lucky, Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT. Dalam
wawancara yang dimaksudkan sebagai nelayan dari luar Raja Ampat adalah
nelayan dari seputaran daerah Sorong Raja, Kepualaun Maluku (Seram, Ambon dan
Halmahera), wilayah Jawa (Madura), dan nelayan dari Vietnam. Nelayan ini yang
beroperasi masuk dalam wilayah kawasan konservasi laut daerah.

96

Ibid

127

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

Penguatan kapasitas untuk mendukung budaya sasi juga
ditunjukkan oleh pemerintah dengan menugaskan para petugas
untuk langsung mendampingi masyarakat mempersiapkan semua
rencana pelaksanaan sasi. Sama halnya dengan keterlibatan
pemerintah dalam pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin,
Teluk Mayalibit.
Dengan digiatkan kembali budaya sasi itu artinya
masyarakat dan negara secara bersama-sama membentengi diri dari
ancaman perilaku eksploitatif dan kerusakan ekosistem yang
dilakukan oleh oknum-oknum nelayan lokal Raja Ampat, nelayan
sekitar kepulauan Raja Ampat, dan nelayan dari luar negeri.
Dari gambaran ini sebetulnya telah menunjukkan
pembedaan antara pengalaman empirik Scott dan penelitian ini.
Jika Scott menggambarkan bahwa negara justru tidak
bertanggungjawab untuk membantu kaum tani dalam menghadapi
kerawanan ekologis yang dialami mereka, melainkan membuat
kebijakan fiskal dan kebijakan agraria yang memberatkan petani.
Sedangkan pada penelitian ini, pemerintah justru melakukan
intervensi secara terbuka mendukung perlawanan masyarakat dan
membantu masyarakat untuk menjawab keresahan mereka dengan
mengeluarkan kebijakan membuat regulasi tentang Kawasan
Konservasi Laut Daerah yang adalah cikal bakal dari budaya sasi.
Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Budaya Sasi sebagai “Senjata
Perlawanan”
Jika Scott menggambarkan perlawanan kaum tani dalam
bentuk pemberontakan dengan kekerasan. Penelitian ini
memberikan gambaran perlawanan tanpa pemberontakan
kekerasan melainkan dengan menggunakan kearifan lokal dan
regulasi yang dibuat pemerintah. Sebagai partner perlawanan
masyarakat, pemerintah membangun sebuah sistem untuk mampu
mencapai tujuan perlawanan yang dilakukan bersama masyarakat.
Sistem ini kemudian yang dikenal dengan sebutan Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD). Didalam KKLD inilah diatur
128

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

segala peruntukkan sumber daya laut ditentukan. Peruntukkan
sumber daya laut yang diatur dalam KKLD membagi kawasan
dalam beberapa zona sehingga tetap masih dapat digunakan oleh
masyarakat. KKLD dibagi dalam 3 zona yaitu: Zona Inti, Zona
Pemanfaatan, dan Zona Lainnya.
Yang dimaksudkan Zona Inti atau sering disebut sebagai
No Take Zone (zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup
dan tidak boleh ada aktifitas pengambilan ikan. Penentuan zona
inti atau No Take Zone biasanya berdasarkan kondisi ekosistem
sebuah wilayah, misalnya wilayah hutan mangrove dan wilayah
terumbu karang. Ditujukan kepada wilayah ekosistem ini karena
biota laut menjadikan ekosistem ini sebagai tempat bereproduksi,
sehingga untuk tidak mengganggu reproduksi biota laut maka
wilayah ini kemudian dijadikan zona inti. Untuk mendukung
kepentingan masyarakat dalam melindungi sumber daya alam
mereka lewat budaya sasi, maka wilayah yang disasi oleh
masyarakat dikategorikan sebagai zona inti.
Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi menjadi 2 sub
zona yaitu: sub zona ketahanan pangan dan pariwisata dan sub
zona perikanan berkelanjutan dan budidaya. Sedangkan zona
lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu: sub zona
pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona pemanfaatan
lainnya.
Mengapa KKLD dan budaya sasi, penulis sebut sebagai
“senjata perlawanan”? Karena wilayah KKLD hanya diperuntukkan
bagi nelayan lokal Raja Ampat, dan tidak bagi nelayan dari luar
kepulauan Raja Ampat. Inilah cara pemerintah dan masyarakat
memproteksi sumber daya alam Raja Ampat, sehingga tidak terjadi
eksploitasi dan pengambilan ikan dengan menggunakan cara-cara
yang tidak ramah lingkungan seperti yang sebelum-sebelumnya
terjadi.
Untuk mencapai tujuan proteksi ini, nelayan-nelayan lokal
di Raja Ampat pun diatur cara penangkapan ikannya. Nelayannelayan lokal dilarang menggunakan alat-alat besar dan jaring
129

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

besar untuk menangkap ikan. Cara menangkap ikan yang
diperkenankan hanya dengan cara tradisional seperti memancing
dan tekhnik lobe97. Dengan membuat regulasi soal alat tangkap,
pemerintah sedang meminimalisir potensi kerusakan ekosistem.
Kawasan Konservasi Laut Daerah dan Sasi adalah Bentuk
Perlawanan Terbuka
Melihat bentuk dan karakteristik perlawanan yang
dilakukan masyarakat dan pemerintah lewat budaya sasi menurut
Scott masuk dalam kategori perlawanan publik atau terbuka
(public transcript). Scott mendefenisikan perlawanan terbuka
adalah perlawanan yang dilakukan lewat interaksi terbuka. Dari
tinjauan karakteristik perlawanan terbuka, apa yang dilakukan
masyarakat dan pemerintah memenuhi keempat karakteristik
perlawanan terbuka.
Yang pertama, bersifat organik, sistematik dan kooperatif.
Artinya perlawanan murni lahir oleh karena kondisi sebenarnya
tanpa direkayasa, terjadi secara terencana dan memiliki rencana
strategis dalam pencapaian tujuan, serta membangun jejaring
dengan segala pihak dalam mencapai tujuannya. KKLD dan budaya
sasi memiliki karakteristik yang pertama. Hal itu terlihat dari
pergumulan masyarakat dan pemerintah yang melihat bahwa
potensi ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan semakin
nyata. Penangkapan ikan secara berlebihan, penebangan hutan
mangrove serta kerusakan terumbu karang karena penangkapan
ikan dengan alat-alat yang merusak seperti bom dan akar bore,
menjadi ancaman yang ada didepan mata.
97

Tekhnik lobe adalah salah satu cara tangkap tradisional yang digunakan oleh
masyarakat pesisir di kepulauan Raja Ampat. Tekhnik ini berlaku hanya bagi
beberapa jenis ikan seperti ikan lema. Lobe biasanya dilakukan pada saat bulan
tidak muncul dilangit dan masyarakat menggunakan lampu badai (petromax) untuk
menarik ikan muncul dipermukaan. Setelah muncul dipermukaan air laut,
kemudian ikan digiring untuk masuk sebuah hall dipinggiran pantai yang dangkal,
lalu nelayan turun dan mengambil ikan-ikan tersebut dengan cara menimba
menggunakan jaring yang dibuat seperti gayung.

130

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

Berikutnya bagaimana melihat perlawanan juga terjadi
secara sistematik dan terencana dengan sangat baik. Dimulai
dengan penentuan KKLD dan mendorong masyarakat untuk
menggiatkan budaya sasi adalah cara yang secara sistematik
dilakukan dalam perlawanan. Untuk legalitas hukum maka
perangkat regulasi hukum pun dibuat. Maka dibuatlah Peraturan
Daerah N0. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah Kabupaten Raja Ampat. Dalam PERDA ini mengatur
bagaimana KKLD diperuntukkan untuk masyarakat lokal,
pengelolaan sumber daya hayati termasuk jenis-jenis biota yang
dilindungi, sampai pada pengawasan wilayah KKLD dan sanksi
yang diberikan kepada para pelanggar aturan ini. Menurut Adrian
Yusuf Kaiba, dalam beberapa peristiwa petugas lapangan yang
melakukan pengawasan dalam wilayah KKLD sering mendapatkan
nelayan luar yang melakukan penangkapan. Dan mereka yang
kedapatan melakukan pelanggaran akan ditindak secara hukum
tergantung seberapa besar pelanggaran yang dibuat. Jika
pelanggaran berat misalnya pencurian jenis ikan yang dilarang
seperti Pari Manta, Lumba-lumba punggung bengkok, Ikan Hiu
Sirip Putih, maka langsung kasus tersebut akan dilimpahkan
kepada aparat hukum untuk menindak. Sedangkang untuk kategori
yang masuk dalam pelanggaran ringan seperti masuk tanpa sengaja
melakukan penangkapan ikan secara tradisional di wilayah KKLD,
maka cuma diberikan teguran dan pembinaan agar kesalahan
tersebut tidak terjadi kembali. Pada kondisi ini pulalah
karakteristik koperatis juga berlaku dalam perlawanan. Bahwa
setiap pelanggar dengan kategori pelanggaran ringan selalu
diberikan pemahaman dan informasi tentang apa itu KKLD agar
dikemudian hari tidak lagi terjadi pelanggaran.
Yang kedua, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan
terbuka adalah berprinsip atau tidak mementingkan diri sendiri.
Perlawanan yang dilakukan negara dan masyarakat lewat KKLD
dan budaya sasi memiliki karakteristik ini. Negara dalam hal ini
pemerintah pun membangun komunikasi dengan masyarakat
131

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

dalam rangka mensinergikan kekuatan perlawanan. Salah satu
contohnya pemerintah selalu mengirimkan petugas lapangan ke
kampung-kampung untuk terus mensosialisasikan tentang KKLD
sekaligus meminta masyarakat kampung menggiatkan kembali
budaya sasi. Selain itu, pemerintah dan masyarakat pun
membangun jejaring dengan mitra kerja yaitu lembaga-lembaga
non pemerintah (Non Government Organitation) antara lain
Conservation International, Coremap, dan TNC. Pengembangan
jejaring mitra kerja ini dalam rangka untuk menguatkan kapasitas
dalam pencapaian tujuan perlindungan dan pelestarian sumber
daya alam hayati. Karakteristik tidak mementingkan diri sendiri
juga terlihat dalam kebijakan KKLD, dimana salah satu zona dari
wilayah KKLD diperuntukkan untuk pemanfaatan nelayan lokal.
Jika pemerintah secara tegas ingin semua wilayah terlindungi
cukup dengan menjadikan seluruh KKLD adalah zona inti, dan itu
berarti tidak ada lagi ruang bagi nelayan lokal untuk mencari ikan.
Tetapi justru pembagian KKLD dalam zona-zona termasuk zona
pemanfaatan membuktikan bahwa pemerintah tidak memikirkan
dirinya sendiri, melainkan masih mimikirkan masyarakatnya
untuk mata pencaharian mereka.
Yang ketiga, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan
terbuka adalah berkonsekuensi revolusioner. Ini artinya bahwa
perlawanan harus membawa perubahan yang sangat berarti atas
apa yang dilawannya, sekaligus memberikan kontribusi bagi
kelangsungan apa yang dilawannya. Dengan pengertian ini kita
melihat bahwa apa yang sedang diperjuangkan dengan KKLD dan
budaya sasi bukanlah sebuah kepentingan sesaat. Memproteksi
sumber daya alam dan membangun sistem perlindungan terhadap
ekosistem lingkungan adalah sebuah tujuan yang revolusioner.
Memikirkan tentang apa yang nantinya akan dimiliki dan
dinikmati oleh generasi mendatang adalah cara berpikir yang
revolusioner.

132

Kearifan Lokal, Usaha Konservasi SDA, Perlawanan Negara dan Masyarakat dalam Wujud Budaya
Sasi

“Kepuasan saya sebagai orang yang hidup di jaman
sekarang ini adalah ketika suatu saat kelak di masa depan
cucu/cicit saya bisa merasakan apa yang saya rasakan saat
ini. Cucu/cicit saya tahu apa itu ikan pari manta dan ikan
hiu sirip atau juga tahu apa itu penyu belimbing. Dan
kalau kita mau itu terjadi pada cucu/cicit kita di masa
depan, maka kita yang ada sekarang ini harus memulai
untuk menjaga dan melindunginya. Jangan sampai yang
cucu/cicit kita dengar hanyalah cerita saja.” ungkap
Bambang.98

Yang keempat, karakteristik yang dimiliki oleh perlawanan
terbuka adalah mencakup gagasan atau meniadakan basis dominasi.
Untuk karakteristik yang satu memang tidak ditemukan pada
perlawanan yang dilakukan dalam penelitian ini. Sebab dalam
penenelitian Scott perlawanan yang terjadi dari kaum tani
berhadapan dengan kemapanan dan dominasi yang dilakukan oleh
negara bersama dengan kaum kapitalis. Sedangkan pada penelitian
ini justru negara berada berdampingan dengan masyarakat
melakukan perlawanan kepada perilaku eksploitasi dan kerusakan
lingkungan yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Pada
perlawanan ini justru dominasi seharusnya tercipta antara negara
dan masyarakat agar kekuatan perlawanannya semakin kuat. Selain
itu agar sistem yang dibangun untuk mewujudkan tujuan
perlawanan dapat terealisasikan oleh karena kemapanan SDM yang
ada dalam pergerakan.
Kesadaran Kerawanan Ekologis sebagai Modal Perlawanan
Scott menggambarkan perlawanan sosial kaum tani di Asia
tenggara bermodalkan Moral Ekonomi. Dimana moral ekonomi ini
terbentuk oleh karena berbagai interaksi kondisi yang dialami oleh
kamu tani. Sebagai daerah-daerah yang telah melewati masa
kolonial dan yang sedang memasuki masa paskakolonial, maka
98

Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

133

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber
Daya Alam

negara membutuhkan sumber pendapatan untuk memulai
pembangunan. Salah satu cara yang dilakukan adalah melakukan
eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk dapat meraup
keuntungan. Selain itu cara lain yang dilakukan adalah melakukan
kebijakan fiskal yang ketat mengenai sewa lahan dan pembayaran
pajak yang tinggi bagi kaum petani. Sementara itu kondisi
kehidupan kaum tani dalam masa kolonial dan paskakolonial
bukanlah kondisi masyarakat yang mapan. Scott menggambarkan
kondisi kaum tani pun masih subsistensi, artinya kaum tani
melakukan pemenuhan kebutuhan berdasarkan apa yang bisa ia
lakukan. Sebagai contoh dalam kondisi yang mendesak ketika
desakan kebutuhan hidup semakin tinggi dan harus menghidupi
anggota keluarga yang jumlahnya tidak sedikit, terkadang pilihan
jatuh kepada menjual tanah bagi para saudagar-saudagar atau
pemilik modal agar dapat melanjutkan kehidupan. Dan selanjutnya
petani tersebut bukanlah menjadi pemilik lahan lagi tetapi sebagai
penggarap lahan. Kondisi diatas bisa semakin parah ketika jumlah
hasil panen ikut menurun oleh karena fakor ekologis, curah hujan
yang tinggi, ataupun serangan hama yang berakibat pada gagalnya
panen

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Relasi Negara dan Masyarakat di Rote D 902007003 BAB VI

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hak Masyarakat dan Masyarakat Adat Terhadap Sumber Daya Tambang dalam Peraturan Perundangan di Indonesia

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Sagu dan Keberlanjutan Pangan Lokal T2 092011001 BAB VI

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Christian Entrepreneurship T2 912010027 BAB VI

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemberdayaan Masyarakat Alam Pembangunan Desa Tlogoweru D 902007005 BAB VI

0 1 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB IV

0 0 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam T2 092009110 BAB V

0 0 34

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Budaya Sasi: Perlawanan Negara dan Masyarakat terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

0 0 20